Pengantar
Jika kita
sebagai fasilitator experiential learning (Fasel) berpikir (buka merasa, ya) suatu
outbound yang kita selenggarakan bisa meningkatkan komunikasi antarpeserta,
bagaimana membuktikannya? Sering pula suatu outdoor training disebut bisa
mengembangkan kerjasama pesertanya, apa benar-benar begitu faktanya, atau itu
hanya ASUMSI kita sebagai penyelenggara? Atau bahkan lebih parah hanya sekedar
klaim untuk kepentingan tertentu saja. Hmm… bisa jadi memang ada hal-hal yang
bisa ditingkatkan atau dikembangkan dari dalam peserta usai yang bersangkutan
mengikuti outdoor training atau sejenisnya, namun gimana cara membuktikannya?
Salah satu cara sederhana sebagai upaya membuktikan atau membuat suatu kegiatan
menjadi valid atau meyakinkan adalah dengan melakukan program kegiatan secara
sistematis untuk dilaporkan atau ditulis secara ilmiah.
Catatan
ini merupakan seri ke-3 rangkaian saya menceritakan serunya kuliah Magister
Pendidikan di UNY bagi kelas khusus para Fasel atau Outbounder yang mengambil
program RPL. Penjelasan lebih detil bisa dimulai dari sini saja ya dan
intinya kita para outbounder yang sudah punya pengalaman bisa mendapat gelar
Master Pendidikan hanya dalam waktu 1 tahun saja (2 semester) alih-alih program
reguler 2 tahun (4 semester). Hal ini membuat kita mendapat semacam “beasiswa”
senilai 17 juta jika dihitung dari pembayaran uang kuliah selama 2 semester
yang bisa kita bebaskan akibat rekognisi pengalaman lampau. Jika pada bagian
ke-2 sudah saya ceritakan lika-liku mengambil kelas teori, pada bagian ini saya
akan berkisah tentang dinamika kami mengikuti dan menyelesaikan mata kuliah Penulisan
Karya Ilmiah (2 SKS) yang erat kaitannya dengan mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan (3 SKS), Penulisan
Proposal dan Seminar Tesis (3 SKS), dan Tesis (6 SKS). Tidak hanya untuk para
outbounder yang mau ikut program seperti kami, namun catatan ini bisa
dibaca-baca oleh siapa saja yang ingin mendapat tips praktis menulis karya
ilmiah. Sebagian besar materi yang saya sampaikan di blog ini berasal dari mata
kuliah terkait yang pernah saya ambil; yuk langsung saja kita ulik.
Konteks Penulisan
Tujuan
penulisan ilmiah sebenarnya sederhana, seperti halnya tulisan populer, yaitu
“menyampaikan sesuatu.” Apa saja sesuatu itu? Bisa macam-macam lah, baik
bergenre sosial kemasyarakatan, sains, pendidikan, olahraga, psikologi, teknologi komunikasi, dan
lain-lain. Sayangnya, kita tidak bisa asal menulis karena harus mengikuti pedoman
dan aturan penulisan tertentu. Tempat penayangan hasil tulisan kita pun
biasanya pada jurnal ilmiah sebagai salah satu dari media komunikasi ilmiah, atau
berbentuk skripsi, tesis maupun disertasi. Cerita tentang tesis saya beberkan dalam blog berikutnya ya.... Sebelum ikut kuliah ini, saya pikir
saya sudah melakukan penulisan secara ilmiah pada beberapa buku karya saya, namun ternyata
setelah dikaji terhadap syarat dan ketentuan yang berlaku, tulisan yang ada di
buku-buku serius tidak otomatis menjadi tulisan ilmiah. Bagi banyak mahasiswa,
menulis karya ilmiah yang bisa tembus (dimuat) pada jurnal itu seperti “momok”
menakutkan dalam proses perkuliahan; mungkin seperti Superman yang takut pada
batu kryptonite yang bisa melemahkannya. Cerita tentang jurnalpun bisa lebih
menakutkan karena mereka dibagi dalam beberapa kasta. Berdasarkan peraturan
yang berlaku di Indonesia terkait dengan publikasi jurnal, jurnal ilmiah dapat
dibagi menjadi 4 kelas, yakni jurnal nasional, jurnal nasional terakreditasi,
jurnal internasional, dan jurnal internasional bereputasi. Namun kita kan maha,
mahasiswa; masa sih takut pada sesuatu yang mestinya bisa kita kuasai? Sarjana takut nulis skripsi, kuliah master takut nulis tesis, kan lucu... Lebih lucu lagi jika hal itu menimpa para outbounder yang sering memberi motivasi pada peserta pelatihan/ outbound;
semangat, pantang menyerah, never give up, Huh!
Menulis
artikel ilmiah itu tidak terlalu mudah namun juga tidak terlalu gampang karena
mengandung 3 fungsi sekaligus, yaitu fungsi ilmiah, fungsi sosial, dan fungsi ekspresi
(sang penulis). Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam penulisan ilmiah
adalah
- Aspek isi terkait kajian bidang keilmuan yang hendak dibahas,
- Aspek bahasa yang harus mengikuti tata bahasa tulis ilmiah, dan
- Aspek format penyajian terkait aturan dan gaya selingkung atau penyesuaian format tempat tulisan akan dipublikasikan.
Oh ya,
tiap jurnal punya format penulisan tertentu ya, ada yang sama, mirip, juga
beda; misal tentang jenis huruf, jarak antarbaris, tatacara menampilkan gambar,
aturan membuat kutipan, dan sebagainya. Secara umum konten tulisan ilmiah itu
perlu dibuat secara obyektif, rasional, kritis, dan mengandung sesuatu yang
baru. Jadi, walau kita sudah melakukan sesuatu atau lebih spesifik lagi penelitian yang kita anggap ilmiah lalu dituliskan
secara ilmiah pula; namun kalau aktivitas yang sama sudah pernah dilakukan oleh
orang lain, maka produk kita tidak lagi “ilmiah.”
Ilmiah ni ye....
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/330099847700344695/
Gimana
para pembaca? Sudah mulai panik, eh, mulai memahami konteks tulisan atau artikel
ilmiah? Semoga. Saya berusaha menjelaskan hal-hal imiah ini secara sederhana sehingga
gaya bahasanya juga dibuat populer karena tujuan penayangannya di blog. Beberapa hal saya
sampaikan saja garis besarnya, karena kalo sampai detil atau teknis itu namanya
materi kuliah, he he he… maksudnya supaya tulisan ini tidak terlalu (sangat)
panjang dan pada akhirnya membosankan. Yuk lanjut tentang bagaimana mengawali
penulisan ilmiah yang terdiri dari tahap prapenulisan, penulisan, dan
pascapenulisan.
Perlu disadari bahwa menulis ilmiah itu bukan proses “sekali ngetik”
seperti bisa digunakan untuk membuat puisi, cerpen, status media sosial, atau
artikel populer. Maksud istilah “sekali ngetik” itu adalah hanya dalam sekali
menuliskan dengan melihat dan menggarap satu lembar kerja saja, sudah tercipta
dan menyelesaikan naskah. Penulisan ilmiah itu proses menuangkan proses dan
hasil kegiatan “bukan menulis,” atau lebih jelasnya adalah “penelitian.” Memang
ada penelitian yang berdasarkan literatur, namun itu kan juga meliputi kegiatan
“lain” yaitu mencari, membaca, menelaah, menyimpulkan, sampai dituangkan dalam
bentuk tulisan. Ya, seumumnya penelitian itu mengandung tindakan pikir dan
fisik tertentu. Maka, absurd jika mau menulis ilmiah tetapi tidak ada
“penelitian” yang sedang atau sudah dilakukan. Misal, kita mau menulis tentang
“efek permainan spider web terhadap peningkatan pola komunikasi peserta
outbound,” namun tidak pernah memainkan games “spider web” yang dikaji sesuai tujuan
penelitian. Ya, bisa sih kita mengira-ira efeknya hanya berdasar pengalaman memfasilitasi
beberapa kali games “spider web,” lalu dituliskan; tapi itu kan bukan artikel atau tulisan
ilmiah. Bagaimana semestinya permainan tersebut dijalankan? urusan metodologi
penelitian itu beda perkara, walau terkait dengan metode penulisan ilmiah, namun maaf tidak saya bahas
di sini.
Dalam tahap prapenulisan, kita memerlukan bahan tulisan dan kerangka
penulisannya. Memasuki tahap penulisan, kita membuat draft tulisan dengan
anatomi yang disyaratkan. Tahap terakhir yaitu pascapenulisan terdiri dari
penyuntingan naskah, lalu memublikasikannya.
Bagaimana mencari dan mengembangkan gagasan yang bisa dituliskan secara
ilmiah? Pada tulisan sebelumnya di seri kedua, yang bisa dibaca di ruang ini, (dalam konteks tesis), saya
menyarankan saat kita mau kuliah sebaiknya sudah menemukan tema apa yang mau
diteliti (lalu dituliskan secara ilmiah). Cukup riskan jika sudah tiba saatnya
tesis atau tenggat mengirim tulisan ilmiah (untuk kepentingan tertentu) kita
baru mencari gagasan… boleh sih mencari, dari yang sederhana sampai simpel
terserah saja, yang penting ketemu. Tips mencari gagasan secara umum adalah
tinjauan terhadap bobot
permasalahan, urgensi, orisinalitas, kemutakhiran, dan kedalaman gagasan. Saat
gagasan sudah ditemukan, kita lalu perlu tahu hal tersebut akan dilaksanakan
dengan jenis penelitian kualitatif, penelitian kuantitatif, atau campuran. Hal
ini yang tadi saya sebut dengan metodologi
penelitian yang variannya juga banyak. Intinya kita perlu menjawab pertanyaan
penelitian dengan metode yang tepat. Langkah berikutnya kita perlu mendata
tulisan, buku, jurnal, atau data lain yang bisa digunakan sebagai pendukung
penelitian.
Bagaimana saya mendapatkan gagasan dalam memenuhi tugas mata kuliah
“Penulisan Karya Ilmiah?” sederhana, kok. Saya cari dahulu apa kegiatan ilmiah
yang akan dituliskan. Nah, kebetulan AELI DPD Jawa Tengah akan mengadakan kegiatan
“Workshop The Art of Ice Breaking; Kupas Tuntas Seni Membawakan Ice Breaking.” Bagi saya itu kegiatan dengan tema yang menarik dan bisa dituliskan scr ilmiah;
namun karena kegiatan tersebut bukan kegiatan ilmiah, saya putar otak
gimana bisa “memanfaatkan” workshop tadi menjadi kegiatan ilmiah yang hasilnya
bisa dituliskan. Saya lalu berpikir untuk melakukan penelitian yang tujuannya
untuk mengetahui apakah workshop tersebut bisa meningkatkan kemampuan peserta
dalam hal ice breaking. Saya lalu menghubungi panitia penyelenggara untuk
menjajagi apakah saya bisa "mengintervensi" acara dengan melakukan penelitian
berupa pemberian angket pretest dan posttest bagi peserta. Syukurlah panitia menyambut
baik niat saya. Singkat cerita; workshop berlangsung lancar sambil saya
melakukan penelitian berudul “Workshop untuk Meningkatkan
Kemampuan Ice Breaking pada Fasilitator Experiential Learning.” Hasil penelitan saya tulis menjadi artikel ilmiah
dan dikirimkan ke jurnal.
Workshop The Art of Ice Breaking; Kupas Tuntas Seni Membawakan Ice Breaking
Anatomi Penulisan
Anatomi atau susunan artikel ilmiah terdiri dari beberapa konten berikut, walau tiap jurnal tidak
sama persis mengurutkan atau menamainya.
- Judul
- Nama Penulis
- Abstrak
- Kata Kunci
- Pendahuluan
- Landasan Teoritis/ Empiris
- Metode (penelitian)
- Hasil dan Pembahasan
- Simpulan dan Saran
- Daftar Pustaka
Judul
Menuliskan judul sekilas sederhana, namun sebaiknya dirumuskan secara tepat dengan memerhatikan beberapa kaidah berikut ini.
- Judul Dinyatakan berupa proposisi, bukan kalimat; serta memberikan gambaran ringkas, tepat, dan jelas tentang gagasan yang ditulis.
- Sebaiknya judul bisa membuat pembaca tertarik untuk mengetahui isi tulisan.
- Judul diupayakan mudah diingat dan memancing perhatian, tidak mengandung singkatan & rumus, serta dibatasi tidak lebih dari 12 kata selain kata sambung.
Berdasarkan pengalaman dan
refleksi, menulis judul itu mudah saat kita sudah tahu kira-kira apa saja yang
akan dilakukan dalam penelitian, termasuk gambaran atau kemungkinan
hasilnya.
Abstrak
bagian "Abstrak" dibuat secara ringkas dan padat berisi ide-ide yang paling penting saja,
meliputi masalah dan/atau tujuan penelitian, prosedur penelitian, dan ringkasan
hasil penelitian. Abstrak dibuat dalam satu paragraf saja, umumnya terdiri
dari maksimum 200 kata serta ditulis dalam bahasa Indonesia dan
Inggris. Mohon hindari singkatan, kutipan, tabel, gambar, dan merk dagang dalam "abstrak." Berdasarkan beberapa kaidah tadi, maka walaupun posisi dalam tulisan ada di
awal, namun "abstrak" ditulis atau difinalkan kalimatnya setelah penelitian
selesai. "Abstrak" diakhiri dengan “kata kunci” sebagai kata atau istilah yang
dibahas serta digunakan untuk mempermudah penelusuran artikel. 3 sampai 5 kata
kunci yang dipilih harus mempunyai makna yang khas dan jelas, terdapat di dalam judul atau
bahasan, serta sebaiknya mengacu pada tesaurus (kumpulan istilah dalam satu bidang tertentu).
Pendahuluan
Kini kita
masuk pada bagian awal, yaitu “pendahuluan.” Bagian ini berisi latar belakang
atau rasionalitas penelitian, diawali dengan uraian permasalahan yang akan
diteliti. Apa itu “masalah” dalam konteks penelitian atau artikel ilmiah.
Ternyata masalah itu merupakan kesenjangan antara kondisi yang ideal atau yang
diharapkan dengan kondisi yang ditemui (peneliti) saat ini. Contoh konteks masalah yang pembahasannya saya
sederhanakan nih; Untuk mencapai era Generasi Emas 2045 Bangsa Indonesia
memerlukan generasi muda yang tangguh baik secara kepribadian, intelektual, dan
sosial; namun (menurut tinjauan peneliti) generasi muda saat ini masih “memble”
dalam hal-hal tadi sehingga jika tidak ada intervensi atau usaha tertentu,
ketercapaian Generasi Emas 2045 bisa ambyar. Apa masalah atau kesenjangannnya? ya, idealnya kita perlu generasi muda yang tangguh, kenyataannya tidak atau belum. Setelah itu apa? nah, penelitian yang kita lakukan menjadi salah satu respon yang bisa dilakukan untuk menyempitkan atau menghilangkan kesenjangan tersebut.
Bagian “Pendahuluan”
yang baik perlu dibuat secara bertanggungjawab, terlebih untuk status-status
ilmiah perlu disertai sumber acuan (data dan referensi) yang jelas. Misal,
masih melanjutkan masalah yang barusan dicontohkan. (Peneliti bilang) generasi
muda sekarang masih memble di bidang itelektual itu apa buktinya? Oh, dia bisa
saja mengambil data tes PISA (Programme for International Student Assessment) terbaru dan dibandingkan dengan negara lain.
Pernyataan-pernyataan yang bersifat umum tidak perlu sumber acuan; misalnya,
tidak perlu referensi untuk menuliskan bahwa generasi muda itu perlu
sopan-santun. Ya, kita perlu jeli memilah mana pernyataan yang perlu referensi
dan mana yang tidak. Kita sebagai peneliti perlu membangun kesadaran bahwa
pembaca tidak akan otomatis setuju dengan pernyataan kita, jika tanpa
pendasaran yang bisa dinalar.
Wawasan
rencana pemecahan masalah merupakan bahasan berikutnya pada bagian “Pendahuluan”
yang lalu dituangkan dalam “Rumusan Tujuan Penelitian.” Contoh: karena ada
masalah kesenjangan kepribadian generasi muda, dari yang idealnya tangguh (guna mencapai Indonesia Emas 2045), tetapi saat ini (dinilai) memble, maka penulis/ peneliti
menggagas sebuah program penggemblengan kepribadian generasi muda melalui
kegiatan outbound. Outbound yang dimaksud akan dianalisis sejauh mana bisa
meningkatkan kepribadian generasi muda; itulah yang disebut dengan tujuan
penelitian. Tentu contoh-contoh tadi pada praktiknya akan diperteknis ya, saya
hanya menjelaskan prinsipnya; misal generasi muda itu usia berapa? Outbound
yang dimaksud itu seperti apa? Cara mengukur efektifitasnya bagaimana? dan
sebagainya.
Oh ya,
sebelum meninggalkan pembahasan bagian “pendahuluan,” kita kepoin sekali lagi
tentang urusan “masalah” sebagai salah satu kunci
keberhasilan suatu tulisan
ilmiah. Dosen saya bilang jika kita bisa merumuskan masalah dengan tepat, maka
sebagian penelitian kita sudah dijalani dengan benar; namun keliru merumuskan
masalah bisa membuat kita tersesat dalam penelitian kita sendiri. Perlu kita perhatikan, “masalah” itu tidak sama dengan judul, namun inti persoalannya perlu tersirat dalam judul tulisan ilmiah. Masalah bisa berupa
pertanyaan atau
pernyataan yang diajukan untuk dicari jawabannya, atau dapat juga berupa hipotesis
yang akan diuji
kebenarannya. "Masalah" tentu bukan barang baru dalam konteks penelitian, karena
duluuu… kemungkinan besar masalah serupa itu juga ada. Maka, tuliskanlah
solusi-solusi yang pernah ada untuk masalah atau kesenjangan yang ditemukan.
Misal terhadap masalah X pernah ada solusi 1, 2, 3, dan 4; Nhah… kini saya
sebagai peneliti akan mencoba solusi 5.
Bagaimana kita tahu pernah ada solusi 1 sampai 4? Ya ditelusuri dong; terutama
lewat jurnal-jurnal setema. Kalau peneliti malas melakukan penelusuran, nggak
mau tahu, ngotot maunya sendiri, bisa-bisa dia akan melakukan penelitian model
3 tanpa tahu bahwa hal itu sudah dilakukan orang lain 3 tahun sebelumnya;
gawat… (kalau ketahuan, he he he…) Cukup ya… kini kita masuk pada bagian yang
lain.
Pake Teori Apa?
Bagian “Landasan
Teoritis/ Empiris” berisi teori maupun konsep utama yang digunakan dalam
penelitian. Studi atau penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian yang
sedang digagas penulis juga sebaiknya masuk dalam bagian ini, termasuk adopsi
dan modifikasi model penelitiannya jika ada. Pada beberapa jurnal, penjelasan
tentang landasan teori dimasukkan dalam bagian pendahuluan atau malah pembahasan.
Pada contoh artikel “Workshop untuk Meningkatkan
Kemampuan Ice Breaking pada Fasilitator Experiential Learning,” landasan teori masuk dalam bagian pendahuluan,
tempat saya menjelaskan setidaknya teori tentang ice breaking, fasilitator, dan
experiential learning.
Metode (Penelitian)
Bagian artikel ilmiah lainnya adalah “Metode” sebagai uraian terperinci tentang prosedur penelitian atau penulisan. Kita harus memaparkan jenis penelitiannya, bentuk-bentuk data yang dioleh beserta sumber pemerolehannya, spesifikasi model, responden, atau subyek penelitian (jika ada), serta bagaimana data-data tersebut akan dianalisis untuk mendapatkan hasil. Hal-hal tersebut perlu diuraikan secara terperinci termasuk jika ada adopsi dan modifikasi metode yang wajib ditulis sumbernya. Sulitkah? Hmmm… jika kita mencoba menuliskan bagian “metode” lebih dahulu sebelum penelitian dilakukan, mungkin akan ada pembaca yang mengalami kesulitan; namun jika bagian ini ditulis atau disempurnakan setelah penelitian (yang valid) usai dilaksanakan, pasti akan lebih mudah mendeskripsikannya. Salah satu kunci ketepatan penggunaan petode adalah rumusan permasalahannya harus jelas. Intinya, jika pertanyaannya sudah jelas, maka cara untuk mencari jawabnya pasti makin benderang.
Apa Metodemu?
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/748371663095031994/
Hasil dan Pembahasan
Kini kita
masuk pada bagian “Hasil dan Pembahasan” yang dari namanya sudah jelas berisi uraian
hasil dan analisis pembahasan penelitian yang merupakan bagian utama artikel ilmiah. Penyajian bagian ini berlu dilakukan secara sistematis
dan biasanya diperjelas dengan ilustrasi: tabel & gambar. Ingat ya, tabel
dan gambar dibuat sederhana tanpa ornamen (estetika) macam-macam supaya tidak
mendistorsi konten. Gambarpun perlu dipilih yang benar-benar relevan dengan
pembahasan. Lebih penting lagi, data ilustrasi harus ditafsirkan dalam uraian
dengan memperhatikan masalah yang dikaji. Pengertian “ditafsirkan” juga bukan
berarti kita membuat imajinasi liar sesuka hati, namun membandingkan hasil
penelitian dengan model atau teori yang diacu. Hal ini akan membawa kita menjawab
masalah penelitian atau menunjukkan bagaimana tujuan penelitian tersebut
dicapai.
Jika
semua serba diatur, di mana letak kreativitas penulis atau peneliti dalam
bagian “hasil dan pembahasan?” jangan khawatir, kita masih bisa berimajinasi
secara ilmiah untuk mengemukakan pendapat dan argumentasi secara bebas, tetapi
singkat dan logis. Kompetensi kita juga diuji untuk menghubungkan hasil
penelitian yang sedang dilakukan dengan penelitian sebelumnya melalui paparan
persamaan dan membahas perbedaannya. Secara lebih luas, bagian ini juga
mendorong kita untuk menjelaskan arti temuan guna memperluas cakrawala ilmu dan
teknologi, misalnya dengan menyusun teori baru atau memodifikasi teori yang
ada.
Kita harus
jeli membedakan mana hasil penelitian dan mana pembahasannya. Ingat, tiap
jurnal mensyaratkan selingkung atau gaya penulisan yang berbeda, namun prinsip
mana hasil penelitian dan mana tafsir/ pembahasan tentu 2 hal yang berbeda;
walau kadang bingung juga mengategorikannya. Saya akan contohkan berdasar kasus
yang sudah disampaikan tentang "Workshop Ice Breaking" ya. Hasil (pengamatan/
pendataan) saya diisi dengan deskripsi lokasi workshop, jumlah, latar belakang,
dan asal peserta. Kronologi, dan durasi tiap mataacara juga dijabarkan sebagai hasil penelitian; termasuk yang
penting adalah apa saja materinya dan profil atau latar belakang narasumbernya.
Karena metode yang digunakan adalah pretest dan posttest, maka hasil
perbandinganan nilai atau skornya merupakan inti dari bagian “hasil,” sehingga
wajib ditampilkan.
Kini kita
menyelami urusan “pembahasan” yang tadi saya sampaikan mewadahi imajinasi
ilmiah sang peneliti. Pembahasan yang saya lakukan pertama-tama meliputi
hal-hal yang sudah disebutkan dalam teori, yaitu ice breaking, fasilitator, dan
experiential learning; yang lalu dikaitkan dengan hasil penelitian. Saya
membahas urgensi penguasaan ice breaking pada fasilitator experiential learning
yang dalam konteks penelitian diukur lebih dahulu skalanya. Proses workshop
juga saya bahas ditinjau kontekstualitas dari sisi kepesertaan, materi,
kepakaran narasumber, lokasi acara, dan yang terpenting adalah perbandingan
skor pretest dan posttes peserta tentang pemahaman ice breaking.
Ternyata….
Kini
tibalah kita pada bagian “Simpulan dan Saran,” yang intinya memuat jawaban atas
pertanyaan penelitian. Jawaban yang dimaksud berupa pernyataan
pendek atau generalisasi dari temuan dan dilakukan secara deskriptif, bukan numerik.
Urusan rumus dan angka-angka biarlah dibahas sedetil mungkin pada bagian sebelumnya.
Karenanya, simpulan bukanlah salinan bagian “pembahasan.” Bagian ini juga memuat
implikasi temuan penelitian, saran yang bersifat praktis, pengembangan teori,
dan arah penelitian lanjutan. Dalam studi kasus penelitian "ice breaking" saya,
simpulannya adalah workshop yang saya teliti terbukti
bisa meningkatkan pemahaman peserta akan ice
breaking. Dari
mana simpulan tersebut diperoleh; ya dari perbandingan skor skor pretest dan
posttest, lah.
Mari kita
berimajinasi, seandainya simpulan penelitian adalah “workshop tidak membuktikan
peningkatan pemahaman peserta terhadap ice breaking” ditandai dengan skor posttest
yang sama atau bahkan lebih rendah dari pretest, apakah hasil penelitian
tersebut bisa ditulis dan masih bisa dikategorokan sebagai artikel ilmiah?
Bisa, selama kaidah atau metodologi yang dilakukan juga sama. Dalam ilmu
meneliti dikenal sebuah dugaan sementara yang sering disebut dengan “hipotesis,”
yang disampaikan sebelum penelitian dilakukan. Beberapa alternatif hipotesis
intinya mencoba mengimajinasikan apakah ada kaitan atau pengaruh antara
variabel satu dengan yang lain. Pada akhir penelitian, barulah bisa dinyatakan
apakah hipotesis atau ramalan kita terbukti atau tidak. Sudah ah… seni meneliti
itu buanyak banget pendekatannya, monggo dipelajari sendiri ya; kini kita akan
masuk pada bagian terakhir, “Daftar Pustaka.”
Daftar Pustaka
Sesuai namanya, “Daftar Pustaka,” maka akan ada beberapa hal yang didaftar di bagian itu. Hal yang dibuatkan daftarnya adalah sumber-sumber pustaka atau karya ilmiah yang dikutip penulis/ peneliti dalam tulisan atau laporan tersebut. Sumber-sumber pustaka bisa berasal dari buku, artikel ilmiah dalam jurnal surat kabar, laporan penelitian, skripsi, thesis, disertasi, dan materi-materi ilmiah sejenis; itupun masih bisa berupa fisik atau tertemukan di internet. Daftar pustaka harus disusun lengkap sesuai rujukan dalam teks, dengan tata cara penulisan mengacu pada aturan jurnal yang bersangkutan. Selain untuk menjelaskan bahwa pernyataan yang dimaksud memang diambil dari sumber tertentu, secara tidak langsung hal itu juga menunjukkan keterkaitan penelitian kita dengan gagasan yang sudah pernah disampaikan orang lain, sekaligus mengapresiasi buah pemikiran mereka. Tulisan ilmiah yang minim daftar pustaka sering diasosiasikan dengan penulisnya yang “masa bodoh” terhadap tema sejenis sehingga derajat penelitian yang digarap bisa jadi juga sekedarnya saja.
Misal nih, sebagai contoh dalam artikel ilmiah sang penulis (berdasarkan pemikiran sendiri) menyatakan bahwa “Outbound adalah kegiatan difasilitasi oleh event organizer dengan tujuan membuat pesertanya bersenang-senang melalui berbagai games yang kadang-kadang terlihat konyol tapi menyenangkan.” Hmmm… karena penulis kurang “gaul,” maka sebenernya “outbound” yang seperti dia maksud itu sudah pernah didefinisikan oleh orang lain, salah satunya oleh Agustinus Susanta dalam buku “Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan,” yang diterbitkan oleh Penerbit Andi di Yogyakarta pada Tahun 2010. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa “Outbound adalah metode pengembangan diri melalui kombinasi rangkaian kegiatan beraspek psikomotorik, kognitif, dan afeksi dalam pendekatan pembelajaran melalui pengalaman.” Melalui perbandingan 2 pengertian “outbound” tadi, apakah peneliti melakukan kesalahan? Tidak juga sih, hanya konyol saja; masa orang menyampaikan pemikirannya sendiri disalahkan? Hanyaaa… dalam konteks kepenulisan ilmiah, disayangkan saja dia “kurang gaul atau kurang kepo” terhadap tema sejenis. Lha wong mau nulis tentang "outbound" kok, males nyari literatur tentang "outbound," wagu..
Kutu Pustaka
Sumber: https://id.pinterest.com/pin/51932201947406403/
Setelah
semua naskah artikel ilmiah tertulis, tibalah kita pada tahap pascapenulisan
yang dimulai dari revisi naskah. Bukan konten atau metode penelitian yang
direvisi ya, tetapi aspek format dan kebahasan meliputi teknik penulisan, tata
bahasa, pilihan dan ukuran huruf, ejaan, tanda baca, penyajian gambar/ tabel, referensi,
dan sebagainya. Tiap jurnal mempunyai selingkung yang beda semisal terkait
jumlah kata dan prosentasenya dalam tiap bagian tulisan; sesuaikanlah draft
tulisan kita dengan menyuntingnya sehingga sesuai ketentuan. Jika sudah
selesai, maka naskah kita siap dikirim; baru dikirim ya; apakah nanti diterima
dan masuk jurnal atau publikasi lain yang kita harapkan, ya itu urusan nanti.
Lazim jika artikel ilmiah yang sudah kita kirim dikembalikan untuk direvisi
sesuai dengan kebijakan jurnal yang bersangkutan. Beberapa teknis memformat
tulisan ilmiah akan saya paparkan dalam blog edisi selanjutnya yang bertema
tentang “tesis.”
Penutup
Usai sudah sekelumit paparan tentang tatacara menulis ilmiah yang saya tulis secara populer. Kini kita kembali pada pertanyaan awal, untuk menutup catatan ini, “Apa perlunya outbound diilmiahkan?” PERLU, jika kita ingin menunjukkan pada khalayak lebih luas bahwa outbound (seperti yang kita lakukan atau pikirkan) bisa memberi dampak tertentu yang secara ilmiah bisa dipertanggungjawabkan melalui kajian atau penelitian yang valid. Saya menulis catatan ini juga dalam upaya menganimasi rekan-rekan sesama fasilitator experiential learning atau outbounder yang pasti punya pengalaman, agar mulai berpikir lalu tergerak serta bertekad (mulai) menuliskan pengalaman pendampingannya secara ilmiah sehingga pendasaran aktivitas (yang diklaim experiential learning) tersebut makin PeDe dilirik sebagai metode yang bertanggungjawab serta makin diperhitungkan sebagai salah satu upaya mengembangkan bangsa Indonesia. Pengalaman boleh saja sederhanya, semisal memandu 1 jenis permainan saja; namun jika hal tersebut bisa dikontekskan dengan gagasan penyelesaian suatu permasalahan, maka tambahkanlah beberapa tindakan ilmiah supaya memenuhi kaidah metodologi penelitian.
Beberapa tahun lalu saya sudah menginisiasi model penulisan pengalaman pendampingan berbasis experiential learning dalam bentuk penulisan populer yang salah satu keseruan prosesnya bisa diikuti di pos ini. Saat sudah jadi Master Pendidikan (selama 1 tahun saja), saya kembali mengajak para outbounder untuk sama-sama berbagi pengalaman dan manfaat program, namun dengan cara (lebih) ilmiah. Dalam postingan berikutnya, saya akan cerita konteks penulisan ilmiah dengan format tesis, sebagai refleksi terhadap perjuangan menyelesaikan tesis di Program RPL S2 UNY. Tunggu tanggal terbitnya ya…
Salam menulis;
Brebes, 14 Maret 2024
Agustinus Susanta, S.T., M.Pd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar