Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Peran Experiential Learning terhadap Pengembangan Pelaku Wisata

Pengantar

Hari Sabtu dan Minggu tanggal 22-23 Oktober 2022 lalu, saya mewakili DPD AELI Jateng (Dewan Pengurus Daerah Asosiasi Experiential learning Jawa Tengah) menghadiri undangan dalam acara  Sarasehan Forum Komunikasi Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Jateng. Perhelatan ke-8 yang mengusung tema “Kelembagaan Pokdarwis yang Profesional dan Berkelanjutan” ini berlangsung di destinasi wisata Pasir Gibug - Desa Penanggapan, Kec. Banjarharjo, Kabupaten Brebes. AELI diundang karena menjadi mitra FK (Forum Komunikasi) Pokdarwis Jateng bersama dengan DPD HPI (Himpunan Pramuwisata) Jawa Tengah, juga DPD ASPPI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) Jawa Tengah. Dalam beberapa acara triwulanan sebelumnya, AELI rutin mengirimkan perwakilannya guna mendukung program kerja FK Pokdarwis Jawa Tengah, yaitu peningkatan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) para anggotanya. Suasana meriah pertemuan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 1.

Gambar 1. Suasana Pembukaan Pertemuan ke-8 FK Pokdarwis Jateng


Dalam pertemuan tersebut saya berjumpa dengan puluhan pelaku pariwisata dari belasan perwakilan kabupaten dan kota di Jawa Tengah, untuk mengobrolkan berbagai dinamika perkembangan dunia pariwisata. Melalui obrolan ringan sampai setengah berat, saya berusaha menyelipkan edukasi dan korelasi serta kemanfaatan antara aktivitas para pegiat wisata (pemandu wisata, pemilik obyek wisata, dan operator tur) dan penerapan ilmu experiential learning. Apa hubungan antara experiential learning dan pariwisata? Jawaban pertanyaan tersebutlah yang akan kita ulik melalui tulisan ini. Sebagai bocoran; dunia pariwisata sampai saat ini lebih mengenal istilah outbound daripada experiential learning. Ada 2 pemaknaan Outbound dalam konteks pariwisata yaitu “perjalanan ke luar negeri” dan “permainan  di luar ruangan.” Outbound sebagai aktivitas kebersamaan suatu kelompoklah yang menjadi jembatan antara pariwisata dan experiential learning. Hal ini akan dibahas dalam tulisan ini

Tulisan ini saya buat untuk menjelaskan beberapa hal, yaitu:

  1. Apa itu Experiential Learning?
  2. Apa bedanya dengan Outbound?
  3. Kiprah AELI dalam kepariwisataan Indonesia
  4. Kompetensi Fasel berdaarkan SKKNI, dan
  5. Urgensi Experiential Learning dalam Kepariwisataan

Secara bersamaan saya membuat catatan ini sebagai bahan Ujian Tengah Semester, mata kuliah “Teori Pengembangan Manusia dan Masyarakat” dalam program S2 Pendidikan Luar Sekolah, di Universitas Negeri Yogyakarta. Sungguh kebetulan tema tulisan yang disyaratkan dalam UTS saya adalah “Upaya Pengembangan Masyarakat dari Perspektif Profesi Masing-masing.” Sebagai seorang fasilitator experiential learning dan juga pemerhati dunai pariwisata, saya berusaha mengorelasikan keduanya sehingga bisa memberdayakan masyarakat, khususnya para pegiat pariwisata. Supaya tulisan ini lebih berdayaguna dengan dibaca banyak pihak, maka saya akan mengunggahnya dalam blog.

Apa itu Experiential Learning?

Secara sederhana, experiential learning bisa diartikan sebagai  “proses mendapatkan pelajaran melalui  pengalaman yang direfleksikan dan dimaknai.” Pelajaran apa yang didapat? Ya, macam-macam, menyesuaikan dengan konteks yang dilakukan sang pelaku. Bisa jadi seseorang memang ingin memelajari sesuatu yang baru sehingga diniatkan untuk mengikuti proses pembelajaran. Bisa juga seseorang yang tidak punya tendensi tertentu, tetapi ternyata malah bisa mengambil nilai belajar dari kegiatan yang diikutinya. Sebaliknya, mungkin juga terjadi seseorang yang niat ingin belajar dengan melakukan sesuatu, tetapi justru belum bisa mendapatkan makna pembelajaran karena metode atau penggondisian yang belum ideal.

“Pengalaman” sebagai media atau sarana seseorang untuk belajar bisa dalam bentuk yang sangat beragam, walau secara umum yang banyak dikenal adalah dengan metode games atau permainan. Betul bahwa suatu permainan yang didesain sedemikian rupa serta dibawakan dan dimaknakan oleh fasilitator yang kompeten bisa menjadi sarana efektif untuk belajar. Namun ketiadaan pengetahuan dalam membawakan suatu permainan/ aktivitas justru bisa menjadi sesuatu yang kontraproduktif, alih-alih belajar, bisa jadi peserta justru merasa menjadi obyek permainan saja. Pendek kata, walau “sekedar” permainan, namun melalui metode yang tepat bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan. Permainan dalam hal ini mewakili aktivitas lain yang bisa dibelajarkan, misalnya petualangan, atraksi, wisata, olahraga, kesenian, dan sebagainya.

Ada berbagai macam teori tentang experiential learning, salah satunya disikluskan oleh Simon Priest dan Mike Gass pada tahun 1992,  untuk menjelaskan hubungan antara pembelajaran dan pendampingan peserta didik dengan jelas. Siklusnya dapat kita lihat pada Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Siklus Experiential Learning menurut Simon Priest dan Mike Gass 

Bagan di atas kita baca mulai dari bagian kiri atas dengan narasi sebagai berikut: Setelah seseorang berpartisipasi atau merasakan suatu kegiatan (ACTION/ TINDAKAN), mereka merenungkan pengalaman mereka untuk memberi penekanan pada pelajaran yang dipetik (REFLECTION/ REFLEKSI). Pembelajaran baru ini diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga/ rumah, tempat kerja, atau sekolah (INTEGRATION/ INTEGRASI).  Mereka lalu memertahankan perubahan supaya tidak terkikis (CONTINUATION/ KEBERLANJUTAN) [1]. Demikian siklus berlanjut ketika yang bersangkutan kembali melakukan suatu kegiatan berikutnya, ada sesuatu yang bisa dipelajari, diintegrasikan dalam kehidupan sambil tetap dipertahankan.

Oleh Priest & Gass, program experiential lalu dibagi dalam 4 jenis didasarkan pada perbedaan intensinya yaitu: Rekreasi, Edukasi, Pengembangan, dan Pengalihan. Dari 9 kategori perbedaan yang dideteksi, 4 di antaranya dijelaskan dalam Tabel 1 berikut ini:

No

Program & aspek yang membedakan

RECREATION

EDUCATION

DEVELOPMENT

REDIRECTION

(Rekreasi)

(Edukasi)

(Pengembangan)

(Pengalihan)

1

Tujuan/ aspek yang dirubah

Feeling/ Perasaan

Thinking/ cara pikir

Behaving/ kebiasaan/ sikap

Resisting/ resistensi/ penolakan

2

Siklus Experiential Learning

ACTION

REFLECTION

INTEGRATION

CONTINUATION

3

Disain & fokus penyampaian program

Enjoyment, fun & play (Kesenangan, hiburan & permainan)

Concepts & Awareness (Konsep & kesadaran)

Functional habits (Kebiasaan fungsional)

Disfunctional conduct (Perilaku resisten/ disfungsional)

4

Perbandingan antara aksi dengan diskusi

·     100% aksi

·     75% aksi :

·     50% aksi : 

·     25% aksi :

·     25% diskusi

·     50% diskusi

·     75% diskusi

Tabel 1. Karakteristik Program Experiential Learning [2].

Kini kita memahami bahwa secara keseluruhan, experiential learning merupakan sebuah siklus perubahan yang dialami oleh pesertanya. Berdasarkan hal yang hendak diubah, experiential learning dibagi dalam 4 jenis sehingga menentukan batasan siklus, disain program, dan komposisi aktivitas dan diskusi/ pemaknaannya. Hal ini merupakan fondasi yang perlu dipahami lebih dahulu sebelum seseorang hendak memerdalam lebih lanjut tentang seluk beluk experiential learning. Pembelajaran lebih lanjut tentang bagaimana experiential learning dijalankan secara efektif bisa dilakukan melalui studi literatur, otodidak, atau saya sarankan dengan mengikuti aneka pelatihan yang diadakan oleh AELI.

Apa itu Outbound?

Seperti sudah disinggung pada awal tulisan, dunia pelatihan dan pariwisata lebih mengenal istilah “outbound” daripada “experiential learning.”Apakah experiential learning sama dengan outbound? Setelah melalui refleksi karsa selama lebih dari 15 tahun, bagi saya experiential learning itu suatu tindakan yang jelas metodologinya, sedangkan outbound masih merupakan istilah populer (walau tidak baku) untuk menyebut suatu kegiatan kebersamaan, khususnya yang dilakukan di luar ruangan. Sebelum saya menjawab pertanyaan “sulit” tadi, ada baiknya jika kita merunut sejarah kemunculan kata “outbound.” Setidaknya ada 3 latar belakang yang mendasari kepopuleran kata “outbound,” di Indonesia, yaitu:

1) Bermula dari kata “Outward Bound”, yang secara kamus bahasa berarti; sebuah kapal layar yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk menuju ke tempat tertentu. Filosofi tersebut dijabarkan dalam sebuah program pelatihan dengan narasi “Saat kapal layar akan meninggalkan pelabuhan, tentu awak buah kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka akan memersiapan perbekalan, peralatan, logistik, serta mental, sebagai bekal dalam pengarungan di laut yang sarat tantangan, mulai dari cuaca, gelombang besar, serta dinamika dalam kelompok/ tim ABK (Anak Buah Kapal) itu sendiri.” Hal tersebut diambil sebagai konsep pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya berubah menjadi lebih positif.

Konsep Outward Bound juga menelaah cara supaya peserta bisa merasakan sendiri pengalaman serta mampu mengambil hikmah atau manfaatnya, sehingga lebih berguna diterapkan pada pekerjaan atau tujuan selanjutnya setelah mengikuti program kegiatan ini [3]. Istilah Outward Bound , berkembang menjadi “merek industri,” internasional yang sudah dipatenkan, dan pada awal tahun 90an masuk ke Indonesia dengan Nama Outward Bound Indonesia (OBI). OBI yang bermarkas di tepian Waduk Jatiluhur Jawa Barat, kerap melakukan berbagai pelatihan melalui media petualangan di darat, perairan, juga tali rendah/ low rope, dan tali tinggi/ high rope. Mayoritas masyarakat sekitar yang agak susah menyebut kata “outward,” lalu menyebut aktivitas (pelatihan) semacam itu dengan istilah otbon, outbond, atu “outbound.”

2)  Pada tahun 2002, terbit buku berjudul “Outbound Management Training” yang ditulis oleh Profesor Djamaludin Ancok, Ph.D. Outbound Management Training (OMT) adalah suatu program pelatihan manajemen di alam terbuka yang mendasarkan pada prinsip “experiential learning” (belajar melalui pengalaman) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi [4]. Berkat terbitnya buku inilah maka pelatihan di alam terbuka lalu kerap disebut dengan “outbound.”

3)  Beberapa pegiat outbound menjelasakan bahwa outbound berasal dari kata out of boundaries atau “keluar dari batasan” karena sifat aktivitasnya yang kebanyakan dilakukan di luar ruangan dan menggunakan media permainan atau petualangan yang di luar kebiasaan. Aneka dinamika menantang tadi biasanya melibatkan unsuf fisik, pengetahuan, dan psikologis/ mental dari sisi peserta. Outbound lalu didefinisikan sebagai metode pengembangan diri melalui kombinasi rangkaian kegiatan beraspek psikomotorik, kognitif, dan afeksi dalam pendekatan pembelajaran melalui pengalaman [5].

 Tiga versi atas kepopuleran istilah “outbound” tadi bisa kita sandingkan dengan pengertian berdasarkan kamus britannica, yang mengartikan outbound sebagai “traveling away from a place : outward bound.” Pengertian ini merupakan kebalikan dari “inbound” yang diartikan sebagai “traveling into a place : inward bound.” Ada beberapa pegiat experiential learning yang belum sepenuhnya “nyaman” dengan istilah outbound karena dinilai sebagai istilah yang masih “liar,” walau dalam praktiknya, kebanyakan masyarakat lebih kurang tahu seperti apa itu bentuk kegiatan “outbound.” Terhadap keresahan tersebut, biarlah itu menjadi urusan para pemerhati istilah saja, yang bahkan mereka sendiri menyebut kegiatan pembelajarannya bukan dengan nama “outbound,” tetapi misalnya “outdoor training.”

Jika experiential learning mempunyai siklus pembelajaran, maka outbound juga mempunyai versi pembelajaran yang serupa, yaitu LACAK, yang bernarasi: L sebagai singkatan dari “Lakukan,” berarti peserta melakukan lebih dahulu sesuatu permainan/ dinamika. A sebagai singkatan “Abrakadabra,” berarti setelah melakukan pasti peserta mendapat hasil tertentu. C sebagai singkatan “Ceritakan,” berarti peserta menceritakan atau menyampaikan hasil dinamika yang dialaminya. A (kedua) sebagai singkatan “Ambil,” berarti proses peserta mengambil nilai-nilai atau manfaat dari proses yang sudah dijalaninya. K sebagai singkatan “Kembalikan,” berarti setelah mengambil manfaat, peserta dimotivasi supaya hal tersebut dapat dikembalikan pada dirinya untuk dimanfaatkan dalam keseharian. [6] Siklus LACAK bisa dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Siklus LACAK dalam Outbound

Outbound lekat dengan dunia kepariwisataan karena aktivitasnya kebanyakan dilakukan di sekitar tempat rekreasi/wisata. Seandainya bukan di lokasi wisata, para peserta outbound juga sering memilih tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk melakukan dinamikanya, sehingga mereka malah bisa sekalian melakukan rekreasi di sana. Hal ini membuat tempat-tempat wisata yang menyediakan fasilitas outbound makin ramai dikunjungi. Namun dibalik kesemarakan tersebut, terdapat sisi lain yang perlu diwaspadai, yaitu faktor keamanan dan resiko dalam berkegiatan di luar ruangan.

Pada tahun 2000an, kegiatan berbasis permainan, petualangan, atau aktivitas luar ruang lainnya, entah dalam konteks rekreasi maupun pelatihan tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Para perusahaan/ provider penyedia layanan experiential learning yang besar, sedang, maupun sekedar perorangan instruktur outbound sudah bisa mengklaim diri mampu melaksanakan program pembelajaran. Aneka paket pelatihan berbasis petualangan mulai dari yang dibanderol harga jutaan sampai puluhan ribu rupiah untuk setiap pesertanya tidak mempunyai patokan jelas. Peralatan yang digunakan pun beragam, mulai dari yang berstandar internasional sampai yang buatan/ modifikasi sendiri juga banyak tergunakan.

Kepopuleran kegiatan berbasis experiential learning atau outbound akhirnya membawa akibat negatif, salah satunya dengan terjadinya kecelakaan; mulai dari yang cedera ringan, sampai meninggal dunia. Hal tersebut ditengarai karena kebanyakan penyedia layanan outbound menganggap aktivitas tersebut mudah dilakukan dan cepat menghasilkan keuntungan finansial, sehingga aspek keselamatan peserta maupun instruktur kurang terperhatikan. Minimnya pengetahuan dalam proses fasilitasi, baik terkait teknis menggunakan peralatan maupun kemampuan menilai resiko kegiatan juga menyumbang peran akan terjadinya beberapa insiden dalam dunia outbound.

Selain insiden yang merugikan secara fisiologis, para fasilitator yang membawakan kegiatan tanpa bekal metodologi atau teknik memfasilitasi juga membuat kualitas pembelajaran kurang bisa dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh sederhana kekacauan program misalnya ketika ada suatu perusahaan menginginkan perubahan cara berpikir (edukasi) bagi karyawan yang diikutkan outbound, namun oleh fasilitator justru diajak berdinamika yang tujuannya merubah suasana hati saja (rekreasi). Walau mungkin sepanjang outbound suasananya penuh dengan kegembiraan dan keceriaan, namun target pembelajaran untuk mempelajari hal-hal atau konsep baru malah luput.

Sampai pertengahan tahun 2000an, tidak ada wadah komunikasi formal yang cukup representatif sebagai sarana komunikasi para fasilitator atau pemandu outbound. Fenomena makin merosotnya kualitas pembelajaran berbasis experiential learning (yang berbanding terbalik dengan kuantitasnya) terbiarkan begitu saja, sampai pada akhirnya beberapa orang pegiat experiential learning berinisiatif membuat wadah bagi para pegiat outbound. 

Mengenal AELI                                                              

Pada tanggal 24 Januari 2007, 7 tokoh dari lembaga penyelenggara outdoor training, sepakat untuk membentuk asosiasi dengan nama “Asosiasi Experiential Learning Indonesia” (AELI). Penggunaan nama experiential learning disepakati, setelah melalui diskusi panjang yang cukup alot, sebab ada pula gagasan agar menggunakan nama “outbound”. Namun akhirnya nama Experiential learning dipilih, karena semua lembaga penyelenggara outdoor training sebenarnya menerapkan metodologi pembelajaran ini. Dengan memilih nama experiential learning, anggota asosiasi menjadi tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggara outdoor training, melainkan juga para lembaga pendidikan formal (sekolah, perguruan tinggi), para pengajar (guru, dosen), maupun lembaga-lembaga pendidikan non formal di luar outdoor training. Asosiasi ini bahkan juga terbuka bagi siapa saja yang berminat terhadap metode pembelajaran berbasis pengalaman.

Setelah secara administratif didaftarkan ke notaries pada 24 April 2007 (Akte Pendirian No 7 tgl 24 April 2007, Notaris Haryanti Susanti Tanubrata, SH, MKn. Jakarta Selatan), kemudian pada tanggal 9 Juni 2007 dikuatkanlah deklarasi pembentukan AELI di Tanah Tingal, Jombang, Ciputat, Tengerang Selatan, Banten. Deklarasi ini dilakukan bersamaan dengan penyelenggaraan Festival Outbound Nasional I (FON I) [7].

AELI didirikan dengan visi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misi AELI adalah:

  1. Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
  2. Meningkatkan kualitas  pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
  3. Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia  [8].

Saat ini AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi, dengan jenis keanggotaan bisa secara perorangan, atau kelembagaan.

Secara rutin AELI digandeng oleh pihak LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk menyelenggarakan kegiatan Uji Kompetensi Fasel. Kerjasama asosiasi dengan jajaran pemerintah, baik provinsi maupun kota/ kabupaten juga sering dilakukan, terutama sebagai mitra narasumber atau tenaga ahli kegiatan pelatihan yang diadakan pemerintah daerah. Salah satu kerjasama terbaru adalah pelaksanaan “Pelatihan Pemandu Outbound/ Fasilitator Experiential learning berbasis SKKNI” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Salatiga, Jawa Tengah pada tanggal 11-13 Oktober 2022 lalu. Dalam pelatihan yang diikuti oleh 40 orang tersebut, beberapa pemateri AELI menjadi narasumber pembelajaran bagi 40 orang peserta yang hadir. Pelatihan diberikan dengan gabungan metode kelas, simulasi, refleksi, dan praktik di lapangan. Saya berkesempatan tersebut, saya diberi kepercayaan oleh DPD Jateng menjadi salah satu narasumber pelatihan, seperti terlihat dalam Gambar 4.

Gambar 4. Suasana Pelatihan Pemandu Outbound di Kota Salatiga

Munas/ Musyawarah Nasional ke-6 pada tanggal 7-9 Juni 2022 di Magelang, menghasilkan amanah suci, yakni menjadi mitra terbaik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam pengembangan destinasi berbasis experiential tourism dengan inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders untuk bergerak bersama yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai kegiatan pariwisata yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu amanah Munas juga menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi mitra terbaik program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang dikuasai semua anggotanya [9].

Anggota AELI baik lembaga maupun perorangan senantiasa mengembangkan diri melalui proses belajar bersama. Pendalaman berbagai materi dan kompetensi pendukung sebagai seorang fasilitator terus dilakukan, termasuk pemahaman tentang game atau permainan yang menjadi bagian penting kegiatan experiential learning. Baru-baru ini pada tanggal 18 Oktober 2022, AELI juga mengadakan Kegiatan “Bedah Game Outbound dengan Metode Experiential learning” yang diadakan di Muncul River Tubing, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Kegiatan diikuti 70 peserta, termasuk 7 orang perwakilan dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Hal ini menunjukkan bahwa metode experiential learning juga mulai disambut dengan positif di kalangan pendidikan tinggi.

Contoh terakhir kiprah AELI seperti sudah disebut pada awal artikel ini adalah menjadi mitra bagi berbagai stakeholder penyelenggara kepariwisataan; khususnya dalam melakukan edukasi terkait penggunaan metode experiential learning dalam penyusunan program/ paket wisata. Pada kurun waktu Juni – Nopember 2020 saya sebagai perwakilan dari DPP AELI terlibat menjadi  Tim Penyusun Pola Perjalanan Wisata National Park Discovery yang digagas Kementerian Ekonomi Ekonomi Kreatif. Pola perjalanan wisata adalah karakteristik perjalanan yang dilakukan dari dan ke destinasi pariwisata, termasuk pengalaman berwisata yang didapat selama perjalanan. Pola perjalanan merupakan kombinasi tujuan yang wisatawan pilih untuk dikunjungi, urutan yang mereka pilih untuk dikunjungi, dan mengapa mereka membuat keputusan ini [10]. 3 Taman nasional yang kami telaah untuk dibuat pola perjalanan wisatanya adalah Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan Taman Nasional Gunung Leuser. Salah satu aktivitas dalam penyusunan buku tersebut bisa dilihat pada Gambar 5 yang menunjukkan saya sdang melakukan observasi di Stasiun Penelitian Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.

Gambar 5. Penulis saat Penyusunan Pola Perjalanan Wisata di Taman Nasional Gunung Leuser

Kiprah AELI di dunia pariwisata Indonesia, baik secara kelembagaan maupun perorangan akan terus dikembangkan. Namun sampai saat ini, pengakuan formal dari negara terhadap kemampuan seseorang dalam memfasilitasi kegiatan berbasis experiential learning masih dinyatakan dengan sertifikat kompetensi Fasel/ pemandu outbound. Uji kompetensi yang dilakukan oleh beberapa LSP Kepariwisataan menunjukkan bahwa kompetensi memfasilitasi aneka kegiatan wisata melalui pendekatan experiential learning memang mempunyai momentum tepat.

Kompetensi Fasilitator Experiential Learning

Istilah “Fasel” menjadi sebutan baku yang mengacu pada seseorang yang berperan memfasilitasi kegiatan experiential learning. Hal ini tertuang dalam  SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan outbound/ fasilitator experiential learning yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI pada tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang harus dimiliki seorang Fasel sesuai SKKNI adalah:

  1. Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi, 
  2. Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
  3. Mengatur Sumber Daya Untuk Program, 
  4. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
  5. Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,  
  6. Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope), 
  7. Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope), 
  8. Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan 
  9. Menolong Korban [11].

Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan berbasis experiential learning, ditandai dengan kegiatan uji kompetensi profesi Fasel. Kegiatan sertifikasi profesi ini dilangsungkan secara rutin 2 sampai 4 kali per tahun yang dilaksanakan oleh beberapa LSP/ Lembaga Sertifikasi Profesi dalam format kerjasama dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Dalam kegiatan uji kompetensi, pihak penguji atau dikenal dengan nama asesor akan memberi umpan balik terhadap proses pembuktian peserta, lalu memberi keputusan apakah peserta direkomendasikan “Kompeten” atau “Belum Kompeten” terhadap unit kompetensi yang disyaratkan.

Terdapat 3 tingkatan sertifikasi fasel, yaitu: Muda, Madya, dan Utama. Fasel tingkat muda diarahkan “hanya” untuk memandu program rekreasi saja. Fasel tingkat madya sudah bisa memandu program rekreasi dan edukasi, sedangkan fasel tingkat utama selain bisa memandu semua program, tetapi juga boleh merencanakan programnya sekaligus.  

Saya tidak akan menjelaskan 9 unit kompetensi tadi dengan harapan dikuasai oleh para pegiat wisata, terutama para pramuwisata. Lha wong teman-teman fasilitator yang sudah bertahun-tahun menyelami dunia outbound saja tidak semuanya bisa otomatis membuktikan kemampuannya pada 9 unit kompetensi tadi, apalagi bagi mereka yang baru mengenalnya. Harapan saya melalui tulisan ini adalah para pegiat wisata mulai mengenal bahwa ada ilmu-ilmu tertentu dalam memfasilitasi kegiatan yang lekat dengan dunia pariwisata. Bahwa kemudian para pembaca tertarik untuk mulai mempelajari, memerdalam, lalu mempraktikkannya, itu tentu hal yang saya harapkan juga.

Masih ingat akan tahap pertama siklus experiential learning, yaitu Action? Saat target suatu aktivitas adalah “rekreasi” dalam arti hanya untuk merubah suasana hati, bukankah hal tersebut sama dengan wisatawan yang melakukan wisata/ rekreasi untuk mencari kesenangan hati? Nah, ketika para pegiat wisata juga mempunyai pengetahuan dalam membuat aktivitas rekreasi yang efektif, bukankan itu menjadi hal yang patut dikembangkan terus?

Urgensi Experiential Learning dalam Pariwisata

Bab terakhir yang akan saya sampaikan melalui tulisan ini adalah urgensi experiential learning dalam dunia pariwisata. Pertanyaan “Mengapa para pelaku pariwisata perlu mengenal dan memelajari experiential learning?” akan saya spesifikkan melalui pengorelasian dengan kompetensi Fasel versi SKKNI, sehingga mempunyai dasar keilmuan yang jelas. Sebagai ilustrasi, Gambar 6 memerlihatkan dinamika siswa sekolah yang sedang outbound menggunakan media petualangan meniti bambu di atas kolam. Saya merancang kegiatan yang dilaksanakan di suatu lokasi wisata tersebut dalam konteks pelatihan pengembangan diri, namun ternyata bagi para peserta, permainan tersebut juga dirasakan sebagai sebuah rekreasi. Saya merancang tantangan sedemikian rupa tentu saja melalui pendekatan teori experiential learning yang salah satunya mencakup “analisis resiko”

Gambar 6. Dinamika Outbound Meniti Jembatan Bambu Sejajar

Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta "pari"  yang berarti “berkali-kali” dan "wisata" yang berarti “bepergian”. Secara harfiah, pariwisata berarti "perjalanan yang dilakukan berkali-kali ke suatu tempat [12]. Mengutip Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka yang dimaksud dengan wisata adalah: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah [13]. Seseorang berwisata biasanya karena di suatu tempat mempunyai Daya Tarik Wisata, yang dalam undang-undang tersebut dijelaskan sebagai  segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Salah satu tujuan wisatawan adalah melakukan “rekreasi” yang dalam khazanah experiential learning diartikan sebagai proses mengubah perasaan, misalnya dari tegang menjadi tenang, atau dari bosan menjadi ceria, bahagia, dan sebagainya. Bagaimana seseorang bisa memfasilitasi kegiatan “rekreasi” tersebut bisa diperdalam dengan pengayaan 2 unit kompetensi dalam SKKNI, yaitu “Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi” dan “Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi.”

“Pengembangan pribadi” dan “mempelajari keunikan daya tarik wisata” juga menjadi salah dua tujuan orang berwisata berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 tentang Keariwisataan. Tujuan ini masuk dalam tipe kedua dan ketiga jenis experiential learning versi Simon Priest; yaitu edukasi dan pengembangan.  Jika hanya “sekedar” untuk mengetahui adanya keunikan daya tarik wisata, seseorang tidak harus melakukan perjalanan wisata Dia hanya perlu misalnya dengan mencari informasi melalui buku, internet, atau bertanya pada beberapa kerabat. Maka ketika seseorang memutuskan melakukan perjalanan wisata untuk mendapatkan hal ini, para pemangku kepentingan dalam dunia pariwisata perlu mengondisikannya. Para pemandu wisata perlu menciptakan iklim pembelajaran yang kontekstual sehingga memberi kesan pada wisatawan dengan melakukan peng-alam-an terhadap keunikan tersebut. Keilmuan, teori, metode maupun tips membawakan suatu aktivitas yang berujung pada tujuan pengembangan diri atau mempelajari keunikan ini dalam ilmu experiential learning bisa dipelajari dalam 2 unit kompetensi, yaitu “Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran” dan “Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran. Sebagai catatan, SKKNI demikian detil mengatur, sampai-sampai untuk urusan yang sama, diperlukan 2 kemampuan yang berbeda, yaitu kompetensi merencanakan dan kompetensi melaksanakan.

Para praktisi yang bergelut dalam kepariwisataan tentu sudah terbiasa untuk menyusun program perjalanan wisata bagi para wisatawan. Banyak hal yang harus disinkronkan, misal: siapa yang akan berwisata, berapa orang jumlahnya, apa saja latar belakangnya, ke mana saja tujuan wisatanya, apa saja yang akan dilakukan di sana, berapa lama durasi waktunya, dan sebagainya. Dalam konteks pembelajaran berbasis experiential learning, hal-hal semacam ini dipelajari dalam unit kompetensi “Mengatur Sumber Daya Untuk Program.” Pengaturan yang seksama dengan memertimbangkan semua hal terkait akan membuat rencana program lebih tertata guna mendukung ketercapaian tujuan yang lebih besar.

Ada kalanya para pemandu wisata menemani wisatawan, atau bahkan memfasilitasi sendiri berbagai aktivitas permainan, games, atau petualangan dalam rangkaian kegiatan wisata. Setiap aktivitas tadi tentu mempunyai resiko, mulai dari yang kecil sampai besar. Dalam SKKNI, ada 2 unit kompetensi yang bisa memberi arahan tentang kepemanduan games, yakni “Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),” dan Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope). Kemampuan melakukan penilaian resiko terhadap aktivitas tertentu merupakan salah satu kemampuan yang sebaiknya dikuasai para pemandu wisata. Akan lebih baik lagi jika sebelum program wisata dieksekusi, para fasilitatornya sudah mempunyai manajemen resiko sebagai upaya menghilangkan atau meminimalisir resiko yang mungkin terjadi. Hal-hal terkait keselamatan wisatawan tadi dapat kita pelajari dalam unit kompetensi  “Menganalisis Resiko dalam Kegiatan” versi SKKNI Fasel. Seandainya pun terjadi kecelakaan dalam berwisata, maka kemampuan menolong korban juga sudah disiapkan dalam materi unit kompetensi “Menolong Korban.

Selain urgensi para pelaku wisata dalam memahami keilmuan versi SKKNI fasilitator experiential learning, tentu masih ada hal-hal praktis lainnya yang bisa digunakan dalam memfsilitasi kegiatan wisata. Kemampuan membawakan ice breaking adalah contoh nyata yang bisa membedakan para pemandu wisata amatir dan profesional. Ada kalanya dalam perjalanan yang panjang atau saat menunggu atraksi wisata tertentu, para wisatawan terserang rasa jenuh atau bosan. Pemandu wisata yang tanggap bisa mengantisipasi hal tersebut dengan membawakan ice breaking atau energizer, yang secara luas dikenal sebagai aktivitas sederhanya yang digunakan untuk mencairkan kebekuan suasana. Kemampuan membawakan ice breaking merupakan hal yang umum dikuasai oleh para Fasel, dan tentu saja punya metodologi tertentu supaya bisa efektif digunakan, baik pada peserta pelatihan maupun rombongan wisatawan sekalipun. AELI menjadi mitra dunia pariwisata dalam mengembangkan potensi para pelakunya. Salah satu kegiatan pengayaan yang juga banyak diikuti para pemandu wisata adalah “Workshop Asyik” yang diselenggarakan AELI DPD Jateng bertema “The Art of Ice Breaking” seperti terlihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Suasana  Workshop “The Art of Ice Breaking” yang diadakan oleh AELI.

Memang pertama-tama para pelaksana kepemanduan wisata dituntut untuk menguasai kompetensi kepemanduan wisata berdasarkan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata. Pembuktian akan hal tersebut juga dituangkan dalam suatu sertifikat kompetensi yang dikeluarkan BNSP. Namun berdasarkan uraian saya di atas, ternyata kompetensi yang disyaratkan bagi pemandu outbound/ Fasel ternyata bisa mendukung dan memerkaya para pelaku wisata dalam melaksanakan tugas profesinya.

Penutup

Kita sudah mendapat pengantar tentang experiential learning yang secara prinsip adalah pendekatan belajar melalui pemaknaan suatu pengalaman. Metode experiential learning berkelindan dengan istilah “outbound” yang punya popularitas tinggi dalam dunia pelatihan berbasis permainan/ petualangan. Kegiatan “outbound” di Indonesia juga punya kaitan erat dengan dunia pariwisata karena keduanya saling memberi pengaruh. Selain menyemarakkan banyak tempat wisata, kegiatan outbound juga mengandung resiko dalam aspek keselamatan peserta maupun fasilitatornya. AELI sebagai wadah para penggiat experiential learning dan pemandu outbound hadir sebagai sarana edukasi akan penggunaan metode experiential learning secara tepat. 9 unit kompetensi kepemanduan dalam SKKNI bisa menjadi salah satu acuan bagi para pemandu wisata untuk mengembangkan diri.  Banyak manfaat teoritis maupun praktis yang akan mengembangkan kualitas para pemandu wisata dalam menghadapi perkembangan dunia pariwisata yang makin dinamis.

Demikian tulisan ini saya sudahi dengan harapan bisa memberi gambaran akan kontektualitas experiential learning dengan kepariwisataan yang pada akhirnya mendorong para pelaku wisata mulai memelajari experiential learning.

 

Brebes, 31 Oktober 2022

Agustinus Susanta,

Mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Luar Sekolah Fak. Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2022; Anggota AELI DPD Jateng; Fasel Tingkat Utama, Mantan Ketua DPD AELI Sumsel, Penulis beberapa buku tentang outbound, dan pernah menjadi Asesor Kompetensi BNSP. Bisa di-WA melalui 0812 2680 2639.

 

Daftar Referensi


[1]   S. Priest & M. Gass, (1992), "The Experiential Learning Cycle," [Online] Tersedia: http://simonpriest.altervista.org/OE.html#AEP [diakses 29 Oktober 2022]

[2]   S. Priest & M. Gass, (1992), "The Four Purpose of Adventure Programs," [Online] Tersedia: http://simonpriest.altervista.org/OE.html#AEP [diakses 29 Oktober 2022]

[3]  Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.

[4]    D. Ancok, (2001), “Outbound Manajemen Training,” 2002, Yogyakarta, UII Press, hal. 41.

[5]   A. Susanta, "Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 18.

[6]    A. Susanta, "Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 20.

[7]    AELI, "Sejarah dan Perkembangan" [Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/sejarah-aeli/ [diakses 29 Oktober 2022]

[8]   AELI, "Visi dan Misi" [Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/ [diakses 29 Oktober 2022]

[9]    G. Boby, (2022, 10 Juni ),"AELI Siap Jadi Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/ [diakses 29 Oktober 2022]

[10]  Direktorat Wisata Alam dan Budaya, Kemenparekraf RI,“Pedoman Pola Perjalanan Wisata,” 2020.

[11]  Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.

[12Wikipedia, (2022, 2 Oktober), "Pariwisata” Wikipedia [Online], Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata  [diakses 29 Oktober 2022].

[13]    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan



Share: