Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Bagaimana sih Uji Kompetensi itu?

Saat sedang memandu sebuah games dalam suasana outbound nan meriah; tiba-tiba salah seorang peserta yang sedang beraktivitas penuh aksi, jatuh karena terserimpet kakinya sendiri, lalu tergoleklah dia di tanah seperti taksadarkan diri, di area permainan yang terik siang itu. Sontak belasan peserta lain kaget lalu langsung mengerumuni si peserta malang tadi.

Sebagai seorang Fasel (Fasilitator Experiential Learning/ fasilitator outbound; selanjutnya kita singkat dengan Fasel saja ya) yang sedang memandu dinamika tersebut, apa yang harus kamu lakukan? Itulah sekelumit skenario yang diciptakan dalam salah satu segmen uji kompetensi Fasel. Apa yang dilakukan oleh sang Fasel (yang sedang mengikuti uji kompetensi); menggambarkan kemampuannya yang lalu dibandingkan dengan standar kompetensi nasional seorang Fasel. Jika yang dilakukannya sesuai dengan ketentuan, maka untuk bidang/ unit kompetensi tersebut, dia dinyatakan menguasai, alias “kompeten.”

“Pembuktian” lalu dilanjut dengan unit kompetensi yang lain sesuai dengan skema yang diambilnya. Pada akhir proses hanya dua hasil yang akan keluar, dia direkomendasikan KOMPETEN, atau BELUM KOMPETEN.

Ya, inilah tulisan yang sudah terhutang sejak tahun 2015 lalu, melengkapi catatan tentang Uji Kompetensi atau dikenal dengan istilah Sertifikasi untuk bidang Fasel. Catatan pertama tentang persiapan uji kompetensi dapat disimak di sini
Lantas catatan tentang apakah kita (memang) perlu ikut sertifikasi, sebagaimana tersua di sini

Membaca tulisan ini, mestinya tak lepas dari lanjutan 2 tulisan tadi, yang saat itu saya tulis berdasar pengalaman sebagai seorang asesi/ peserta uji kompetensi (dan puji Tuhan dinyatakan KOMPETEN di tingkat FASILITATOR UTAMA).  Kini kita akan fokus membahas tentang bagaimana proses sertifikasi itu sendiri berlangsung. Kebetulan tahun 2018 ini saya sudah dipercaya negara menjadi seorang Asesor Kompetensi, maka ya diPeDe-PeDein saja lah membuat catatan ini. Tulisan ini dimaksud untuk memahamkan pembaca, yang mungkin juga calon asesi/ peserta uji kompetensi tentang apa sih prinsip uji kompetensi tersebut? Harapannya, ketika nanti terlibat di dalamnya, tahu betul apa proses yang sedang dijalaninya tersebut (dengan tabah, ya, he he he…)

Jadi dalam tulisan ini, jangan harap saya akan membocorkan “soal-soal” uji kompetensi seorang Fasel. Ada 3 alasan yang mendasarinya. Pertama; Kode Etik Asesor mengatur bahwa proses uji kompetensi antara seorang asesor dengan peserta itu bersifat rahasia, termasuk tentu saja materi-materi “ujian” di dalamnya. Kedua; sebenarnya kisi-kisi soal otomatis sudah terbocorkan secara nasional di SKKNI Kepemanduan Outbound yang bisa dengan mudah diakses melalui internet, misalnya lewat bocoran ini . Lebih detil lagi, misalnya dikaitkan dengan kasus di awal tulisan ini, maka sebenarnya “Jawaban soal tadi” sudah bocor, yaitu salah tiga (dari 7 hal) yang distandarkan adalah:
  • Kondisi korban diidentifikasi secara teliti.
  • Pengelolaan pertolongan pertama diberikan sesuai dengan prinsip dan prosedur pertolongan pertama yang berlaku di organisasi atau standar protokol pemberian pertolongan pertama yang berlaku Nasional.
  • Korban diperlakukan dengan hati-hati dan penuh perhatian sehingga membuatnya nyaman dengan menggunakan peralatan yang ada.

Kriteria unjuk kerja seperti tertulis di atas, sudah terpapar jelas di naskah SKKNI Fasel, lho.
Alasan ketiga sebenarnya juga untuk meluruskan pemahaman (yang mungkin keliru) tentang proses “Uji Kompetansi” yang disamakan dengan ujian seperti halnya anak sekolah ujian guna menentukan kelulusan. Ya, dua hal tadi serupa tetapi tidak sama. Uji Kompetensi bukanlah “ujian,” tetapi proses peserta memerlihatkan bukti bahwa dia kompeten di suatu bidang. Dalam contoh ini, apakah dalam hal pertolongan pertama, fasilitator bisa mengidentifikasi korban secara teliti, lalu dia bisa memberi pertolongan pertama sesuai dengan prinsip dan prosedur pertolongan pertama yang berlaku di organisasi atau standar protokol pemberian pertolongan pertama yang berlaku Nasional. Lalu, apakah fasilitator bisa memerlakukan korban dengan hati-hati dan penuh perhatian sehingga membuatnya nyaman dengan menggunakan peralatan yang ada. Dan seterusnya….

Yuk perhatikan, rangkaian tindakan tadi jelas-jelas sudah “dibocorkan” di SKKNI. Saat Uji Kompetensi, namanya saja yang mengandung kata “uji,” walau hakekatnya adalah peserta membuktikan bahwa yang bersangkutan bisa berlaku seperti termaktub dalam SKKNI tadi. Artinya, “soal” bisa dengan mudah dikira-kira sendiri (tanpa harus minta bocoran asesor, he he he…) lha wong “jawabannya” sudah bocor dimana-mana, kok.
Yach… mudah-mudahan penjelasan tadi memang bikin jelas akan konteks sertifikasi ini. Jika belum jelas juga maka mari segera kita nikmati tulisan saya ini tentang apa yang sebenarnya terjadi saat uji kompetensi. Kita mulai dengan skema tahapan asesmen ya.
Alur Uji Kompetensi
Penjelasan pentahapan Uji Kompetensi/ Sertifikasi tadi adalah sebagai berikut:


Pendaftaran

Tahap pendaftaran meliputi aktivitas sejak pemohon mengajukan berkas pendaftaran, verifikasi berkas, sampai diterima sebagai peserta sertifikasi. Calon peserta menyerahkan berkas permohonan yang dilengkapi syarat-syarat pada LSP. LSP lalu melakukan verifikasi apakah pendaftar memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai peserta  sertifikasi.
Dalam tahap pendaftaran di LSP ini, peserta masih bertemu dengan pihak LSP, belum dengan penguji/ asesor. Hal yang menarik dalam tahap ini adalah adanya proses asesmen mandiri, yaitu proses saat sang peserta menyatakan bahwa dirinya “kompeten” dalam bidang yang dimohonkan. Logikanya begini, jika peserta tidak menyatakan dirinya kompeten, untuk apa dia minta sertifikat kompetensi Uji Kompetensi ? hayo, untuk apa coba? Dia sendiri menyatakan dirinya “tidak kompeten,” kok malah minta diuji untuk menentukan apakah dirinya “kompeten.” Lha wong, peserta yang sudah menyatakan diri “kompeten” saja nanti masih akan “diuji” kok.
Peserta yang memenuhi syarat diarahkan untuk mengikuti tahap selanjutnya yang dirangkum dengan istilah “Asesmen.”

Asesmen

Jika kita memerhatikan diagram, maka yang disebut proses asesmen dimulai dengan konsultasi praasesmen, sampai akhirnya pemberian rekomendasi/ hasil sertifikasi. Berikut ini penjelasan singkatnya.

Konsultasi Praasesmen

Tujuan Konsultasi Praasesmen adalah memberi gambaran pada peserta akan proses asesmen/ uji kompetensi; hal tersebut disampaikan oleh asesor langsung pada peserta. Asesor akan mencek apakah bukti-bukti yang sudah diserahkan peserta itu Valid, Asli, Terkini, dan Memadahi. Dinyatakan valid jika memang sesuai syarat yang ditentukan, disebut asli jika memang milik peserta yang bersangkutan; dimaksud terkini jika memenuhi syarat kebaruan atau berusia maksimal 5 tahun sebelum waktu pendaftaran; dan dinyatakan memadahi jika asesor menyatakan bahwa semua syarat/ bukti tadi cukup untuk membuktikan bahwa dirinya “menyatakan diri” kompeten. Dokumen asesmen mandiri yang sudah diisi oleh peserta juga diperiksa oleh asesor untuk diberi rekomendasi untuk lanjut ke tahap uji kompetensi
Saat tahap konsultasi ini, asesor juga menjelaskan gambaran umum tentang proses asesmen, meliputi aspek acuan kompetensi, legal, metode, perlengkapan, dokumen-dokumen pendukung, dan hal-hal lain terkait pelaksanaan asesmen. Dalam penutup tahap ini, kedua belah pihak menyepakati waktu dan tempat asesmen.

Asesmen Portofolio

Secara prosedural, dan ini biasanya untuk kasus luar biasa, ketika portofolio peserta sangat memadahi dan begitu meyakinkan asesor, maka peserta bisa langsung dinyatakan kompeten (sehingga tidak perlu uji kompetensi lagi). Maksudnya berdasarkan bukti-bukti yang disodorkan, Asesor meyakini bahwa peserta memang kompeten, sehingga bisa langsung dinyatakan “KOMPETEN” Namun hal yang biasanya terjadi, bukti-bukti termasuk portofolio belum dikategorikan “memadahi” sehingga proses pembuktian perlu dilanjutkan melalui “uji kompetensi,” alias pembuktian langsung.

Uji Kompetensi

Tahap uji kompetensi atau sering dikenal dengan asesmen merupakan proses ketika peserta diminta membuktikan bahwa dirinya kompeten; ya memang dalam bahasa umum sih, dia diuji gitu. Selalu ada acuan atau perbandingan kompetensi yang digunakan dalam proses ini, dan itu sudah disampaikan oleh asesor pada peserta saat tahap konsultasi praasesmen. Maksud acuan adalah adalah serangkaian pernyataan kompetensi yang digunakan untuk diterakan pada peserta. Terdapat 3 pilihan acuan pembanding, yaitu:
  1. Standar kompetensi khusus, yaitu standar yang dibuat, ditetapkan dan digunakan secara khusus oleh dan untuk organisasi tertentu,
  2. Standar kompetensi internasional, yaitu standar yang dengan sengaja diadopsi dari standar internasional,
  3. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI), yaitu standar kerja yang dibuat dan diusulkan oleh sektor industri tertentu, mengenai kompetensi kerja pada keahlian tertentu yang ditetapkan dan disahkan untuk diberlakukan secara Nasional.

Dalam profesi Fasel, patokan yang digunakan dalam asesmen adalah SKKNI. Apa saja isinya, sudah disinggung di atas khan
Pelaksanaan uji kompetensi atau pembuktian bisa menggunakan berbagai metode, disesuaikan dengan dimensi kompetensinya. Metode yang biasa digunakan adalah tes tertulis, tes lisan, dan demonstrasi atau praktik.

Rekomendasi

Setelah tahap Uji Kompetensi, tahap berikutnya adalah umpan balik dan rekomendasi. Dalam tahap ini Asesor akan memberi umpan balik terhadap proses pembuktian peserta, lalu memberi keputusan apakah peserta direkomendasikan KOMPETEN atau BELUM KOMPETEN. Ya, hanya dua itu hasilnya, bukan berupa skor atau prosentase tertentu. Yang dimaksud prosentase misalnya peserta hanya menguasai 80% kompetensi yang disyaratkan; bukan. Maka, seorang Fasel harus dinyatakan “kompeten” dalam setiap unit kompetensi. Ada satu saja hasil “belum kompeten” di suatu unit kompetensi; misalnya tentang pertolongan pertama, maka hasil akhirnya tetaplah “Belum Kompeten.”
Ketika rekomendasinya adalah “kompeten” maka artinya, asesor melalui LSP, merekomendasikan pada BNSP untuk bisa memberikan sertifikat kompetensi pada peserta.

Setelah kita tahu tahapan sertifikasi secara umum, sekarang sebagai seorang asesor kompetensi, saya akan memaparkan pentahapan sertifikasi dari kacamata asesor, tentu saja setelah peserta dinyatakan terdaftar sebagai peserta. Hal-hal yang saya lakukan selaku seorang asesor BNSP saat proses peserta adalah:
  1. Menetapkan dan memelihara lingkungan asesmen,
  2. Mengumpulkan bukti yang berkualitas melalui metode, perangkat asesmen dan sumber daya,
  3. Mendukung peserta dalam pengumpulan bukti,
  4. Membuat keputusan asesmen,
  5. Mengkaji ulang pelaksanaan asesmen, dan
  6. Meninjau proses asesmen.

Mencermati pentahapan tersebut, tampak bahwa proses sertifikasi pertama-tama merupakan inisiatif peserta, sementara asesor adalah pihak yang membantunya mewujudkannya. Lho, kok tidak ada proses penilaian/ ujian/ asesmennya sendiri dalam tahapan itu? Jangan salah, ada, kok, yaitu pada tahap ketiga, “Mendukung peserta dalam pengumpulan bukti.” Maksud tahap tersebut begini; proses asesmen dipandang sebagai proses peserta menunjukkan/ mengumpulkan berbagai bukti yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan kompeten. Jadi, paradigma asesmen bukan asesor yang menguji, tetapi peserta yang menunjukkan bukti, menarik kan.

Ketika peserta menghayati paradigma sertifikasi profesi, semestinya uji kompetensi bukan lagi menjadi hal yang berat, rumit, apalagi menakutkan. SKKNI yang berisi unit-unit kompetensi (yang hendak dibuktikan) bisa diakses dan dipelajari oleh siapapun, termasuk oleh peserta. Maka, sebenarnya berdasarkan SKKNI tersebut peserta bisa mengukur dirinya sendiri apakah kualitas dirinya sudah sesuai dengan kompetensi yang disyaratkan? Memang menjadi berat dan sulit ketika sebenarnya kompetensi yang bersangkutan belum sesuai standar (SKKNI) namun (memaksakan diri) mengikuti Uji Kompetensi. Jika orang seperti ini ketemu asesor yang jeli, bisa dipastikan hasil yang didapatkan adalah “Belum Kompeten.”

Nah, saya pikir cukup sudah saya melunasi hutang tulisan yang tercanang 3 tahun lalu. Semoga sekelumit catatan dari seorang asesor ini bisa menjernihkan motivasi asesi/ peserta uji kompetensi. Saya menutup tulisan ini dengan celotehan nakal nan cerdas dari seorang sahabat, Mas Agoes Susilo JP, “Kompetensi itu Ibarat Kuda, Sedangkan Sertifikasi itu Keretanya.” Yang penasaran maksudnya, silakan intip di sini ya

Selamat menikmati Uji Kompetensi.

Brebes, 19 Oktober 2018
Agustinus Susanta,
Asesor Kompetensi BNSP  

Share:

Mengelola Outbound di Desa Wisata



Catatan ini merupakan ringkasan materi yang saya sampaikan ketika menjadi narasumber pada “Bimbingan Teknis Pembentukan Perkuatan Kelompok Sadar Wisata Jawa Tengah 2018” yang diadakan di 3 tempat, yaitu:
  1. Desa Sigedong, Kecamatan Bumijawa Kabupaten Tegal,
  2. Desa Rembul, Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal, dan
  3. Desa Kembang Langit, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang

Seaslinya, format tulisan ini adalah slide powerpoint, namun kemudian saya kata-katain demi bisa masuk dan enak dibaca di blog ini. Inti alias sari catatan ini adalah sbb:
Keberlangsungan geliat wisata di suatu Desa Wisata tergantung dari 3 hal yang saling terkait, yaitu: yaitu:
  1. Regulasi Pemerintah,
  2. Tren Kepariwisataan,  dan
  3. Ikhtiar warga desa/ Kelompok sadar wisata.
Tiga hal tersebut harus terus diselami dan diperjuangkan jika ingin selalu ada perkembangan (wisata) di desa tersebut. Idealnya, suatu desa memlokamirkan diri menjadi “Desa Wisata” ketika memunyai beberapa hal yang menjadi penyebab wisatawan tertarik mengunjunginya, semisal karena keindahan/ potensi alam, sejarah, budaya, atau keunikan/kearifan lokal yang lain. Pun daya tarik wisata masih dirasa kurang, tak perlu lah berkecil hati karena sebenarnya unsur “Ikhtiar Warga” bisa (dengan kerja keras dan cerdas) mengupayakan “Tren Kepariwisataan” baru di sana.
Outbound-yang memunyai 4 kategori yaitu: Rekreasi, Edukasi, Pengembangan, dan Terapi,- merupakan salah satu tren yang bisa diupayakan (dengan serius) guna menarik orang mengunjungi suatu desa/ lokasi wisata. 3 jenis alternatif usaha outbound yang bisa dikembangkan di desa wisata adalah:
  1. Menjadi pemilik/ pengelola lokasi outbound,
  2. Menjadi provider/ Event Organizer program outbound, atau
  3. Menjadi fasilitator/ instruktur/ pemandu outbound.

Usaha utama pengelola lokasi outbound adalah menyewakan tempat. Usaha utama provider adalah “menjual” program. Sedangkan usaha pokok seorang fasilitator adalah “menjual” kompetensi dalam bidang kependampingan outbound. Apapun pilihan atau kombinasi usaha outbound tadi harus digeluti secara serius karena semua ada ilmunya.
Seorang fasilitator outbound harus selalu meningkatkan kompetensi, dan disarankan sampai mengantongi sertifikat fasilitator experiential learning yang dikeluarkan oleh negara. 3 hal yang disarankan adalah terus belajar, praktik, dan berjejaring dengan menjadi anggota Asosiasi Experiential Learning Indonesia (AELI)


Yuk kita segerai menikmati,  outbound di Desa Wisata.... melalui slide-slide berikut:







Yang penasaran, blog saya ya ini yang sedang dibuka, atau yang kakaknya ini dia
Kanal youtube saya yang berisi sekian puluh video permainan adalah yang ini










 Mau nonton materi yang ini? bolehlah klik klik di sini









 Nah, film yang ini ada di sini

 Penasaran apa saja kompetensi lebih kompletnya, langsung "nikmati" di sini yaa...

Ya... cukup sampai di sini.
Saya mau berangkat ngisi materi di Desa Kembang Langit, Blado, Kabupaten Batang Jawa Tengah...
Penasaran kayong apa sih keasyikanne... da da .....



Share: