Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


SANG PEMANJAT NIAT; Catatan untuk Mengenang Kang Bibin

Prolog

Sepulang menyambangi kawasan Batu Hitam di dalam Taman Nasional Baluran, Kang Bibin uring-uringan di dalam mobil, pasal “Bagaimana ceritanya sebuah perusahaan besar bisa memulai pembangunan resort mewah di dalam Taman Nasional?” Dia lalu melanjutkan kegeramannya, “Itu kan semestinya zona inti tempat satwa endemik tinggal, kenapa bisa berubah menjadi zona pemanfaatan? bahkan mau dibangun resort. Jangan-jangan karena mengakomodir kepentingan perusahaan besar tadi. Kalo itu yang terjadi, nggak bener nih, mengorbankan zona konservasi hanya untuk kepentingan investor.” Keuring-uringannya diamini oleh Mas Eko dalam kadar yang lebih moderat karena menyadari bahwa semua pembangunan pastilah sudah melalui jalur perijinan yang legal, bahkan sampai tingkat pusat, “Itulah Negaramu, Nus” seloroh Mas Eko pada Tinus, salah seorang anggota tim lainnya. Seperti belum puas, Kang Bibin melanjutkan rentetan kedongkolannya, “Mestinya jangan hanya untuk pemodal besar saja dong, harus ada pemerataan pengusahaan wisata di Taman Nasional ini, terutama untuk masyarakat sekitar dengan UMKMnya. Tapi yang penting jangan sampai mengorbankan usaha konservasi”

Kang Bibin sedang memandang laut lepas di puncak Bukit Batu Hitam, Taman Nasional Baluran

Itulah secuplik keasyikan saya saat berinteraksi dengan Kang Bibin saat melakukan survey ke Taman Nasional Baluran pada pertengahan bulan Oktober 2020 lalu. Bersama Mas Eko Binarso selaku ketua tim, Ibu Soehartini Sekartjakrarin (Bu Tinoek), dan Mas Agustinus Dwi Cahyo, kami tergabung dalam tim penyusunan buku Pola Perjalanan Wisata dengan tema Indonesia National Park Discovery, besutan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Boleh dikata, saya baru jumpa dan kenal dengan Kang Bibin selama 4 bulan terakhir saja, namun rasanya kok saya seperti sudah bertahun-tahun kenal, yha? barangkali karena kebersamaan kami dalam tim penyusunan buku tersebut. Selain ke Taman Nasional Baluran selama 7 hari, setelahnya kami melaksanakan lagi perjalanan survey di Taman Nasional Kepulauan Seribu dan Taman Nasional Gunung Leuser selama 5 dan 7 hari. Perjumpaan fisik saya dengan anggota tim, termasuk di dalamnya dengan Kang Bibin, pertama-tama terjadi pada akhir Agustus untuk rapat koordinasi awal di rumah Bu Tinoek, dan ditutup pada awal Desember tahun lalu selama 5 hari di Camp Tanakita Sukabumi, untuk proses penulisannya.

Interaksi pertama bareng Kang Bibin dan Tim Penulisan saat perencanaan survey.

Sekian lama berdinamika dengan tim, teristimewa Kang Bibin dalam sukaduka survey serta proses penulisan buku, baik secara lurung maupun online, membuat kami saling berbagi cerita, baik tentang urusan penulisan buku, dinamika menjadi atlet panjat tebing, pengalamannya berwisata, dinamika mengelola Via Ferrata Mount Parang, dan seabrek kisah-kisah lain yang tidak akan bisa tertuang dalam tulisan pendek ini. Senang bisa berkarya satu tim dan ngobrol bersama Kang Bibin. Mendapati kabar bahwa dia telah meninggal, membuat saya masygul karena kebersamaan dengan seorang sahabat (baru) yang asyik, kok begitu cepat berakhir.

Sebagai pengenangan akan Kang Bibin, maka saya menuliskan catatan ini, sejauh saya mengenal beliau dalam interaksi tim penyusunan buku “Menjelajahi Keindahan Taman Nasional; Pariwisata untuk Konservasi. Saya menyebut dan mendiskripsikannya sebagai seorang “PEMANJAT,” karena tak lepas bahwa Kang Bibin mencintai dunia panjat-memanjat.

Kang Bibin Asyik menikmati Gunung Baluran dari atas perahu


Pelestari Ekowisata

“Ekowisata saat ini menjadi salah satu sumber pendapatan untuk pengelolaan secara berkelanjutan. Hal Ini bukan hanya bagaimana kita bisa mengajak wisatawan datang ke lokasi atau destinasi wisata kita, akan tetapi harus juga bisa memikirkan kesejahteraan masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu dipastikan bahwa pengunjung melakukan perjalanan yang bertanggung jawab, membantu melindungi satwa liar yang mereka kunjungi dan memberikan kontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal. Konsep ekowisata tidak hanya menghasilkan manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal saja, namun mendukung konservasi alam dan mengurangi dampak dari aktivitas wisata itu sendiri.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Kang Bibin dalam salah satu pelatihan temu usaha pengembangan ekowisata, dalam kapasitas sebagai Ketua Bidang Unit Jasa Wisata Alam, Koperasi Jasa Sentra Wisata Alam Nusantara/ KOPISETARA.
sumber:
https://perhutani.co.id/perhutani-dukung-program-bpskl-jabal-nusra-adakan-pelatihan-wisata-di-madiun/

Kenangan keluar masuk sungai dan hutan saat menjelajah Hutan Lawe Gurah

Jika hanya memikirkan kenyamanan dan kemapanan bisnisnya, mungkin Kang Bibin tidak tergerak untuk bergabung dengan KOPISETARA yang baru akan genap setahun usianya pada 21 Januari 2021 nanti. Buat apa repot-repot ngurusin koperasi yang punya visi “Menjadi penggerak utama usaha wisata alam yang berkelanjutan di Indonesia,” dan bermisi:

  1. Memanfaatkan keindahan alam Indonesia menjadi usaha pariwisata alam berkelanjutan,
  2. Menciptakan iklim usaha wisata alam yang berkualitas dan berdaya saing,
  3. Menguatkan usaha pariwisata alam bagi para anggotanya,
  4. Berperan aktif meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap wisata alam berkelanjutan, dan
  5. Mendorong wisata alam sebagai sektor unggulan pendapatan negara.

Buat apa? Kita tidak akan bisa mendengar jawabnya sekarang, karena Kang Bibin sudah dipanggil Tuhan. Namun dari jejak yang ditinggalkannya saya yakin, jawabnya karena Kang Bibin punya perhatian terhadap konservasi dan pelestarian alam melalui ekowisata yang berpihak pada masyarakat setempat. Dalam 4 bulan interaksi dengan 4 anggota tim lain yang berafiliasi dengan KOPISETARA, berkelana dari satu Taman Nasional ke Taman Nasional lain, membuat saya yakin bahwa para pengurus, termasuk Kang Bibin, memang mempunyai harapan bahwa wisata alam berkelanjutan yang berkeadilan sosial harus (terus) diperjuangkan. Perjuangan mewujudkan misi masih panjang dan berdarah-darah. Namun toh kondisi semacam itu sudah disadari para pendiri dan pengurus sebagai suatu konsekuensi, maka pilihan asyiknya ya, tetap dinikmati suka-duka prosesnya. Kang Bibin dalam kesibukannya punya hati untuk membesarkan koperasi ini melalui unjuk gagasan dan terutama aksi nyata sebagai salah satu ketua bidangnya, yang terkait erat dengan pelestarian alam melalui ekowisata.

PELESTARI EKOWISATA, itulah sebutan pertama saya terhadap Kang Bibin sebagai penjabaran “P-E” dari “Pemanjat.” Maka tak heran jika dia sebel mendapati prinsip-prinsip konservasi yang menurutnya melenceng, seperti yang saya ceritakan di awal catatan ini.

Diskusi asyik dari pulau ke pulau di Taman Nasional Kepulauan Seribu

Motivator

Di Hotel Terrario Tangkahan, waktu menjelang larut dan sudah saatnya orang-orang normal untuk bobok malam. Namun saya mendapati Kang Bibin masih ada di teras kamar, melayani pembicaraan dengan seseorang yang sedang meneleponnya. Dalam kengantukan, saya sayup-sayup mendengar Kang Bibin memberi nasihat atau masukan pada lawan bicaranya. Entah sampai berapa lama, saya tidak ingat, karena keburu berburu di pulau kapuk.

Sambil memotivasi lawan bicaranya via telepon genggam, lha kok sempat-sempatnya Kang Bibin ngasih makan ikan di Terrario Tangkahan

Dalam suatu perjalanan naik mobil di Situbondo, saya yang duduk di sebelah Kang Bibin ikut mendengar berbagai nasihat yang dia berikan pada seseorang di seberang teleponnya. Hampir 1 jam pembicaraan itu terjadi; sangat lama dan pasti memedaskan telinga untuk ukuran saya. Saya sih tidak kepo sehingga lalu bertanya dia telponan dengan siapa, namun dari potongan-potongan pembicaraan yang mau tak mau saya dengar juga, seseorang dari entah di mana itu sedang mengalami persoalan organisasi/ federasi yang sepertinya rumit bak benang kusut, lalu meminta nasihat dari Kang Bibin selaku seniornya. Saat sudah diberi satu arahan, muncul lagi kegelisahan lainnya, Kang Bibin mendengarkan dengan sabar, lalu kasih solusi lagi; begitu seterusnya.

Sunset manalagi yang bisa didustakan?
Keriangan si motivator yang sedang memotivasi diri sendiri

Tak hanya melalui telepon, Kang Bibin juga senang bercerita dan memberi motivasi pada orang lain melalui obrolan langsung. Hal terakhir ini pernah saya alami ketika kami mengobrol panjang lebar dengan para pegiat wisata di Ketambe; Aceh Tenggara, yang sedang kusut karena akibat pendemi. Mereka hampir putus asa dalam mengebulkan asap dapurnya, sebab dunia pariwisata di sana sedang matisuri. Kang Bibin dengan antusias mendengarkan berbagai curhatan mereka, lalu tak kalah antusias bercerita berbagi tips dan pengalaman hidupanya dalam rangka menyemangati mereka.

Mereka mendengarkan dengan takzim saat Kang Bibin berbagi cerita.

Saya mendapati bahwa Kang Bibin mempunyai empati untuk mendengarkan kegelisahan lawan bicaranya, lalu memberikan peneguhan, nasihat, ataupun arahan. Sifat Kang Bibin yang senang berbagi aneka kisah hidupnya dalam rangka memberikan motivasi, tentu patut kita aprresiasi. Untuk itulah saya tak ragu menyebut bahwa Kang Bibin juga seorang MOTIVATOR, sebagai representasi “M” si “Pemanjat.”

Antusias

Saat di Trash Edupark; Tracking & Sharing, Pulau Paramuka, Kang Bibin bertanya secara mendetail tentang cara kerja mesin yang bisa merubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak. Masih di pulau yang sama, kami menghadiri peringatan hari Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN) tahun 2020. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah pelepasan tukik (anak penyu) oleh beberapa pejabat KLHK dan pemerintah daerah. Kang Bibin juga ikut mencoba hal yang baru pertama kali dilakukannya tersebut. Senyumnya mengembang saat tukik yang dilepaskannya malu-malu kucing (eh, malu-malu penyu) akhirnya berenang menuju laut lepas.

Antusias untuk narsis itu perlu juga lho.
Yang penting "Jagalah Kebersihan."

Sifat Kang Bibin yang berani mencoba hal-hal baru dengan antusias memang terbukti mewujud pada bisnis yang dia tekuni sampai saat ajal memanggil, yaitu pemanjatan tebing pertama di Indonesia. Naik gunung dan panjat dinding adalah hal yang sudah biasa dilakoni Kang Bibin yang memang pernah jadi atlet panjat dinding. Namun menjadikan gunung setinggi 750 mdpl tempat dia dulu berlatih sebagai atlet, menjadi sebuah (bisnis) atraksi wisata petualangan dengan mendakinya menggunakan pijakan baja dan tali pengaman, tentu hal yang luar biasa pada saat itu. Dalam beberapa kali obrolan, saya menyerap bahwa Kang Bibin punya hasrat untuk mencoba hal-hal baru dengan antusias.

Bahkan dalam urusan makan, Kang Bibin juga menampakkan antusiasmenya. Puluhan kali makan bareng anggota tim penulisan buku, mulai dari sekedar makan mie instan di hutan sampai makan seafood di restoran apung di atas laut, saya bisa niteni tabiat kami dalam urusan makan. Ada yang mengurangi nasi sehingga selalu mencari buah-buahan segar sebagai asupan, ada yang maniak kopi, ada yang pemakan segala, dan sebagainya. Nah, kalo Kang Bibin itu menurut saya “antusias” dalam urusan makan, serta tegas kalau minta (tambahan) ini itu pada pelayan, tidak seperti saya yang malu-malu.

Gimana nggak antusias, kalo yang perlu diselesaikan seperti ini?
Kenangan saat makan siang di Kepulauan Seribu

Urusan makan sebetulnya salah satu saja yang mau saya sampaikan tentang konsep antusias yang dimiliki Kang Bibin. Berdasarkan penceritaannya, dia rutin berolahraga, ya maklum lah, atlet. Bahkan pernah pada saat kami mandi-mandi di sungai Buluh, Tangkahan, Kang Bibin sempat-sempatnya memanjat tebing sungai yang curam. Namun karena tangan yang licin, akhirnya dia tercampak juga ke sungai diiringi derai tawa lepas. Dasar, kalo orang kelewat aktif ya gitu itu cara mencari kegembiraannya.

2 kali, saat sedang dalam perjalanan akhir kegiatan, saya melihat Kang Bibin tidak langsung pulang ke rumahnya karena langsung janjian bertemu dengan orang lain untuk membicarakan suatu urusan. Saya mbatin, ini orang apa nggak ada capeknya ya, habis survey berhari-hari kok langsung disambung dengan pertemuan lain. Belum lagi berbagai urusan yang dia tangani mestinya menyita waktu Kang Bibin; namun yang namanya aktivis sejati itu justru mereka yang bisa memprioritaskan pemanfaatan waktunya.


Bahkan untuk menikmati air terjun pun, kita harus Antusias, tentu dengan cara masing-masing

Saya tidak pernah melihat Kang Bibin kelelahan berat usai kami melakukan aktivitas eksplorasi semisal mendaki bukit, susur sungai, trekking di hutan, kayaking, dan snorkling. Yang sering saya lihat sih kelaparan saja, he he he…. Karenanya saya tak ragu menyebut Kang Bibin ini seorang yang aktif dan ANTUSIAS.

Ngotot

“N” dalam “Pemanjat” yang saya sematkan pada Kang Bibin adalah NGOTOT, kok bisa? Ya bisa dong.

Ngobrol di Pulau Pramuka
Sepengetahun saya, Kang Bibin itu orang yang keukeuh memertahankan prinsip. Beberapa kali dia berkisah tentang pengalamannya berorganisasi atau berfederasi, yang serunya kadang berbeda pandangan dengan organisator lainnya. Dia berani menempuh “jalan ninja” dalam urusan keorganisasian, termasuk kesediaan dia masuk dalam bursa pemilihan pengurus dengan niat tulus mengabdi pada misi organisasi. Kang Bibin menyadari bahwa tidak selamanya para aktivis organisasi itu tulus hendak mengembangkan konten yang diorganisirnya. Ada yang menurutnya bermotif politik praktis menggalang dukungan massa demi tujuan lain, ada yang ingin popularitas saja, atau bahkan ada yang sedari awal punya niat untuk mencari keuntungan pribadi. Kang Bibin juga tak habis pikir misalnya ada sebuah organisasi/ federasi yang pengurusnya tidak pernah berganti. Lha sebetulnya apa sih yang dicari oleh para pengurusnya? Bagaimana cara menghadapi kondisi yang tidak ideal tersebut? Pilihannya ya berusaha masuk dalam kepengurusan dengan harapan bisa memerbaiki kondisi.

Kang Bibin juga sebenarnya sebel dengan segala tetek bengek administrasi atau formalitas dalam berorganisasi; apalagi jika pada akhirnya menjauhkan marwah utamanya. Namun toh idealisme tersebut perlu diperjuangkan secara terus menerus saat kondisi saat ini belum memungkinkan. Lebih baik menyalakan lilin daripada merutuki kegelapan, barangkali begitulah perumpamaannya. Jengkel, geram, atau marah sah-sah saja, namun demi melakukan restorasi; salah satu pilihannya adalah membuat sesuatu yang menurutnya lebih hakiki; melebihi semua urusan formalitas dan basa-basi semu.


"Saya sudah seperti orang yang ngotot belum?"
Pantainya indah, tapi ngobrolnya serius bener sih...

Kengototan Kang Bibin memertahankan suatu prinsip atau pandangan, merupakan salah satu kenangan mengesankan bagi saya. Termasuk yang lucu, Kang Bibin ngotot mengusulkan kami membawa masuk ke kabin pesawat, berdus-dus buah tangan makanan sepulang kami survey di Taman Nasional Gunung Leuser. Padahal sih sudah jelas, barang yang ditenteng masuk ke kabin itu terbatas. Kengototan itu didasari alasan bahwa dalam penerbangan sebelumnya-juga menggunakan maskapai yang sama-kami kehilangan sekian dus mangga oleh-oleh dari Baluran yang masuk ke bagasi pesawat Banyuwangi-Jakarta. Sekitar seminggu kemudian mangga-mangga naas tadi baru ditemukan pihak maskapai, dalam keadaan sebagian besar bonyok. Atas dasar pengalaman itu, maka Kang Bibin ngotot berdebat dengan petugas di gerai cek in untuk bisa membawa sekian dus kue bika ambon oleh-oleh masuk pesawat. Yang kena cegat petugas sebelum masuk garbarata tuh khirnya saya dan Tinus yang kejatahan bawa 4 dus oleh-oleh, ditenteng di tangan kiri dan kanan, sementara dipunggung kami masih nangkring tas ransel. Penjelasan Tinus sesuai pendapat Kang Bibin tetap tidak bisa meluluhkan hati petugas, sehingga oleh-oleh kami akhirnya dititipkan juga padanya, dan syukurlah aman sampai rumah masing-masing.

Hayoooo... siapa yang ngotot pingin foto sama bule di Ketambe?

Kenangan terakhir akan “kengototan” Kang Bibin adalah saat dia memertanyakan, kenapa dalam suatu proses sertifikasi profesi bagi para “pemandu wisata panjat tebing,” kok malah menggunakan skema “pemandu wisata gunung” sebagai materi uji/ pembuktiannya? Dia memang tidak terlibat dalam proses sertifikasi tersebut, namun jiwanya sebagai seorang asesor memberontak, dia beranggapan hal tersebut kurang tepat. Aktivitasnya memanjat tebing, kok diuji dengan kompetensi  pendaki gunung. Diskusi hangat dalam perjalanan dari Jakarta menuju Tanakita awal Desember lalu akhirnya ditengahi oleh Mas Eko yang menetralisir bahwa jika hal tersebut mau dipahami lebih lanjut, ya kudu tahu konteksnya; siapa tahu hal tersebut  memang yang diminta oleh peserta, lalu mungkin tahun depan mereka akan mengajukan sertifikasi lainnya. Kehangatan diskusi seru yang dipicu kengototan Kang Bibin terhadap suatu prinsip akhirnya kami tutup dengan malam-malam makan bubur ayam sebelum masuk ke camp; ah nikmatnya.

Jeli

Bagi yang baru pertama kali bertemu dalam suatu survey, barangkali akan menilai Kang Bibin sebagai orang yang kurang sopan saat berdiskusi, sebab dia malah asyik mencet-mencet handphonenya. Namun sepengamatan saya, Kang Bibin sebenarnya sedang mencatat data atau poin-poin penting terkait materi yang sedang diobrolkan, melalui gadget yang senantiasa dibawanya itu. Beberapa kali pula, ketika kami sedang melakukan diskusi, dia membuka kembali catatan di HPnya tersebut sehingga memberi kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan proses.

Kang Bibin sedang berburu informasi pada staf Taman Nasional Gunung Leuser

Kang Bibin juga senang membawa kamera, apalagi saat berpetualang, eh survey ke dalam hutan-hutan di Taman Nasional. Memotret hal-hal indah, unik dan menarik tentu sudah menjadi kebiasaannya, walau yang bersangkutan tidak mendapat jatah khusus bagian dokumentasi dalam tim penulisan buku. Hal yang luar biasa, dia juga jeli memotret informasi-informasi yang berbentuk surat edaran, poster, papan petunjuk, atau sekedar pengumuman di seputar Taman Nasional. Terbukti, hasil “pencatatan” data/ informasi melalui foto-foto hasil jepretannya bisa melengkapi informasi dalam penuntasan buku pola perjalanan wisata.

Ingatan dan kejelian Kang Bibin terhadap sesuatu yang pernah dibacanya juga cukup kuat. Salah satu contohnya adalah ketika kami sedang dalam masa-masa penyusunan hasil survey, dan bingung mencari item-item informasi untuk merangkaikannya, Kang Bibin lalu nyeletuk bahwa sebuah pernyataan yang relevan pernah dia baca di dokumen tertentu. Betul, ketika kami cari, apa yang disebutkan oleh Kang Bibin memang sangat pas untuk menutup lubang di tulisan kami.

Ah, pengen tahu saja nih Kang Bibin tentang mesin mengubah plastik jadi bahan bakar ini...

Semangat mencatat dan jeli mencari informasi adalah hal yang patut kita teladani dari seorang Kang Bibin. Dalam perjalanan panjang sampai berjam-jam, entah di mobil, perahu, atau pesawat kadang digunakan Kang Bibin untuk membaca-baca sesuatu yang pada saatnya nanti bisa menjadi manfaat. Saya kadang sampai heran melihatnya, apa kepalanya nggak munyeng tho, di perahu yang melaju tergoyang-goyang ombak, eee… dia asyik saja membaca-baca sesuatu melalui handphonenya. Okey, semangatnya sebagai perekam/ pencatat jitu boleh kita tiru, tetapi teknisnya tentu saja perlu disesuaikan dengan kondisi kita masing-masing.

JELI sebagai kepanjangan “J” dalam “Pemanjat” rasanya pas untuk diterakan pada seorang Kang Bibin. Bukti sahihnya tak lain adalah kejelian dia dalam mengibarkan eksistensi Via Ferrata Mount Parang sebagai tren baru dalam rimba industri adventure di Indonesia.

Analisator

Pengertian umum “analisis” adalah “mengacu pada proses penyelidikan sistematis terhadap suatu keadaan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya guna menunjang pencapaian tujuan atau menyelesaikan suatu persoalan.” Sayangnya, pengertian “Analisator” sebagai orang yang suka menganalisis tidak tertemukan, alih-alih istilah lain dalam bidang fisika. Namun saya sih ngotot saja menyebut Kang Bibin sebagai seorang analisator karena beliau memang suka melakukan telaah secara sistematis dalam menuntaskan sebuah proyek. Saya curiga bahwa pengalaman Kang Bibin pernah belajar dan bertualang di luar negeri membuatnya menjadi seorang yang penuh perhitungan taktis.

Obrolan "Kamu tahu apa tentang aspal hotmix" atau "Balada Kopi Rempah" di Rosa Ecolodge.
dan semuanya dianalisa secara milenial

Dalam urusan tulis menulis artikel untuk buku, dia berkontribusi mengkritisi seandainya ada kata/ kalimat/ susunan yang kurang pas. Ketika memberikan pandangan, terutama dalam suatu obrolan, dia kerap mendasarkannya pada suatu data yang lalu dicerna dan dianalisisnya. Salah satu contoh yang beberapa kali saya dengar dan disampaikan olehnya (pada beberapa orang yang berbeda) adalah tentang keunggulan absolut dalam pengembangan wisata alam. Oh ya, setahu saya urusan keunggulan mutlak/ absolut dan keunggulan komparatif itu berasal dari dunia perekonomian, tetapi Kang Bibin bisa mentransformasikannya ke dunia pariwisata.

Mengambil contoh pengembangan wisata di Pulau Komodo yang menghebohkan jagat viral indonesia sebab terrekam seekor komodo seperti menghadang truk proyek yang sedang menunaikan tugasnya membangun Geopark Premium bertema “Jurassic Park” di Pulau Rinca, Kang Bibin punya analisis sederhana nan masuk akal, yang kalau dibunyikan lebih kurang begini: “Nggak usah bikin yang aneh-aneh di Pulau Komodo, apalagi yang mengundang kontroversi; yang penting itu meningkatkan upaya konservasi komodo dan habitatnya. Kenapa? Karena sudah ada keunggulan absolut di sana, yaitu keberadaan komodo; titik. Semua orang, kalo mau melihat komodo di habitat aslinya, ya pasti harus datang ke Indonesia, ke Pulau Komodo atau Rinca. Tanpa dibuat sesuatu yang aneh-aneh atau ajaib di sana, maka potensi wisatawan yang berkunjung sudah besar banget. Tinggal bagaimana pemangku kepentingan membuat pengembangan kepariwisataan yang mendukung eksistensi keunggulan absolut tersebut, bukan malah mengacaukannya dengan sesuatu yang cenderung mengada-ada.” Ya, itulah salah satu contoh analisis Kang Bibin.

Serunya melakukan analisis  jalur Geotrek Kakapa

Keanalitisan paling mengesankan adalah urusan perencanaan jalur Via Ferrata Mount Parang, seperti yang dia kisahkan pada saya saat kami melakukan pelayaran di Kepulauan Seribu. “Jadi gini Mas Agus, sebelum membuka jalur pemanjatan, saya melakukan riset dan pengamatan selama beberapa hari. Sisi tebing mana yang paling asyik untuk dipanjat, bagaimana arah sinar matahari pagi dan sore yang berpotensi untuk dinikmati saat sunrise dan sunset dari atas bukit. Apakah ada ruang-ruang atau ceruk tempat peristirahatan yang aman; bagaimana pemandangan jalur dari dan ke arah Waduk Jatiluhur?, dan sebagainya. Semuanya saya telaah satu persatu dan dihubung-hubungkan. Guna menentukan base camp, saya juga pelajari tentang kemudahan pencapaian dari jalur utama, termasuk urusan evakuasi seandainya terjadi keadaan darurat. Setelah semua saya analisis, barulah saya eksekusi dengan perencanaan lebih detil.”

Kenangan makan siang di Balanan....
setelah itu pasti ngobrolin konservasi.

Ya, Kang Bibin punya kebiasaan menganalisis, maka tak ragu lagi dia saya sebut sebagai ANALISATOR melengkapi “A” sang “Pemanjat.” Kita perlu meneladan semangatnya dalam berpikir secara global sebelum melakukan aksi-aksi lokal sehingga proses dan hasilnya memuaskan dan bisa dipertanggungjawabkan.

Tulus

Usai menjelajah trekking di Puncak Gibon, Tangkahan, saya kurang tahu persis gimana percakapan awalnya, namun Kang Bibin lalu memberikan kenang-kenangan berupa cover HP transparan yang dibawanya, kepada salah seorang petugas polisi hutan yang menemani kami menjelajah. Wow, baik hati ya. Sebelumnya saya lihat Kang Bibin mengenakan cover itu di tangan atau lengannya dalam upaya melindungi HP yang tetap digunakan untuk merekan momen-momen survey kami. Sang polisi hutan berterimakasih atas kenang-kenangan dari Kang Bibin tersebut, yang saya yakin diberikan secara tulus.

Tinus dan Kang Bibin dengan cover HP di lengan kirinya sedang menyeberang Sungai Buluh.

Jauh sebelum saya kenal dengan Kang Bibin, kami sebetulnya tergabung dalam grup WA EL-Preneur Indonesia. Pernah pada suatu saat, dia memberikan fasilitas pendakian di Via Ferrata Mount Parang secara gratis, pada para fasilitator yang tergabung dalam AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia). Lepas dari upaya promosi usahanya, namun karena ketulusan hatinyalah maka “kemewahan” tersebut bisa dinikmati oleh banyak pihak. Dalam berbagai kesempatan penjelajahan, saya melihat dan menikmati ketulusan-ketulusan sederhana yang dipraktikkan Kang Bibin, semisal sekedar membawakan tas saat ada anggota tim yang naik turun perahu.

Setelah 5 hari kebersamaan menyelesaikan konten buku secara bersama di Tanakita, kami melanjutkan proses melalui koordinasi online. 12 Desember 2020, Kang Bibin masih sempat berkabar via Grup WA, bahwa dia sedang terdampar dalam “Pola Perjalanan Nginap di atas tebing,” sambil pamer foto dia sedang asyik tiduran di ketinggian Mount Parang. Rupanya itu adalah interaksi terakhir kami, karena keesokan harinya dia mendapat musibah diserang tawon Vespa affinis saat sedang mendampingi tamu melakukan pemanjatan. Diantara beberapa orang yang mengalami serangan “ribuan tawon,” Kang Bibin yang mendapat efek paling parah, sementara yang lain bisa lebih cepat pulih.

Kang Bibin yang tulus "menjepret" aktivitas tamu-tamunya

Ketulusan dalam menjamu dan menemani langsung para tamu adalah salah satu sifat Kang Bibin, walaupun bisa dikatakan dia sudah punya tim yang handal. Melalui berbagai ketulusan kecil lain yang saya saksikan sendiri, maka sudah layak bahwa Kang Bibin disebut juga sebagai orang yang TULUS, melengkapi “T” seorang “Pemanjat”

Epilog

16 Desember 2021 tim kami, diwakili oleh Mas Eko dan Tinus mempresentasikan draf buku di hadapan pemberi tugas. Vandel kenangan untuk tim kami, sempat dibawa dan diperlihatkan pada Kang Bibin di ICU tempat dia dirawat secara intensif, untuk memberi motivasi padanya sambil kami berharap dia cepat sembuh.



Vandel penghargaan untuk Tim Penyusun Buku yang diperlihatkan pada Kang Bibin di ruang perawatannya


Minggu malam tanggal 3 Januari 2021, entah kenapa selepas jalan Tol Indralaya-Palembang saya memilih jalan kota melalui Kecamatan Kertapati, daripada lewat Jakabaring seperti biasanya kalo mau masuk kota Palembang. Nama lengkap Kang Bibin adalah Muhammad Rubini Kertapati. Orang tua Kang Bibin menyematkan nama daerah tersebut sebagai nama belakangnya sebagai pengingat bahwa dia memang dilahirkan di Kertapati, saat sang orangtua mendapat tugas di Palembang. Setidaknya itulah kenangan “Kertapati” seperti diceritakannya pada saya saat kami ngobrol di dalam suatu perjalanan survey.

Senin siang, tanggal 4 Januari 2021 saya mendapat kabar bahwa Kang Bibin sudah menuntaskan “pemanjatannya” menggapai Kang Khalik. Kelu hati ini, namun apa sih daya kita manusia yang masih bertualang di dunia ini, selain mengikuti kehendak-Nya. Imajinasi untuk berkumpul lagi bersamanya guna mengadakan sukuran keterselesaian misi penulisan buku, juga kesembuhan dirinya pupus sudah; atau setidaknya perlu direvisi lagi; seperti proses penulisan buku kami yang bolak-balik perlu perbaikan.

Kebersamaan makan (kesiangan) di Tanakita

Selamat jalan Kang Bibin, sang “Pemanjat Niat.” Hanya catatan sederhana ini yang bisa kutulis guna mengenang kebersamaan singkat kita dalam tim penulisan buku “Menjelajahi Keindahan Taman Nasional; Pariwisata untuk Konservasi.” Semoga keseharianmu yang PEMANJAT (Pelestari Ekowisata, Motivator, Antusias, Ngotot, Jeli, Analisator, dan Tulus) bisa lebih menginspirasi lebih banyak orang dalam mendaki atau memanjat niat masing-masing. Kini kami hanya bisa memanjatkan doa, semoga engkau mendapat tempat terbaik di sisi-Nya.

 

Agustinus Susanta,

Palembang, 5 Januari 2021

Selamat jalan Kang Bibin...
(foto terakhir yang kami terima darinya)


Share: