Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


TAKTIS MENULIS TESIS (Bagian ke-5 dapat Master dalam 1 Tahun)

Catatan ini merupakan lanjutan dari pengalaman saya yang tertulis di sini

Saya mengerjakan penulisan tesis melalui program MsWordnya Microsoft dengan Window 8, sehingga beberapa tips yang dibocorkan berdasarkan aplikasi tersebut. Bagi pembaca yang mengetik menggunakan aplikasi lain, mohon bisa disesuaikan ya, yang penting prinsip fungsinya sama.

Autocorret

Hal pertama yang saya lakukan adalah menyalakan laptop. Eh, maksudnya, setelah lembar kerja saya disetting format margin kiri-kanan-atas-bawah, saya membuka fitur “autocorret” untuk memersingkat pengetikan suatu kata. Kalo di laptop saya, carinya di FileàOptionsàProofingàAutocorret. Di sana biasanya sudah ada kata-kata tertentu yang cara penulisannya keliru, namun jika diketikkan akan otomatis berubah seperti yang tertera dalam daftar. Mari kita lihat gambar berikut yang menampilkan bahwa jika kita salah menulis “year” yang berarti tahun, dengan mengetikkan “yera,” maka nanti otomatis hasil ketikan kita berubah menjadi “year.”

Mengorek Autocorrect

Saat kita bermaksud mengetikkan “years” namun jari kita salah nutul dan yang terketik adalah “yeras” atau “yersa” maka hasilnya akan otomatis berubah menjadi “years.” Fasilitas ini kelihatannya sederhana, namun bagi kita bisa memercepat penulisan dan memerkecil risiko kesalahan ketik. Pada gambar di atas, saya lalu mamasukkan huruf “yg” yang jika diketikkan akan “Replace-With” “yang.” Untuk menghasilkan kata “yaitu” sebagai salah satu kata sambung yang sering digunakan, itu bisa digantikan dengan mengetik huruf “yi” saja. Makin jelas ya fungsi fitur ini? jika kita mau menulis kata tertentu yang biasanya panjang, rentan salah ketik, atau sering kita tulis, maka cukup bikin “kodenya” saja, bisa singkatan atau huruf lainnya.

Dalam tesis, saya banyak menuliskan kata entrepreneur, sebagai batu lompatan saya bisa mengkodenya hanya dengan menulis "ent," "entre," atau "entrep." Untuk menuliskan kata entrepreneurship yang cukup panjang (16 karakter) dan rentan keliru, saya cukup ngetik 3 huruf saja, yaitu "ets". Demikian seterusnya saya isi 2 kolom “Replace-With” dengan banyak kode/ singkatan dan kata yang diinginkan. 1 kata yang dikehendaki bisa kok dikodekan lebih dari 1. Namun, kita perlu cermat dalam menggunakan fitur ini, karena saya pernah menulis nama salah satu dosen, namun gelarnya aneh, begini, “Prof. Asalwae M.Pada,” hmmm… ternyata saya nyetting kata “pada” dengan “pd”sehingga ketika saya betul-betul bermaksud menulis “Pd” yang menunjukkan (Master) Pendidikan, yang tertulis malah “Master Pada” he he he… sejak itu, “pd” saya hapus dari gudang “autocorrect.”

Styles

Salah seorang kawan seperjuangan saya dalam menyelesaikan tesis ditolak naskah laporannya oleh pihak perpustakaan pusat UNY gara-gara format penulisannya tidak menggunakan “Styles.” Apa itu? Kalo di “Home,” laptop saya, kotak “Styles” itu diisi dengan “Normal, No Spacing, Heading 1, Heading 2, Heading 3, Heading 4, Title, Subtitel," dan sebagainya. Saya menggunakan fungsi tersebut untuk menentukan “Style” anatomi naskah tesis. Dalam buku panduan tesis, biasanya tertera tatacara pengetikan Bab, Subbab, Anak Subbab, dan yang utama ya isi laporan. Dalam “Styles,” kita bisa mengatur biasanya:

  • Penulisan nama Bab menggunakan style “Heading 1,”
  • Nulis “Subbab” dengan styles “Heading 2,” dan
  • “Anak Subbab” diketik menggunakan styles “Heading 3.”

Untuk badan utama isi kita gunakan saja styles “Normal” yang biasanya kita modifikasi sesuai panduan, misal yang biasa itu dengan jenis huruf “Times New Roman” ukuran 12, spasi 2 atau ganda. Kalo saya, selain pengaturan minimal itu, masih ada beberapa "style" yang berbeda untuk nulis kutipan panjang, numbering poin, judul/ keterangan tabel atau gambar, serta nulis isi tabel.

Serunya, styles-styles tadi bisa kita modifikasi sesuka hati kita. Saya sering melakukan hal itu saat masih proses nulis draft dan editing, misalnya saya tunjukkan dalam gambar berikut ini nih.


Modifikasi Styles

Gambar di atas memertontonkan saya memodifikasi "Subbab" yang ditulis melalui “Heading 2.” Jenis huruf saya pilih Comic Sans MS, ukuran 12 dan warnanya merah. Saat modifikasi tersebut di “OK” maka semua "Subbab" yang nulisnya pake “Heading 2” akan otomatis berubah. Perhatikan juga naskah utama saya rubah jarak spasinya menjadi tunggal dari yang sesuai ketentuan ganda melalui "Style Normal.” Saya termasuk hobi mengatur "styles" utama ini menjadi 1 spasi dalam proses penulisan supaya jumlah halaman menjadi ringkas jadi 75 – 85%nya saja.  Jika kita nulis belasan halaman saja, mungkin untuk ngedit di sana-sini dokumen yang berspasi ganda tidak terlalu pusing mencarinya, namun kalau naskah kita sudah lebih dari 100 lembar, pas untuk mencari posisi atu subbab tertentu akan memerlukan waktu lebih lama (untuk scroll mouse).

Sebagai gambaran, Bab I sd Bab V tesis saya itu berjumlah 132 halaman dari total 228 halaman jika ditambah lembar-lembar pembuka, Lampiran dan Daftar Referensi. Itu hitungan dengan format penulisan sesuai pedoman ya. Jika badan utama artikel dibuat 1 spasi, maka jumlah 132 halaman isi utama akan menyusut jadi 89 halaman saja atau menjadi 67%. “Mengurangi” 43 halaman dalam proses review atau editing tentu akan membantu percepatan perpindahan spot yang dicari. Oh ya, jarak margin bawah dan atas halaman juga sebaiknya “di-hide” atau dihilangkan saja dalam proses review ini sehingga yang kita tinjau itu hanya teks saja tanpa perlu melihat ruang margin. 

Satu lagi taktik saya "menyingkat" tampilan pengeditan adalah dengan menghapus gambar-gambar yang berasal dari "insert picture," semacam foto; tentu setelah keterangan/ "caption"nya dibuat. Sebagai ganti foto tersebut, saya cukup buatkan kotak saja (Insert Shape) untuk manandai bahwa di situ seharusnya ada gambar. Selain untuk menyingkat panjang naskah, penghapusan (sementara) foto atau gambar itu juga untuk memerkecil ukuran file tesis. Namun yang perlu diperhatikan sebelum kita menjalankan tips ini adalah kita sudah paham konteks gambar tersebut dengan naskah di atas atau bawahnya, sehingga walau (saat itu) tidak ada gambarnya, kita masih bisa melanjutkan penulisan atau peng-editan naskah.

Lalu bagaimana kabar kawan saya tadi yang menulis secara tekstual. Dia lalu memoles teksnya dengan menyematkan "Styles" di tempat seperti yang sudah saya jelaskan tadi. "Daftar Isi" yang tadinya dibuat manual satu persatu bolak balik lihat halaman "Bab" dan "Subbab," kini dibuatnya dengan fitur “References à Table of Content” yang setelah diatur tinggal klik tampillah langsung daftar isi dengan penghalaman yang akurat. Ya, lumayan lah, dia perlu seharian untuk memformat ulang teks tesisnya; sehari yang membuat waktu pengurusan keterangan bebas pinjaman perpustakaan tertunda. Dalam konteks lebih menyeluruh lagi, bisa jadi waktu “sehari” bisa menunda penyelesaian waktu studi kita selama 1 semester lagi jika berbagai persyaratan dilakukan secara online dan tidak kenal toleransi. Sekali lagi saya bersaran, mari kita gunakan Styles (dan References) sejak awal penulisan teks tesis demi efektivitas proses.

References

Menu “References” yang saya gunakan dalam penulisan tesis adalah "Table of Contents, Insert Citation, Insert Caption," dan "Insert Table of Figures." Berbagai fitur tadi sangat membantu proses penulisan mengingat tesis saya mengandung 23 tabel, 25 gambar, dan 27 lampiran. Tanpa mereka, saya pasti kesulitan dalam proses review karena harus bolak-balik meninjau dari satu teks ke gambar, tabel, atau lampiran yang bersangkutan; lumaya lho, lebih dari 200 halaman totalnya. Kita kupas satu persatu yuk…

Table of Contents

"Table of Contents" sebagai pembuat "Daftar Isi" secara otomatis, sudah disinggung dalam bahasan "Styles" sebelum ini ya. Saya sedikit menambahkan bahwa jika dibuat dengan “Styles” maka selaras dengan “Daftar Isi,” kita bisa melihat navigasi teks kita seperti tampilan berikut:

Navigasi Berbasis Styles

Tangkapan layar komputer seperti tergambar di atas memerlihatkan halaman tentang “B. Kajian Penelitian yang Relevan.” Jika kita misalnya akan berpindah (kembali) ke halaman “Rumusan Masalah,” maka tinggal klik saja subjudul tersebut di navigasinya, maka otomatis kita langsung menuju sana, tanpa perlu bolak-balik atau berkali-kali scroll mouse; gimana memudahkan kan? Jelas dong… makanya pake “Styles”

Insert Citation

Fasilitas "Insert Citation" akan membantu kita mengotomasi daftar sitasi atau kutipan yang dalam karya ilmiah wajib hukumnya. Bagian yang banyak menggunakan fitur ini adalah "Bab I Pembukaan" dan paling banyak di "Bab II Kajian Pustaka." Bukan membantu kita mencari referensinya ya, tetapi ketika referensi yang akan kita kutip tadi sudah ada, bagaimana memformatkannya dalam naskah. Saya cerita proses pencarian referensi lebih dahulu ya.

Pada "Bab I Pendahuluan," saya banyak mendapat referensi awal dari surat kabar, iya koran terutama Kompas yang menurut saya paling tepercaya di Indonesia. Dalam konteks konten di bab tersebut, saya sudah menentukan bahwa salah satu problem kita adalah rendahnya kualitas generasi muda (dari harapan ideal). Saya memerkuat pendapat tersebut dengan inspirasi berita atau laporan dari surat kabar sebagai identifikasi dari problem tersebut. Memang referensi pada Bab I tidak hanya diperoleh dari surat kabar, tentu ada dari buku dan artikel jurnal. 

Kenapa koran sangat membantu saya? Karena berita-berita di koran itu aktual, menceritakaan kekinian; termasuk berbagai masalah dan keprihatinan. Misalnya kita cerita bahwa dalam bidang kecerdasan, Indonesia mendapat skor 78,49 dan berada pada urutan ke-130 dari 199 negara berdasar hasil pemeringkatan intelligence quotient tahun 2022. Pertama-tama saya mendapat informasi tersebut setelah membaca koran fisik, yang bisa saya lanjut dengan menelusur berita terkait pada format elektronik. Kadang-kadang saya mengelaborasi berita pada koran tersebut, jangan-jangan sudah ada artikel ilmiah atau buku yang membahasnya. Sekiranya usia publikasi dari buku atau artikel terkait itu memenuhi syarat sitasi, bisa jadi saya ngambil kutipannya dari sana, bukan dari koran. Oh ya, biasanya pihak kampus mensyaratkan usia referensi itu paling lama sekian tahun ke belakang.

Saya tidak langsung membuat format sitasi begitu mendapat 1 kutipan yang kira-kira bisa menjadi referensi. Saya tulis ulang berita tersebut sama persis seperti yang saya baca di koran fisik lalu diberi keterangan siapa penulis atau kontributornya, dikutip dari koran apa tanggal berapa, kolom apa, dan halaman berapa. Pokokke tulis saja sumber mentahnya, nggak usah dibuat dahulu versi aturan mengutip. Saya lalu berkelana lagi mencari tema serupa atau melanjutkan penelusuran dengan hal berikutnya. Jika dapat suatu referensi, misal kali ini dari jurnal elektronik; saya “copas” teks-nya, lalu diberi keterangan dari jurnal apa, terbitan kapan, siapa pengarangnya, dan keterangan lain yang relevan.

Beberapa kali saya menelusuri sumber kutipan justru dari "Referensi" atau "Daftar Pustaka" artikel ilmiah tertentu. Yang bikin bingung itu misalnya ada pernyataan ilmiah (yang biasanya populer) lalu dikutip banyak penulis, namun penyebutannya tidak sama persis antara artikel satu dengan yang lain. Misal nih, dalam suatu artikel, saya membaca bahwa “Hisrich mengartikan entrepreneurship sebagai proses bla bla bla” dan saya berpikir wah pengertian itu related banget dengan pokok bahasan. Tapi siapa itu Hisrich? Penulis buku? Peneliti? Pengusaha top? Atau siapa? Guna melakukan penelusuran, saya menggunakan Google Scholar yang dalam bahasa Indonesia menjadi Google Cendekia, alih-alih situs yang lebih top seperti Mendeley. Google Scholar adalah mesin pencari web yang dapat diakses secara bebas yang mengindeks teks lengkap atau metadata literatur ilmiah di berbagai format dan disiplin penerbitan.

Sebagai upaya penelusuran, saya ketikkan saja “Hisrich Entrepreneurship” dalam “google scholar” dan setelah di-klik muncul banyak item yang memuat 2 kata tersebut. Bukannya ilang, saya malah tambah bingung… itu yang dikutip sang penulis jurnal berasal dari sumber yang mana? Hisrich yang mana? Saya klik-klik saja supaya tidak penasaran. Salah satunya “hisrich” yang “book” saya klik pilihan “cite-nya” sehingga muncul tampilan seperti dalam gambar berikut.

Contoh "Citation" melalui Google Scholar

Muncul 5 pilihan yang merupakan versi-versi format pengutipan. Jadi, buku yang dikutip sama, judulnya Entrepreneurship,  diterbitkan pada tahun 2017 oleh penerbit McGraw-Hill Education yang ada di New York. Penulisnya ada 3, yaitu Robert D. Hisrich, Michael P. Peters, dan Dean A Shepherd. Dari 5 pilihan cara menuliskan sitasi, silakan pilih mana yang sesuai aturan penulisan, kalo kampus kami sih menganut sitasi versi APA. Kampusmu yang mana?

Contoh yang saya sampaikan memang kurang ideal, karena kalau mau ideal, semestinya saya sudah pernah membaca buku tersebut, entah seluruhnya atau sebagian, lalu menemukan pernyataan yang pas, barulah dikutip. Yang terjadi kan (rata-rata) "Eh, saya nemu pernyataan yang saya mau, pernyataan itu, berdasarkan daftar pustaka dikutip dari sumber tertentu, saya mau memastikan ah, sumbernya itu apa?" Okelah… silakan para pembaca yang budiman bisa menggunakan cara ideal untuk mengutip pernyataan dari sumber tertentu.

Proses kutip-mengutip pernyataan atau data, saya langsungkan sampai mencapai sekitar 15 halaman tesis (spasi tunggal), itu sudah termasuk karangan saya sendiri dalam merangkaikan berbagai kutipan tadi. Dari maksimal 15 halaman draft tulisan tersebut saya lalu mulai mengedit dengan memilih kutipan mana yang memang mau digunakan; jika ada pernyataan yang kurang relevan atau tidak saya kehendaki masuk tulisan, lalu saya singkirkan. Usai pengeditan minor tersebut, kuantitas tulisan biasanya berkurang sekitar 20-30% dari draft awal. Langkah berikutnya, saya lalu memformatkan kutipan dengan fasilitas “References” submenu “Insert Citation.” Saya tunjukkan contohnya melalui gambar berikut ini yang menjelaskan penulisan kutipan versi APA untuk pernyataan yang berasal dari Koran Kompas.

Contoh Ngisi Referensi

Persis setelah pernyataan yang akan dikutip, kita klik “References” lalu klik “Insert Citation,” pilih “Add New Source” maka akan muncul jenis "source-nya" misal book, book section, journal article, dan lain-lain. Karena yang akan saya tunjukkan itu bersumber dari koran kertas/ fisik, saya pikir akan ada pilihan “newspaper.” Ee… ternyata nggak ada, ya sudah, saya pilih jenisnya “Article in A Periodical,” dengan kolom-kolom menu yang tinggal diisi, terdiri dari Author/ Corporate Author, Title, Periodical Title, Year, Month, Day, dan Pages. Karena pernyataan yang saya kutip jelas pengarangnya, yaitu Wisnu Dewabrata dan Soelastri Soekirno; saya isikan pada bagian “Author.” Pada beberapa kasus, kutipan saya berasal dari Koran Kompas kertas namun tidak ada nama jelas penulisnya, maka saya pilih kolom “Corporate Author” yang cukup ditulis dengan “Kompas.” Begitu semua isian sudah komplet, kita tinggal klik “OK” maka akan segera muncul tulisan (Dewabrata & Soekirno, 2022) di belakang pernyataan yang kita kutip tadi. Keterangan tersebut kalau kita blok dengan kursor laptop juga akan berlatar blok warna abu-abu dan jika diulik akan muncul menu untuk mengedit/ memodifikasi “citation” tadi, seperti terlihat dalam gambar di atas.

Jadi ingat ya, walaupun secara tampilan benar, dan saat dicetak hasilnya sama, keterangan/ citation itu bisa ditulis secara manual (biasanya oleh mahasiswa yang belum tahu fungsi citation atau dia sengaja pingin penulisannya lama), atau hal tersebut bisa dimunculkan melalui fitur “Insert Citation” seperti sudah saya jelaskan tadi. Berbagai format sumber kutipan bisa dipilih di sana, termasuk misalnya pernyataan yang sama atau mirip namun diambil dari sumber online. Contoh saya tadi itu kutipan yang memang saya baca di koran Kompas fisik, maka cara “citationnya” begitu. Pernyataan yang sama juga sebenarnya ada di Kompas.id yang diterbitkan secara online; namun cara pengutipannya beda, yaitu dengan pilihan “Source” berupa “Document form Web Site.” Apa yang muncul di sana? silakan coba sendiri ya…

Nah, jika semua kutipan sudah kita buat “citation-nya” dengan sistem, maka langkah terakhir untuk melihat “Daftar Pustaka" atau "Referensi” dari semua kutipan, tinggal kita klik saja bagian “Bibliography,” tentu ditempatkan persis di bawah subjudul “Daftar Pustaka/ Daftar Referensi.” Kenapa tempatnya di sana? ya memang itu fungsi untuk membuat daftar secara otomatis. Kalo kita klik-nya saat kursor komputer ada di bagian “Latar Belakang” misalnya, maka daftar pustaka kita yang berisi sekian banyak sumber kutipan akan nongol di sana pula; lucu dan sudah pasti keliru.

Bagaimana jika kita mengadakan perubahan kutipan, menambah atau mengurangi atau merevisi nama pengarang misalnya. Jangan khawatir, selama kita melakukan modifikasi pada “Insert Citation,” maka untuk merubah "Daftar Pustaka" kita tinggal klik di bagian modifikasi “bibliography” tadi, maka perubahan akan otomatis terrekam. Jadi, pesan saya untuk hal ini, kalo kita sudah berani ngambil kuliah S2, sebaiknya jangan bikin daftar pustaka dengan ngetik manual saat bikin tulisan ilmiah. Pertama karena lama; kedua, akurasinya rawan dipertanyakan entah jumlah item atau kesalahan tulis sumber, dan ketiga jelas susah untuk diedit.

Parafrase

Editing minor ketiga yang saya rekomendasikan dalam catatan ini, adalah Parafrase; walau tidak saya lakukan dalam penulisan tesis; kenapa? Karena saya baru menyadari kegunaannya pada saat dokumen laporan diminta oleh pihak perpustakaan; ingat ya, bukan oleh dosen pembimbing atau penguji, bukan juga oleh pihak program studi atau dekanat. Konteksnya saya ceritakan dalam catatan seri berikutnya, namun intinya adalah untuk meminimalisir tingkat plagiasi tulisan kita. Tiap kampus punya aturan berapa prosen maksimal tingkat plagiasi atau penjiplakan karya ilmiah seorang mahasiswa. Kalo di UNY adalah maksimal 20%. Apa maksudnya? Maksudnya, berbagai pernyataan atau data yang kita kutip dalam tesis merupakan buah pemikiran orang lain; betul ya? betul. Memang kita sebagai peneliti punya kreativitas dalam menggagas alur tulisan dan itu wajib dituangkan sebagai tulisan orisinal kita sendiri dong. Namun, apa jadinya jika tesis kita itu lebih banyak ngutip sana sini daripada pemikiran atau bahasan orisinal dari kita? Jadinya ya kita bisa dikategorikan sebagai penjiplak (semata) atau plagiat. 

Tapi kan diperlukan teori (orang lain) dalam pembahasan tesis; betul. Namun diharapkan kita tidak menelan, eh, menulis mentah-mentah pernyataan dari artikel atau buku lain. Pun ada kesamaan di sana sini, itu tadi, batasnya maksimal 20% (untuk aturan di UNY ya). Bagaimana tahu prosentasenya? Salah satu yang paling polpuler itu menggunakan program “Turnitin” guna menelisik naskah kita untuk dikeluarkan keterangan bagian mana saja yang dinyatakan sama dengan sumber-sumber lain yang terdata dalam internet. "Turnitin"  akan mengeluarkan angka sekian prosen tingkat kesamaan kita dengan karya-karya lain, serta menunjukkan tiap bagian yang dimaksud. Supaya lebih jelas, saya tampilkan contohnya ya.

Contoh Tampilan Hasil Turnitin

Indeks kesamaan laporan penelitian saya dinyatakan oleh “Turnitin” sebesar 18% dan dari total 127 sumber yang tertelusuri, beserta prosentasenya. Gambar di atas hanya memerlihatkan bagian awal dari semua sumber yang saya kutip. Hasil tersebut merupakan revisi dari teks sebelumnya yang oleh turnitin dinyatakan 21% kesamaannya dengan sumber-sumber lain yang terrekam sistem; padahal syaratnya maksimal 20%. Dalam revisi teks, saya melakukan parafrase secara manual karena targetnya “hanya” menurunkan tingkat plagiasi sebesar 2% saja. Apakah ada parafrase yang dilakukan secara sistem atau aplikasi? Ada, macam-macam kok jenisnya. Kita tinggal masukkan teks yang akan di-parafrase lalu nanti muncul hasil parafrasenya. Setelah gubahan jadi, kita bisa cek lagi, apakah sudah di bawah 20% atau belum. Jika belum, parafrase lagi…  demikian seterusnya.

Parafrase adalah penggubahan suatu pernyataan/ kalimat dengan kosakata lain yang sinonim tanpa mengubah arti atau makna dari pernyataan tersebut. Supaya lebih jelas, saya detilkan lagi contohnya. Dalam laporan ada pernyataan yang saya tulis begini, hasil menyalin dari sumber di internet, 

Para pemain melemparkan dadu untuk menentukan siapa yang bermain pertama kali. Pemain yang memperoleh nilai tertinggi bermain lebih dahulu dari petak “Mulai,” lalu diikuti pemain di sebelah kirinya (searah jarum jam). Tiap pemain bergantian melangkah sesuai hasil guncangan 2 dadu; jika terjadi hasil dadu yang sama (misalnya 4 dan 4) maka pemain tersebut boleh bermain kembali sampai keluaran dadunya berbeda.” 

Dalam tinjauan “Turnitin,” teks tersebut mempunyai tingkat plagiasi 50%. Saya lalu melakukan parafrase manual terhadap teks tersebut sehingga menghasilkan gubahan sebagai berikut, 

Para pemain melontarkan 2 dadu untuk menentukan siapa yang bermain pertama kali. Pemain yang memperoleh nilai tertinggi bermain lebih dahulu dari petak “Mulai,” lalu diikuti pemain di kirinya (sesuai arah jarum jam). Para pemain silih berganti melangkah berdasarkan hasil lemparan 2 dadu; seandainya muncul dadu dobel, misalnya 5 dan 5, maka pemain tersebut terus main sampai kedua dadunya berbeda.” 

2 pernyataan tadi maknanya sama, namun setelah dicek lagi oleh “turnitin,” tingkat kesamaan pernyataan kedua turun jadi 20%,

Itu tadi contoh dari saya. Kawan saya ada yang tingkat plagiasinya 60% dan dia sampai 5 kali melakukan parafrase, baik menggunakan aplikasi atau manual; pening. Kawan yang satunya ada yang malah tingkat plagiasinya 80%, namun saya belum tahu kabarnya bagaimana cara dia menurunkan jadi hanya maksimal 20% sebagai syarat wisuda.

Berdasarkan hal-hal tadi, daripada kita tergopoh-gopoh di waktu yang genting “menurunkan” tingkat plagiasi, mending hal tersebut dicicil sedikit demi sedikit, sejak kita membuat draf laporan. Jika kita tidak sempat membaca semua hasil parafrase (online), kadang tersua kata-kata yang agak janggal walau bisa diruntut maknanya. Maklumlah, sistem dituntut membuat kalimat gubahan menggunakan kata-kata seberbeda mungkin walau maknanya sama. Kalau saya jadi aplikasi tersebut, pasti pusing 7 keliling. Satu tips lagi dalam mengutip pernyataan (lalu di-parafrase.) Akan lebih baik jika kita menulis ulang teks yang mau kita kutip, daripada menyalin lalu mengeditnya. Entah bagaimana “Turnitin” itu tahu kalau kita copy-paste suatu teks dari sumber tertentu di internet.

Insert Caption (Tabel, Gambar, atau Lampiran)

Kini kita mengulik tentang “Insert Caption” sebagai fasilitas penyistematisan berbagai caption. Jenis caption yang saya gunakan dalam tesis ini adalah "Tabel, Figure/ gambar, dan Lampiran," yang dalam aturan main tesis memang harus dibuatkan daftarnya. Prinsip menuliskan keterangan terhadap 3 item caption ini sama, akan saya jelaskan sambil lihat gambar di bawah ini yang mencontohkan memberi keterangan suatu gambar; kebetulan ini gambar ke-7 dalam suatu naskah.

Contoh Proses Bikin "Caption"

Posisikan kursor komputer di tempat “Saption” akan dibuat, lalu pilih menu “Reference” klik “Insert Caption,” maka akan muncul kolom-kolom pilihan. Pada isian “Caption” muncul pilihan “Gambar 7” karena ini memang gambar ke-7 yang sudah direkam oleh fitur ini. Pada “Label,” muncul beberapa pilihan, salah satunya “Gambar.” Nama label sebelumnya bisa kita buat sendiri dalam blok “New Label.” Di situ saya juga buat pilihan “Tabel” dan “Lampiran” yang akan digunakan sesuai peruntukannya.

Bagaimana cara menampilkan daftar yang sudah kita “caption” tadi? Gampang… Pada tempat yang dikehendaki, Klik “Insert Table of Figure” dari menu “References.” Lalu disitu akan muncul “Caption Label” dengan berbagai pilihan, apa mau “Tabel, Gambar, atau Lampiran.” Klik OK maka otomatis akan terurai daftar yang kita maksud, mulai dari nomor 1 sampai selesai, lengkap dengan halamannya.

Seandainya saat melakukan editing mayor (meninjau seluruh naskah) kita menambahkan atau mengurangi sesuatu yang kita “caption,” maka otomatis nanti nomor caption akan terkoreksi secara berurutan di badan teks. Untuk memperbaharui daftarnya, hapus saja yang lama, lalu kita buat daftar baru yang otomatis menampilkan hasil revisian tadi.

Cukup ya penurunan jurus-jurus taktis nulis tesis yang sudah saya bagikan. Kita sambung pada seri berikutnya tentang bagaimana kita bisa menyunting atias ngedit naskah kita, juga dengan langkah-langkah efektif.


Brebes, 22 Maret 2024.

Agustinus Susanta, S.T., M.Pd.

================ Bersambung ================

Share:

OUTBOUND MERDEKA; Resep Taktis Merancang Outbound

OUTBOUND MERDEKA adalah rumusan praktis dalam merencanakan program outbound agar bisa mencapai tujuan serta membawa manfaat sesuai harapan penyelenggaranya. “MERDEKA” merupakan singkatan dari 7 hal yang secara bersama dan saling terkait perlu diperhatikan saat merencanakan   KEGIATAN outbound, yaitu:

  1. Maksud,
  2. Evaluasi,
  3. Rekognisi,
  4. Di Mana,
  5. Etape,
  6. Kegiatan, &
  7. Aparat.

7 elemen pembentuk outbound tersebut akan saling memengaruhi perencanaan sehingga perlu dikaji sedemikian rupa supaya rancangan sesuai dengan konten dan konteks mengapa kegiatan tersebut perlu dilakukan. Dalam suatu outbound, ketujuh eleman tadi bisa saja dikaji semua, namun sangat mungkin juga kita hanya perlu melakukan tinjauan pada beberapa elemen saja, disesuaikan dengan kondisi peserta.

Selain sebagai singkatan, “MERDEKA” juga bisa diartikan kebebasan atau kemerdekaan dalam merancang outbound, sesuai dengan kapasitas pengetahuan, pengalaman, dan imajinasi kita. Outbound yang secara merdeka kita rancang tentunya diharapkan, benar-benar bisa memerdekaan peserta dalam mencapai sasaran.

Narasumber Seminar/ Pelatihan adalah AGUSTINUS SUSANTA, ST., M.Pd. 

  • Penulis buku OUTBOUND MERDEKA (proses terbit), 
  • Penulis Buku “Merancang Outbound Training Profesional,” “Outbound Profesional,” & “123 Permainan Tanpa Alat”,
  • Pengalaman merancang & memfasilitasi lebih dari 500 program outbound selama 20 tahun,
  • Pengalaman sebagai Asesor Kompetensi Fasilitator Experiential Learning.
  • Anggota AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia.

Lalu, apa beda antara SEMINAR dan PELATIHAN?


Sudah siap untuk meningkatkan diri dengan menambah ilmu merancang outbound secara taktis? hubungi saja MANCAKRIDA via 0812 2680 2639


MERDEKA!


Share:

WRITING CAMP; Outbound di dalam Komputer

WRITING CAMP merupakan suatu Pelatihan pengembangan kreativitas dan logika berpikir menggunakan media (permainan) menulis artikel. Jika kita sudah familier dengan kegiatan outbound dalam konteks pengembangan kapasitas seseorang, maka WRITING CAMP juga sama prinsipnya. hal yang membedakan adalah media aktivitasnya; jika outbound identik dengan aneka permainan baik di darat, air, maupun ketinggian; maka dalam WRITING CAMP, "permainan" tersebut diganti dengan proses MENULIS.

Ayo Menulis

WRITING CAMP idealnya diikuti 8-20 peserta dalam satu angkatan, serta dapat dilakukan secara tatap muka (2-3 hari), online (2-4 minggu) atau hybrid.

Salah satu contoh keseruan WRITING CAMP dapat disimak di halaman ini, sedangkan jika suatu komunitas (profesional atau pendidikan) menghendaki tujuan tertentu melalui WRITING CAMP ini, nanti bisa kami modifikasi skenario prosesnya. Misalnya, bagi mereka yang memerlukan pendampingan penulisan supaya karya tulis (ilmiah)nya cepat selesai; misal skripsi atau tesis; kami siap memfasilitasi pendampingannya dengan gambaran materi yang bisa diintip di sini.


Jadi, sudah siap untuk menulis?


Share:

PERMAINAN TANPA ALAT, Mau Seminar atau Pelatihan?

Antisipasi

Apakah kita pernah mengalami “kenaasan”  seperti ini?

  • Tiba-tiba ditodong mengisi sesi ice breaking atau perkenalan, namun kita tidak siap,
  • Mengikuti pertemuan yang membosankan tanpa ada penyegaran,
  • “Dicap” terlalu monoton saat memberi pelajaran/ pelatihan/ materi,
  • Ingin membawakan permainan, tapi ribet dengan persiapan membawa peralatannya.

Jika pernah, mari kita entaskan kenaasan tersebut dengan menyelami materi  PERMAINAN TANPA ALAT melalui suatu WORKSHOP atau PELATIHAN

Kenapa? 

Karena materi yang didasari buku “123 PERMAINAN TANPA ALAT” ini  dirancang supaya para pesertanya bisa terinspirasi membawakan permainan tanpa menggunakan alat apapun alias tangan kosong.  

Materi:

  1. Kategori permainan (Perkenalan, Massal, Sinergi, Imajinasi, Kompetisi, dan Teka-teki)
  2. Potensi skala kecerdasan pemain (Linguistik,  Matematis/ Logika,  Spasial/ Visual,  Kinetik-Jasmani,  Musikal, Interpersonal,  Intrapersonal, dan  Naturalis)
  3. Teknik membawakan permainan secara efektif.
  4. Teknik memaknakan/ refleksi permainan secara taktis

Materi PERMAINAN TANPA ALAT ini sangat cocok diperdalam oleh mereka yang bergerak dalam bidang pemberdayaan manusia, diantaranya: Guru, Dosen, Trainer, Fasilitator, Supervisor, Outbounder, dan  para praktisi pengembangan SDM.

Format Pembelajaran

Format kegiatan pembelajaran bisa berupa Seminar, atau Pelatihan dengan perbedaan sebagai berikut



Trainer Seminar/ Pelatihan akan  dibawakan langsung oleh Penulis buku “123 Permainan Tanpa Alat,” yaitu:  Agustinus Susanta, S.T., M.Pd. 
Berlatar belakang Arsitek, Dosen, Asesor, Outbounder, Penulis, & Trainer, selama 20 tahun penulis mengulik dan memerdalam dunia pengembangan karakter berbasis experiential learning/ outbound. Lebih dari 500 program sudah digelutinya,  dengan total peserta lebih dari 33 Ribu  orang. 

Pengin tahu salah satu contoh permainan seru tanpa alat yang bisa digunakan untuk outbound?
Simak saja di sini ya...

Share:

GATHERING SERU bertema MONOPOLI

Apa Itu?

Board Game Monopoly diperkenalkan tahun 1904 di AS dan telah diterjemahkan untuk dipasarkan di puluhan negara, termasuk Indonesia. Dalam “Monopoly,” tiap pemain berusaha menjadi yang paling kaya melalui pembelian, penyewaan dan pertukaran tanah/ properti dalam sistem ekonomi yang disederhanakan.

Apa itu Monopoli Entrepreneurship?

Setiap pemain melemparkan dadu secara bergiliran untuk bergerak;  jika ia mendarat di petak yang belum dimiliki oleh pemain lain, ia dapat membeli petak itu. Namun bila petak itu sudah dibeli pemain lain, ia harus membayar uang sewa pada pemiliknya. Biaya sewa properti bisa bertambah jika di atasnya didirikan rumah atau hotel. Semakin banyak lahan dan properti yang dimiliki seorang pemain, maka semakin banyak pula potensi uang sewa yang bisa didapatnya dari pemain lain. 

Permainan “Monopoli Entrepreneurship” adalah hasil pengembangan boardgame “monopoly” yang sudah dilakukan  selama 15 tahun terakhir dan diujicobakan pada berbagai kalangan. Oleh pengembangnya, Monopoli Entrepreneurship juga diangkat menjadi tema tesis guna menyelesaikan program pendidikan Magister Ilmu Pendidikan di UNY.

Penampakan Laporan Tesis berjudul "Pengembangan Media Permainan
Monopoli untukk Meningkatkan Entrepreneurship pada Remaja"

Permainan “Monopoli Entrepreneurship” dibuat besar berukuran sekitar 3 x 3 meter dengan konten yang sudah disesuaikan dengan tempat-tempat menarik di Indonesia. Permainan ini menjadi seru karena dimainkan oleh beberapa pemain yang anggotanya  2-5 orang.  Kehebohan permainan terjadi saat terjadi komunikasi yang interaktif baik dengan pemain lawan, maupun di dalam tim itu sendiri; terutama dalam strategi jual-beli, pertukaran, lelang, atau ragam negosiasi lainnya.

Suasana Permainan Monopoli untuk Perusahaan.
Cerita lebih lengkap ada di PETAK INI

Walaupun berformat permainan, namun “Monopoli Entrepreneurship” mengandung aspek-aspek pembelajaran bagi para pemain/ pesertanya, diantaranya: sikap visioner, analisis, belajar bernegosiasi, mengembangkan sikap percaya diri, dan keberanian mengambil dan menanggung risiko. Agar maksimal, permainan ini perlu difasilitasi oleh seorang pemandu yang tepat supaya dapat menginternalisasikan nilai-nilai pembelajarannya.

Manfaat

Permainan “Monopoli Entrepreneurship” bisa dimanfaatkan untuk apa saja? 

  1. Pembelajaran kewirausahaan/ entrepreneurship yang dilakukan secara menyenangkan, baik pada ranah pendidikan, perusahaan, maupun komunitas lain.
  2. Dinamika pengisi acara pertemuan perusahaan, misal rapat kerja. Monopoli Entrepreneurship bisa dilakukan dalam beberapa sesi terpisah di sela-sela waktu pertemuan.
  3. Materi pelatihan dengan target “peningkatan kemampuan negosiasi melalui analisis komprehensif yang disertai keberanian mengambil peluang dan risiko.”
Monopoli Raksasa untuk Pembelajaran Bisnis bagi Siswa

Kondisi training yang ideal:

  • Jumlah peserta 10 - 30 orang (1 atau 2 board),
  • Ruangan minimal 6 x 6 meter untuk tiap board,
  • Waktu training 3 - 5 jam (bisa dipecah jadi 3 atau 4 sesi)

Pengembang

Pengembangan dan Trainer “Monopoli Entrepreneurship” difasilitasi oleh: Agustinus Susanta, S.T., M.Pd. (Penulis beberapa buku pelatihan dengan pengalaman sebagai Fasilitator Outbound Tingkat Utama, Dosen, Asesor, Trainer Level IV)  Kontak WA:  0812 2680 2639 

Berikut ini secuplik keseruang Gathering bertema MONOPOLI





Share:

Tesis Cukup 1 Semester Saja (Bagian ke-4 Dapat Master dalam 1 Tahun)

Pengantar

Catatan ini merupakan lanjutan dari Keseruan ini sebagai bagian dari seri catatan perkuliahan saya saat mendapat gelar Master Pendidikan hanya dalam 1 tahun dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Fokus obrolan kita di sini adalah tips bagaimana bisa menyelesaikan (mata kuliah) TESIS (6 SKS) hanya dalam waktu 1 semester saja. Kisah ini berkonteks perkuliahan di UNY, namun saya curiga bahwa walau tidak sama persis, namun prosesi penyelesaian tesis di kampus-kampus lain juga serupa, sehingga catatan ini juga bisa dijadikan “lirikan” bagi rekan-rekan yang sedang menyelesaikan tesis, skripsi maupun artikel ilmiah lainnya. Kita mulai yuk…

Cangkir Peneman Tesis
https://id.pinterest.com/pin/724446290055244001/
Saya sudah menjelaskan kaitan tesis dengan proses perkuliahan dalam catatan seri sebelumnya, namun ada baiknya hal-hal pokoknya saya sampaikan kembali. 3 mata kuliah yang terkait erat dengan tesis adalah Penulisan Karya Ilmiah (2 SKS), Metodologi Penelitian Pendidikan (3 SKS), dan Penulisan Proposal dan Seminar Tesis (3 SKS). Keseriusan menyelesaikan 3 mata kuliah tersebut bagi saya menjadi salah satu kunci kelancaran menyelesaikan tesis. Sebagai gambaran, salah satu tugas mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan adalah menulis kerangka penelitian yang diarahkan menjadi tesis.

Akan baik sekali jika pada awal semester kita sudah menyiapkan tema atau judul tesis, karena beberapa tugas/ ujian mata kuliah bisa diarahkan untuk (mencicil) pendalaman tema tersebut. Misalnya nih, kita mau ngangkat tema “komunikasi efektif” dalam penelitian tesis, maka tema tersebut bisa dimasukkan dalam beberapa tugas atau ujian mata kuliah tertentu yang relevan. Pada saatnya nanti ketika saat tesis tiba, kita sudah pernah bergelut dalam tema “komunikasi efektif” dalam bentuk pencarian literatur, pembuatan tulisan, diskusi, presentasi dan sejenisnya.

Perlu disadari bahwa tesis itu hanya 6 SKS saja. Jika pada semester 1 misalnya kita bisa lulus 7 mata kuliah dengan total 15 SKS, maka pada semester berikutnya jika kita hanya ngambil katakanlah 11 SKS dari 3 mata kuliah, diantaranya tesis; logikanya bisa dong semua mata kuliah tadi terselesaikan tepat waktu. Memang mata kuliah "Penulisan Proposal dan Seminar Tesis" diambil bersamaan dengan "Tesis," namun sebenarnya konten sudah dipersiapkan 1 semester sebelumnya dalam mata kuliah "Metodologi Penelitian Pendidikan." Maka, kalau kita taktis, sebenarnya total pengerjaan tesis itu bisa 2 semester, diawali saat kita pertama masuk kuliah.

Jika kita pernah atau bahkan sering mendengar cerita MAHAsiswa yang bersemester-semester, bahkan bertahun-tahun dalam mengerjakan tugas akhir, skripsi, atau tesis; sebaiknya jangan jadikan itu sebagai pembenaran akan hoax bahwa ngerjain tesis itu sulit. Mungkin mereka yang terlibat kenaasan tersebut belum membaca catatan ini, he he he… Mungkin kita perlu lebih banyak membaca hal-hal yang membangun serta membanggakan tentang pengerjaan tugas akhir, sehingga punya motivasi dan tekad yang kuat menyelesaikan seluruh proses perkuliahan.

Sebelum saya mengawali prosesi tesis secara lebih teknis, perlu diperhatikan bahwa penceritaan saya itu konteksnya di UNY pada tahun 2022-2023, sehingga panduan maupun peraturan penelitian mengacu ke sana. Saya berkeyakinan di kampus-kampus lain, walau tidak persis sama, namun tatacara penyelesaian tesis secara prinsip sama. Kebetulan saya juga diminta oleh beberapa teman outbounder dari kampus lain untuk meninjau tesis mereka yang juga bertema outbound atau experiential learning. Yuk segera kita mulai

Mengimajinasikan Penelitian

Umumnya, tesis terdiri dari 5 Bab, yaitu: Pendahuluan, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan, dan Penutup. Tesis diawali dengan proses pembuatan proposal penelitian yang dimulai pada awal semester kedua di mata kuliah "Penulisan Proposal dan Seminar Tesis" (3 SKS). Proposal yang saya ajukan mempunyai anatomi penulisan seperti ini:

  • Pernyataan Keaslian Karya, Lembar Persetujuan, Daftar Isi.
  • Bab I PENDAHULUAN yang berturut-turut berisi subbab: latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
  • Bab II KAJIAN PUSTAKA yang berturut-turut berisi subbab: kajian teori, kajian penelitian yang relevan, kerangka pikir, dan pertanyaan penelitian.
  • Bab III METODE PENELITIAN yang berturut-turut berisi subbab: jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, sumber data, teknik dan instrumen pengumpulan data, keabsahan dokumen, dan teknik analisis data.
  • Daftar Referensi

Saya mengajukan 2 alternatif judul penelitian, dan yang diterima berjudul Pengembangan Media Permainan Monopoli untuk Meningkatkan Entrepreneurship pada Remaja. Dinamika seru dalam kelas kami mayoritas berkutat tentang judul apa yang mau diangkat. Jika diberbandingkan mungkin hanya sekitar 20% mahasiswa saja yang sudah mantap dengan judul penelitian; 30% sudah ada bayangan tetapi masih samar-samar dan yang separo baru mulai mencari-cari judul. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa walaupun sudah punya pengalaman, namun menemukan tema yang akan diteliti berdasarkan pendampingan yang pernah digeluti ternyata perlu perjuangan.

Berburu Judul

Bagaimana cara menentukan judul penelitian yang tepat? Konon, penelitian untuk tesis harus mengandung 3 variabel; misal dalam contoh sebelumnya; 3 variabelnya adalah: Media Permainan Monopoli, Entrepreneurship, dan Remaja. Prinsip penelitian sebagai salah satu upaya memperkecil kesenjangan atau masalah antara kondisi aktual dengan ideal sudah saya jelaskan pada seri ke-3, khususnya dalam konteks artikel ilmiah. Setelah berdinamika bersama teman-teman sekelas dalam pengambilan tesis, maka saya memberanikan diri untuk memberi tips praktis tentang bagaimana merumuskan judul penelitian yang bisa diselesaikan hanya dalam 1 semester saja. 

Karena personalitas penelitilah sebuah judul lahir, maka dengan judul yang sama, bisa menghasilkan disposisi batin beda untuk peneliti yang  satu dengan lainnya. Misalnya judul yang saya angkat itu “related banget” dengan saya sehingga saya yakin bisa kelar dalam 1 semester saja; namun jika judul yang sama diberikan pada orang lain, bisa jadi dia malah bingung dan sangat kesulitan menyelesaikannya. Mengapa? bisa jadi yang bersangkutan tidak paham bahkan tidak pernah main “monopoli,” maka bagaimana dia mau mengembangkannya? untuk tujuan tertentu pula; bukan sekedar main-main.

Saat membuat proposal, mari kita imajinasikan bagaimana “Bab III Metode Penelitian” akan kita eksekusi; hal itu bisa menjadi patokan berapa banyak energi dan sumber daya yang kita perlu persiapkan nanti. Bagaimana dengan Bab I dan II? Menurut saya hal tersebut relatif standar karena lebih banyak dikerjakan dengan berpikir, bukan seperti eksekusi dari Bab III yang memerlukan pergerakan fisik yang pasti punya konsekuensi terhadap sumber daya manusia, perlengkapan, jarak-lokasi, biaya, dan tentu saja waktu. Carilah judul penelitian yang proporsional dengan kondisi kita supaya bisa diselesaikan dengan “aman,” dibuat sedikit menantang nggak apa-apa supaya menjadi penyemangat dalam prosesnya. 

Jenis Penelitian  

Pertama-tama, kita perlu pahami prinsip jenis penelitian yang sedang kita gagas. Saya akan menyebutkan ragamnya saja ya, tanpa mendetilkan maksudnya.

  1. Penelitian kuantitatif.
  2. Penelitian kualitatif.
  3. Penelitian campuran kualitatif dan kuantitatif.
  4. Penelitian atau laporan evaluasi.
  5. Penelitian Tindakan Institusional
  6. Penelitian tindakan kelas.
  7. Penelitian dan Pengembangan.

Tiap jenis penelitian memunyai tindakan yang berbeda, maka silakan diimajinasikan jika kita sudah mempunyai calon judul, seberapa asyik kita nanti mengerjakannya?

Faktor berikutnya sebagai pertimbangan penyusunan proposal yang mengerucut dalam judul adalah kombinasi tempat, sumber data, dan waktu penelitian. Tentu hal yang (sangat) mengada-ada jika misalnya peneliti yang sehari-hari tinggal di Kota Brebes Jawa Tengah membuat penelitian dengan tempat di Timika, Papua yang terpisah jarak 3000an kilometer. Misalnya judul kita itu “Pengaruh Games Spider Web terhadap Peningkatan Kerjasama pada Para Guru di Timika.” Tentu bukan pertama-tama judul penelitiannya yang jelek, tetapi kenapa harus ke sanaaa…?

Sumber data, subyek, atau responden penelitian kita hendaknya disesuaikan dengan kondisi kita. Apakah cocok judul penelitian ini diambil oleh seorang outbounder? “Uji Coba Modul Experiential Learning berbasis Paduan Suara dalam Meningkatkan Kompetensi Menteri KabinetHmmm… judulnya sih mentereng, tapi apa ya memungkinkan kita membuatnya? Emangnya kita (anak) presiden? pun terjadi (keajaiban) para menteri menteri bisa berkumpul; bagaimana teknis latihan menyanyinya dalam paduan suara? Apa semua paham not atau lagu? Ribet kan? Mungkin judul itu hanya bisa diterapkan oleh Kim Jong Un di Korea Utara sana. Hus kok jadi ngelantur… intinya, bagaimana teknis kita “meraih” sumber data juga perlu disesuaikan kalau penelitian kita ingin cepat selesai ya.

Mengimajinasikan Tesis
https://id.pinterest.com/pin/327918416616368803/ 

Estimasi Waktu

Mengenai waktu penelitian, saya punya pengalaman yang sangat berharga. Ceritanya proposal sudah beres nih. Subyek penelitian saya adalah siswa SMA dan tempat menelitinya juga di sekolahan supaya praktis. Setelah urusan berbagai validasi sebagai perangkat penelitian selesai, ternyata saya hanya punya waktu paling lama 2 minggu untuk “beraksi” melaksanakan pengambilan data di sekolahan karena para siswa akan ujian, class meeting, lalu libur panjang. Wah, autopaniklah saya. Yang bikin konyol itu, saya tidak memikirkan hal itu sejak awal proses penelitian; bahwa untuk penelitian di sekolah perlu ijin, koordinasi dengan kepala sekolah (yang lalu diarahkan pada guru terkait), menyesuaikan jadwal siswa, dan sebagainya. Namun di balik kemepetan tersebut, syukurlah saya bisa melakukan penelitian di 2 sekolah karena konten yang saya angkat (monopoli) memang sudah diakrabi.

Hikmah yang lebih saya syukuri pada kejadian itu adalah karena data sudah terkumpul (hanya dalam dalam 2 minggu), apa lagi yang ditunggu? Semua tergantung pada kecepatan kita mengolahnya sampai menghasilkan jawaban terhadap pertanyaan penelitian.  Singkat cerita saya ngebut menyelesaikan Bab IV dan V dengan sekali berangkat ke Yogya untuk konsultasi dengan dosen pembimbing sampai akhirnya laporan tesis tuntas, ndaftar ujian, revisi, dan dinyatakan lulus  menjelang tenggat pendaftaran yudisium pada bulan Juli 2023 yang berakibat bisa wisuda pada bulan Septembernya. Semuanya masih diperhitungkan dalam semester yang sama. Coba saya telat 2 minggu saja pada pertengahan proses penelitian, mungkin saya baru diwisuda pada Bulan Desember 2023 yang sudah dihitung semester ke-3 dan itu berarti keluar uang SPP lagi (hanya) untuk (menunggu) wisuda. Saya pun tidak bisa mengklaim dapat Master Pendidikan dalam 1 tahun sehingga bisa saya “pamerkan” melalui blog ini.

Paragraf ini agak diluar topik ya, namun bisa menjelasakan mengapa saya seolah “pamer” akan keberhasilan kuliah S2 yang ya… apa istimewanya sih? Gini, konteksnya adalah saya seorang pegiat experiential learning atau outbounder. Dalam dunia outbound di Indonesia, masih sangat minim kajian ilmiah tentang manfaat outbound atau outdoor training bagi pesertanya. Kalau klaim bahwa outbound bisa meningkatkan ini itu, itu sudah banyak bertebaran di internet. Tapi jika dicari tulisan atau dokumen (bukti) bahwa penanigkatan ini itu memang nyata terjadi, kok (sangat) sulit ditemukan ya? Berdasarkan kondisi itulah maka saya menekadkan diri membuat seri tulisan ini. Siapa tahu lebih banyak outbounder yang (tergerak dan) mau kuliah dengan jalur khusus RPL yang ngirit waktu dan biaya sampai 50% dari hitungan normal. Kalau saat ini belum mampu kuliah dan bikin tesis tentang outbound, ya sangat terbuka untuk membuat artikel ilmiah tentang outbound. Bagi yang sebenarnya mampu namun masih gamang dengan tatacara kuliah (lagi), semoga catatan ini bisa menggambarkan bahwa outbounder kuliah RPL S2 di UNY itu asyik dan bisa cepet kok. Kenapa judulnya pake “Dapat Master hanya dalam 1 Tahun?” ya…. namuanya juga usaha biar menarik, sama seperti “jualan” outbound kan, bisa meningkatkan ini itu, he he he…. Cukup ya curhatan saya… kini kita balik lagi ke laptop.

Teknik Mendata

Teknik dan instrumen pengumpulan data merupakan titik signifikan penelitian kita. Selain menyesuaikan dengan jenis penelitiannya, kita juga harus memertimbangkan konteksnya dengan beberapa keterbatasan kondisi peneliti, terutama menyangkut waktu penelitian. Saya akan kepoin salah satu judul penelitian teman saya yang bagi saya metode sudah ilmiah, namun jika hal tersebut dijalankan akan ribet karena menyangkut banyak sumber daya. Konteksnya begini, teman saya itu seorang fasilitator experiential learning yang kenyang pengalaman, dan sudah menemukan (lebih tepatnya memodifikasi) metode tertentu dalam proses pendampingan, khsusnya bagi peserta yang punya latar belakang kecemasan tertentu. Saya samarkan, metodenya sebut saja PQR, dan kecemasannya tentang BCD.  Judul yang digagas adalah Metode PQR untuk Membantu Mengatasi BCD pada Remaja dan menurut saya bagus. Namun setelah membaca bagian metodologi penelitiannya, saja jadi ngeri sendiri karena berbagai tahapan yang diidekannya bergaris besar seperti ini, dan ada tambahan metode pembanding yaitu yang sebut saja Metode 456:

  • Jenis penelitian yang dipilih adalah experimental randomized pre-test and post-test with control group design dengan membandingkan antara perlakukan atas dua kelompok. Kelompok pertama yaitu remaja dengan intervensi metode  PQR dan kelompok kedua dengan intervensi metode 456. Responden direncanakan 50 orang remaja dengan syarat utama tengah menghadapi BCD. Nah, dalam pemikiran saya, mencari remaja yang kena BCD ini saja sudah jadi persoalan tersendiri, belum lagi setelah ketemu, pasti perlu upaya keras untuk menjadikan mereka sebagai subyek penelitian dalam 2 kelas. 
  • Metode PQR akan diterapkan pada 25 responden selama 4 minggu berturut-turut dengan durasi pelaksanaan masing-masing 1 jam. Demikian juga metode 456 akan diterapkan pada 25 responden yang berbeda selama 4 minggu berturut-turut dengan durasi pelaksanaan masing-masing 1 jam. Hasil pre test dan post test kedua kelompok dibandingkan untuk lalu disimpulkan.
  • Metode penelitian tersebut saya pastikan ilmiah, namun membayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh saya sebagai outbounder “hanya” demi menyelesaikan tesis secepat mungkin, kok jadi mikir-mikir ya? Pertama karena “ribet” banyak yang diurus dan dilakukan; eksperimennya saja 4 minggu belum urusan pra dan pasca-nya. Trus saya juga was-was, seandainya berdasarkan prosedur penelitian ternyata metode 456lah yang justru disimpulkan lebih membantu remaja Mengatasi BCD daripada metode PQR, saya mau bilang apa? Lha wong judulnya saja mengangkat metode PQR; pusing kan….

Soal waktu penyelesaian tesis, saya melihatnya dari 2 dimensi. Pertama dimensi teknis mengerjakannya apakah memerlukan waktu singkat atau panjang. Kedua, ditinjau dari sisi keterkaitan momen penyelesaian tesis dengan rangkaian perkuliahan lain, sebagai contoh waktu pendaftaran yudisium. Bisa saja kan tesis kita misal beres nan tuntas dalam 2 bulan, dalam arti sudah direvisi dan mendapat pengesahan semua dosen/ penguji serta pejabat kampus, tetapi karena tenggat pendaftaran sudah ditutup 2 hari sebelumnya, maka kita harus nunggu 3 bulan untuk bisa diyudisium pada periode berikutnya; 3 bulan yang nganggur. Bandingkan misalnya teman kita yang waktu ngerjain tesisnya bareng, dia menuntaskannya dalam 4 bulan, ndaftar yudisium dan pada akhirnya yudisium bareng kita. Oh ya, saya lebih enak menyebut periodisasi itu dengan kata “penyelesaian” karena targetnya jelas; selesai, daripada menggunakan kata “mengerjakan” yang waktunya bisa suangat fleksibel dan lama banget, hasilnya pun “dikerjakan,” dan belum tentu selesai.

Keabsahan Dokumen

Kini saya akan cerita tentang “keabsahan dokumen,” berdasarkan kisah nyata. Saya heran mengapa teman saya yang 2 hari lalu ngurus administrasi yudisium di kampus UNY, kini kembali lagi ke kampus? Padahal rumah dia jauh dari kampus lho, kalau naik jalan darat, waktunya hampir semalaman untuk mencapainya. Pasti ada sesuwatu yang sangat penting. Ternyata, walau sudah dianggap lulus oleh dosen penguji, tetapi pihak administrasi kampus mempertanyakan ketiadaan dokumen penelitian berupa surat ijin penelitian yang sesuai aturan harus dikeluarkan oleh pihak kampus. Jadi, teman saya itu meneliti dengan subyek orang-orang di desa dia sendiri, jadi dia berasumsi tidak perlulah surat ijin dari kampus, toh data sudah bisa didapatnya. Ternyata di kemudian hari, ketiadaan surat tersebut menjadi pertanyaan yang lalu menggugat konten penelitian, “Mahasiswa ini bener nggak ya bikin penelitian ini, kok melibatkan orang-orang desa namun tidak ada ijin atau keterangan dari pihak desa? Jangan-jangan fiktif?” Ketergopoh-gopohan sang teman kembali ke kampus itu untuk menjelaskan pada pihak pejabat berwenang bahwa dia memang melakukan penelitian secara ilmiah, namun memang mengabaikan urusan administrasi perijinan. Pada akhirnya ada proses tertentu yang harus dilakukan sang teman supaya penelitian tetap dikategorikan valid tepercaya.

Berburu Validitas

Penelitian yang saya kerjakan adalah "Riset dan Pengembangan," yang menampilkan suatu produk yang dikembangkan, yaitu permainan Monopoli. Supaya suatu produk bisa dikembangkan dalam kaidah ilmiah, maka proses pengembangannya juga harus dinyatakan "ilmiah," melalui prosedur validasi produk. Namun sebelum mencapai ke sana, kita perlu melakukan validasi instrumen penelitian lebih dahulu. Jadi, saya selama penelitian mengajukan 3 validasi, yaitu: Validasi Materi, Validasi Instrumen Penelitian, dan Validasi Produk. Dalam buku panduan, prosedur pengajuan validasi dilakukan mahasiswa dengan mengajukan surat permohonan tertulis kepada Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni di Fakultas. Di pengajuan kita menyebutkan siapa calon validator kita, untuk dibuatkan surat oleh pihak kampus. Alokasi waktu yang dibutuhkan untuk validasi instrumen penelitian tesis disebutkan paling lambat 2 (dua) minggu sejak pengajuan validasi instrumen penelitian tesis diajukan. Namun dalam praktik di lapangan proses yang saya alami bervariasi, ada yang cepat 3 hari selesai, namun ada juga validasi yang lama bahkan sampai berganti validator karena calon yang pertama tak kunjung memberi respon. Poin yang mau saya sampaikan adalah jangan sepelekan proses validasi ini, selain ragam para validator yang mungkin pendekatannya berbeda, proses umpan balik dan revisi bisa membuat waktu untuk menyelesaikan tahap ini bervariasi. Hal ini terkait dengan waktu penyelesaian tesis ya, sebab tanpa validitas instrumen penelitian (yang dinyatakan dengan surat keterangan resmi) maka kita juga belum bisa melakukan proses penelitian atau pengambilan data di lapangan.

Teknik Analisis

Teknik analisis data adalah hal yang perlu kita perhitungkan juga dalam menggagas judul proposal yang nanti dikaitkan dengan seberapa mampu saya menganalisis data yang diperoleh. Sebagai refleksi, dulu sebelum memerdalam urusan metodologi penelitian, saya berpikir bahwa untuk menyimpulkan bahwa produk (monopoli entrepreneurship) yang saya gunakan sebagai materi penelitian itu sudah bagus atau belum, cukup dengan kuisioner yang diberikan pada para responden melalui beberapa pertanyaan “receh” yang intinya minta pendapat mereka apakah produk tersebut bisa meningkatkan entrepreneurship; titik. Kalo sebagian besar responden bilang bisa, berarti horeee…. (pertanyaan) penelitian saya terjawab sudah; selesai. Belakangan saya baru tahu hal tersebut masih kurang. Mungkin kata anak gaul sekarang, “tidak cukup begitu saja analisisnya, Ferguso” ha ha ha… Dari kekonyolan pemikiran tersebut lalu saya merevisi teknis analisis datanya sampai dinyatakan ilmiah.

Bagaikan sayur tanpa garam, lebih kurang  begitulah perumpamaan saat ngobrolin teknik analisis data, tanpa ngomongin SPSS (Statistical Package for the Social Sciences); sebagai salah satu alat untuk menganalisis data. Perangkat tersebut kerap disinggung dalam mata kuliah Statistika yang bagi sebagian besar mahasiswa memusingkan. Tidak hanya data, sebelumnya berbagai instrumen untuk mengambil datanya pun perlu dinyatakan valid dan reliabel; melalui uji statistik. Saya tidak menggunakan SPSS, namun hanya memanfaatkan program Exel di Microsoft. Pada dasarnya bagaimana kita akan menganalisis data tergantung pada jenis data dan apa yang diinginkan darinya; jadi tidak lalu otomatis tergantung pada SPSS.

Banyak ya, hal-hal yang perlu dipertimbangkan saat kita membuat proposal penelitian? Ya segitulah; semua saling terkait. Kadang pengerjaan tesis seseorang yang menjadi lama sebenarnya bukan karena topik atau metodenya yang rumit, namun karena ditinggal alias tidak dikerjakan. Saran saya, carilah judul yang diimajinasikan bisa selesai dalam 1 semester sesuai dengan keadaan kita; tidak perlu “mewah,” yang penting bisa mengandung kebenaran ilmiah. Tidak harus jauh-jauh mencari, bisa juga gagasan muncul dari aktivitas sehari-hari outbounder, hanya perlu ditambahkan kreativitas untuk mengintervensi dan membalutnya dalam metode ilmiah.

Dosen Pembimbing

Nah, ngomongin bimbingan dengan dosen pembimbing bisa banyak cerita, karena tiap pembimbing punya karakter, kesibukan, dan pendekatan yang tidak sama dalam melakukan proses pembimbingan. Beruntung, pada kelas kami, 1 mahasiswa hanya dibimbing 1 dosen saja berbeda dengan outbounder teman saya yang kuliah di kampus lain, dia dapat 2 pembimbing. Sebenarnya, istilah "beruntung" tersebut menjadi relatif. Refleksi saya berdasarkan pengamatan terhadap kelas kami; semua pembimbing ingin mahasiswanya cepat menyelesaikan tesis. Bagi mahasiswa yang tahu akan konteks tesisnya serta niat mengerjakannya, proses bimbingan berlangsung relatif lancar. Namun sebaliknya, mahasiswa yang kurang serius akan kesulitan mengikuti ritme pembimbing, sehingga proses pembimbingan seakan menjadi beban. Padahal jika ditinjau dari sisi pembimbing, mahasiswa yang malas itu menjadi beban juga bagi mereka; nah. Memang tantangan saat rombongan belajar sudah masuk tahap tesis adalah menyeragamkan derap perkembangan sehingga semua bisa selesai bareng-bareng dalam waktu yang ditentukan. Apakah harus seragam? nggak juga sih.. namun jika bisa barengan, walau dosen pembimbingnya beda-beda, kan seru. Dalam kebersamaan para mahasiswa bisa saling menyemangati dan berbagi tips penelitian. sayang angkatan kami, 2022; walau pernah tercetus untuk bikin "Writing Camp" khusus tesis hal itu belum terwujud. Sampai saat catatan ini saya tulis, baru sebagian saja yang lulus dan wisuda; sedih juga sih.

Oke, sekarang kita ngomongin hal yang positif saja ya... Guna memercepat poses dan saling menyemangati dalam proses bimbingan tesis; kampus sampai bikin program percepatan penulisan tesis. Para mahasiswa dari berbagai program studi dan angkatan yang belum selesai tesisnya diundang untuk hadir ke kampus, bimbingan, dengan harapan bisa terbantu menyelesaikan tesis. Kita bisa mencontoh angkatan 2023 yang berinisiatif mengadakan "Boot Camp" yang sudah terlaksana dengan sukses. Semoga cepat selesai tesisnya ya.



Menuliskannya

Menuliskan berbagai pemikiran dalam tesis memerlukan “seni” tersendiri menyesuaikan format pada kampus tempat kita kuliah. Saya mencontohkan anatomi penulisan tesis berdasarkan bersifat penelitiannya, yaitu Riset & Development.

Menulis

  • Bagian depan saya menyebutnya, berisi: Abstrak (2 bahasa), Pernyataan Keaslian Karya, Lembar Pengesahan, Kata Pengantar, Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran.
  • Bab I PENDAHULUAN yang berturut-turut berisi subbab: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan (Penelitian) Pengembangan, Spesifikasi Produk yang Dikembangkan, Manfaat Pengembangan, dan Asumsi Pengembangan.
  • Bab II KAJIAN PUSTAKA yang berturut-turut berisi subbab: Kajian Teori, Kajian Penelitian yang Relevan, Kerangka Pikir, dan Pertanyaan Penelitian.
  • Bab III METODE PENELITIAN yang berturut-turut berisi subbab: Model Pengembangan, Prosedur Pengembangan, dan Desain Uji Coba Produk.
  • Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN yang berturut-turut berisi subbab: Hasil Pengembangan Produk Awal, Hasil Uji Coba Produk, Revisi Produk, Kajian Produk Akhir, dan Keterbatasan Penelitian.
  • BAB V SIMPULAN DAN SARAN yang berturut-turut berisi subbab: Simpulan tentang Produk, Saran Pemanfaatan Produk, dan Diseminasi dan Pengembangan Produk Lebih Lanjut.
  • Daftar Pustaka
  • Lampiran
  • Surat Keterangan Bebas Plagiasi.

Bagaimana format menulis tesis supaya praktis? Nantikan tips-tipsnya pada seri berikutnya dengan bocoran "Bagaimana memanfaatkan fitur pada aplikasi laptop supaya memermudah menulis dan mengedit naskah laporan penelitian kita?" 

---bersambung ke lembar ini---

 

 

Share: