Catatan ini merupakan garapan saya untuk UAS mata kuliah "Filosofi dan Teori Pendidikan Nonformal" pada perkuliahan Magister di Departemen Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan, Universitas Yogyakarta. Dosen kami tercinta hanya menanyakan 2 soal saja sih, yaitu:
Soal A
Jelaskan pengertian pengembangan manusia, evolusi
pengembangan manusia yang relevan dengan evolusi pengembangan pendidikan luar
sekolah, dan fungsi-fungsi pengembangan manusia; Pendidikan dan pelatihan
sebagai fokus pengembangan manusia
Soal B
Jelaskan, analisis, kritik, dan aplikasikan konsep "Pengertian pemberdayaan, pemberdayaan diri, memberdayakan orang lain; Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan; Pendidikan luar sekolah sebagai proses pemberdayaan; memberdayakan individu, kelompok, masyarakat" dalam dunia kerja saudara-saudara.
Contoh aktivitas outbound |
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM DUNIA WISATA OUTBOUND; BELAJAR DARI DESA OUTBOUND KALIMASSADA
Mengenal Outbound
Outbound
merupakan kegiatan yang sangat familier bagi para perusahaan atau lembaga guna
mengisi kegiatan pengembangan ataupun memberdayakan sumber daya manusianya. Ginandjar
Kartasasmitha menyatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun
daya itu, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya [1]. Sedangkan Rappaport menjelaskan bahwa pemberdayaan merupakan suatu cara dengan
mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai dan
memahami serta berkuasa atas kehidupannya. Pemberdayaan menekanankan pada aspek
pendelegasian atau pemberian kekuasaan dan memberi wewenang atau pengalihan
kekuasaan pada individu, kelompok serta masyarakat yang mampu mengatur diri dan
lingkungannya sesuai dengan keinginan, potensi dan kemampuan yang dimilikinya.
Pemberdayaan juga menekankan makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu,
kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta
mampu hidup sendiri [2].
Pemberdayaan
melalui kegiatan outbound mempunyai sejarah yang cukup panjang. Bermula dari
kata “Outward Bound”, yang secara kamus bahasa berarti; “sebuah kapal layar
yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk menuju ke
tempat tertentu.” Filosofi tersebut dijabarkan dalam sebuah program pelatihan
dengan narasi “Saat kapal layar akan meninggalkan pelabuhan, tentu awak buah
kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka akan memersiapan perbekalan,
peralatan, logistik, serta mental, sebagai bekal dalam pengarungan di laut yang
sarat tantangan, mulai dari cuaca, gelombang besar, serta dinamika dalam
kelompok/ tim ABK (Anak Buah Kapal) itu sendiri.” Hal tersebut diambil sebagai
konsep pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya berubah
menjadi lebih positif.
Konsep Outward Bound juga menelaah cara
supaya peserta bisa merasakan sendiri pengalaman serta mampu mengambil hikmah
atau manfaatnya, sehingga lebih berguna diterapkan pada pekerjaan atau tujuan
selanjutnya setelah mengikuti program kegiatan ini [3]. Istilah Outward Bound ,
berkembang menjadi “merek industri,” internasional yang sudah dipatenkan, dan
pada awal tahun 90an masuk ke Indonesia dengan Nama Outward
Bound Indonesia (OBI). OBI yang bermarkas di tepian Waduk Jatiluhur Jawa
Barat, kerap melakukan berbagai pelatihan melalui media petualangan di darat,
perairan, juga tali rendah/ low rope,
dan tali tinggi/ high rope. Mayoritas
masyarakat sekitar yang agak susah menyebut kata “outward,” lalu menyebut
aktivitas (pelatihan) semacam itu dengan istilah otbon, outbond, atu
“outbound.”
Pada tahun
2002, terbit buku berjudul “Outbound Management Training” yang ditulis oleh
Profesor Djamaludin Ancok, Ph.D. Outbound Management Training (OMT) adalah
suatu program pelatihan manajemen di alam terbuka yang mendasarkan pada prinsip
“experiential learning” (belajar melalui pengalaman) yang disajikan dalam bentuk
permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi [4]. Berkat terbitnya buku inilah maka
pelatihan di alam terbuka lalu kerap disebut dengan “outbound.” Beberapa pegiat
outbound menjelasakan bahwa outbound berasal dari kata out of boundaries atau “keluar dari batasan” karena sifat
aktivitasnya yang kebanyakan dilakukan di luar ruangan dan menggunakan media
permainan atau petualangan yang di luar kebiasaan. Aneka dinamika menantang
tadi biasanya melibatkan unsuf fisik, pengetahuan, dan psikologis/ mental dari
sisi peserta. Outbound lalu didefinisikan sebagai metode pengembangan diri
melalui kombinasi rangkaian kegiatan beraspek psikomotorik, kognitif, dan
afeksi dalam pendekatan pembelajaran melalui pengalaman [5].
Melalui outbound, para peserta diajak untuk bisa
memberdayakan dirinya sendiri. Pemberdayaan sebagai proses pemberian
kekuatan atau daya yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian dan
kepekaan individu terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik sehingga
ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya [6]. Pemberdayaan dalam
pengertian di atas sebagai usaha dari luar individu/kelompok orang untuk
meningkatkan kemampuan atau daya agar individu atau kelompok orang peka
terhadap perubahan lingkungan yang terjadi dan mampu menyesuaikan perubahan
yang terjadi. Pemberdayaan diri berarti proses peningkatan kemampuan atau daya
yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan dengan tujuan untuk meningkatkan
kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan lingkungan yang terjadi sehingga
berkemampuan untuk mengevaluasi diri dan meningkatkan status sosialnya.
Kegiatan
outbound mempunyai versi pembelajaran guna pengembangan diri melalui siklus
LACAK, yang berarti: L sebagai singkatan dari “Lakukan,” berarti peserta
melakukan lebih dahulu sesuatu permainan/ dinamika. A sebagai singkatan
“Abrakadabra,” berarti setelah melakukan pasti peserta mendapat hasil tertentu.
C sebagai singkatan “Ceritakan,” berarti peserta menceritakan atau menyampaikan
hasil dinamika yang dialaminya. A (kedua) sebagai singkatan “Ambil,” berarti
proses peserta mengambil nilai-nilai atau manfaat dari proses yang sudah
dijalaninya. K sebagai singkatan “Kembalikan,” berarti setelah mengambil
manfaat, peserta dimotivasi supaya hal tersebut dapat dikembalikan pada dirinya
untuk dimanfaatkan dalam keseharian [7].
Wisata Outbound
Outbound lekat dengan dunia kepariwisataan karena
aktivitasnya kebanyakan dilakukan di sekitar tempat rekreasi/wisata. Seandainya
bukan di lokasi wisata, para peserta outbound juga sering memilih tempat yang
nyaman dan menyenangkan untuk melakukan dinamikanya, sehingga mereka malah bisa
sekalian melakukan rekreasi di sana. Hal ini membuat tempat-tempat wisata yang
menyediakan fasilitas outbound makin ramai dikunjungi. Tak hanya tempat wisata, bahkan dewasa ini
mulai banyak desa wisata yang menjadikan outbound sebagai salah satu daya tarik
wisata. Kegiatan semacam ini lalu disebut dengan nama wisata outbound.
Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa
Sansekerta "pari" yang
berarti “berkali-kali” dan "wisata" yang berarti “bepergian”. Secara
harfiah, pariwisata berarti "perjalanan yang dilakukan berkali-kali ke
suatu tempat [8]. Mengutip Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka yang
dimaksud dengan wisata adalah: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata
yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata
dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah [9]. Seseorang berwisata biasanya
karena di suatu tempat mempunyai “Daya Tarik Wisata,” yang dalam undang-undang tersebut dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Desa
wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas
pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu
dengan tata cara dan tradisi yang berlaku [10].
Fenomena desa wisata marak
dalam beberapa tahun terakhir ini akibat dibukanya keran kebijakan pengembangan
pariwisata daerah. Namun sayangnya sebagian desa wisata yang dicanangkan justru
dalam kondisi gamang untuk berkembang. Beberapa hal yang disinyalir menyebabkan
ke-matisuri-an desa wisata adalah karena kurangnya kreativitas mengintegrasikan
antara atraksi, akomodasi, dan fasilitatas pendukung lain untuk konsumsi
pariwisata. Tak bisa dipungkiri, banyak sebuah desa/ kampung mencanangkan diri
sebagai desa wisata hanya karena latah ingin mengikuti (kisah sukses) desa
wisata lainnya. Pengandalan keelokan alam saja, yang lalu ditempeli spot untuk
swafoto /selfie disana-sini ternyata tidak otomatis menjamin sebuah tempat
wisata yang menarik, apalagi dalam skala kampung/ desa.
Kearifan
lokal dan potnsi daya tarik wisata disetiap daerah tentu berbeda-beda
tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup masyarakatnya. Dalam perkembangannya,
kearifan lokal tidak hanya dipahami sebatas pada peninggalan masa lalu saja,
tetapi juga merupakan suatu respon bijak masyarakat (lokal) terhadap
perkembangan teknologi (masa kini) dan budaya (baru) dengan tetap menyelaraskan
diri terhadap “kearifan lokal” yang sudah ada secara turun temurun.
Pemberdayaan Masyarakat melalui Wisata Outbound
Salah satu
contoh upaya eksplorasi wisata outbound di suatu desa wisata ada di Desa
Semawung yang berada di Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa
Tengah. Wisata Outbound di dusun ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa/
BUMDes bernama “Kalimassada”. Suasana gerbang masuk wahana outbound di sana
bisa dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Pintu Gerbang “Wahana Outbound Kalimassada” |
Masyarakat
di Desa Semawung terus berusaha mentransformasikan kearifan lokal menjadi
sarana memberdayakan diri melalui kegiatan wisata outbound. Beberapa gambaran
aktivitasnya yang bersahabat dengan alam dan lingkungan dapat kita lihat pada
gambar 2-4 berikut ini.
Gambar 2 Pendopo “Wahana Outbound Kalimassada” |
Gambar 3 Aktivitas Wisata Outbound di Pekarangan Rumah Warga |
Gambar 4 Aktivitas Wisata Outbound Memanfaatkan Sungai |
Kegiatan wisata outbound di desa wisata Semawung memberi kita inspirasi bagaimana menggali keunikan suatu desa, untuk diintegrasikan dengan hal-hal lainnya untuk ditawarkan pada para pengunjung/ wisatawan. Program pelatihan experiential learning/ outbound dalam suatu desa wisata adalah solusi yang patut dicoba. Program yang menarik akan memberi sensasi pengalaman yang unik sehingga membuat pengunjung wisata terkesan pada suatu desa wisata. Kesan yang baik biasanya akan diceritakan pada orang-orang di sekitarnya, yang pada akhirnya membuat penasaran. Kepenasaranan banyak orang inilah yang lalu diharapkan setia mengalirkan pengunjung ke desa wisata tersebut. Kesuksesan masyarakat semawung dalam menjadikan desanya sebagai salah satu tujuan wisata outbound, tidak lepas dari upaya pemberdayaan diri dan masyarakat yang dilakukan secara simultan olah para kader Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).
Maryani mendifinisikan
Pemberdayaan sebagai proses pembangunan yang membuat masyarakat
berinisiatif untuk memulai kegiatan sosial dalam memperbaiki situasi dan
kondisi diri sendiri.
Dengan
demikian, pemberdayaan masyarakat bersifat inklusif, dalam arti lain turut
melibatkan masyarakat sasaran program. Keberhasilan program tidak hanya
bergantung pada pihak yang melakukan pemberdayaan, tetapi juga oleh keaktifan
pihak yang diberdayakan [11]. Menurut Mardikanto dalam Dedeh
Maryani tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah :
- Perbaikan kelembagaan (Better institution). Dengan memperbaiki kegiatan yang dilakukan, diharapkan dapat memperbaiki kelembagaan. Kelembagaan yang baik akan mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan.
- Perbaikan usaha (Better Business). Perbaikan kelembagaan diharap akan memperbaiki bisnis yang dilakukan sehingga mampu memberikan manfaat kepada anggota lembaga tersebut dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
- Perbaikan pendapatan (Better Income). Perbaikan bisnis diharap dapat memperbaiki pendapatan seluruh anggota lembaga, termasuk masyarakat.
- Perbaikan lingkungan (Better Environment). Perbaikan pendapatan diharap dapat memperbaiki lingkungan fisik dan sosial karena kerusakan lingkungan kerap disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
- Perbaikan kehidupan (Better Living). Pendapatan dan lingkungan yang baik akan memperbaiki standar kehidupan masyarakat. Ini dapat dilihat dari tingkat kesehatan, pendidikan, dan daya beli.
- Perbaikan masyarakat (Better Community). Jika
setiap keluarga mempunyai kehidupan yang baik, akan tercipta kehidupan
masyarakat yang lebih baik pula
[12].
Teori-teori
pemberdayaan masyarakat sudah mulai tercermin dalam studi kasus wisata outbound
di desa Semawung. Hal ini merupakan hal yang patut dikembangkan di
daerah-daerah lain supaya terjadi pemerataan perkembangan desa melalui
eksplorasi potensi desa.
Melembagakan Pelaku Pemberdaya Masyarakat
Upaya para
pegiat atau fasilitator outbound supaya kegiatan pengembangan masyarakat lebih
masif dilakukan dengan membentuk asosiasi. AELI atau Asosiasi Experiential
Learning Indonesia didirikan pada tahun 2007 dengan visi “Menjadi wadah
dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode
pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap
pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misi AELI adalah:
- Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
- Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
- Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia [13].
Saat ini
AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi, dengan
jenis keanggotaan bisa secara perorangan, atau kelembagaan. Secara rutin
AELI digandeng oleh pihak LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk
menyelenggarakan kegiatan Uji Kompetensi Fasel. Kerjasama asosiasi dengan
jajaran pemerintah, baik provinsi maupun kota/ kabupaten juga sering dilakukan,
terutama sebagai mitra narasumber atau tenaga ahli kegiatan pelatihan yang
diadakan pemerintah daerah.
Munas/ Musyawarah Nasional ke-6 pada tanggal 7-9 Juni 2022
di Magelang, menghasilkan amanah suci, yakni menjadi mitra terbaik Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam pengembangan destinasi
berbasis experiential tourism dengan
inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders
untuk bergerak bersama yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI
(Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai
kegiatan pariwisata yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu
amanah Munas juga menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi
mitra terbaik program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang
dikuasai semua anggotanya [14].
Anggota AELI baik
lembaga maupun perorangan senantiasa mengembangkan diri melalui proses
belajar bersama. Pendalaman berbagai materi dan kompetensi pendukung sebagai
seorang fasilitator terus dilakukan, termasuk pemahaman tentang game atau
permainan yang menjadi bagian penting kegiatan experiential learning.
Kiprah AELI
di dunia pariwisata Indonesia, baik secara kelembagaan maupun perorangan akan
terus dikembangkan. Namun sampai saat ini, pengakuan formal dari negara
terhadap kemampuan seseorang dalam memfasilitasi kegiatan berbasis experiential learning masih dinyatakan
dengan sertifikat kompetensi Fasel/ pemandu outbound. Uji kompetensi yang
dilakukan oleh beberapa LSP Kepariwisataan menunjukkan bahwa kompetensi
memfasilitasi aneka kegiatan wisata melalui pendekatan experiential learning memang mempunyai momentum tepat.
Istilah “Fasel” menjadi sebutan baku yang mengacu pada
seseorang yang berperan memfasilitasi kegiatan experiential learning. Hal ini tertuang dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia) bidang kepemanduan outbound/ fasilitator experiential learning yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja
Transmigrasi RI pada tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja
yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang
harus dimiliki seorang Fasel sesuai SKKNI adalah:
- Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi,
- Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Mengatur Sumber Daya Untuk Program,
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
- Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),
- Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope),
- Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan
- Menolong Korban [15].
Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential
Learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan
berbasis outbound , ditandai dengan kegiatan uji
kompetensi profesi Fasel. Kegiatan sertifikasi profesi ini dilangsungkan secara
rutin 2 sampai 4 kali per tahun yang dilaksanakan oleh beberapa LSP/ Lembaga
Sertifikasi Profesi dalam format kerjasama dengan BNSP (Badan Nasional
Sertifikasi Profesi). Dalam kegiatan uji kompetensi, pihak penguji atau dikenal
dengan nama asesor akan memberi umpan balik terhadap proses pembuktian peserta,
lalu memberi keputusan apakah peserta direkomendasikan “Kompeten” atau “Belum
Kompeten” terhadap unit kompetensi yang disyaratkan.
Selain urgensi para pelaku wisata
dalam memahami keilmuan versi SKKNI fasilitator outbound,
tentu masih ada hal-hal praktis lainnya yang bisa digunakan dalam memfasilitasi kegiatan wisata. Kegiatan “outbound” di
Indonesia juga punya kaitan erat dengan dunia pariwisata karena keduanya saling
memberi pengaruh. Selain menyemarakkan banyak tempat wisata, kegiatan outbound
juga mengandung resiko dalam aspek keselamatan peserta maupun fasilitatornya.
AELI sebagai wadah para penggiat atau pemandu
outbound hadir sebagai sarana edukasi akan penggunaan metode outbound secara tepat. 9 unit kompetensi
kepemanduan dalam SKKNI bisa menjadi salah satu acuan bagi para pemandu wisata
untuk mengembangkan diri. Banyak manfaat
teoritis maupun praktis yang akan mengembangkan kualitas para pemandu wisata
dalam menghadapi perkembangan dunia pariwisata yang makin dinamis. Pengembangan
ini pada akhirnya nanti akan memberdayakan masyarakat secara langsung maupun
tidak langsung.
DAFTAR
REFERENSI
[1]
Ginandjar Kartasasmitha,
Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: PT
Pusaka Cisendo,1996), hlm 145.
[2]
Rappaport, J. 1984. Studies in
Empowerment: Introduction to the issue, Prevention in Human Issue. USA.
[3] Kementerian
Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi
Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/
Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia." 2011.
[4] D. Ancok, (2001),
“Outbound Manajemen Training,”
2002, Yogyakarta, UII Press, hal. 41.
[5] A. Susanta, "Outbound Profesional;
Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010,
Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 18.
[6] Kindervatter,
S. (1989). Nonformal Education as An Empowering Process: Massachusetts: Center
for International Education University of Massachusetts.
[7] A. Susanta,
"Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan
Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 20.
[8] Wikipedia, (2022, 2 Oktober), "Pariwisata” Wikipedia [Online], Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata [diakses 29 Oktober
2022].
[9] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
[10] https://id.wikipedia.org/wiki/Desa_wisata
[11] Maryani, Dedeh & Nainggolan,
Ruth Roselin E. (2019) Pemberdayaan
Masyarakat. Sleman: Deepublish.
[12] Maryani, Dedeh & Nainggolan,
Ruth Roselin E. (2019) Pemberdayaan
Masyarakat. Sleman: Deepublish.
[13] AELI, "Visi dan Misi" [Online]
Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/
[14] G. Boby, (2022,
10 Juni ),"AELI Siap Jadi Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily
News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/
[diakses 29 Oktober 2022]
[15] Kementerian
Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi
Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator
Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional
Indonesia." 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar