Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM DUNIA WISATA OUTBOUND

Catatan ini merupakan garapan saya untuk UAS mata kuliah "Filosofi dan Teori Pendidikan Nonformal" pada perkuliahan Magister di Departemen Pendidikan Luar Sekolah, Fakultas Psikologi dan Ilmu Pendidikan, Universitas Yogyakarta. Dosen kami tercinta hanya menanyakan 2 soal saja sih, yaitu:

Soal A

Jelaskan pengertian pengembangan manusia, evolusi pengembangan manusia yang relevan dengan evolusi pengembangan pendidikan luar sekolah, dan fungsi-fungsi pengembangan manusia; Pendidikan dan pelatihan sebagai fokus pengembangan manusia

Soal B

Jelaskan, analisis, kritik, dan aplikasikan konsep "Pengertian pemberdayaan, pemberdayaan diri, memberdayakan orang lain; Pendidikan sebagai sarana pemberdayaan; Pendidikan luar sekolah sebagai proses pemberdayaan; memberdayakan individu, kelompok, masyarakat" dalam dunia kerja saudara-saudara.

Nah, kali ini saya akan membeberkan jawaban saya untuk Soal B saja, dalam sebuah tinjauan kasus. Yuk langsung saja dibaca-baca.
Contoh aktivitas outbound

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM DUNIA WISATA OUTBOUND; BELAJAR DARI DESA OUTBOUND KALIMASSADA

Mengenal Outbound

Outbound merupakan kegiatan yang sangat familier bagi para perusahaan atau lembaga guna mengisi kegiatan pengembangan ataupun memberdayakan sumber daya manusianya. Ginandjar Kartasasmitha menyatakan bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya untuk membangun daya itu, dengan cara mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya [1]. Sedangkan Rappaport menjelaskan bahwa pemberdayaan merupakan suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai dan memahami serta berkuasa atas kehidupannya. Pemberdayaan menekanankan pada aspek pendelegasian atau pemberian kekuasaan dan memberi wewenang atau pengalihan kekuasaan pada individu, kelompok serta masyarakat yang mampu mengatur diri dan lingkungannya sesuai dengan keinginan, potensi dan kemampuan yang dimilikinya. Pemberdayaan juga menekankan makna proses pendidikan dalam meningkatkan kualitas individu, kelompok, atau masyarakat sehingga mampu berdaya, memiliki daya saing, serta mampu hidup sendiri [2].

Pemberdayaan melalui kegiatan outbound mempunyai sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kata “Outward Bound”, yang secara kamus bahasa berarti; “sebuah kapal layar yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk menuju ke tempat tertentu.” Filosofi tersebut dijabarkan dalam sebuah program pelatihan dengan narasi “Saat kapal layar akan meninggalkan pelabuhan, tentu awak buah kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka akan memersiapan perbekalan, peralatan, logistik, serta mental, sebagai bekal dalam pengarungan di laut yang sarat tantangan, mulai dari cuaca, gelombang besar, serta dinamika dalam kelompok/ tim ABK (Anak Buah Kapal) itu sendiri.” Hal tersebut diambil sebagai konsep pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya berubah menjadi lebih positif.

Konsep Outward Bound juga menelaah cara supaya peserta bisa merasakan sendiri pengalaman serta mampu mengambil hikmah atau manfaatnya, sehingga lebih berguna diterapkan pada pekerjaan atau tujuan selanjutnya setelah mengikuti program kegiatan ini [3]. Istilah Outward Bound , berkembang menjadi “merek industri,” internasional yang sudah dipatenkan, dan pada awal tahun 90an masuk ke Indonesia dengan Nama Outward Bound Indonesia (OBI). OBI yang bermarkas di tepian Waduk Jatiluhur Jawa Barat, kerap melakukan berbagai pelatihan melalui media petualangan di darat, perairan, juga tali rendah/ low rope, dan tali tinggi/ high rope. Mayoritas masyarakat sekitar yang agak susah menyebut kata “outward,” lalu menyebut aktivitas (pelatihan) semacam itu dengan istilah otbon, outbond, atu “outbound.”

Pada tahun 2002, terbit buku berjudul “Outbound Management Training” yang ditulis oleh Profesor Djamaludin Ancok, Ph.D. Outbound Management Training (OMT) adalah suatu program pelatihan manajemen di alam terbuka yang mendasarkan pada prinsip “experiential learning” (belajar melalui pengalaman) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi, diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi [4]. Berkat terbitnya buku inilah maka pelatihan di alam terbuka lalu kerap disebut dengan “outbound.” Beberapa pegiat outbound menjelasakan bahwa outbound berasal dari kata out of boundaries atau “keluar dari batasan” karena sifat aktivitasnya yang kebanyakan dilakukan di luar ruangan dan menggunakan media permainan atau petualangan yang di luar kebiasaan. Aneka dinamika menantang tadi biasanya melibatkan unsuf fisik, pengetahuan, dan psikologis/ mental dari sisi peserta. Outbound lalu didefinisikan sebagai metode pengembangan diri melalui kombinasi rangkaian kegiatan beraspek psikomotorik, kognitif, dan afeksi dalam pendekatan pembelajaran melalui pengalaman [5].

Melalui outbound, para peserta diajak untuk bisa memberdayakan dirinya sendiri. Pemberdayaan sebagai proses pemberian kekuatan atau daya yang bertujuan membangkitkan kesadaran, pengertian dan kepekaan individu terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik sehingga ia memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kedudukannya [6]. Pemberdayaan dalam pengertian di atas sebagai usaha dari luar individu/kelompok orang untuk meningkatkan kemampuan atau daya agar individu atau kelompok orang peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi dan mampu menyesuaikan perubahan yang terjadi. Pemberdayaan diri berarti proses peningkatan kemampuan atau daya yang dilakukan oleh individu yang bersangkutan dengan tujuan untuk meningkatkan kepekaan terhadap perubahan dan perkembangan lingkungan yang terjadi sehingga berkemampuan untuk mengevaluasi diri dan meningkatkan status sosialnya.

Kegiatan outbound mempunyai versi pembelajaran guna pengembangan diri melalui siklus LACAK, yang berarti: L sebagai singkatan dari “Lakukan,” berarti peserta melakukan lebih dahulu sesuatu permainan/ dinamika. A sebagai singkatan “Abrakadabra,” berarti setelah melakukan pasti peserta mendapat hasil tertentu. C sebagai singkatan “Ceritakan,” berarti peserta menceritakan atau menyampaikan hasil dinamika yang dialaminya. A (kedua) sebagai singkatan “Ambil,” berarti proses peserta mengambil nilai-nilai atau manfaat dari proses yang sudah dijalaninya. K sebagai singkatan “Kembalikan,” berarti setelah mengambil manfaat, peserta dimotivasi supaya hal tersebut dapat dikembalikan pada dirinya untuk dimanfaatkan dalam keseharian [7].

Wisata Outbound

Outbound lekat dengan dunia kepariwisataan karena aktivitasnya kebanyakan dilakukan di sekitar tempat rekreasi/wisata. Seandainya bukan di lokasi wisata, para peserta outbound juga sering memilih tempat yang nyaman dan menyenangkan untuk melakukan dinamikanya, sehingga mereka malah bisa sekalian melakukan rekreasi di sana. Hal ini membuat tempat-tempat wisata yang menyediakan fasilitas outbound makin ramai dikunjungi. Tak hanya tempat wisata, bahkan dewasa ini mulai banyak desa wisata yang menjadikan outbound sebagai salah satu daya tarik wisata. Kegiatan semacam ini lalu disebut dengan nama wisata outbound.

Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta "pari"  yang berarti “berkali-kali” dan "wisata" yang berarti “bepergian”. Secara harfiah, pariwisata berarti "perjalanan yang dilakukan berkali-kali ke suatu tempat [8]. Mengutip Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka yang dimaksud dengan wisata adalah: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.

Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah [9]. Seseorang berwisata biasanya karena di suatu tempat mempunyai Daya Tarik Wisata, yang dalam undang-undang tersebut dijelaskan sebagai  segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.

Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku [10]. Fenomena desa wisata marak dalam beberapa tahun terakhir ini akibat dibukanya keran kebijakan pengembangan pariwisata daerah. Namun sayangnya sebagian desa wisata yang dicanangkan justru dalam kondisi gamang untuk berkembang. Beberapa hal yang disinyalir menyebabkan ke-matisuri-an desa wisata adalah karena kurangnya kreativitas mengintegrasikan antara atraksi, akomodasi, dan fasilitatas pendukung lain untuk konsumsi pariwisata. Tak bisa dipungkiri, banyak sebuah desa/ kampung mencanangkan diri sebagai desa wisata hanya karena latah ingin mengikuti (kisah sukses) desa wisata lainnya. Pengandalan keelokan alam saja, yang lalu ditempeli spot untuk swafoto /selfie disana-sini ternyata tidak otomatis menjamin sebuah tempat wisata yang menarik, apalagi dalam skala kampung/ desa.

Kearifan lokal dan potnsi daya tarik wisata disetiap daerah tentu berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup masyarakatnya. Dalam perkembangannya, kearifan lokal tidak hanya dipahami sebatas pada peninggalan masa lalu saja, tetapi juga merupakan suatu respon bijak masyarakat (lokal) terhadap perkembangan teknologi (masa kini) dan budaya (baru) dengan tetap menyelaraskan diri terhadap “kearifan lokal” yang sudah ada secara turun temurun.

Pemberdayaan Masyarakat melalui Wisata Outbound

Salah satu contoh upaya eksplorasi wisata outbound di suatu desa wisata ada di Desa Semawung yang berada di Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Wisata Outbound di dusun ini dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa/ BUMDes bernama “Kalimassada”. Suasana gerbang masuk wahana outbound di sana bisa dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1 Pintu Gerbang “Wahana Outbound Kalimassada”
Di Desa Semawung kegiatan wisata outbound dilakukan menyebar di berbagai area. Para peserta outbound diajak berdinamika di kebun/hutan pohon jati, sawah, embung, sungai, ladang, atau pekarangan yang dimiliki oleh beberapa penduduk. Ketika ada kegiatan yang melewati malam, para tamu difasilitasi dengan tidur di rumah penduduk, berkemah di pekarangan atau lapangan desa. Wisata Outbound di Desa Semawung terbentuk karena para fasilitator yang juga masyarakat setempat mampu mengolah atau memanfaatkan bentang alam di sana menjadi tempat untuk peserta membelajarkan diri.

Masyarakat di Desa Semawung terus berusaha mentransformasikan kearifan lokal menjadi sarana memberdayakan diri melalui kegiatan wisata outbound. Beberapa gambaran aktivitasnya yang bersahabat dengan alam dan lingkungan dapat kita lihat pada gambar 2-4 berikut ini.

Gambar 2 Pendopo “Wahana Outbound Kalimassada”
Gambar 3 Aktivitas Wisata Outbound di Pekarangan Rumah Warga
Gambar 4 Aktivitas Wisata Outbound Memanfaatkan Sungai

Kegiatan wisata outbound  di desa wisata Semawung memberi kita inspirasi bagaimana menggali keunikan suatu desa, untuk diintegrasikan dengan hal-hal lainnya untuk ditawarkan pada para pengunjung/ wisatawan. Program pelatihan experiential learning/ outbound  dalam suatu desa wisata adalah solusi yang patut dicoba. Program yang menarik akan memberi sensasi pengalaman yang unik sehingga membuat pengunjung wisata terkesan pada suatu desa wisata. Kesan yang baik biasanya akan diceritakan pada orang-orang di sekitarnya, yang pada akhirnya membuat penasaran. Kepenasaranan banyak orang inilah yang lalu diharapkan setia mengalirkan pengunjung ke desa wisata tersebut. Kesuksesan masyarakat  semawung dalam menjadikan desanya sebagai salah satu tujuan wisata outbound, tidak lepas dari upaya pemberdayaan diri dan masyarakat yang dilakukan secara simultan olah para kader Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata).

Maryani mendifinisikan Pemberdayaan sebagai  proses pembangunan yang membuat masyarakat berinisiatif untuk memulai kegiatan sosial dalam memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri.

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat bersifat inklusif, dalam arti lain turut melibatkan masyarakat sasaran program. Keberhasilan program tidak hanya bergantung pada pihak yang melakukan pemberdayaan, tetapi juga oleh keaktifan pihak yang diberdayakan [11]. Menurut Mardikanto dalam Dedeh Maryani tujuan dari pemberdayaan masyarakat adalah :

  1. Perbaikan kelembagaan (Better institution). Dengan memperbaiki kegiatan yang dilakukan, diharapkan dapat memperbaiki kelembagaan. Kelembagaan yang baik akan mendorong masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan.
  2. Perbaikan usaha (Better Business). Perbaikan kelembagaan diharap akan memperbaiki bisnis yang dilakukan sehingga mampu memberikan manfaat kepada anggota lembaga tersebut dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
  3. Perbaikan pendapatan (Better Income). Perbaikan bisnis diharap dapat memperbaiki pendapatan seluruh anggota lembaga, termasuk masyarakat.
  4. Perbaikan lingkungan (Better Environment). Perbaikan pendapatan diharap dapat memperbaiki lingkungan fisik dan sosial karena kerusakan lingkungan kerap disebabkan oleh kemiskinan atau pendapatan yang terbatas.
  5. Perbaikan kehidupan (Better Living). Pendapatan dan lingkungan yang baik akan memperbaiki standar kehidupan masyarakat. Ini dapat dilihat dari tingkat kesehatan, pendidikan, dan daya beli.
  6. Perbaikan masyarakat (Better Community). Jika setiap keluarga mempunyai kehidupan yang baik, akan tercipta kehidupan masyarakat yang lebih baik pula [12].

Teori-teori pemberdayaan masyarakat sudah mulai tercermin dalam studi kasus wisata outbound di desa Semawung. Hal ini merupakan hal yang patut dikembangkan di daerah-daerah lain supaya terjadi pemerataan perkembangan desa melalui eksplorasi potensi desa.

Melembagakan Pelaku Pemberdaya Masyarakat

Upaya para pegiat atau fasilitator outbound supaya kegiatan pengembangan masyarakat lebih masif dilakukan dengan membentuk asosiasi. AELI atau Asosiasi Experiential Learning Indonesia didirikan pada tahun 2007 dengan visi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misi AELI adalah:

  1. Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
  2. Meningkatkan kualitas  pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
  3. Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia  [13].

Saat ini AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi, dengan jenis keanggotaan bisa secara perorangan, atau kelembagaan. Secara rutin AELI digandeng oleh pihak LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk menyelenggarakan kegiatan Uji Kompetensi Fasel. Kerjasama asosiasi dengan jajaran pemerintah, baik provinsi maupun kota/ kabupaten juga sering dilakukan, terutama sebagai mitra narasumber atau tenaga ahli kegiatan pelatihan yang diadakan pemerintah daerah.

Munas/ Musyawarah Nasional ke-6 pada tanggal 7-9 Juni 2022 di Magelang, menghasilkan amanah suci, yakni menjadi mitra terbaik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam pengembangan destinasi berbasis experiential tourism dengan inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders untuk bergerak bersama yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai kegiatan pariwisata yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu amanah Munas juga menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi mitra terbaik program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang dikuasai semua anggotanya [14].

Anggota AELI baik lembaga maupun perorangan senantiasa mengembangkan diri melalui proses belajar bersama. Pendalaman berbagai materi dan kompetensi pendukung sebagai seorang fasilitator terus dilakukan, termasuk pemahaman tentang game atau permainan yang menjadi bagian penting kegiatan experiential learning.

Kiprah AELI di dunia pariwisata Indonesia, baik secara kelembagaan maupun perorangan akan terus dikembangkan. Namun sampai saat ini, pengakuan formal dari negara terhadap kemampuan seseorang dalam memfasilitasi kegiatan berbasis experiential learning masih dinyatakan dengan sertifikat kompetensi Fasel/ pemandu outbound. Uji kompetensi yang dilakukan oleh beberapa LSP Kepariwisataan menunjukkan bahwa kompetensi memfasilitasi aneka kegiatan wisata melalui pendekatan experiential learning memang mempunyai momentum tepat.

Istilah “Fasel” menjadi sebutan baku yang mengacu pada seseorang yang berperan memfasilitasi kegiatan experiential learning. Hal ini tertuang dalam  SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan outbound/ fasilitator experiential learning yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI pada tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang harus dimiliki seorang Fasel sesuai SKKNI adalah:

  1. Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi,
  2. Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
  3. Mengatur Sumber Daya Untuk Program,
  4. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
  5. Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
  6. Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),
  7. Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope),
  8. Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan
  9. Menolong Korban [15].

Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan berbasis outbound , ditandai dengan kegiatan uji kompetensi profesi Fasel. Kegiatan sertifikasi profesi ini dilangsungkan secara rutin 2 sampai 4 kali per tahun yang dilaksanakan oleh beberapa LSP/ Lembaga Sertifikasi Profesi dalam format kerjasama dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Dalam kegiatan uji kompetensi, pihak penguji atau dikenal dengan nama asesor akan memberi umpan balik terhadap proses pembuktian peserta, lalu memberi keputusan apakah peserta direkomendasikan “Kompeten” atau “Belum Kompeten” terhadap unit kompetensi yang disyaratkan.

Selain urgensi para pelaku wisata dalam memahami keilmuan versi SKKNI fasilitator outbound, tentu masih ada hal-hal praktis lainnya yang bisa digunakan dalam memfasilitasi kegiatan wisata. Kegiatan “outbound” di Indonesia juga punya kaitan erat dengan dunia pariwisata karena keduanya saling memberi pengaruh. Selain menyemarakkan banyak tempat wisata, kegiatan outbound juga mengandung resiko dalam aspek keselamatan peserta maupun fasilitatornya. AELI sebagai wadah para penggiat atau pemandu outbound hadir sebagai sarana edukasi akan penggunaan metode outbound secara tepat. 9 unit kompetensi kepemanduan dalam SKKNI bisa menjadi salah satu acuan bagi para pemandu wisata untuk mengembangkan diri.  Banyak manfaat teoritis maupun praktis yang akan mengembangkan kualitas para pemandu wisata dalam menghadapi perkembangan dunia pariwisata yang makin dinamis. Pengembangan ini pada akhirnya nanti akan memberdayakan masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.

 

DAFTAR REFERENSI

[1]        Ginandjar Kartasasmitha, Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan, (Jakarta: PT Pusaka Cisendo,1996), hlm 145.

[2]        Rappaport, J. 1984. Studies in Empowerment: Introduction to the issue, Prevention in Human Issue. USA.

[3]        Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.

[4]        D. Ancok, (2001), “Outbound Manajemen Training,” 2002, Yogyakarta, UII Press, hal. 41.

[5]        A. Susanta, "Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 18.

[6]        Kindervatter, S. (1989). Nonformal Education as An Empowering Process: Massachusetts: Center for International Education University of Massachusetts.

[7]        A. Susanta, "Outbound Profesional; Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 20.

[8]        Wikipedia, (2022, 2 Oktober), "Pariwisata” Wikipedia [Online], Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata  [diakses 29 Oktober 2022].

[9]        Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

[10]      https://id.wikipedia.org/wiki/Desa_wisata

[11]      Maryani, Dedeh & Nainggolan, Ruth Roselin E. (2019) Pemberdayaan Masyarakat. Sleman: Deepublish.

[12]      Maryani, Dedeh & Nainggolan, Ruth Roselin E. (2019) Pemberdayaan Masyarakat. Sleman: Deepublish.

[13]      AELI, "Visi dan Misi" [Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/

[14]      G. Boby, (2022, 10 Juni ),"AELI Siap Jadi Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/ [diakses 29 Oktober 2022]

[15]      Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar