Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Pendidikan Karakter Berbasis Experiential Learning dalam Memersiapkan Generasi Emas 2045

Naskah ini merupakan Ujian Akhir Semester saya dalam mata kuliah "Pendidikan Transformatif" dengan rentetan soal ujian sebagai berikut:

Soal :  Silakan Anda membuat rancangan pendidikan transformatif dengan format sebagai berikut:

Latar BelakangPilih salah satu topik pendidikan yang secara empirik memang fenomenal, didukung oleh data-data, dan silakan identifikasi adanya ketidakberesan sosial dalam topik Anda tersebut.

Sasaran Sebutkan sasaran yang menjadi subjek pendidikan transformatif

Transformasi : Jelaskan kira-kira transformasi yang dikehendaki seperti apa.

Review Teori : Silakan mengelaborasi pilihan beberapa teori pedagogi kritis yang relevan dengan topik Anda.

AnalisisSilakan Anda analisis fenomena pendidikan yang mengandung ketidakberesan sosial tersebut, yaitu mendiskusikan dan mendialogkannya dengan teori yang Anda pilih, misalnya bisa dengan teori pedagogi kritis, pendidikan progresif, pendidikan bermakna, atau ketiga-tiganya. 

Kini kita nikmati jawabannya; gambar yang ada di sini merupakan tambahan saja karena teks aslinya tanpa gambar.

poster generasi emas;
sumber https://i.pinimg.com/originals/10/3b/6d/103b6dd4097c473e8a9dc15ea18abb65.jpg 

Latar Belakang

Bangsa Indonesia sedang berusaha keras menyiapkan sumber daya manusia  guna menyongsong ulang tahun kemerdekaan ke-100, yang dijargonkan dengan Indonesia Emas 2045. Hal ini merupakan tantangan yang besar mengingat sumber daya yang saat ini dimiliki masih perlu pengembangan secara serius, baik dalam hal kecerdasan, karakter, hingga nasionalisme. Dalam bidang kecerdasan, Indonesia mendapat skor 78,49 dan berada pada urutan ke-130 dari 199 negara berdasar hasil pemeringkatan Intelligence Quotient tahun 2022. Nilai tersebut masuk kategori borderline atau batas fungsi intelektual. Aspek IQ yang menandai tingkat kognisi seseorang memang penting, namun dalam dunia kerja dewasa ini, sikap kerja dan kepribadian juga turut diperhitungan. Namun sayangnya pengembangan sikap kerja dan kepribadian sering terabaikan di sekolah atau perkuliahan. Aspek kognitif dan softskill lainnya sama-sama penting untuk dikembangkan (Napitupulu, 2022)

Tidak hanya dalam hal kecerdasan, namun dalam hal kepribadian, bangsa Indonesia masih perlu introspeksi karena ada kecenderungan beberapa kebiasaan generasi mudanya yang kurang tangguh menghadapi tantangan masa kini. Karena tugas menumpuk dan ingin cepat lulus, membuat mahasiswa mengambil jalan pintas dengan menyewa joki tugas. Mereka membayar sejumlah uang pada para joki untuk mengerjakan sesuatu yang semestinya menjadi bahan pembelajaran yang harus dikuasainya. Ditengarai, mereka yang memergunakan joki sudah memulainya sejak mereka duduk di bangku SMA. Perjokian yang dulu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi kini di era digital seakan tidak malu menampakkan dirinya, ditandai dengan berbagai tawaran perjokian yang bertebaran di berbagai situs atau media sosial. Tak hanya untuk mengerjakan tugas, joki pun menawarkan diri untuk disewa dalam melancarkan proses seleksi  masuk perguruan tinggi, penyelesaian skripsi, bahkan untuk seleksi pegawai negeri (Dewabrata & Soekirno, 2022).

Pendidikan karakter selalu didengungkan sebagai sisi yang selaras dengan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, kenyataannya hal tersebut belum berjalan seperti yang diharapkan. Koruspi yang dilakukan oleh Profesor Doktor Karomani selaku Rektor Universitas Lampung, Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, dan Ketua Senat Universitas Lampung Muhammad Basri, menjadi contoh baik dari penyelenggara pendidikan yang berkarakter busuk.  Penangkapan mereka oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 20 Agustus 2022 menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan di Indonesia.

Apakah rektor bermasalah tadi tidak tahu akan pendidikan karakter? Sebagai seseorang yang sudah lulus sekolah strata sarjana, magister, dan doktoral, bahkan sudah diangkat oleh presiden menjadi guru besar (profesor), semestinya beliau tahu. Namun, berkaca dari kasus korupsi para pemimpin institusi pendidikan tinggi yang dalam keseharian bisa dikategorikan sebagai pendidik atau menganjur karakter mulia, ternyata pengetahuan “pendidikan karakter” tidak selalu diikuti dengan internalisasi secara pribadi. Hal semacam ini patut membuat kita semua cemas dalam konteks penyongsongan Indonesia Emas 2045. Lalu, pertanyaan besarnya, bagaimana sebaiknya pendidikan karakter ini kita animasikan supaya menghasilkan buah yang nyata?

Tantangan dalam memersiapkan generasi Emas 2045 tak hanya mendapat rintangan dengan kerendahan tingkat kecerdasan dan lemahnya kepribadian masyarakat, namun juga dibayangi kondisi perekonomian yang belum stabil akibat dampak pandemi covid-19. Gelombang pengangguran yang terjadi akibat berhentinya banyak sektor usaha memang perlahan mengecil seperti diperlihatkan data dari Badan Pusat Statistik/BPS.  Pada bulan Agustus 2020 dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta orang, 14,28% atau 29,12 juta orang terdampak Covid-19 dengan komposisi 2,56 juta menjadi pengangguran karena covid, 0,76 juta bukan angkatan kerja karena covid, 1,77 juta orang sementara tidak bekerja karena covid, dan 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja karena covid. (BPS, 2020)

Pada bulan Agustus 2021 dari total penduduk usia kerja sebanyak 206,71 juta orang, 10,5% atau 21,32 juta orang terdampak Covid-19 dengan komposisi 1,82 juta menjadi pengangguran karena covid, 0,7 juta bukan angkatan kerja karena covid, 1,39 juta orang sementara tidak bekerja karena covid, dan 17,41 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja karena covid (BPS, 2021)

Pada bulan Agustus 2022 dari total penduduk usia kerja sebanyak 209,42 Juta orang, 1,98% atau 4,15 juta orang masih terdampak Covid-19 dengan komposisi 240 ribu orang jadi pengangguran karena covid, 320 ribu bukan angkatan kerja karena covid, 0,11 juta orang sementara tidak bekerja karena covid, dan 3,48 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja karena covid. Namun secara keseluruhan BPS mencatat, tingkat pengangguran terbuka/TPT Indonesia pada periode Agustus terhitung 5,86% atau sebanyak 8,41 juta orang. (BPS, 2022). Jumlah pengangguran sebanyak ini tentu menjadi persoalan tersendiri karena jika tidak segera diturunkan bisa mempengaruhi ketercapaian pembentukan generasi emas 2045.

Dalam menyongsong ulang tahun kemerdekaan ke-100 yang ditandai dengan pencanangan Indonesia Emas 2045, diperlukan pembentukan generasi yang unggul supaya terjadi kemajuan yang signifikan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Namun asa tersebut masih terkendala oleh berbagai pencapaian yang belum menggembirakan dalam beberapa dimensi kehidupan, seperti yang terungkap dalam pembahasan latar belakang masalah. Beberapa masalah yang teridentifikasi di antaranya:

  1. Tingkat penguasaan literasi dasar generasi muda Indonesia yang masih rendah, ditunjukkan dengan hasil perhitungan IQ dan PISA yang berada di bawah rata-rata negara lain. Hal ini menunjukkan lemahnya semangat, disiplin, dan daya juang para remaja dalam dalam bekerja keras dan berprestasi untuk bidang pendidikan yang sejatinya menjadi kebutuhan yang bersangkutan.
  2. Kecenderungan mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah/kuliah yang dilakukan para siswa/mahasiswa menunjukkan bahwa mentalitas mereka kurang tangguh sehingga memilih jalan yang tidak jujur. Ketidakjujuran juga dipertontonkan beberapa pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan tinggi yang menyebabkan pertenyaan besar akan marwah terhadap suatu gelar akademik yang mulia.
  3. Wabah pandemi Covid-19 membuat tingkat pengangguran di Indonesia meningkat sehingga menimbukan efek samping kondisi perekonomian yang berat untuk dibangkitkan kembali. Tanpa penanganan yang tepat dan serius, para penganggur bisa menjadi titik lemah karena memeperkecil akses pendidikan yang baik bagi keluarga mereka. Generasi yang kurang terdidik pada akhirnya memperlambat ketercapaian tujuan pembangunan.

Tulisan ini akan mencoba menawarkan suatu konsep pendidikan transformatif yang bisa digunakan sebagai media peningkatan karakter tangguh bagi generasi muda. Pendekatan experiential learning atau “belajar melalui pengalaman,” menjadi salah satu pilihan metode yang dianggap efektif dalam mencapai tujuan tersebut.

Sasaran

Sasaran pendidikan transformatif dalam tulisan ini adalah para guru, pendamping, fasilitator, ataupun pemberdaya masyarakat yang sedang memersiapkan generasi muda dalam menyongsong Generasi Emas 2045.  Dalam konteks pendidikan formal, sasaran pendidikan transformatif ini adalah para guru, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai menengah.

Transformasi

Transformasi yang dikehendaki dalam mengembangkan karakter calon generasi emas  2045 melalui pendekatan experiential learning adalah berkembangnya metode pengembangan karakter bagi para siswa/generasi muda dari yang sarat dengan pengetahuan semata, menjadi sarat praktik yang transformatif.

sumber: https://www.kreavi.com/portofolio/nyarinama/Indonesia-Emas/15188

Review Teori

2 teori utama yang digunakan sebagai tinjauan adalah pedagogi kritis versi John Dewey dan David A. Kolb. Selain itu akan disisipi beberapa praksis pendidikan pengalaman versi Baden Powell dan Sir Kurt Lawrence Hunt.

Menurut John Dewey, pengalaman adalah basis pendidikan sebagai sarana dan sekaligus tujuan pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus. Dewey memperkenalkan konsep pendidikannya melalui Experiential learning, dimana pendidikan dapat di peroleh melalui pengalaman. Pendidikan melalui pengalaman (Experience) merupakan nilai yang sangat penting karena belajar melalui "pengalaman" adalah  "sarana sekaligus tujuan dari pendidikan"

Hal itu merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan usaha untuk terus-menerus menyusun kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup, sehingga peserta didik terus tumbuh dan diperkaya oleh pengalaman-pengalaman yang di dapat dalam hidupnya. 

Dari sisi  aliran pendidikan,  pemikiran Dewey tentang  pendidikan  cukup  dekat dengan  teori  atau  aliran  pendidikan  yang disebut  progressivisme.  Namun  demikian, dalam  buku  Experience  and  Education,  ia juga  cukup  kritis  terhadap  aliran  progressivisme.  Katanya, progressivisme  tidak memadai  kalau  dilihat  dari  pandangannya yang menjadikan pengalaman sebagai basis pendidikan. Pola pendidikan lama atau tradisional yang  memahami  materi  pelajaran  sebagai suatu  yang  sudah  baku  dan  pendidikan sebagai pengalihan seperangkat pengetahuan dan  ketrampilan  yang  wajib  dikuasai  oleh subyek didik dari generasi ke generasi, serta pendidikan  moral  sebagai  pembentukan kebiasaan  bertindak  sesuai dengan  standar dan  aturan  moral  yang  berlaku  sepanjang zaman memang ditolak oleh Dewey. Demikian juga pandangan pendidikan tradisional tentang sekolah sebagai lembaga yang sama sekali  terpisah  dari  kehidupan  masyarakat dan  pendidikan  sebagai  kegiatan  mempersiapkan subyek didik untuk dapat memainkan perannya  dalam  masyarakat  di  kemudian hari.  Bagi Dewey,  sebagaimana  aliran  progressivisme,  pendidikan orang  muda  bukan hanya persiapan untuk hidup nanti di tengah masyarakat,  tetapi  sudah  merupakan  kehidupan sendiri (George R. Knight, 1982).

Teori John Dewey tentang Experiential learning menyatakan peserta didik dapat melakukan kegiatan menurut minatnya. Selain itu, melalui teori ini, peserta didik dapat belajar bersama, mengajarkan peserta didik pada tingkat yang lebih personal untuk mendapatkan keterampilan baru, sikap baru serta cara berpikir yang baru. Dewey juga memberikan keyakinan, bahwa dalam belajar melalui pengalaman; peserta didik harus berproses aktif sehingga dapat terlibat langsung dalam mengerjakan tugas serta dalam menjalani tantangan kehidupan yang nyata. Pendidikan yang baik harus memiliki tujuan untuk dapat bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga dapat terefleksikan prinsip-prinsip dan gagasan yang memotivasi masyarakan dalam memperoleh pengetahuan. 

Dewey berpendapat tentang metode pendidikan  dalam Experiential learning adalah upaya menanamkan sikap disiplin, tetapi bukan otoritas. Yang terpenting adalah mengantrol anak melalui kekuatan eksternal. Disiplin dalam pendidikan memancar dari keinginan peserta didik, yang merupakan suatu tempat berlangsungnya aktivitas peserta didik dalam usaha bersama mencapai tujuan pendidikan.  

Peran guru di sini sangat diperlukan dengan membangkitkan "impulse" peserta didik sehingga dalam belajar dapat mencapai "mastery' (ketuntasan), menumbuhkan kecakan dan minat setiap peserta didik terhadap pelajaran yang berbeda-beda, serta guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga peserta didik ikut berpartisipasi dalam proses belajar. 

Dalam pandangan Dewey, berpikir kritis merupakan proses berpikir reflektif yang aktif dan mendalam. Informasi tidak diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif melalui pengajuan pertanyaan untuk menemukan informasi yang relevan. Dewey mengemukakan bahwa berpikir reflektif merupakan kegiatan untuk mempertimbangkan secara cermat, aktif dan gigih mengenai suatu keyakinan atau bentuk pengetahuan apapun. Setiap hal harus dipandang dengan berbagai pernyataan yang dapat mendukungnya. Setelah itu, barulah diperoleh kesimpulan dari pernyataan tersebut. Ia meyakini bahwa berpikir kritis merupakan cara berpikir yang benar bagi anak-anak, sehingga perlu diajarkan di sekolah.

Bagi John Dewey, pendidikan harus memampukan peserta didik dalam memaknai rangkaian pengalamannya, sehingga peserta didik teruk bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut. Disamping itu diperlukan juga komponen pendidikan lainnya seperti pandangan dalam kurikulum, metode pendidikannya, peserta didik dan peran guru juga menjadi inti dalam mendukung terwujudnya idealisasi pendidikan yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya. 

Sejalan dengan Dewey, David A. Kolb pada pertengahah tahun 1980an mengembangkan ragam “experiential learning” yang dikenal dengan teori “Belajar Empat Tahap.” Sebagai seorang ahli sekaligus penganut aliran humanistik, Kolb mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman. Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman.

David Kolb mengemukakan adanya empat kutub kecenderungan seseorang dalam proses belajar, kutub-kutub tersebut antara lain:

1. Kutub Perasaan/Pengalaman Konkrit (Concrete Experience)

Individu belajar melalui perasaan, dengan menekankan segi-segi pengalaman konkret, lebih mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan yang lain. Dalam proses belajar, individu cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi terhadap perubahan yang dihadapinya. Individu yang berada pada kutub ini suka dengan hal-hal atau pengalaman-pengalaman baru dan ingin segera mengalaminya. Prinsip yang mereka yakini adalah “menikmati apa yang ada pada saat ini dan di sini”. Individu ini juga tidak takut untuk mencoba, suka berkumpul dengan orang lain, berusaha keras memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan bertukar pikiran dengan teman-teman atau kumpulannya, tapi akan merasa bosan jika permasalahan tersebut membutuhkan waktu yang lama.

2. Kutub pengamatan/Refleksi Pengamatan (Reflective Observation)

Individu belajar melalui pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal yang diamati. Dalam proses belajar, individu akan menggunakan pikiran dan perasaannya untuk membentuk opini atau pendapat. Individu yang berada pada kutub ini melihat masalah dari berbagai perspektif, mengumpulkan sebanyak-banyaknya data yang berhubungan dengan permasalahan dari berbagai sumber, sehingga terkadang terlihat suka menunda-nunda menyelesaikan masalah.

3. Kutub Pemikiran/Konseptualisasi Abstrak (Abstract Conceptualization)

Individu belajar melalui pemikiran dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide, merencanakan secara sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau perkara yang dihadapi. Dalam proses belajar, individu akan mengandalkan perencanaan sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Individu yang berada pada kutub ini mengadaptasi dan mengintegrasi dari hasil amatannya ke dalam sebuah teori. Dalam memecahkan sebuah masalah, individu akan bekerja secara vertikal, runtut, sistematis, step-by-step. Akan berusaha mengasimilasikan fakta-fakta yang ada atau yang diketahui ke dalam pertalian teori. Orang lain melihat individu ini adalah orang yang perfeksionis, tidak bisa istirahat dengan tenang jika permasalahan yang dihadapinya belum dapat diselesaikan dengan baik dan dapat dimasukan ke dalam skema rasional. Dalam berpikir cenderung objektif dengan pendekatan yang analitis, pendekatan terhadap masalah dengan logis.

4. Kutub Tindakan/Eksperimen Aktif (Active Experimentation)

Individu belajar melalui tindakan, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan tugas, berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya. Dalam proses belajar, individu akan menghargai keberhasilannya dalam menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya. Individu yang berada pada kutub ini sering untuk mencoba-coba teori, ide dan teknis melakukan sesuatu, menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan aplikasi, ingin cepat mendapatkan sesuatu dan segera melakukannya dengan kepercayaan diri yang tinggi. Individu ini merespons sesuatu sebuah tantangan sebagai suatu kesempatan. Siswa menggunakan teori atau rumus-rumus untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam menghapal, menyelesaikan sesuatu permasalahan, memahami sesuatu lebih menyukai dengan praktik langsung, turun ke lapangan, ataupun mencoba-coba.

Kutub kecenderungan seseorang dalam proses belajar dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran orang yang belajar. Secara teoritis kutub kecenderungan seseorang dalam proses belajar tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan dari satu kutub ke kutub belajar di atas seringkali terjadi begitu saja sulit untuk ditentukan kapan terjadinya. Kolb berpendapat tidak ada individu yang gaya belajarnya secara mutlak didominasi oleh salah satu saja dari kutub tersebut. Biasanya yang terjadi adalah kombinasi dari dua kutub dan membentuk satu kecenderungan atau orientasi belajar.

Experiential learning merupakan model pembelajaran yang sangat memperhatikan perbedaan atau keunikan yang dimiliki siswa, karenanya model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan mengamati inventori gaya belajar (learning style inventory) yang dikembangkan masing-masing siswa, David Kolb mengklasifikasikan gaya belajar seseorang menjadi empat kategori yaitu: Converger, Diverger, Assimilation, dan Accomodator.

Aktivitas permainan "buldozer" dalam program pendidikan karakter berbasis experiential learning

Analisis

Walaupun dibayangi dengan berbagai fenomena rendahnya IQ, degradasi karakter, serta beban berat generasi sandwich, namun bangsa Indonesia tetap harus punya semangat dan kreasi guna memersiapkan generasi unggul menuju Indonesia emas tahun 2045. Pengembangan karakter terus dilakukan, terutama melalui jalur pendidikan formal. Pada tahun 2010 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mencanangkan 18 pilar pendidikan karakter yang terdiri dari: (1) religius, (2) toleransi, (3) cinta damai, (4) bersahabat/komunikatif, (5) demokratis, (6) jujur, (7) disiplin, (8) kerja keras, (9) kreatif, (10) mandiri, (11) rasa ingin tahu, (12) gemar membaca, (13) menghargai prestasi, (14) peduli lingkungan, (15) peduli sosial, (16) semangat kebangsaan, (17) cinta tanah air, dan (18) bertanggungjawab (Suyadi, 2013)

Tak lama berselang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengimplementasikan penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016. Terdapat 5 nilai karakter utama yang bersumber dari Pancasila, sebagai prioritas pengembangan gerakan PPK; yaitu 1) religius, 2) nasionalisme, 3) integritas, 4) kemandirian dan 5) kegotongroyongan. Tiap nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan pribadi. Pelaksanaan PPK dilakukan dengan mendorong sinergi tiga pusat pendidikan, yaitu sekolah, keluarga (orang tua), serta komunitas (masyarakat) agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan yg mendukung upaya penguatan karakter bangsa. (Kemendikbud, 2017)

Secara berkala upaya internalisasi karakter terus diupayakan oleh pemerintah melalui konten dalam kurikulum, namun tampaknya hal tersebut belum memberikan hasil yang maksimal mengingat justru saat ini potensi degradasi moral masih terus terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan jika bangsa Indonesia saat ingin mencetak generasi unggul pada peringatan ulang tahun ke-100 kemerdekaan. Terbitnya Kurikulum Merdeka membawa angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran (Kemdikbud, 2021).

Dalam Kurikulum Merdeka, terdapat dimensi profil pelajar pancasila sebagai karakter dan kompetensi fondasi yang perlu dikembangkan oleh satuan pendidikan untuk peserta didik. Dimensi-dimensi profil pelajar pancasila adalah (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) bergotong-royong, (4) mandiri, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif. Kurikulum Merdeka mempunyai tujuan luhur dalam bidang pendidikan karena merumuskan profil pelajar pancasila sebagai profil lulusan yang bertujuan untuk menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan diraih dan menguatkan nilai-nilai luhur pancasila peserta didik dan para pemangku kepentingan. Aspek karakter inilah yang menjadi salah satu celah besar bagi generasi muda dalam menyongsong Indonesia emas 2045.

Profil pelajar pancasila akan diwujudkan melalui budaya satuan pendidikan, kegiatan pembelajaran, dan kegiatan kokurikuler berupa pembelajaran melalui projek. Projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) adalah sebuah pendekatan pembelajaran melalui projek dengan sasaran utama mencapai dimensi profil pelajar pancasila. Dalam kegiatan P5 ini, peserta didik akan belajar menelaah tema-tema tertentu yang dikembangkan berdasarkan isu prioritas dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, Sustainable Development Goals, dan dokumen lain yang relevan sehingga menjadi prioritas setiap tahunnya. 4 pilihan tema untuk kategori PAUD adalah 1) Aku Sayang Bumi “Gaya Hidup Berkelanjutan,” 2) Aku Cinta Indonesia “Kearifan Lokal,” 3) Kita Semua Bersaudara “Bhinneka Tunggal Ika,” dan 4) Imajinasi dan Kreativitasku “Rekayasa dan Teknologi.” Sedangkan bagi jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK dan sederajat, tema P5 yang ditawarkan adalah 1) Gaya Hidup Berkelanjutan, 2) Kearifan Lokal, 3) Bhinneka Tunggal Ika, 4) Bangunlah Jiwa dan Raganya, 5) Suara Demokrasi, 6) Berekayasa dan Berteknologi untuk membangun NKRI, 7) Kewirausahaan, dan 8) Kebekerjaan khusus bagi jenjang SMK.

Projek penguatan profil pelajar Pancasila akan dijalankan terpisah dari mata pelajaran, namun mengambil sebagian waktu dari keseluruhan pembelajaran di satuan pendidikan. Projek penguatan profil pelajar Pancasila tidak berarti pendekatan berbasis projek saja. Satuan pendidikan dapat menggunakan pendekatan lain seperti inkuiri, berbasis masalah, dan pendekatan lain yang sesuai digunakan untuk mengembangkan karakter dan kompetensi yang dituju di profil pelajar pancasila. Walaupun pendidikan karakter melalui P5 sudah dipikirkan secara seksama, namun sebagai produk kurikulum yang baru, belum banyak contoh atau pihak yang sudah melaksanakannya. Hal ini membuka peluang akan dikembangkannya berbagai skenario internalisasi penguatan karakter pada peserta didik secara khusus, dan pada generasi penerus bangsa secara umum.

Upaya internalisasi nilai-nilai unggul bagi generasi muda sepertinya belum membuahkan hasil maksimal, walau rentetan karakter yang mulia sudah dicoba oleh pemerintah melalui berbagai aplikasi dalam beberapa kurikulum. Ditambah dengan kondisi bangsa Indonesia yang sedang bangkit akibat keterpurukan akibat pandemi Covid-19 yang menyebabkan peningkatan angka pengangguran kerja, maka perlu digagas upaya cerdas yang bisa menyiasati penyiapan generasi unggul penunjang Indonesia emas 2045. Remaja sebagai agen perubahan perlu dibekali dengan animasi yang menarik dalam hal internalisasi karakter unggul.

Indonesia memerlukan terobosan sistem pendidikan yang efektif menunjang kebijakan saat ini, terutama untuk pengembangan karakter manusianya. Pendidikan melalui pengalaman, atau lebih dikenal dengan experiential learning, adalah pilihan yang efektif. Metode ini mulai dikenal secara masif sejak tahun 1907, saat Baden Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai “permainan” tersebut bertujuan membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa patriot.

Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan perang.  Materi utama pelatihan yang dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan, percaya diri dan saling bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School. Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan pengembangan karakter.

Pada tahun 1938, John Dewey menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui pengalaman.

Pada tahun 1962, Josh Miner, seorang Amerika yang pernah berkarya di  Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS. Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan pengalaman petualangan/ tantangan.

Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang bisa belajar melalui pengalaman.

Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan (melalui) Pengalaman.”

Pada tahun 2002, Prof. Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan Sumber Daya Manusia. Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.

Pada tahun 2007, Berdiri AELI/ Asosiasi Experiential learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,” kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan meningkatkan kualitasnya demi  pengembangan karakter manusia Indonesia.

Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator experiential learning. Walau sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential learning.

Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah saja.

Permainan "Pipa Bocor" sebagai media pendidikan karakter berbasis experiential learning

Mengapa experiential learning efektif sebagai metode pembelajaran, khususnya dalam upaya pengembangan karakter? Berikut ini 7 aspek yang berbeda antara pendidikan tradisional dengan pendidikan pengalaman.

No.

Aspek

Tradisional

Experiential Learning

 1

Inisiatif utama

Guru

Individu

 2

Kebebasan

Banyak aturan

Ekspresif, bebas

 3

Sumber belajar

Buku dan guru

Pengalaman (diri, teman, lingkungan)

 4

Perolehan ketrampilan

Indoktrinasi

Berdasar kebutuhan untuk diaplikasikan

 5

Prospek hasil

Cenderung untuk masa depan saja

Untuk saat ini dan masa depan

 6

Materi

Cenderung tetap

Ikut perkembangan

 7

Komunikasi

Satu arah

Dua arah

Bagaimana experiential learning dimaknakan? Ternyata ada 7 metode yang terus berkembang sejak tahun 40an, dan yang paling terkenal adalah debriefing/pemaknaan di akhir proses. Sekedar menyebut metode yang lain, ada pula makna yang disampaikan justru sebelum peserta didik melakukan/ mengalami “pengalaman”

Ada beberapa alasan mengapa metode experiential learning perlu segera dipopulerkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam upaya mengembangkan karakter generasi muda atau para peserta didik dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.

  1. Metode experiential learning sudah lebih dari 1 abad berlangsung, dan tentunya telah banyak kajian keilmuannya. Jadi kita harus yakin, bahwa selalu ada landasan keilmuan/ilmiah dalam tiap ragam metode pendidikan pengalaman.
  2. Metode experiential learning sangat fleksibel dan menyenangkan digunakan pada semua rentang usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Apalagi jika pendekatannya melalui permainan. Hal ini bisa menjadi solusi guna membelajarkan orang-orang dewasa; maklum, budaya Indonesia masih kental dengan sopan santun dan rasa “segan” terhadap orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
  3. Alam Indonesia yang kaya dengan bentang alam serta seni budayanya yang sangat beragam bisa menjadi materi yang tak akan habis digali sebagai sumber “pengalaman” bagi peserta didik. Hal ini akan menjadi “kawah candradimuka” bagi pengembangan mental manusia-manusia muda Indonesia.
  4. Metode experiential learning bisa memerkuat metode pendidikan tradisional, atau apa pun metode yang sedang menjadi kebijakan negara. Artinya, untuk materi-materi pembelajaran yang efektif dilakukan dengan pedagogi, silakan dilanjutkan. Mana yang sebenarnya efektif dengan andragogi juga pendidikan pengalaman, kita harus berani mencobanya.
  5. Indonesia sudah memunyai asosiasi bagi lembaga/ individu yang bergiat di experiential learning, yaitu AELI. Hal ini akan memudahkan proses saling belajar terkait keilmuan maupun praksis pelaksanaan metode experiential learning.
  6. Melalui sertifikasi profesi, pemerintah sudah mengakui bahwa fasilitator experiential learning atau pemandu outbound adalah keahlian yang harus bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dalam hal keilmuannya. Artinya, pemerintah mulai mengakui bahwa experiential learning itu “sesuatu yang bernas” sehingga perlu dibuat regulasinya.

Akhirnya, mari kita makin terbuka dan kreatif dalam upaya memajukan bangsa Indonesia melalui pendidikan. Ketika ada metode yang sebenarnya sudah teruji dan efektif digunakan, kenapa tidak kita coba? Experiential learning atau pendidikan pengalaman, atau populer dengan istilah outbound patut kita pertimbangkan secara serius sebagai salah satu metode pendidikan karakter bangsa. Semoga pelaksanaan metode experiential learning ini bisa menjadi katalisator bagi pendidikan transformatif yang bisa secara mangkus menyiapkan generasi muda yang berkarakter kuat dan tangguh dalam rangka menyiapkan generasi emas 2045.

DAFTAR REFERENSI

-----------------------selesai------------------------
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar