Latar Belakang : Pilih salah satu topik pendidikan yang secara empirik memang fenomenal, didukung oleh data-data, dan silakan identifikasi adanya ketidakberesan sosial dalam topik Anda tersebut.
Sasaran : Sebutkan sasaran yang menjadi subjek pendidikan transformatif
Transformasi : Jelaskan kira-kira transformasi yang dikehendaki seperti apa.
Review Teori : Silakan mengelaborasi pilihan beberapa teori pedagogi kritis yang relevan dengan topik Anda.
Analisis : Silakan Anda analisis fenomena pendidikan yang mengandung ketidakberesan sosial tersebut, yaitu mendiskusikan dan mendialogkannya dengan teori yang Anda pilih, misalnya bisa dengan teori pedagogi kritis, pendidikan progresif, pendidikan bermakna, atau ketiga-tiganya.
poster generasi emas; sumber https://i.pinimg.com/originals/10/3b/6d/103b6dd4097c473e8a9dc15ea18abb65.jpg |
Latar Belakang
Tidak hanya
dalam hal kecerdasan, namun dalam hal kepribadian, bangsa Indonesia masih perlu
introspeksi karena ada kecenderungan beberapa kebiasaan generasi mudanya yang
kurang tangguh menghadapi tantangan masa kini. Karena tugas menumpuk dan ingin
cepat lulus, membuat mahasiswa mengambil jalan pintas dengan menyewa joki
tugas. Mereka membayar sejumlah uang pada para joki untuk mengerjakan sesuatu
yang semestinya menjadi bahan pembelajaran yang harus dikuasainya. Ditengarai,
mereka yang memergunakan joki sudah memulainya sejak mereka duduk di bangku
SMA. Perjokian yang dulu masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi kini di era
digital seakan tidak malu menampakkan dirinya, ditandai dengan berbagai tawaran
perjokian yang bertebaran di berbagai situs atau media sosial. Tak hanya untuk
mengerjakan tugas, joki pun menawarkan diri untuk disewa dalam melancarkan
proses seleksi masuk perguruan tinggi,
penyelesaian skripsi, bahkan untuk seleksi pegawai negeri (Dewabrata &
Soekirno, 2022).
Pendidikan
karakter selalu didengungkan sebagai sisi yang selaras dengan kualitas
pendidikan di Indonesia. Namun, kenyataannya hal tersebut belum berjalan
seperti yang diharapkan. Koruspi yang dilakukan oleh Profesor Doktor Karomani
selaku Rektor Universitas Lampung, Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, dan
Ketua Senat Universitas Lampung Muhammad Basri, menjadi contoh baik dari
penyelenggara pendidikan yang berkarakter busuk. Penangkapan mereka oleh KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada 20 Agustus 2022 menjadi pukulan telak bagi dunia
pendidikan di Indonesia.
Apakah rektor
bermasalah tadi tidak tahu akan pendidikan karakter? Sebagai seseorang yang sudah
lulus sekolah strata sarjana, magister, dan doktoral, bahkan sudah diangkat
oleh presiden menjadi guru besar (profesor), semestinya beliau tahu. Namun, berkaca dari kasus korupsi para pemimpin institusi
pendidikan tinggi yang dalam keseharian bisa dikategorikan sebagai pendidik
atau menganjur karakter mulia, ternyata pengetahuan “pendidikan
karakter” tidak selalu diikuti dengan internalisasi secara pribadi. Hal semacam
ini patut membuat kita semua cemas dalam konteks penyongsongan Indonesia Emas
2045. Lalu, pertanyaan besarnya, bagaimana sebaiknya pendidikan karakter ini
kita animasikan supaya menghasilkan buah yang nyata?
Tantangan
dalam memersiapkan generasi Emas 2045 tak hanya mendapat rintangan dengan
kerendahan tingkat kecerdasan dan lemahnya kepribadian masyarakat, namun juga
dibayangi kondisi perekonomian yang belum stabil akibat dampak pandemi
covid-19. Gelombang pengangguran yang terjadi akibat berhentinya banyak sektor
usaha memang perlahan mengecil seperti diperlihatkan data dari Badan Pusat
Statistik/BPS. Pada bulan Agustus 2020
dari total penduduk usia kerja sebanyak 203,97 juta orang, 14,28% atau 29,12
juta orang terdampak Covid-19 dengan komposisi 2,56 juta menjadi pengangguran
karena covid, 0,76 juta bukan angkatan kerja karena covid, 1,77 juta orang
sementara tidak bekerja karena covid, dan 24,03 juta orang bekerja dengan
pengurangan jam kerja karena covid. (BPS, 2020)
Pada bulan
Agustus 2021 dari total penduduk usia kerja sebanyak 206,71 juta orang, 10,5%
atau 21,32 juta orang terdampak Covid-19 dengan komposisi 1,82 juta menjadi
pengangguran karena covid, 0,7 juta bukan angkatan kerja karena covid, 1,39
juta orang sementara tidak bekerja karena covid, dan 17,41 juta orang bekerja
dengan pengurangan jam kerja karena covid (BPS, 2021)
Pada bulan
Agustus 2022 dari total penduduk usia kerja sebanyak 209,42 Juta orang, 1,98%
atau 4,15 juta orang masih terdampak Covid-19 dengan komposisi 240 ribu orang
jadi pengangguran karena covid, 320 ribu bukan angkatan kerja karena covid,
0,11 juta orang sementara tidak bekerja karena covid, dan 3,48 juta orang
bekerja dengan pengurangan jam kerja karena covid. Namun secara keseluruhan BPS
mencatat, tingkat pengangguran terbuka/TPT Indonesia pada periode Agustus terhitung 5,86% atau sebanyak
8,41 juta orang. (BPS, 2022).
Jumlah pengangguran sebanyak ini tentu menjadi persoalan tersendiri karena jika
tidak segera diturunkan bisa mempengaruhi ketercapaian pembentukan generasi
emas 2045.
Dalam
menyongsong ulang tahun kemerdekaan ke-100 yang ditandai dengan pencanangan
Indonesia Emas 2045,
diperlukan pembentukan generasi yang unggul supaya terjadi kemajuan yang
signifikan dalam hidup bernegara dan bermasyarakat. Namun asa tersebut masih
terkendala oleh berbagai pencapaian yang belum menggembirakan dalam beberapa
dimensi kehidupan, seperti yang terungkap dalam pembahasan latar belakang
masalah. Beberapa masalah yang teridentifikasi di antaranya:
- Tingkat penguasaan literasi dasar generasi muda Indonesia yang masih rendah, ditunjukkan dengan hasil perhitungan IQ dan PISA yang berada di bawah rata-rata negara lain. Hal ini menunjukkan lemahnya semangat, disiplin, dan daya juang para remaja dalam dalam bekerja keras dan berprestasi untuk bidang pendidikan yang sejatinya menjadi kebutuhan yang bersangkutan.
- Kecenderungan mengambil jalan pintas dalam menyelesaikan tugas-tugas sekolah/kuliah yang dilakukan para siswa/mahasiswa menunjukkan bahwa mentalitas mereka kurang tangguh sehingga memilih jalan yang tidak jujur. Ketidakjujuran juga dipertontonkan beberapa pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan tinggi yang menyebabkan pertenyaan besar akan marwah terhadap suatu gelar akademik yang mulia.
- Wabah pandemi Covid-19 membuat tingkat pengangguran di Indonesia meningkat sehingga menimbukan efek samping kondisi perekonomian yang berat untuk dibangkitkan kembali. Tanpa penanganan yang tepat dan serius, para penganggur bisa menjadi titik lemah karena memeperkecil akses pendidikan yang baik bagi keluarga mereka. Generasi yang kurang terdidik pada akhirnya memperlambat ketercapaian tujuan pembangunan.
Tulisan ini
akan mencoba menawarkan suatu konsep pendidikan transformatif yang bisa
digunakan sebagai media peningkatan karakter tangguh bagi generasi muda.
Pendekatan experiential learning atau
“belajar melalui pengalaman,” menjadi salah satu pilihan metode yang dianggap
efektif dalam mencapai tujuan tersebut.
Sasaran
Sasaran
pendidikan transformatif dalam tulisan ini adalah para guru, pendamping,
fasilitator, ataupun pemberdaya masyarakat yang sedang memersiapkan generasi
muda dalam menyongsong Generasi Emas 2045. Dalam konteks pendidikan formal, sasaran
pendidikan transformatif ini adalah para guru, mulai dari jenjang pendidikan
dasar sampai menengah.
Transformasi
Transformasi
yang dikehendaki dalam mengembangkan karakter calon generasi emas 2045 melalui pendekatan experiential learning adalah berkembangnya metode pengembangan
karakter bagi para siswa/generasi muda dari yang sarat dengan pengetahuan
semata, menjadi sarat praktik yang transformatif.
sumber: https://www.kreavi.com/portofolio/nyarinama/Indonesia-Emas/15188 |
Review
Teori
2 teori utama yang digunakan sebagai tinjauan
adalah pedagogi kritis versi John Dewey dan David A. Kolb. Selain itu akan
disisipi beberapa praksis pendidikan pengalaman versi Baden Powell dan Sir Kurt
Lawrence Hunt.
Menurut John Dewey, pengalaman adalah basis pendidikan sebagai
sarana dan sekaligus tujuan pendidikan.
Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan
pengalaman secara terus-menerus. Dewey memperkenalkan konsep pendidikannya melalui Experiential learning, dimana pendidikan dapat di peroleh melalui
pengalaman. Pendidikan melalui pengalaman (Experience)
merupakan nilai yang sangat penting karena belajar melalui
"pengalaman" adalah "sarana sekaligus tujuan dari pendidikan"
Hal itu
merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan usaha untuk terus-menerus
menyusun kembali (reconstruction) dan
menata ulang (reorganization)
pengalaman hidup, sehingga peserta didik terus tumbuh dan diperkaya oleh
pengalaman-pengalaman yang di dapat dalam hidupnya.
Dari sisi aliran pendidikan, pemikiran Dewey tentang
pendidikan cukup dekat dengan teori atau aliran
pendidikan yang disebut
progressivisme. Namun
demikian, dalam buku
Experience and Education,
ia juga
cukup kritis terhadap
aliran progressivisme. Katanya, progressivisme tidak memadai kalau
dilihat dari pandangannya yang
menjadikan pengalaman sebagai basis pendidikan. Pola pendidikan lama atau tradisional yang
memahami materi pelajaran
sebagai suatu yang
sudah baku dan
pendidikan sebagai pengalihan
seperangkat pengetahuan dan ketrampilan
yang wajib dikuasai
oleh subyek didik dari generasi ke
generasi, serta pendidikan moral
sebagai pembentukan kebiasaan
bertindak sesuai dengan
standar dan aturan
moral yang berlaku
sepanjang zaman memang ditolak oleh
Dewey. Demikian juga pandangan pendidikan tradisional tentang sekolah sebagai lembaga yang sama sekali
terpisah dari kehidupan
masyarakat dan pendidikan
sebagai kegiatan mempersiapkan subyek didik untuk dapat
memainkan perannya
dalam masyarakat di
kemudian hari. Bagi Dewey, sebagaimana aliran
progressivisme, pendidikan orang
muda bukan hanya persiapan untuk hidup nanti di tengah masyarakat,
tetapi sudah merupakan
kehidupan sendiri (George R. Knight, 1982).
Teori John
Dewey tentang Experiential learning menyatakan
peserta didik dapat melakukan kegiatan menurut minatnya. Selain itu, melalui
teori ini, peserta didik dapat belajar bersama, mengajarkan peserta didik pada
tingkat yang lebih personal untuk mendapatkan keterampilan baru, sikap baru
serta cara berpikir yang baru. Dewey juga memberikan keyakinan, bahwa
dalam belajar melalui pengalaman; peserta didik harus berproses aktif sehingga
dapat terlibat langsung dalam mengerjakan tugas serta dalam menjalani tantangan
kehidupan yang nyata. Pendidikan yang baik harus memiliki tujuan untuk dapat
bersosialisasi dengan lingkungannya sehingga dapat terefleksikan
prinsip-prinsip dan gagasan yang memotivasi masyarakan dalam memperoleh
pengetahuan.
Dewey
berpendapat tentang metode pendidikan dalam Experiential learning adalah upaya menanamkan sikap disiplin,
tetapi bukan otoritas. Yang terpenting adalah mengantrol anak melalui kekuatan
eksternal. Disiplin dalam pendidikan memancar dari keinginan peserta
didik, yang merupakan suatu tempat berlangsungnya aktivitas peserta didik dalam
usaha bersama mencapai tujuan pendidikan.
Peran guru
di sini sangat diperlukan dengan membangkitkan "impulse" peserta
didik sehingga dalam belajar dapat mencapai "mastery' (ketuntasan),
menumbuhkan kecakan dan minat setiap peserta didik terhadap pelajaran yang
berbeda-beda, serta guru harus menciptakan situasi di kelas sehingga peserta
didik ikut berpartisipasi dalam proses belajar.
Dalam pandangan Dewey,
berpikir kritis merupakan proses berpikir reflektif yang aktif dan
mendalam. Informasi tidak diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
melalui pengajuan pertanyaan untuk menemukan informasi yang relevan. Dewey
mengemukakan bahwa berpikir reflektif merupakan kegiatan untuk mempertimbangkan
secara cermat, aktif dan gigih mengenai suatu keyakinan atau bentuk pengetahuan
apapun. Setiap hal harus dipandang dengan berbagai pernyataan yang dapat
mendukungnya. Setelah itu, barulah diperoleh kesimpulan dari pernyataan
tersebut. Ia meyakini bahwa berpikir kritis merupakan cara berpikir yang benar
bagi anak-anak, sehingga perlu diajarkan di sekolah.
Bagi John
Dewey, pendidikan harus memampukan peserta didik dalam memaknai rangkaian
pengalamannya, sehingga peserta didik teruk bertumbuh dan diperkaya oleh
pengalaman tersebut. Disamping itu diperlukan juga komponen pendidikan lainnya
seperti pandangan dalam kurikulum, metode pendidikannya, peserta didik dan
peran guru juga menjadi inti dalam mendukung terwujudnya idealisasi pendidikan
yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya.
Sejalan
dengan Dewey, David A. Kolb pada pertengahah tahun 1980an mengembangkan ragam “experiential
learning” yang dikenal dengan teori “Belajar Empat Tahap.” Sebagai seorang ahli
sekaligus penganut aliran humanistik, Kolb mendefinisikan belajar sebagai
proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman.
Pengetahuan dianggap sebagai perpaduan antara memahami dan mentransformasi
pengalaman.
David Kolb
mengemukakan adanya empat kutub kecenderungan seseorang dalam proses belajar,
kutub-kutub tersebut antara lain:
1. Kutub Perasaan/Pengalaman Konkrit (Concrete Experience)
Individu
belajar melalui perasaan, dengan menekankan segi-segi pengalaman konkret, lebih
mementingkan relasi dengan sesama dan sensitivitas terhadap perasaan yang lain.
Dalam proses belajar, individu cenderung lebih terbuka dan mampu beradaptasi
terhadap perubahan yang dihadapinya. Individu yang berada pada kutub ini suka
dengan hal-hal atau pengalaman-pengalaman baru dan ingin segera mengalaminya.
Prinsip yang mereka yakini adalah “menikmati apa yang ada pada saat ini dan di
sini”. Individu ini juga tidak takut untuk mencoba, suka berkumpul dengan orang
lain, berusaha keras memecahkan permasalahan yang dihadapinya dengan bertukar
pikiran dengan teman-teman atau kumpulannya, tapi akan merasa bosan jika
permasalahan tersebut membutuhkan waktu yang lama.
2. Kutub pengamatan/Refleksi Pengamatan (Reflective Observation)
Individu
belajar melalui pengamatan, penekanannya mengamati sebelum menilai, menyimak
suatu perkara dari berbagai perspektif, dan selalu menyimak makna dari hal-hal
yang diamati. Dalam proses belajar, individu akan menggunakan pikiran dan
perasaannya untuk membentuk opini atau pendapat. Individu yang berada pada
kutub ini melihat masalah dari berbagai perspektif, mengumpulkan
sebanyak-banyaknya data yang berhubungan dengan permasalahan dari berbagai
sumber, sehingga terkadang terlihat suka menunda-nunda menyelesaikan masalah.
3. Kutub Pemikiran/Konseptualisasi Abstrak (Abstract Conceptualization)
Individu
belajar melalui pemikiran dan lebih terfokus pada analisis logis dari ide-ide,
merencanakan secara sistematis, dan pemahaman intelektual dari situasi atau
perkara yang dihadapi. Dalam proses belajar, individu akan mengandalkan
perencanaan sistematis serta mengembangkan teori dan ide untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapinya. Individu yang berada pada kutub ini mengadaptasi dan
mengintegrasi dari hasil amatannya ke dalam sebuah teori. Dalam memecahkan
sebuah masalah, individu akan bekerja secara vertikal, runtut, sistematis, step-by-step. Akan berusaha
mengasimilasikan fakta-fakta yang ada atau yang diketahui ke dalam pertalian
teori. Orang lain melihat individu ini adalah orang yang perfeksionis, tidak
bisa istirahat dengan tenang jika permasalahan yang dihadapinya belum dapat
diselesaikan dengan baik dan dapat dimasukan ke dalam skema rasional. Dalam
berpikir cenderung objektif dengan pendekatan yang analitis, pendekatan
terhadap masalah dengan logis.
4. Kutub Tindakan/Eksperimen Aktif (Active Experimentation)
Individu
belajar melalui tindakan, cenderung kuat dalam segi kemampuan melaksanakan
tugas, berani mengambil resiko, dan mempengaruhi orang lain lewat perbuatannya.
Dalam proses belajar, individu akan menghargai keberhasilannya dalam
menyelesaikan pekerjaan, pengaruhnya pada orang lain, dan prestasinya. Individu
yang berada pada kutub ini sering untuk mencoba-coba teori, ide dan teknis
melakukan sesuatu, menyenangi hal-hal yang berhubungan dengan aplikasi, ingin
cepat mendapatkan sesuatu dan segera melakukannya dengan kepercayaan diri yang
tinggi. Individu ini merespons sesuatu sebuah tantangan sebagai suatu
kesempatan. Siswa menggunakan teori atau rumus-rumus untuk memecahkan masalah
yang dihadapinya. Dalam menghapal, menyelesaikan sesuatu permasalahan, memahami
sesuatu lebih menyukai dengan praktik langsung, turun ke lapangan, ataupun
mencoba-coba.
Kutub
kecenderungan seseorang dalam proses belajar dilukiskan oleh Kolb sebagai suatu
siklus yang berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran orang yang
belajar. Secara teoritis kutub kecenderungan seseorang dalam proses belajar
tersebut memang dapat dipisahkan, namun dalam kenyataannya proses peralihan
dari satu kutub ke kutub belajar di atas seringkali terjadi begitu saja sulit
untuk ditentukan kapan terjadinya. Kolb berpendapat tidak ada individu yang
gaya belajarnya secara mutlak didominasi oleh salah satu saja dari kutub
tersebut. Biasanya yang terjadi adalah kombinasi dari dua kutub dan membentuk
satu kecenderungan atau orientasi belajar.
Experiential learning merupakan model pembelajaran yang
sangat memperhatikan perbedaan atau keunikan yang dimiliki siswa, karenanya
model ini memiliki tujuan untuk mengakomodasi perbedaan dan keunikan yang
dimiliki oleh masing-masing individu. Dengan mengamati inventori gaya belajar
(learning style inventory) yang dikembangkan masing-masing siswa, David Kolb
mengklasifikasikan gaya belajar seseorang menjadi empat kategori yaitu: Converger, Diverger, Assimilation, dan Accomodator.
Aktivitas permainan "buldozer" dalam program pendidikan karakter berbasis experiential learning |
Analisis
Walaupun
dibayangi dengan berbagai fenomena rendahnya IQ, degradasi karakter, serta
beban berat generasi sandwich, namun
bangsa Indonesia tetap harus punya semangat dan kreasi guna memersiapkan
generasi unggul menuju Indonesia emas tahun 2045. Pengembangan karakter terus
dilakukan, terutama melalui jalur pendidikan formal. Pada tahun 2010
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mencanangkan 18 pilar pendidikan
karakter yang terdiri dari:
(1) religius, (2) toleransi, (3) cinta damai, (4) bersahabat/komunikatif, (5)
demokratis, (6) jujur, (7) disiplin, (8) kerja keras, (9) kreatif, (10)
mandiri, (11) rasa ingin tahu, (12) gemar membaca, (13) menghargai prestasi,
(14) peduli lingkungan, (15) peduli sosial, (16) semangat kebangsaan, (17)
cinta tanah air, dan (18) bertanggungjawab (Suyadi, 2013)
Tak lama
berselang, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengimplementasikan
penguatan karakter penerus bangsa melalui gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) yang digulirkan sejak tahun 2016. Terdapat 5 nilai karakter utama yang bersumber
dari Pancasila, sebagai prioritas
pengembangan gerakan PPK; yaitu 1)
religius, 2) nasionalisme,
3) integritas, 4) kemandirian dan 5) kegotongroyongan. Tiap
nilai tidak berdiri dan berkembang sendiri-sendiri, melainkan saling
berinteraksi satu sama lain, berkembang secara dinamis dan membentuk keutuhan
pribadi. Pelaksanaan PPK dilakukan dengan mendorong sinergi tiga pusat
pendidikan, yaitu sekolah, keluarga (orang tua), serta komunitas (masyarakat)
agar dapat membentuk suatu ekosistem pendidikan yg mendukung upaya penguatan
karakter bangsa. (Kemendikbud,
2017)
Secara
berkala upaya internalisasi karakter terus diupayakan oleh pemerintah melalui
konten dalam kurikulum, namun tampaknya hal tersebut belum memberikan hasil
yang maksimal mengingat justru saat ini potensi degradasi moral masih terus
terjadi di Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan jika bangsa Indonesia saat
ingin mencetak generasi unggul pada peringatan ulang tahun ke-100 kemerdekaan.
Terbitnya Kurikulum Merdeka membawa angin segar bagi dunia pendidikan
Indonesia. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran
intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta
didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.
Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga
pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta
didik. Projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar pancasila dikembangkan
berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut
tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga
tidak terikat pada konten mata pelajaran (Kemdikbud, 2021).
Dalam
Kurikulum Merdeka, terdapat dimensi “profil pelajar pancasila” sebagai karakter dan
kompetensi fondasi yang perlu dikembangkan oleh satuan pendidikan untuk peserta didik. Dimensi-dimensi
profil pelajar pancasila adalah (1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, dan berakhlak mulia, (2) berkebinekaan global, (3) bergotong-royong, (4)
mandiri, (5) bernalar kritis, dan (6) kreatif. Kurikulum Merdeka mempunyai tujuan luhur dalam
bidang pendidikan karena merumuskan profil pelajar pancasila sebagai profil lulusan yang
bertujuan untuk menunjukkan karakter dan kompetensi yang diharapkan diraih dan
menguatkan nilai-nilai luhur pancasila peserta didik dan para pemangku
kepentingan. Aspek karakter
inilah yang menjadi salah satu celah besar bagi generasi muda dalam menyongsong
Indonesia emas 2045.
Profil
pelajar pancasila akan diwujudkan melalui budaya satuan pendidikan, kegiatan
pembelajaran, dan kegiatan kokurikuler berupa pembelajaran melalui projek.
Projek penguatan profil pelajar Pancasila (P5) adalah sebuah pendekatan
pembelajaran melalui projek dengan sasaran utama mencapai dimensi profil
pelajar pancasila. Dalam kegiatan P5 ini, peserta didik akan belajar menelaah
tema-tema tertentu yang dikembangkan berdasarkan isu prioritas dalam Peta Jalan
Pendidikan Nasional 2020-2035, Sustainable
Development Goals, dan dokumen lain yang relevan sehingga menjadi prioritas
setiap tahunnya. 4 pilihan tema untuk kategori PAUD adalah 1) Aku Sayang Bumi
“Gaya Hidup Berkelanjutan,” 2) Aku Cinta Indonesia “Kearifan Lokal,” 3) Kita
Semua Bersaudara “Bhinneka Tunggal Ika,” dan 4) Imajinasi dan Kreativitasku
“Rekayasa dan Teknologi.” Sedangkan bagi jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA,
SMK/MAK dan sederajat, tema P5 yang ditawarkan adalah 1) Gaya Hidup
Berkelanjutan, 2) Kearifan Lokal, 3) Bhinneka Tunggal Ika, 4) Bangunlah Jiwa
dan Raganya, 5) Suara Demokrasi, 6) Berekayasa dan Berteknologi untuk membangun
NKRI, 7) Kewirausahaan, dan 8) Kebekerjaan khusus bagi jenjang SMK.
Projek penguatan profil pelajar Pancasila akan dijalankan
terpisah dari mata pelajaran, namun mengambil sebagian waktu dari keseluruhan
pembelajaran di satuan pendidikan. Projek penguatan profil pelajar Pancasila tidak berarti
pendekatan berbasis projek saja. Satuan pendidikan dapat menggunakan pendekatan
lain seperti inkuiri, berbasis masalah, dan pendekatan lain yang sesuai
digunakan untuk mengembangkan karakter dan kompetensi yang dituju di profil
pelajar pancasila. Walaupun
pendidikan karakter melalui P5 sudah dipikirkan secara seksama, namun sebagai
produk kurikulum yang baru, belum banyak contoh atau pihak yang sudah
melaksanakannya. Hal ini membuka peluang akan dikembangkannya berbagai skenario
internalisasi penguatan karakter pada peserta didik secara khusus, dan pada
generasi penerus bangsa secara umum.
Upaya
internalisasi nilai-nilai unggul bagi generasi muda sepertinya belum membuahkan
hasil maksimal, walau rentetan karakter yang mulia sudah dicoba oleh pemerintah
melalui berbagai aplikasi dalam beberapa kurikulum. Ditambah dengan kondisi
bangsa Indonesia yang sedang bangkit akibat keterpurukan akibat pandemi
Covid-19 yang menyebabkan peningkatan angka pengangguran kerja, maka perlu
digagas upaya cerdas yang bisa menyiasati penyiapan generasi unggul penunjang
Indonesia emas 2045. Remaja sebagai agen perubahan perlu dibekali dengan
animasi yang menarik dalam hal internalisasi karakter unggul.
Indonesia
memerlukan terobosan sistem pendidikan yang efektif menunjang kebijakan saat
ini, terutama untuk pengembangan karakter manusianya. Pendidikan melalui
pengalaman, atau lebih dikenal dengan experiential
learning, adalah pilihan yang efektif. Metode ini mulai dikenal secara
masif sejak tahun 1907, saat Baden Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan
pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang
sebagian besar diisi dengan berbagai “permainan” tersebut bertujuan membentuk karakter
pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt melakukan pelatihan selama 28 hari
untuk menggembleng fisik, intelektual, dan emosi pelaut muda Inggris menghadapi
pelayaran niaga yang tak luput dari gempuran kapal selam Jerman. Saat itu
banyak pelaut muda Inggris yang mati di lautan akibat kurang mempunyai jiwa
survival saat terjebak dalam kekacauan perang.
Materi utama pelatihan yang dikenal dengan nama Outward Bound tersebut
adalah: kerjasama, keterbukaan, percaya diri dan saling bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata
metode tersebut dianggap berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua
yaitu Gordonstoun School. Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya
menjadi sebuah merek dagang pelatihan pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey menerbitkan buku “Experience and
Education” yang terinspirasi oleh metode pendidikan Kurt Hahn. Dewey
berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan nilai, antara “kegiatan
yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan kegiatan akademis. Ia
meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner, seorang Amerika yang pernah
berkarya di Gordontoun School mendirikan
Outward Bound School di Colorado, AS. Setelah momen ini, Outward Bound School
akhirnya lebih cepat menyebar ke berbagai belahan dunia. Metode yang diusung
tetap sama, yaitu model
Kurt Hahn yang menekankan pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu:
Concrete Experience, Reflective Observation, Abstrac Conceptualization, dan
Active Experimentation.
Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah
pendidikan melalui petualangan masuk ke Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound
Indonesia berdiri di
tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah lembaga yang
rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai
penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa
petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun
beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang
merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer
menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna
tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari
dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini
belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan
(melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof. Djamaluddin Ancok menulis buku
“Outbound Management Training;
Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan Sumber Daya Manusia.” Penerbitan buku ini
seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode pendidikan/ pelatihan yang
bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/ Asosiasi Experiential learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai
banyak ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan
“outbound,” kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai
ditinggalkannya kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI
menjadi wadah dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan meningkatkan
kualitasnya demi pengembangan karakter
manusia Indonesia.
Akhirnya, pada
tahun 2015 Pemerintah Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi
Profesi) sudah melakukan sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu
outbound/ fasilitator experiential
learning. Walau sekedar
“bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi utama,
termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential learning.
Menilik catatan
sejarah, ternyata pendidikan berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan
serius, walaupun di Indonesia kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita
terlalu mengagungkan pola pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian
materi secara satu arah saja.
Permainan "Pipa Bocor" sebagai media pendidikan karakter berbasis experiential learning |
Mengapa experiential learning efektif sebagai
metode pembelajaran, khususnya dalam upaya pengembangan karakter? Berikut ini 7
aspek yang berbeda antara pendidikan tradisional dengan pendidikan pengalaman.
No. |
Aspek |
Tradisional |
Experiential Learning |
|
Inisiatif utama |
Guru |
Individu |
|
Kebebasan |
Banyak aturan |
Ekspresif, bebas |
|
Sumber belajar |
Buku dan guru |
Pengalaman (diri, teman, lingkungan) |
|
Perolehan ketrampilan |
Indoktrinasi |
Berdasar kebutuhan untuk diaplikasikan |
|
Prospek hasil |
Cenderung untuk masa depan saja |
Untuk saat ini dan masa depan |
|
Materi |
Cenderung tetap |
Ikut perkembangan |
|
Komunikasi |
Satu arah |
Dua arah |
Bagaimana experiential learning dimaknakan? Ternyata ada 7 metode yang terus berkembang sejak tahun 40an, dan yang paling terkenal adalah debriefing/pemaknaan di akhir proses. Sekedar menyebut metode yang lain, ada pula makna yang disampaikan justru sebelum peserta didik melakukan/ mengalami “pengalaman”
Ada
beberapa alasan mengapa metode experiential
learning perlu segera dipopulerkan dalam sistem pendidikan di Indonesia,
khususnya dalam upaya mengembangkan karakter generasi muda atau para peserta
didik dalam menyongsong Indonesia Emas 2045.
- Metode experiential learning sudah lebih dari 1 abad berlangsung, dan tentunya telah banyak kajian keilmuannya. Jadi kita harus yakin, bahwa selalu ada landasan keilmuan/ilmiah dalam tiap ragam metode pendidikan pengalaman.
- Metode experiential learning sangat fleksibel dan menyenangkan digunakan pada semua rentang usia, mulai dari anak-anak sampai lanjut usia. Apalagi jika pendekatannya melalui permainan. Hal ini bisa menjadi solusi guna membelajarkan orang-orang dewasa; maklum, budaya Indonesia masih kental dengan sopan santun dan rasa “segan” terhadap orang yang lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya
- Alam Indonesia yang kaya dengan bentang alam serta seni budayanya yang sangat beragam bisa menjadi materi yang tak akan habis digali sebagai sumber “pengalaman” bagi peserta didik. Hal ini akan menjadi “kawah candradimuka” bagi pengembangan mental manusia-manusia muda Indonesia.
- Metode experiential learning bisa memerkuat metode pendidikan tradisional, atau apa pun metode yang sedang menjadi kebijakan negara. Artinya, untuk materi-materi pembelajaran yang efektif dilakukan dengan pedagogi, silakan dilanjutkan. Mana yang sebenarnya efektif dengan andragogi juga pendidikan pengalaman, kita harus berani mencobanya.
- Indonesia sudah memunyai asosiasi bagi lembaga/ individu yang bergiat di experiential learning, yaitu AELI. Hal ini akan memudahkan proses saling belajar terkait keilmuan maupun praksis pelaksanaan metode experiential learning.
- Melalui sertifikasi profesi, pemerintah sudah mengakui bahwa fasilitator experiential learning atau pemandu outbound adalah keahlian yang harus bisa dipertanggungjawabkan, termasuk dalam hal keilmuannya. Artinya, pemerintah mulai mengakui bahwa experiential learning itu “sesuatu yang bernas” sehingga perlu dibuat regulasinya.
DAFTAR REFERENSI
- AELI, "Visi dan Misi" [Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/
- Badan Pusat Statistik (5 November 2020) Keadaan ketenagakerjaan indonesia agustus 2020, Berita Resmi Statistik No. 86/11/Th. XXIII.
- Badan Pusat Statistik (5 November 2021) Keadaan pekerja di indonesia agustus 2021, Berita Resmi Statistik No. 84/11/Th. XXIV.
- Badan Pusat Statistik (7 November 2022) Keadaan ketenagakerjaan indonesia agustus 2022, Berita Resmi Statistik No. 82/11/Th. XXV.
- Dewabrata, W. & Soekirno S. (16 Oktober 2022). Ingin Jalan Pintas, Mahasiswa Sewa Joki Tugas. Kompas, hlm. 6.
- Educhannel Indonesia (29 Des 2021) Gaya Belajar Model David Kolb. [Online] Tersedia: https://educhannel.id/blog/artikel/gaya-belajar-model-david-kolb.html
- Kemendikbud. (17 Juli 2017). Penguatan pendidikan karakter jadi pintu masuk pembenahan pendidikan nasional. (web publications). From: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/07/penguatan-pendidikan-karakter-jadi-pintu-masuk-pembenahan-pendidikan-nasional
- Kemdikbud. (2021). Buku saku tanya jawab kurikulum merdeka.
- Knight, G. R. (2008). Issues and alternatives in educational philosophy. Andrews University Press.
- Kolb, D. A., & Wolfe, D. M. (1981). Professional Education and Career Development: A Cross Sectional Study of Adaptive Competencies in Experiential Learning. Lifelong Learning and Adult Development Project. Final Report.
- Merdeka. (2022, 19 September). "Kasus Korupsi Penerimaan Mahasiswa Baru, Rektor Unila Diduga Ajak Jajaran Terlibat" [Online] Tersedia: https://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-korupsi-penerimaan-mahasiswa-baru-rektor-unila-diduga-ajak-jajaran-terlibat.html
- Napitupulu, E. L. (18 Oktober 2022). Menyongsong Generasi Emas 2045. Kompas, hlm. 5.
- Susanta, A. (2 Mei 2017) Pendidikan Berbasis Petualangan. [Online] Tersedia: http://catatanpenggiatoutbound.blogspot.com/2017/05/naskah-pendidikan-berbasis-petualangan.html
- Susanta,
A. "Outbound Profesional; Pengertian,
Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010, Yogyakarta, Penerbit
Andi, hal. 18.
- Suyadi. (2013). Strategi pembelajaran pendidikan karakter, Bandung: Remaja Rosdakarya. hal 8-9
- Wasitohadi, W. (2014). Hakekat Pendidikan Dalam Perspektif John Dewey Tinjauan Teoritis. Satya Widya, 30(1), 49-61.
- Wastu, B. (17 September 2021) Teori Pendidikan Melalui Pengalaman Menurut John Dewey. [Online] Tersedia: https://www.kompasiana.com/birgitta56828/6144c64306310e3b922c0472/teori-pendidikan-melalui-pengalaman-menurut-john-dewey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar