Pengantar
Catatan ini merupakan lanjutan dari Keseruan ini sebagai
bagian dari seri catatan perkuliahan saya saat mendapat gelar Master Pendidikan
hanya dalam 1 tahun dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta). Fokus obrolan kita di sini adalah tips bagaimana
bisa menyelesaikan (mata kuliah) TESIS (6 SKS) hanya dalam waktu 1 semester
saja. Kisah ini berkonteks perkuliahan di UNY, namun saya curiga bahwa walau
tidak sama persis, namun prosesi penyelesaian tesis di kampus-kampus lain juga
serupa, sehingga catatan ini juga bisa dijadikan “lirikan” bagi rekan-rekan
yang sedang menyelesaikan tesis, skripsi maupun artikel ilmiah lainnya. Kita
mulai yuk…
Cangkir Peneman Tesis https://id.pinterest.com/pin/724446290055244001/ |
Akan baik sekali jika pada awal
semester kita sudah menyiapkan
tema atau judul tesis, karena beberapa tugas/ ujian mata kuliah bisa diarahkan
untuk (mencicil) pendalaman tema tersebut. Misalnya nih, kita mau ngangkat tema “komunikasi efektif” dalam penelitian
tesis, maka tema tersebut bisa dimasukkan dalam beberapa tugas atau ujian mata
kuliah tertentu yang relevan. Pada saatnya nanti ketika saat tesis tiba, kita
sudah pernah bergelut dalam tema “komunikasi efektif” dalam bentuk pencarian
literatur, pembuatan tulisan, diskusi, presentasi dan sejenisnya.
Perlu
disadari bahwa tesis itu hanya 6 SKS saja. Jika pada semester 1 misalnya kita
bisa lulus 7 mata kuliah dengan total 15 SKS, maka pada semester berikutnya
jika kita hanya ngambil katakanlah 11 SKS dari 3 mata kuliah, diantaranya tesis; logikanya bisa dong semua mata kuliah tadi terselesaikan tepat waktu. Memang mata kuliah "Penulisan Proposal
dan Seminar Tesis" diambil
bersamaan dengan "Tesis," namun sebenarnya konten sudah dipersiapkan 1 semester
sebelumnya dalam mata kuliah "Metodologi Penelitian Pendidikan." Maka, kalau kita taktis, sebenarnya total pengerjaan tesis itu bisa 2
semester, diawali saat kita pertama masuk kuliah.
Jika kita pernah atau bahkan sering
mendengar cerita MAHAsiswa yang bersemester-semester, bahkan bertahun-tahun
dalam mengerjakan tugas akhir, skripsi, atau tesis; sebaiknya jangan jadikan
itu sebagai pembenaran akan hoax bahwa ngerjain tesis itu sulit. Mungkin mereka
yang terlibat kenaasan tersebut belum membaca catatan ini, he he he… Mungkin
kita perlu lebih banyak membaca hal-hal yang membangun serta membanggakan
tentang pengerjaan tugas akhir, sehingga punya motivasi dan tekad yang kuat
menyelesaikan seluruh proses perkuliahan.
Sebelum saya mengawali prosesi tesis
secara lebih teknis, perlu diperhatikan bahwa penceritaan saya itu konteksnya
di UNY pada tahun 2022-2023, sehingga panduan maupun peraturan penelitian mengacu ke
sana. Saya berkeyakinan di kampus-kampus lain, walau tidak persis sama, namun
tatacara penyelesaian tesis secara prinsip sama. Kebetulan saya juga diminta
oleh beberapa teman outbounder dari kampus lain untuk meninjau tesis mereka yang
juga bertema outbound atau experiential learning. Yuk segera kita mulai
Mengimajinasikan Penelitian
Umumnya, tesis terdiri dari 5 Bab,
yaitu: Pendahuluan, Kajian Pustaka, Metode Penelitian, Hasil dan Pembahasan,
dan Penutup. Tesis diawali dengan proses pembuatan proposal penelitian yang dimulai
pada awal semester kedua di mata kuliah "Penulisan Proposal dan Seminar Tesis" (3
SKS). Proposal yang saya ajukan mempunyai anatomi penulisan seperti ini:
- Pernyataan Keaslian Karya, Lembar Persetujuan, Daftar Isi.
- Bab I PENDAHULUAN yang berturut-turut berisi subbab: latar belakang permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan masalah, fokus dan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
- Bab II KAJIAN PUSTAKA yang berturut-turut berisi subbab: kajian teori, kajian penelitian yang relevan, kerangka pikir, dan pertanyaan penelitian.
- Bab III METODE PENELITIAN yang berturut-turut berisi subbab: jenis penelitian, tempat dan waktu penelitian, sumber data, teknik dan instrumen pengumpulan data, keabsahan dokumen, dan teknik analisis data.
- Daftar Referensi
Saya mengajukan 2 alternatif judul
penelitian, dan yang diterima berjudul Pengembangan
Media Permainan Monopoli untuk Meningkatkan Entrepreneurship pada Remaja. Dinamika seru dalam kelas kami mayoritas berkutat
tentang judul apa yang mau diangkat. Jika diberbandingkan mungkin hanya sekitar
20% mahasiswa saja yang sudah mantap dengan judul penelitian; 30% sudah ada
bayangan tetapi masih samar-samar dan yang separo baru mulai mencari-cari judul.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa walaupun sudah punya pengalaman, namun
menemukan tema yang akan diteliti berdasarkan pendampingan yang pernah digeluti
ternyata perlu perjuangan.
Berburu Judul
Bagaimana cara menentukan judul penelitian yang tepat? Konon, penelitian untuk tesis harus mengandung 3 variabel; misal dalam contoh sebelumnya; 3 variabelnya adalah: Media Permainan Monopoli, Entrepreneurship, dan Remaja. Prinsip penelitian sebagai salah satu upaya memperkecil kesenjangan atau masalah antara kondisi aktual dengan ideal sudah saya jelaskan pada seri ke-3, khususnya dalam konteks artikel ilmiah. Setelah berdinamika bersama teman-teman sekelas dalam pengambilan tesis, maka saya memberanikan diri untuk memberi tips praktis tentang bagaimana merumuskan judul penelitian yang bisa diselesaikan hanya dalam 1 semester saja.
Karena personalitas penelitilah sebuah judul lahir, maka
dengan judul yang sama, bisa menghasilkan disposisi batin beda untuk peneliti
yang satu dengan lainnya. Misalnya judul
yang saya angkat itu “related banget” dengan saya sehingga saya yakin bisa
kelar dalam 1 semester saja; namun jika judul yang sama diberikan pada orang
lain, bisa jadi dia malah bingung dan sangat kesulitan menyelesaikannya.
Mengapa? bisa jadi yang bersangkutan tidak paham bahkan tidak pernah main
“monopoli,” maka bagaimana dia mau mengembangkannya? untuk tujuan tertentu
pula; bukan sekedar main-main.
Saat membuat proposal, mari kita
imajinasikan bagaimana “Bab III Metode Penelitian” akan kita eksekusi; hal itu
bisa menjadi patokan berapa banyak energi dan sumber daya yang kita perlu
persiapkan nanti. Bagaimana dengan Bab I dan II? Menurut saya hal tersebut
relatif standar karena lebih banyak dikerjakan dengan berpikir, bukan seperti
eksekusi dari Bab III yang memerlukan pergerakan fisik yang pasti punya
konsekuensi terhadap sumber daya manusia, perlengkapan, jarak-lokasi, biaya,
dan tentu saja waktu. Carilah judul penelitian yang proporsional dengan kondisi
kita supaya bisa diselesaikan dengan “aman,” dibuat sedikit menantang nggak
apa-apa supaya menjadi penyemangat dalam prosesnya.
Jenis Penelitian
Pertama-tama, kita perlu pahami
prinsip jenis penelitian yang sedang kita gagas. Saya akan menyebutkan ragamnya
saja ya, tanpa mendetilkan maksudnya.
- Penelitian kuantitatif.
- Penelitian
kualitatif.
- Penelitian campuran kualitatif dan kuantitatif.
- Penelitian atau laporan evaluasi.
- Penelitian Tindakan Institusional
- Penelitian tindakan kelas.
- Penelitian dan Pengembangan.
Tiap jenis penelitian memunyai tindakan yang berbeda, maka silakan diimajinasikan jika kita sudah mempunyai calon judul, seberapa asyik kita nanti mengerjakannya?
Faktor berikutnya sebagai
pertimbangan penyusunan proposal yang mengerucut dalam judul adalah kombinasi
tempat, sumber data, dan waktu penelitian. Tentu hal yang (sangat) mengada-ada
jika misalnya peneliti yang sehari-hari tinggal di Kota Brebes Jawa Tengah
membuat penelitian dengan tempat di Timika, Papua yang terpisah jarak 3000an
kilometer. Misalnya judul kita itu “Pengaruh Games Spider Web terhadap
Peningkatan Kerjasama pada Para Guru di Timika.” Tentu bukan pertama-tama judul
penelitiannya yang jelek, tetapi kenapa harus ke sanaaa…?
Sumber data, subyek, atau responden
penelitian kita hendaknya disesuaikan dengan kondisi kita. Apakah cocok judul
penelitian ini diambil oleh seorang outbounder? “Uji Coba Modul Experiential
Learning berbasis Paduan Suara dalam Meningkatkan Kompetensi Menteri Kabinet”
Hmmm… judulnya sih mentereng, tapi apa ya memungkinkan kita membuatnya?
Emangnya kita (anak) presiden? pun terjadi (keajaiban) para menteri menteri
bisa berkumpul; bagaimana teknis latihan menyanyinya dalam paduan suara? Apa
semua paham not atau lagu? Ribet kan? Mungkin judul itu hanya bisa diterapkan
oleh Kim Jong Un di Korea Utara sana. Hus kok jadi ngelantur… intinya, bagaimana
teknis kita “meraih” sumber data juga perlu disesuaikan kalau penelitian kita
ingin cepat selesai ya.
Mengimajinasikan Tesis https://id.pinterest.com/pin/327918416616368803/ |
Estimasi Waktu
Mengenai waktu penelitian, saya punya
pengalaman yang sangat berharga. Ceritanya proposal sudah beres nih. Subyek
penelitian saya adalah siswa SMA dan tempat menelitinya juga di sekolahan supaya
praktis. Setelah urusan berbagai validasi sebagai perangkat penelitian selesai,
ternyata saya hanya punya waktu paling lama 2 minggu untuk “beraksi” melaksanakan pengambilan data di
sekolahan karena para siswa akan ujian, class meeting, lalu libur panjang. Wah,
autopaniklah saya. Yang bikin konyol itu, saya tidak memikirkan hal itu sejak
awal proses penelitian; bahwa untuk penelitian di sekolah perlu ijin,
koordinasi dengan kepala sekolah (yang lalu diarahkan pada guru terkait),
menyesuaikan jadwal siswa, dan sebagainya. Namun di balik kemepetan tersebut,
syukurlah saya bisa melakukan penelitian di 2 sekolah karena konten yang saya
angkat (monopoli) memang sudah diakrabi.
Hikmah yang lebih saya syukuri pada
kejadian itu adalah karena data sudah terkumpul (hanya dalam dalam 2 minggu),
apa lagi yang ditunggu? Semua tergantung pada kecepatan kita mengolahnya sampai
menghasilkan jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Singkat cerita saya ngebut menyelesaikan Bab
IV dan V dengan sekali berangkat ke Yogya untuk konsultasi dengan dosen
pembimbing sampai akhirnya laporan tesis tuntas, ndaftar ujian, revisi, dan dinyatakan
lulus menjelang tenggat pendaftaran
yudisium pada bulan Juli 2023 yang berakibat bisa wisuda pada bulan
Septembernya. Semuanya masih diperhitungkan dalam semester yang sama. Coba saya
telat 2 minggu saja pada pertengahan proses penelitian, mungkin saya baru diwisuda pada
Bulan Desember 2023 yang sudah dihitung semester ke-3 dan itu berarti keluar
uang SPP lagi (hanya) untuk (menunggu) wisuda. Saya pun tidak bisa mengklaim
dapat Master Pendidikan dalam 1 tahun sehingga bisa saya “pamerkan” melalui
blog ini.
Paragraf ini agak diluar topik ya,
namun bisa menjelasakan mengapa saya seolah “pamer” akan keberhasilan kuliah S2
yang ya… apa istimewanya sih? Gini, konteksnya adalah saya seorang pegiat
experiential learning atau outbounder. Dalam dunia outbound di Indonesia, masih
sangat minim kajian ilmiah tentang manfaat outbound atau outdoor training bagi
pesertanya. Kalau klaim bahwa outbound bisa meningkatkan ini itu, itu sudah
banyak bertebaran di internet. Tapi jika dicari tulisan atau dokumen (bukti) bahwa
penanigkatan ini itu memang nyata terjadi, kok (sangat) sulit ditemukan ya? Berdasarkan
kondisi itulah maka saya menekadkan diri membuat seri tulisan ini. Siapa tahu
lebih banyak outbounder yang (tergerak dan) mau kuliah dengan jalur khusus RPL
yang ngirit waktu dan biaya sampai 50% dari hitungan normal. Kalau saat ini
belum mampu kuliah dan bikin tesis tentang outbound, ya sangat terbuka untuk
membuat artikel ilmiah tentang outbound. Bagi yang sebenarnya mampu namun masih
gamang dengan tatacara kuliah (lagi), semoga catatan ini bisa menggambarkan
bahwa outbounder kuliah RPL S2 di UNY itu asyik dan bisa cepet kok. Kenapa
judulnya pake “Dapat Master hanya dalam 1 Tahun?” ya…. namuanya juga usaha biar
menarik, sama seperti “jualan” outbound kan, bisa meningkatkan ini itu, he he
he…. Cukup ya curhatan saya… kini kita balik lagi ke laptop.
Teknik Mendata
Teknik dan instrumen pengumpulan data
merupakan titik signifikan penelitian kita. Selain menyesuaikan dengan jenis
penelitiannya, kita juga harus memertimbangkan konteksnya dengan beberapa
keterbatasan kondisi peneliti, terutama menyangkut waktu penelitian. Saya akan
kepoin salah satu judul penelitian teman saya yang bagi saya metode sudah
ilmiah, namun jika hal tersebut dijalankan akan ribet karena menyangkut banyak
sumber daya. Konteksnya begini, teman saya itu seorang fasilitator experiential
learning yang kenyang pengalaman, dan sudah menemukan (lebih tepatnya
memodifikasi) metode tertentu dalam proses pendampingan, khsusnya bagi peserta
yang punya latar belakang kecemasan tertentu. Saya samarkan, metodenya sebut
saja PQR, dan kecemasannya tentang BCD.
Judul yang digagas adalah “Metode PQR untuk Membantu Mengatasi BCD pada Remaja” dan menurut saya bagus. Namun setelah membaca bagian
metodologi penelitiannya, saja jadi ngeri sendiri karena berbagai tahapan yang
diidekannya bergaris besar seperti ini, dan ada tambahan metode pembanding
yaitu yang sebut saja Metode 456:
- Jenis penelitian yang dipilih adalah experimental randomized pre-test and post-test with control group design dengan membandingkan antara perlakukan atas dua kelompok. Kelompok pertama yaitu remaja dengan intervensi metode PQR dan kelompok kedua dengan intervensi metode 456. Responden direncanakan 50 orang remaja dengan syarat utama tengah menghadapi BCD. Nah, dalam pemikiran saya, mencari remaja yang kena BCD ini saja sudah jadi persoalan tersendiri, belum lagi setelah ketemu, pasti perlu upaya keras untuk menjadikan mereka sebagai subyek penelitian dalam 2 kelas.
- Metode PQR akan diterapkan pada 25 responden
selama 4 minggu berturut-turut dengan durasi pelaksanaan masing-masing 1 jam.
Demikian juga metode 456 akan diterapkan pada 25 responden yang berbeda selama
4 minggu berturut-turut dengan durasi pelaksanaan masing-masing 1 jam. Hasil
pre test dan post test kedua kelompok dibandingkan untuk lalu disimpulkan.
- Metode penelitian tersebut saya pastikan ilmiah, namun membayangkan jika hal tersebut dilakukan oleh saya sebagai outbounder “hanya” demi menyelesaikan tesis secepat mungkin, kok jadi mikir-mikir ya? Pertama karena “ribet” banyak yang diurus dan dilakukan; eksperimennya saja 4 minggu belum urusan pra dan pasca-nya. Trus saya juga was-was, seandainya berdasarkan prosedur penelitian ternyata metode 456lah yang justru disimpulkan lebih membantu remaja Mengatasi BCD daripada metode PQR, saya mau bilang apa? Lha wong judulnya saja mengangkat metode PQR; pusing kan….
Soal waktu penyelesaian tesis, saya melihatnya dari 2
dimensi. Pertama dimensi teknis mengerjakannya apakah memerlukan waktu singkat
atau panjang. Kedua, ditinjau dari sisi keterkaitan momen penyelesaian tesis
dengan rangkaian perkuliahan lain, sebagai contoh waktu pendaftaran yudisium.
Bisa saja kan tesis kita misal beres nan tuntas dalam 2 bulan, dalam arti sudah
direvisi dan mendapat pengesahan semua dosen/ penguji serta pejabat kampus,
tetapi karena tenggat pendaftaran sudah ditutup 2 hari sebelumnya, maka kita
harus nunggu 3 bulan untuk bisa diyudisium pada periode berikutnya; 3 bulan
yang nganggur. Bandingkan misalnya teman kita yang waktu ngerjain tesisnya
bareng, dia menuntaskannya dalam 4 bulan, ndaftar yudisium dan pada akhirnya
yudisium bareng kita. Oh ya, saya lebih enak menyebut periodisasi itu dengan
kata “penyelesaian” karena targetnya jelas; selesai, daripada menggunakan kata
“mengerjakan” yang waktunya bisa suangat fleksibel dan lama banget, hasilnya
pun “dikerjakan,” dan belum tentu selesai.
Keabsahan Dokumen
Kini saya akan cerita tentang
“keabsahan dokumen,” berdasarkan kisah nyata. Saya heran mengapa teman saya
yang 2 hari lalu ngurus administrasi yudisium di kampus UNY, kini kembali lagi
ke kampus? Padahal rumah dia jauh dari kampus lho, kalau naik jalan darat,
waktunya hampir semalaman untuk mencapainya. Pasti ada sesuwatu yang sangat
penting. Ternyata, walau sudah dianggap lulus oleh dosen penguji, tetapi pihak
administrasi kampus mempertanyakan ketiadaan dokumen penelitian berupa surat ijin
penelitian yang sesuai aturan harus dikeluarkan oleh pihak kampus. Jadi, teman
saya itu meneliti dengan subyek orang-orang di desa dia sendiri, jadi dia
berasumsi tidak perlulah surat ijin dari kampus, toh data sudah bisa
didapatnya. Ternyata di kemudian hari, ketiadaan surat tersebut menjadi
pertanyaan yang lalu menggugat konten penelitian, “Mahasiswa ini bener nggak ya
bikin penelitian ini, kok melibatkan orang-orang desa namun tidak ada ijin atau
keterangan dari pihak desa? Jangan-jangan fiktif?” Ketergopoh-gopohan sang
teman kembali ke kampus itu untuk menjelaskan pada pihak pejabat berwenang bahwa dia memang
melakukan penelitian secara ilmiah, namun memang mengabaikan urusan
administrasi perijinan. Pada akhirnya ada proses tertentu yang harus dilakukan
sang teman supaya penelitian tetap dikategorikan valid tepercaya.
Berburu Validitas
Penelitian yang saya kerjakan adalah "Riset dan Pengembangan," yang menampilkan suatu produk yang dikembangkan, yaitu permainan Monopoli. Supaya suatu produk bisa dikembangkan dalam kaidah ilmiah, maka proses pengembangannya juga harus dinyatakan "ilmiah," melalui prosedur validasi produk. Namun sebelum mencapai ke sana, kita perlu melakukan validasi instrumen penelitian lebih dahulu. Jadi, saya selama penelitian mengajukan 3 validasi, yaitu: Validasi Materi, Validasi Instrumen Penelitian, dan Validasi Produk. Dalam buku panduan, prosedur pengajuan validasi dilakukan mahasiswa dengan mengajukan surat permohonan tertulis kepada Wakil Dekan Bidang Akademik, Kemahasiswaan, dan Alumni di Fakultas. Di pengajuan kita menyebutkan siapa calon validator kita, untuk dibuatkan surat oleh pihak kampus. Alokasi waktu yang dibutuhkan untuk validasi instrumen penelitian tesis disebutkan paling lambat 2 (dua) minggu sejak pengajuan validasi instrumen penelitian tesis diajukan. Namun dalam praktik di lapangan proses yang saya alami bervariasi, ada yang cepat 3 hari selesai, namun ada juga validasi yang lama bahkan sampai berganti validator karena calon yang pertama tak kunjung memberi respon. Poin yang mau saya sampaikan adalah jangan sepelekan proses validasi ini, selain ragam para validator yang mungkin pendekatannya berbeda, proses umpan balik dan revisi bisa membuat waktu untuk menyelesaikan tahap ini bervariasi. Hal ini terkait dengan waktu penyelesaian tesis ya, sebab tanpa validitas instrumen penelitian (yang dinyatakan dengan surat keterangan resmi) maka kita juga belum bisa melakukan proses penelitian atau pengambilan data di lapangan.
Teknik Analisis
Teknik analisis data adalah hal yang
perlu kita perhitungkan juga dalam menggagas judul proposal yang nanti
dikaitkan dengan seberapa mampu saya menganalisis data yang diperoleh. Sebagai
refleksi, dulu sebelum memerdalam urusan metodologi penelitian, saya berpikir
bahwa untuk menyimpulkan bahwa produk (monopoli entrepreneurship) yang saya
gunakan sebagai materi penelitian itu sudah bagus atau belum, cukup dengan
kuisioner yang diberikan pada para responden melalui beberapa pertanyaan “receh” yang intinya minta
pendapat mereka apakah produk tersebut bisa meningkatkan entrepreneurship;
titik. Kalo sebagian besar responden bilang bisa, berarti horeee…. (pertanyaan)
penelitian saya terjawab sudah; selesai. Belakangan saya baru tahu hal tersebut
masih kurang. Mungkin kata anak gaul sekarang, “tidak cukup begitu saja analisisnya,
Ferguso” ha ha ha… Dari kekonyolan pemikiran tersebut lalu saya merevisi teknis
analisis datanya sampai dinyatakan ilmiah.
Bagaikan
sayur tanpa garam, lebih kurang begitulah perumpamaan saat ngobrolin teknik analisis data, tanpa
ngomongin SPSS (Statistical Package for the Social Sciences); sebagai salah satu alat untuk menganalisis data. Perangkat tersebut kerap
disinggung dalam mata kuliah Statistika yang bagi sebagian besar mahasiswa
memusingkan. Tidak hanya data, sebelumnya berbagai instrumen untuk mengambil
datanya pun perlu dinyatakan valid dan reliabel; melalui uji statistik. Saya
tidak menggunakan SPSS, namun hanya
memanfaatkan program Exel di Microsoft. Pada dasarnya bagaimana kita akan
menganalisis data tergantung pada jenis data dan apa yang diinginkan darinya;
jadi tidak lalu otomatis tergantung pada SPSS.
Banyak ya, hal-hal yang perlu
dipertimbangkan saat kita membuat proposal penelitian? Ya segitulah; semua
saling terkait. Kadang pengerjaan tesis seseorang yang menjadi lama sebenarnya
bukan karena topik atau metodenya yang rumit, namun karena ditinggal alias
tidak dikerjakan. Saran saya, carilah judul yang diimajinasikan bisa selesai
dalam 1 semester sesuai dengan keadaan kita; tidak perlu “mewah,” yang penting
bisa mengandung kebenaran ilmiah. Tidak harus jauh-jauh mencari, bisa juga
gagasan muncul dari aktivitas sehari-hari outbounder, hanya perlu ditambahkan
kreativitas untuk mengintervensi dan membalutnya dalam metode ilmiah.
Dosen Pembimbing
Nah, ngomongin bimbingan dengan dosen pembimbing bisa banyak cerita, karena tiap pembimbing punya karakter, kesibukan, dan pendekatan yang tidak sama dalam melakukan proses pembimbingan. Beruntung, pada kelas kami, 1 mahasiswa hanya dibimbing 1 dosen saja berbeda dengan outbounder teman saya yang kuliah di kampus lain, dia dapat 2 pembimbing. Sebenarnya, istilah "beruntung" tersebut menjadi relatif. Refleksi saya berdasarkan pengamatan terhadap kelas kami; semua pembimbing ingin mahasiswanya cepat menyelesaikan tesis. Bagi mahasiswa yang tahu akan konteks tesisnya serta niat mengerjakannya, proses bimbingan berlangsung relatif lancar. Namun sebaliknya, mahasiswa yang kurang serius akan kesulitan mengikuti ritme pembimbing, sehingga proses pembimbingan seakan menjadi beban. Padahal jika ditinjau dari sisi pembimbing, mahasiswa yang malas itu menjadi beban juga bagi mereka; nah. Memang tantangan saat rombongan belajar sudah masuk tahap tesis adalah menyeragamkan derap perkembangan sehingga semua bisa selesai bareng-bareng dalam waktu yang ditentukan. Apakah harus seragam? nggak juga sih.. namun jika bisa barengan, walau dosen pembimbingnya beda-beda, kan seru. Dalam kebersamaan para mahasiswa bisa saling menyemangati dan berbagi tips penelitian. sayang angkatan kami, 2022; walau pernah tercetus untuk bikin "Writing Camp" khusus tesis hal itu belum terwujud. Sampai saat catatan ini saya tulis, baru sebagian saja yang lulus dan wisuda; sedih juga sih.
Oke, sekarang kita ngomongin hal yang positif saja ya... Guna memercepat poses dan saling menyemangati dalam proses bimbingan tesis; kampus sampai bikin program percepatan penulisan tesis. Para mahasiswa dari berbagai program studi dan angkatan yang belum selesai tesisnya diundang untuk hadir ke kampus, bimbingan, dengan harapan bisa terbantu menyelesaikan tesis. Kita bisa mencontoh angkatan 2023 yang berinisiatif mengadakan "Boot Camp" yang sudah terlaksana dengan sukses. Semoga cepat selesai tesisnya ya.
Menuliskannya
Menuliskan berbagai pemikiran dalam
tesis memerlukan “seni” tersendiri menyesuaikan format pada kampus tempat kita
kuliah. Saya mencontohkan anatomi penulisan tesis berdasarkan bersifat
penelitiannya, yaitu Riset & Development.
Menulis |
- Bagian depan saya menyebutnya, berisi: Abstrak (2 bahasa), Pernyataan Keaslian Karya, Lembar Pengesahan, Kata Pengantar, Daftar Isi, Daftar Tabel, Daftar Gambar, dan Daftar Lampiran.
- Bab I PENDAHULUAN yang berturut-turut
berisi subbab: Latar
Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan (Penelitian) Pengembangan, Spesifikasi Produk yang Dikembangkan, Manfaat Pengembangan,
dan Asumsi Pengembangan.
- Bab II KAJIAN PUSTAKA yang berturut-turut berisi subbab: Kajian Teori, Kajian Penelitian yang Relevan, Kerangka Pikir, dan Pertanyaan Penelitian.
- Bab III METODE PENELITIAN yang
berturut-turut berisi subbab: Model Pengembangan, Prosedur Pengembangan, dan Desain Uji Coba Produk.
- Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN yang berturut-turut berisi subbab: Hasil Pengembangan Produk Awal, Hasil Uji Coba Produk, Revisi Produk, Kajian Produk Akhir,
dan Keterbatasan
Penelitian.
- BAB V
SIMPULAN DAN SARAN yang
berturut-turut berisi subbab: Simpulan tentang Produk, Saran Pemanfaatan Produk, dan Diseminasi dan Pengembangan Produk
Lebih Lanjut.
- Daftar Pustaka
- Lampiran
- Surat Keterangan Bebas Plagiasi.
Bagaimana format menulis tesis supaya praktis? Nantikan tips-tipsnya pada seri berikutnya dengan bocoran "Bagaimana memanfaatkan fitur pada aplikasi laptop supaya memermudah menulis dan mengedit naskah laporan penelitian kita?"
---bersambung ke lembar ini---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar