Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Ada yang Perlu Dikalibrasi dalam AELI

Lagi Gulana ya Gaess…. 

“Suarakan aspirasi, uneg-uneg dan gundah gulana untuk kami teriakkan di Munas nanti yukk gaess karena AELI adalah milik kita bersama” 

Itulah pernyataan yang termaktub dalam poster “MEMBER SPEAK UP” sebagai bagian Road to MUNAS VI yang diselenggarakan salah satu DPD AELI. Acara yang rencananya akan dilakukan tgl 4 Juni dalam format virtual tersebut melengkapi acara sejenis sudah dilakukan oleh DPP di tingkat nasional; misalnya “MEMBER SPEAK UP!” dan Live Talkshow “AELI JOURNEY; Dalam Keniscayaan” Hmmm… Saya akui, hal-hal semacam itu merupakan propaganda cerdik suatu lembaga/ asosiasi dalam menyambut suatu momen besar/ bersejarah. Uneg-uneg, gundah gulana, teriak; merupakan frasa provokatif dalam propaganda menyambut sebuah acara; bagi saya sih nggak masalah; yang penting pembahasannya jangan lepas konteks. Saya akan sampaikan 2 kejadian nyata yang mungkin bisa memberi gambaran kenapa si Aspirasi, Uneg-uneg, dan si Gundah Gulana jadi favorit dalam Munas VI ini. 

Dalam suatu pertemuan yang diadakan oleh DPD AELI, salah satu peserta ; sebut saja bernama Hmpmpa (hayo gimana mbacanya...) menyampaikan harapan agar asosiasi bisa melakukan standarisasi fee/ honor Fasel (fasilitator experiential learning) atau yang dikenal luas sebagai instruktur outbound. Harapan tersebut terkuak karena si pengharap berpikir bahwa di daerah operasinya, iklim harga suatu aktivitas outbound tidak punya patokan, dan dalam kerap kejadian, merugikan dirinya. Contoh gamblang yang dia ungkapan begini, “Sebagai seorang ice breaker, saya biasa membawakan suatu fun game dengan tarif 50 ribu per peserta; tetapi kok masih ada ice breaker lain yang berani menawarkan harga 15 ribu per peserta, untuk aktivitas serupa.” 2 hal yang dirasakan Hmpmpa adalah; pertama, takjub, kok ada (kompetitor) yang berani menjual harga serendah itu. Hal berikutnya tentu saja Hmpmpa dongkol karena pihak panitia penyelenggara outbound akan cenderung memilih kompetitornya untuk menangani aktivitas fun game. Apa artinya? Sangat jelas; pendapatan dia terancam. 

Ayo memeriahkan Munas

Dalam kesempatan lain, seorang anggota AELI pernah curhat dengan pokok percurhatan begini. “Provider Saya itu, menawarkan proposal outbound ke suatu perusahaan dengan harga sekian. Eh, yang kepilih ternyata si Anu, yang bukan anggota AELI, dan harganya jauh di bawah harga saya. Kalau begini caranya, untuk apa saya menjadi anggota AELI kalau ternyata mereka yang bukan anggota AELI bisa lebih tinggi menjual program?” 

2 Kejadian tadi sekedar contoh ketika ngobrol dengan teman-teman sesama Fasel, terutama yang sudah menjadi anggota AELI. Poin (kegelisahan) mereka adalah pertanyaan tentang kemanfaatan asosiasi pada para anggotanya, khususnya dalam hal pemasukan (uang) melalui kegiatan outbound. Celakanya, sebagian dari mereka yang menggugat tadi lalu membuat kesimpulan sendiri bahwa percuma gabung menjadi anggota AELI jika tidak bisa mendongkrak nilai jual/ program mereka. 

Dalam menanggapi obrolan semacam itu; alih-alih meng-iyakan atau me-nidak-kan pendapat mereka, saya malah mengajak refleksi bareng. “Sebentar, sebentar… mendiskusikan atau mengghibahkan hal itu memang akan seru dan pasti menarik; namun mari kita sadari bersama, ketika kita ngobrol dalam konteks AELI, artinya kita diskusi sama-sama sebagai anggota asosiasi. Mengapa kita masuk menjadi anggota asosiasi? Karena setuju & ingin bareng-bareng mewujudkan misinya.” Ketika diberi pengantar begitu, biasanya lawan ngobrol saya diam agak bingung, mungkin bertanya-tanya, maksud si Agus ini apa ya? lalu saya lanjutkan, “Memang kita ada yang berprofesi sebagai instruktur outbound, ice breaker, pemilik lembaga, pengelola venue, atau penjaga villa yang sering digunakan untuk outbound. Namun yang menyatukan kita sekarang di forum ini adalah karena kita sama-sama sebagai pengguna metode experiential learning. Iya, itulah satu-satunya syarat formal yang disebut dalam AD/ART asosiasi.” Lalu ada yang nyeletuk, “Tapi kan tidak semua anggota memahami apa itu experiential learning, atau mungkin dia kebagian sekedar mainkan ice breaking saja.” saya lalu menegaskan, “Iya memang, faktanya begitu; namun ketika kita bergabung mendaftarkan diri, mestinya sadar dong, bahwa kebergabungan kita di AELI ini karena kita ini diasumsikan pengguna metode experiential learning, atau setidaknya pernah atau bahkan baru mau menggunakan metode tersebut. Jadi, jika kita mengobrolkan bahkan mengeluhkan nasib tarif atau pendapatan kita dalam kegiatan outbound, bukannya salah, hanya menurut saya itu tidak ada hubungan langsung dengan asosiasi.” 

Dalam kenyataannya obrolan kami masih panjang, namun demi ringkas catatan ini, tidak saya lanjutkan ya, karena maksud saya sekedar membuka pintu untuk memasuki refleksi kelangsungan AELI, terutama dikaitkan dengan asumsi/ penerimaan para anggotanya. 


Tanggal 9 Juni tahun 2022 ini AELI akan tepat berusia 15 tahun. Dipaskan dengan momen Munas ke-6; lembaga sudah menentukan tema yang sangat bagus, “Recover Together Recover Stronger” sejalan dengan jargon pemerintah dalam memulihkan kondisi kemasyarakatan pascapandemi covid19. Tulisan ini merupakan refleksi saya secara pribadi sebagai salah satu pegiat experiential learning yang pernah juga terlibat secara struktural sebagai pengurus asosiasi di tingkat provinsi. Semoga catatan ini juga bisa menjadi refleksi bersama buat para stakeholder AELI dalam menyambut ulang tahun. Saya merencanakan 2 catatan, yang pertama, bertema penjernihan diri tentang apa atau siapa itu AELI. Catatan kedua berupa telaah tentang lembaga AELI yang menginjak usia remaja, sehingga kadang tanpa sadar berlaku genit, Hah... GENIT?

(Si)apa itu AELI? 

Nurfahmi; Ketua umum AELI periode 2019-2022, dalam forum virtual Live Talkshow “AELI JOURNEY; Dalam Keniscayaan” melontarkan pertanyaan yang provokatif, “Apakah (dalam Munas VI nanti) Misi dan Visi AELI perlu dikalibrasi?” pertanyaan yang oleh panelis lain ditegaskan arti dikalibrasi itu sama dengan “DIUBAH.” Dalam perbincangan selanjutnya, salah satu pendiri AELI memberi tanggapan “tidak perlu” atas ide kalibrasi tersebut. Saya tidak tahu apakah Bang Jaung; panggilan akrab ketua umum asosiasi itu dilandasi sekedar pancingan untuk mengail pendapat panelis lain dalam forum tersebut, atau memang ada kerinduan mendalam untuk merubah misi dan visi asosisi, cie…. 

Tentu ada latar belakang maupun latar depan mengapa pertanyaan “kalibrasi misi dan visi” tersebut muncul. Bisa jadi karena dalam acara sebelumnya “MEMBER SPEAK UP!” ada diskusi hangat yang mengumpamakan bahwa dalam AELI ada arus urusan akademik/ keilmuan experiential learning dan arus profesi/ bisnis “experiential learning” sampai diibaratkan seperti air dan minyak yang tidak bisa menyatu. Seperti biasa, dalam diskusi semacam itu, tentu ada setuju, ada yang tidak, atau malah mencoba memberi jalan tengah, selain yang malah bingung ya… Contoh jalan tengah itu mengibaratkan air dan minyak bisa kok dicampur, yaitu dengan menambahkan sabun. Namun muncul juga sanggahan bahwa mungkin minyak bisa dicampur dengan air, tetapi minyak tetaplah minyak dan air adalah air…. Hallah pokoknya seru lah mengikuti perbincangan semacam itu, apalagi jika sampai harus mendeskripsikan minyak, air, sabun itu maksudnya gimana. 



Apa unek-unekmu? sampaikan sebelum jadi enek.

Dalam umur 15 tahun, sangat jamak suatu entitas lembaga itu mendapat pertanyaan juga gugatan tentang apa manfaat lembaga tersebut bagi anggotanya? Perlu kita ketahui bersama, berdasarkan AD/ART saat ini, AELI mempunyai 1 visi, yaitu: Menjadi Wadah dan/atau Mitra yang berkualitas bagi seluruh pengguna metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman di Indonesia serta bertangungjawab terhadap pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Misi yang dimiliki ada 3, yaitu: 

1. Meningkatkan kualitas Pembelajaran Berbasis Pengalaman sehingga menjadi metode pembelajaran yang efektif dan diakui di Indonesia. 

2. Meningkatkan kualitas Pengguna metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman yang bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. 

3. Memasyarakatkan Pembelajaran Berbasis Pengalaman kepada masyarakat Indonesia. 

Paket Visi dan Misi tersebut berbeda redaksionalnya dengan pernyataan dalam AD/ART saat asosiasi didirikan tahun 2007 lalu yang berbunyi “Maksud dan tujuan Asosiasi” ini ialah: 

1. Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia. 

2. Sebagai Asosiasi pelaku pendidikan berbasis pengalaman yang terkemuka dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas masyarakat Indonesia; 

3. Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia; 

4. Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia; 

5. Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia. 

Perbedaan mendasar yang langsung terlihat adalah pada versi pertama (si)apa itu AELI dijelaskan dengan frasa “Maksud dan Tujuan” bukan “visi” lalu ada “misi” seperti pada versi terkini. Saya bisa memastikan bahwa perubahan AD/ART terkait AELI untuk (si)apa tersebut sah, karena dilakukan dalam forum yang tepat. Mengenai substansi, saya pikir sebelas duabelas lah, mirip. Saya tidak akan membahas konten maksud/visi/misi pendirian asosiasi tersebut, karena yakin bahwa semangatnya sama; namun konteks perubahannya; yang dalam refleksi kedua nanti saya istilahkan “genit.” 

Dikaitkan dengan keluhan salahdua anggota AELI seperti yang saya ceritakan di awal tulisan ini, mari kita telaah bareng, apakah dalam misi maupun visinya, AELI mengacu pada suatu profesi atau provider? Tidak; asosiasi jelas menyebut “Pengguna metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman” Sebagai subyeknya. Apakah asosiasi didirikan untuk meningkatkan (maaf) honor Fasel atau provider? Membuat standar tarif ice breaking sejam berapa? Ow, jelas tidak. 7 orang pendiri AELI sangat jelas merumuskan bahwa yang ingin ditingkatkan ketika seseorang berdinamika dalam asosiasi adalah “KUALITAS PENGGUNA metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman.” Tet.. tet.. tetapi kan…. peningkatan kualitas berhubungan dengan peningkatan pendapatan… Hmmm… umumnya jika dihubungkan ya begitu, tapi bisa juga tidak, atau lebih tepatnya kita tidak perlu melihat hubungannya, dalam konteks asosiasi. Yang jelas, pernyataan itu kan opini atau asumsi kita, ya sah-sah saja sih kalau dikaitkan. Saya juga berpendapat AELI adalah lembaga yang ambigu secara penamaan; antara mau mewadahi pelaku atau mewadahi metode. Namun saya memilih tidak memermasalahkan hal tersebut karena dengan membaca AD/ARTnya jelas sudah (si)apa itu AELI. 

Sesuai AD/ART, untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Asosiasi ini mempunyai kegiatan usaha sebagai berikut : 

1. Baik sendiri maupun bekerja sama dengan organisasi-organisasi dan badan-badan lain yang seazas dengan Asosiasi, menyelenggarakan usaha-usaha, kegiatan-kegiatan serta tindakan-tindakan yang positif, untuk mengembangkan kualitas masyarakat Indonesia, dengan metode pelatihan yang berbasis pengalaman, melalui cara sosialisasi dan koordinasi anggota, penelitian dan pengembangan, standarisasi dan akreditasi; 

2. Asosiasi tidak dibenarkan menjalankan kegiatan yang sama dengan usaha pokok Anggota Biasa Asosiasi. 

Bagi saya jelas, bahwa ketika seseorang menggabungkan diri dengan suatu lembaga, (logikanya) maka dia sepaham dengan maksud lembaga itu didirikan. Bagi pembaca yang kebetulan sudah jadi anggota namun belum terlalu paham tentang apa (si)apa itu AELI silakan bisa pelajari AD/ARTnya, termasuk Peraturan Organisasinya sekalian. Bagi yang belum dapat nomor anggota, segera urus ke DPDnya. Bagi yang belum bayar iuran tahunan, segera bayarlah, he he he…. Jangan sampai kenceng berteriak ini itu menuntut (pengurus) AELI harus ini itu tapi iuran kita sendiri masih nunggak. 

Oh ya, sekedar membandingkan dengan lembaga sejenis, yaitu HPOI. Dalam situsnya tercantum bahwa “Himpunan provider outbound Indonesia atau yang disingkat dengan HPOI adalah sebuah komunitas bagi provider outbound dan praktisi outbound di Indonesia yang berpusat di Jawa Timur.” Membandingkan keanggotaan kedua lembaga tersebut tentu mudah. Anggota AELI adalah “Pengguna metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman.” Sedangkan anggota (komunitas) HPOI adalah “provider outbound” dan “praktisi outbound.” Membayangkan diskusi para anggota HPOI tentang pentingnya meningkatkan pendapatan provider/ praktisi outbound tentu sangat relevan, soalnya provider outbound kan didirikan salah satu tujuan utamanya untuk mendapat keuntungan finansial. Perbedaan lain yang jelas ya tentang korban, eh, subyek aktivitasnya, kalau di AELI itu ngobrolin “Pembelajaran Berbasis Pengalaman” (yang lalu disamakan dengan experiential learning) sedangkan di HPOI itu “outbound.” Apakah keduanya sama, mirip, ada kesamaan, atau berbeda sama sekali… tentu itu menarik untuk dibicarakan; namun bukan dalam tulisan ini ya. Saya jadi “genit” kalo tergoda membahas hal tersebut. 

Antara Air, Minyak, dan Sabun 

Sekarang kita meninjau dikotomi arus urusan akademik/ keilmuan experiential learning dan arus profesi/ bisnis “experiential learning” dalam konteks anggota AELI. Menurut saya sebelum lebih jauh sampai ke sana, mari kita refleksi bareng, apakah kedua sudut pandang tersebut perlu sampai dikategorikan dikotomi? Menurut saya tidak perlu, buat apa? Hanya untuk memuaskan diskursus peng-ide gagasan tersebut? Atau apakah itu akan betul-betul membangun pondasi yang kuat terhadap ketercapaian tujuan asosiasi? Jadi apakah tidak perlu meninjau dinamika anggota asosiasi dari kacamata akademik dan bisnis? Perlu; sejauh itu produktif sesuai misi AELI, bahkan tidak hanya ditinjau, tetapi jika perlu dibuat kajian-kajian seriusnya, penelitian misalnya, buku contoh konkritnya. 

Program Sertifikasi Profesi yang diadakan negara mulai tahun 2015 serta melibatkan AELI baik sebagai stakeholder penyusun SKKNI maupun asosiasi profesi sejatinya bisa menjadi “jalan tol” akan ketercapaian misi asosiasi. “Pengguna metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman” dalam rumusan AD/ART asosiasi, dibukakan peluang untuk bertransformasi menjadi “Profesi Fasilitator Experiential Learning” versi pemerintah/ negara. Namun, yang namanya jalan tol, kadang bisa mempercepat pencapaian, tapi kadang punya efek melenakan bagi penggunanya. Salah sontoh yang saya amati; sebelum ada sertifikasi, (DPP) AELI sering mengadakan AELI seminar series yang merupakan perwujudan upaya peningkatan kualitas pengguna metode pembelajaran berbasis pengalaman. Namun semenjak booming sertifikasi profesi Fasel, asosiasi memang sibuk bikin acara peningkatan kapasitas outbounder, namun dalam formasi proses sertifikasi yang bekerjasama dengan LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi), Asesor, TUK (Tempat Uji Kompetensi), serta BNSP. 

Sebagai katalisator ketercapaian misi asosiasi, hal tersebut baik adanya. Namun dalam praktiknya (berhadapan dengan proses administrasi pemerintah) kadang ada hal-hal ideal yang lalu diturunkan derajatnya. Intinya, cerita tentang proses sertifikasi profesi itu seru; saya pernah menulisnya di sini 

Apa hubungan sertifikasi profesi dengan (upaya mendikotomikan) experiential learning dalam arus akademik dan bisnis? Begini, selain punya asosiasi profesi & ujian kompetensi, salah tiga ciri profesi yang lain adalah: 

1. Ketrampilan pelaku profesional (Fasel) diasumsikan punya pengetahuan teoritis yang bisa diterapkan dalam praktik. 

2. Bidang profesi (yang bonafid) mestinya punya pendidikan yang ekstensif. 

3. Profesionalnya mendapat imbalan (yang tinggi) 

Melalui 3 ciri itu saja sebenarnya sudah tergambar bahwa jika AELI mau “memprofesionalkan” anggotanya, maka urusan pengetahuan/ pendidikan/ keilmuan tentang experiential learning memang harus diolah serius. Mengenai imbalan atau aspek bisnis, harapannya tentu mereka yang serius menggeluti profesi tersebut akan mendapat imbalan yang sepadan. Memang untuk urusan-urusan semacam tadi asosiasi perlu membuat kajian yang komprehensif sehingga langkah-langkah apa yang perlu diambil memang selaras dengan ketercapaian misi. Tren akan terus berkembang, namun melangkah berpijak pada tujuan awal adalah prinsip, apalagi jika upaya “profesionalisasi” anggota asosiasi, terkait erat dengan beberapa pihak lain yang punya regulasi masing-masing. 

Salah satu poster media kalibrasi AELI

 Hal yang menyejukkan untuk menyelaraskan analogi air dan minyak dalam wacana keanggotaan AELI akhirnya terumuskan dengan jernih dalam forum virtual Live Talkshow “AELI JOURNEY; Dalam Keniscayaan” itu juga. Salah seorang panelis menyampaikan bahwa dalam keanggotaan AELI, mereka yang lebih senang urusan keilmuan/ akademik tentang experiential learning, semestinya berproses melalui “experiential learning” dalam mengembangkan diri. Demikian juga para pelaku bisnis experiential learning, hendaknya bisa belajar dari pengalaman juga dalam urusan profesionalitas/ bisnis. Hmm… asyik juga kan jika bisa begitu. Sungguh keren membayangkan si Gundah yang menimba ilmu bisnis keprovideran pada si Profesional, atau sebaliknya si Profesional mau mendengarkan hakekat ilmu experiential learning dari si Kutu Buku. Pada saat lain, si Kutu Buku menyerap tren-tren outbound versi kepariwisataan terkini dari si Gundah. 

Jadi, untuk menutup refleksi saya ini, perlu disimpulkan; adakah yang perlu dikalibrasi dalam AELI? Jawaban saya ADA, apakah visi dan misinya? Bukan; Tujuan pendirian (visi lalu misi dalam AD/ART terkini) asosiasi tidak perlu dikalibrasi, ditinjau ulang, atau dirubah. Kenapa tidak perlu dirubah? Kalau ditanya begitu saya sontak akan balik bertanya, kenapa perlu dirubah? 

Lalu jika ada yang perlu dikalibrasi, apanya? Jawabnya adalah ANGGOTAnya. Lho, kok anggotanya, kenapa? Karena makin ke sini mereka yang masuk jadi anggota asosisi makin beragam latar belakang, termasuk membawa motif yang makin beragam pula; dari yang memang mau belajar experiential learning, mengembangkan bisnis, terpaksa karena mau ikut uji kompetensi, ikut-ikutan teman, atau bahkan yang tidak tahu persis untuk (tujuan) apa dia gabung ke AELI. Kalibrasi anggota yang saya maksud adalah upaya kolektif kita semua sebagai anggota asosiasi untuk menjernihkan kembali motivasi kebergabungan kita. Caranya; minimal mari baca kembali latar belakang dan latar depan sejarah pembentukan AELI, pelajari AD/ARTnya, pahami peraturan organisasinya. 

Mengapa bukan pengurus yang dikalibrasi? Hmmm bagi saya, hakekat pengurus itu adalah mereka yang meng-URUS kita anggota. Kalau dalam konteks AELI, urusan utama kita adalah bagaimana caranya bisa meningkatkan kualitas diri dalam menggunakan metode experiential learning. Maka, pengurus (semestinya) akan memfasilitasi hal tersebut. Jika urusan kita para anggota dalam momen ulang tahun ke-15 ini adalah mengalibrasi motivasi kebergabungan kita dalam asosiasi, maka seyogyanya pengurus juga akan bantu mengurusnya. Namun celakalah jika kita sendiri nggak jelas urusannya (tujuannya) di asosiasi ini; apa yang lalu perlu pengurus urus? 

 Cukup sampai di sini ya catatan refleksi saya sebagai kado ulang tahun ke-15 AELI. Semoga dalam waktu dekat bagian kedua refleksi saya tentang “kegenitan” AELI bisa kelar. Saya tutup catatan ini dengan semangat, “Suarakan aspirasi, uneg-uneg dan gundah gulana untuk kami REFLEKSIKAN di Munas nanti yukk gaess karena AELI adalah milik kita bersama. Hidup KALIBRASI ANGGOTA!” 


AELI, Bersatu Berjaya! 

Brebes, 3 Juni 2022. 

Agustinus Susanta; nomor anggota AELI 33020098

Share: