Artikel ini
merupakan penutup yang sekaligus jadi oleh-oleh untuk para mentee selepas
program mentoring; diplesetkan dari judul ebook "Experiential Learning yang Anda Perlu Tahu." Bagi pembaca yang langsung menuju pos penutup ini, jika mau
lebih tahu konteksnya, bisa mulai dari sini
Ada
beberapa istilah yang nanti banyak kita jumpai dalam artikel ini, maka akan baik
sekali jika saya sodorkan beberapa pemahamannya. Saya mengutip dari situs
wikipedia ya.
Pendampingan atau lebih dikenal dengan istilah Mentorship. Mentorship berakar
kata dari Mentor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia/ KBBI memiliki makna pembimbing atau
pengasuh.[1] Secara istilah ditemukan banyak sekali
definisi terhadap kata Mentoring, tercatat hingga tahun 2007 ada lebih dari 50
definisi yang menggambarkan makna dari Mentoring. Dalam buku karya Gendro Salim
yang berjudul Effective Coaching, ia memberikan memaknai Mentoring sebagai
sebuah aktivitas bimbingan dari seseorang yang sudah sangat menguasai hal-hal
tertentu dan membagikan ilmunya kepada orang yang membutuhkannya.[2] Orang yang melakukan kegiatan
mentoring disebut dengan Mentor sedangkan orang yang di-mentor-i disebut
Mentee.
Perbedaan Mentoring (Pendampingan) dan Coaching
Kedua terminologi ini sering kali dianggap memiliki makna yang sama, bahkan
tidak jarang orang-orang mengunakan terma ini dalam ranah yang sama. Berikut
ini adalah perbedaan antara Mentoring dan Coaching.[3]
Coaching:
- Membantu individu untuk mengembangkan solusi mereka sendiri dan melatih proses berpikir, yang kemudian dapat diterapkan secara mandiri di masa depan.
- Coach umumnya tidak diperlukan untuk ahli dalam bidang usaha klien
Mentoring:
- Biasanya melibatkan bimbingan dari seorang individu yang lebih berpengalaman atau senior.
- Menimbulkan berbagai hubungan pendampingan jangka panjang antara mentee dan mentor.
- Mentor akan diharapkan untuk mengetahui jawaban atas tugas yang dilakukan oleh mentee
Dalam proses mentoring, saya sering disapa dengan “mentor” namun kerap
juga disebut dengan “coach,” ya biarkan saja lah.
Mentoring sambil nungguin Kedai Pempek marega |
Quisioner dalam bentuk aplikasi daring menjadi media pendaftaran
sekaligus seleksi bagi para calon mentee, baik yang ikut seminar maupun yang
tidak. Pendaftaran yang hanya dibuka 3 hari saja menghasilkan 30an orang
pengisi kuisioner, yang diseleksi berdasarkan keseriusan dan kesanggupan
mengikuti mentoring, dimampatkan lagi menjadi 17 orang mentee.
Awalnya, media mentoring saya usulkan melalui aplikasi facebook, namun
ternyata setelah dibuatkan grup, malah kurang responsif mengundang mentee.
Haluan agak digeser sehingga media mentoring dibantu aplikasi Whatsapp yang
dibentuk 13 Mei 2020, berisi 17 mentee “Mentoring Menulis AELI” ditambah saya sebagai
fasilitator atau malah sering disebut mentor (kadang-kadan “coach”) oleh
teman-teman.
Terus
terang, ini pertama kali saya berperan sebagai mentor/ fasilitator pelatihan
menulis, kalo menjadi mentee sih sudah beberapa kali. Ada perasaan gamang juga
sih, semacam ke-harus-PeDean gitu. Lha wong sudah dipercaya asosiasi je…. masak
mau dijalani asal-asalan? Saya pun memutar imajinasi dan kreasi dalam merancang
proses mentoring.
Bukan pertama-tama pelajaran menulis yang kami geluti
bersama Tetapi lebih pada saling memotivasi untuk bisa berbagi pengalaman pendampingan
kami masing-masing yang dituangkan dalam bentuk artikel. Itulah konsep yang mendasari kelas mentoring
ini. Saya coba merancang skenario proses mentoring menulis seperti
halnya ketika kami menjalankan kegiatan experiential learning. Ada mentee, ada
tujuan, ada media, ada permainan, ada tugas, ada materi, ada diskusi, ada
sharing, dan ada Saya yang didaulat jadi fasilitatornya. Terakhir ditutup final challenge atau
final project. Bagaimana
konsep itu mewujud? Inilah yang mau secara singkat saya ceritakan.
Pos I
Hari ke-1
proses (13 Mei 2020) diawali dengan pembentukan grup WA oleh perwakilan Bidang
Litbang DPP AELI yang kebetulan menjadi mentee. Mas Rangga memberikan pengantar
yang menarik dalam sapaan awal grup, “Apabila
proses ini berjalan baik dengan hasil maksimal, berarti karena kontribusi positif kita bersama. Semoga pola
berkelompok sesuai minat/ hobi ini bisa menjadi contoh bagi kita di pada
praktisi EL. Contoh, bagaimana kita memberikan kontribusi bagi dunia EL sesuai
hobi/ minat kita.” Acara pertama adalah perkenalan dan haha hihi sesama mentee
dan fasilitator.
Hari ke-2
proses, Materi pertama bertajuk “Merencanakan Artikel,” disajikan dalam Pos I.
selain dibagi dalam grup, saya beri tautan tempat materi saya masukkan blog, yang
tautannya sudah disenggol pada awal artikel ini.
Bagi
pembaca yang enggan membaca lengkap materi tersebut, saya bocorkan sinopsisnya,
yaitu:
- Ulangan materi webinar,
- Skenario mentoring berpola “Saya memposting beberapa
materi/ ulasan/ penugasan terkait penulisan artikel, lalu para mentee merespon materi/
ulasan/ penugasan, baik secara umum, atau berdasarkan topik/ artikel yang sudah
dipilihnya, dengan target
sebelum Bulan Juni 2020, 17 artikel dari 17 mentee sudah tertulis manis.
- Tema yang baik; berbasis kompetensi penulis, memenuhi
ekspektasi pembaca, cakupan terbatas.
- Kalimat tesis, adalah rumusan singkat gagasan utama sebuah artikel
Keseruan
dimulai saat Permainan di Pos I digelar. Permainannya sangat sederhana, yaitu cukup
menuliskan Tema, Tujuan, dan Tesis (3T) dari artikel yang akan mentee buat. Permainan harus diselesaikan paling
lambat Hari Sabtu 16 Mei 2020 pukul 08.08, dengan cara dikirim ke grup WA mentoring.
Wow,
teman-teman mentee langsung asyik bermain, tercermin dalam beberapa komentar
berikut:
- “1,5 jam belum nemu tema yang tepat. Sekali nemu bingung mulai dari mana; tantangan berat iki.”
- “Wow baru baca contoh-contoh yang dibuat rekan-rekan semua, Putri langsung narik nafas. Bisa ga ya Putri nyelesein pos 1 ini dengan baik. Mana belum muncul ide sampe sesiang ini.”
- “Selamat malam. Dari siang sampai malam ini saya mengamati rekan-rekan yang begitu antusias dalam memberikan tulisannya. Dalam pengamatan saya, betapa cepat dan terampilnya menyajikan ide-ide tersebut menjadi sebuah tema tulisan. Saya jadi perlu berpikir dan mengingat hal-hal yang pernah saya alami selama pendampingan kegiatan EL.”
- “Jujur
saja saya ikut ini setengah nekat pengen bisa berbagi tentang yang pernah saya
alami. Tapi
jujur saja. Jangankan
nulis.... baca
buku saja males. Saya
paling gak bisa duduk diam lama dengan berpikir.
Kalo mikir mesti sambil
tiduran tapi kan gak bisa sambil nulis. Mungkin
nanti dalam proses belajar saya paling agak terpothal-ponthal mohon dimaklumi
semoga gak ada DO diantara kita.”
Fokus sejak awal dalam menulis artikel, dimulai dari perencanaan. (foto dari Buku Menulis dan Berpikir Kreatif, Ayu Utami) |
Sebenarnya,
seperti apa sih bentuk jadi permainan
Pos I ini? Nih, salah satunya saya bocorkan:
Tema : Peluang bisnis seorang FasEL menjadi
pengusaha Outbound Provider
Tujuan : Memberikan pemahaman dasar tentang peluang
usaha Outbound Provider bagi FasEL
Tesis : Dengan memahami konsep dasar Bisnis,seorang
FasEL dapat mengupgrade diri menjadi seorang Bisnis Owner bidang Outbound
Provider sehingga dia mampu menerapkan nilai2 seorang FaEL serta meningkatkan
sisi Ekonomi diri dan fasEL lainnya.
Ya,
sesederhana itulah permainannya. Dalam proses saya juga memberi komentar
terhadap draft 3T yang dibuat mentee, misalnya ada yang buat seperti ini
Tema:
Wanita dalam praktek EL
Tujuan:
Menggambarkan kesan pribadi terhadap pekerjaan di dunia outdoor untuk praktek
training dengan metode EL
Tesis:
mengulik pengalaman aktivitas outdoor, sistem kerja freelance, hingga ilmu-ilmu
yang diserap selama saya bekerja sebagai fasilitator.
Ini 3T yang
unik, namun saya melihat ada yang belum klop di sana, maka saya berkomentar: “Eh, omong-omong apa sih tujuan awal mau
nulis? Tentang kontennya saya belum menangkap urgensi "wanita" dalam
tema yang malah tidak (belum kali ya....) tercermin dalam Tujuan dan Tesis. Ada
apa jika "wanita" mengulik pengalaman aktivitas outdoor, sistem kerja
freelance, hingga ilmu-ilmu? Garis besarnya, tolong rumuskan ulang apa relasi 2
variabel artikel: wanita, dan praktik EL.”
Ketika
digali (dalam grup Pos I) ternyata ada latar belakang mengapa tercetus ide
tadi, yakni
“Narik dari pengalaman pribadi sih Mas. Karena sering banget banyak yang nanya, terutama dari lingkungan keluarga: saya kerjanya apa? Kok mau ngefreelance, gamau kerja kantoran aja? Apalagi kadang harus berangkat sore-sore, nginep berapa hari ninggalin keluarga. Gaji juga ga tetap. Buat lingkungan saya, ini masih bukan pekerjaan yang lumrah.
“Narik dari pengalaman pribadi sih Mas. Karena sering banget banyak yang nanya, terutama dari lingkungan keluarga: saya kerjanya apa? Kok mau ngefreelance, gamau kerja kantoran aja? Apalagi kadang harus berangkat sore-sore, nginep berapa hari ninggalin keluarga. Gaji juga ga tetap. Buat lingkungan saya, ini masih bukan pekerjaan yang lumrah.
Makanya saya mau bikin tulisan sebenernya
dengan tujuan ngejabarin kenapa saya yang seorang perempuan (anak perempuan
satu2nya lagi di keluarga) bisa cinta dengan dunia EL ini. Juga biar suatu hari
saya bisa jelasin ke anak2 saya, ibunya nih kerjanya apa sih 😂 Lah jadi panjang hehe. Tapi begitulah latar belakang penulisannya Mas.” Terkait komentar saya terhadap
3Tnya dia juga sadar sehingga balik berkomentar, “Dan iya, setelah saya kirim saya juga merasa masih lemah banget
tesisnya, malah kurang menggambarkan tema dan tujuan tulisan. Siap diperbaiki
Mas.”
Dalam grup mentoring ini, ternyata suatu tema yang hendak ditulis salah satu mentee, bisa
dieksplorasi pengembangannya melalui pengalaman yang mungkin dialami sesama mentee.
Sebagai contoh tema “Fasilitator Wanita” tadi, ada mentee lain yang nimpali, “Saya pernah waktu masih mbina di salah satu
lokasi outbound, terpaksa harus ngajarin ustadzahnya dadakan 30 menit sebelum
mulai karena mereka gak mau 150 siswinya kontak dengan team highrope cowok
.... Setelah itu waktu pelaks, mata saya
gak berani kedip ngawasin 4 bordes high rope. Sore harinya marketing ama PIC
lokasi outbound saya “cuci” karena tidak menginformasikan kondisi mentee secara
lengkap, bhuwahahaha....”
Atau ada
juga mentee lain yang kemudian berkisah bahwa dia punya teman-teman pasukan
fasilitator lain yang semuanya wanita; cerita yang lalu diimbuhi foto-foto
aktivitas fasilitator wanita. Ya, dalam grup WA, memang mudah sekali orang
untuk bisa berkomentar termasuk dengan berbagi aneka gambar, video, dan foto.
Maka, mengobrolkan suatu tema, bisa asyik sekali jadinya, apalagi diantara
sesama fasilitator. Inilah salah satu keseruan yang kami alami dalam Pos I.
Pos II
Tanggal 16
Mei 2020, 12 orang menyelesaikan Permainan Pos I ketika kami masuk ke Pos II,
yang ditandai dengan pemberian materi “KERANGKA ARTIKEL DALAM KISAH
EXPERIENTIAL LEARNING” yang saya posting melalui tautan ini Materi singkat dalam pos ini
memaparkan pentingnya membuat kerangka artikel dalam perencanaan artikel yang
akan dibagi dalam 3 bagian, yaitu pengantar, isi/ pembahasan utama, dan penutup.
Saya luncurkan Pos II ini pada pukul 11.06 WLM (Waktu Laptop Mentor), kenapa
WLM? Karena perangkat saya itu aneh, penunjuk waktunya lebih cepet sekitar 1,5
jam dari kondisi realita; beberapa kali dipaskan, eee… meleset lagi.
Pos II juga
ditandai dengan permainan, berupa “Menuliskan Tema, Judul, Tujuan,
Tesis, dan Kerangka Artikel dari tulisan yang akan dibuat”
permainan ditunggu sampai Senin pagi tanggal 18 Mei 2020, pukul 07.07. Kok
menulis Tema-Tujuan-Tesis (3T) lagi sih, bukankah itu sudah dilakukan di Pos I?
Iya memang, Kalau 3T dari permainan I sudah dirasa oke, berarti tinggal nyari
judul dan bikin kerangka artikelnya dong. Namun siapa tahu ada mentee yang mau
merevisi 3T dari Pos I, ya silakan bikin lagi yang baru di Pos II, sekalian
ditambah Judul dan Kerangka artikelnya. Kok pengumpulan permainan pukul 07.07
sih bukan pukul 07.00 saja? Ya saya gantian balik bertanya nih, “Emang kenapa
ya kalo dibuat pukul 7 lewat 7 menit?”
Yuk, bikin Kerangka Artikel. (foto dari Buku Menulis dan Berpikir Kreatif, Ayu Utami) |
Sama
polanya dengan di pos sebelumnya, saya ngasih komentar terhadap permainan yang
sudah dikirimkan mentee. Bedanya, kini lebih banyak materi yang dikomentari.
Saya berikan 2 contoh hasil permainan Pos II ya, nih.
Mentee
Pertama
Tema :
FasEL Bilingual
Judul :
Peluang menjadi FasEL Bilingual
Tujuan : Menginspirasi
pembaca tentang pentingnya kemampuan bilingual dalam proses memfasilitasi
sebuah aktivitas EL
Tesis :
Memiliki kemampuan bilingual akan menjadi nilai tambah seorang FasEL dan dapat
membantu proses kepemanduan aktivitas yang ada serta melancarkan komunikasi
dengan baik ketika menghadapi mentee yang bukan orang Indonesia atau tidak bisa
berbahasa Indonesia
Pengantar:
Pentingnya kemampuan bilingual dalam dunia kerja secara umum
Isi :
- Penjelasan umum tentang Experiential Learning, Jenis-jenis aktivitas berbasis Experiential Learning, serta Profesi Fasilitator Experiential Learning
- Kebutuhan bilingual dalam lingkup profesi FasEL
- Pengalaman memandu aktivitas EL dengan bilingual
- Manfaat menjadi FasEL Bilingual
Penutup:
Manfaat
menjadi seorang FasEL bilingual yang sudah pasti dapat dirasakan secara
langsung dan yang paling nyata adalah peluang kemudahan mendapatkan pekerjaan,
khususnya ketika ada kebutuhan akan FasEL Bilingual, dan hal lain yang menarik
adalah : honor nya biasanya lebih tinggi! Nah, para FasEL bisa memulainya
dengan belajar sendiri ataupun mengikuti kursus-kursus yang ada untuk
meningkatkan kemampuan bilingualnya. Jadi, apakah Anda berminat menjadi FasEL
Bilingual?
Mentee
Kedua yang merupakan salah satu pendaki gunung yang telah mendaki 7 puncak
tertinggi di Inonesia menyelesaikan permainan dengan begini:
Tema:
Penguasaan Pola Pikir Pendaki dalam Mencapai Tujuan Hidup
Judul: Hadapi
Tantangan Raih Kebahagiaan. Sub judul : (Kisah Pencapaiaan 7 Puncak Tertinggi
Indonesia)
Tujuan:
Menjadi inspirasi diri sendiri dan orang lain, untuk terus mengasah pola pikir
pendaki dalam mencapai tujuan hidup
Tesis:
Penguasaan Pola Pikir Pendaki yang sistematis dan terlatih akan membawa kita
berhasil mencapai tujuan hidup.
Kerangka
tulisan:
Pembuka:
Cerita awal hobi mendaki gunung dan cita2 pendakian yang diinginkan. Sekilas
perjalanan ikut organisasi pecinta alam. Awal kisah menerima tantangan untuk
memimpin suatu ekspedisi.
Isi:
- Konsep Pendakian 7 Summits & kaitannya dengan aktualisasi diri/tujuan hidup
- Prinsip2 umum manajemen ekspedisi /pendakian gunung
- Sekilas konsep adversity quotiont
- Sekilas konsep "Climber" /pendaki
- Kisah Pendakian Gunung Semeru & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Rinjani & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Carstensz & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Bukit Raya & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Kerinci & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Rantemario & nilai utama pembelajarannya
- Kisah Pendakian Gunung Binaiya & nilai utama pembelajarannya
Penutup:
Rangkuman
nilai pembelajaran dari perjalanan pendakian 7 puncak yang menjadi satu konsep pola pikir pendaki
dalam mencapai tujuan
"Tujuan
atau cita-cita dalam kehidupan dapat dicapai dengan penguasaan pola pikir dan
sikap pendaki yang sistematis dan terlatih"
Saran
untuk selalu mengasah penguasaan pola pikir pendaki dalam kehidupan
sehari-hari.
18 Mei 2020
pagi pukul 7 lewat 7 menit, semestinya semua hasil permainan dikumpul, tetapi
nyatanya baru 4 mentee yang menyelesaikannya. Saya lalu memberi semangat
teman-teman untuk segera menyelesaikan permainan dengan mengirim motivasi
bergenre humor begini, “Tetap semangat
untuk lebih serius bengong memikirkan artikel yang sudah kita niati tulis ya; cukup
2 x 10 menit deh, pasti akan banyak penampakan ide terkait 3T. Sebaiknya jangan
terlalu pilih-pilih dahulu atau berandai-andai nanti detilnya akan nulis ini
itu ini itu pake gaya anu ini anu ini. Selama subtema tersebut relevan dengan
3T, langsung masukkan saja ke dalam Kerangka. Dalam Pos III nanti, kita akan
belajar bareng gimana cara memberi daging dalam kerangka artikel. (eh... kok
sudah bocor ya 🤦🏻♂️🤫 ). Dari kami yang menantimu ;ttd; 😘 A, B, C, dan D.” ABCD adalah nama-nama mentee yang sudah menyelesaikan permainan.
Jadi saya seolah-olah mewakili mereka
untuk mengajak teman-temannya menyelesaikan permainan; inilah yang saya sebut
humor; semoga agak lucu, he he he…
Bahan inspirasi bahwa mencari ide itu bisa dilakukan dalam rutinitas keseharian. Ketika mentor sedang merumput pun bisa mendapat ide untuk bahan-bahan mentoring. |
Pos P3K
19 Mei 2020; pukul 09:02 Mentee yang sudah main di
Pos 2 bertambah jadi 13 orang, dari total 17. Artinya, sudah lewat sehari dari
waktu yang ditetapkan, tetapi belum semau mengumpulkan permainan. Apa yang
perlu saya lakukan? Selain memotivasi lagi? Akhirnya saya buatkan Pos P3K. Layaknya
saat kita menyelenggarakan program experiential
learning, maka jamak pula diadakan Pos kesehatan atau Pos P3K (Pertolongan
Pertama pada Kecelakaan).
Pos ini
menjadi semacam pos taktis dalam proses mentoring karena terpantau beberapa mentee
masih megalami kebuntuan dalam menuangkan rumusan perencanaan artikel. Namun
dalam “permainan menulis,” Pos P3K itu
dipanjangkan jadi Pertolongan Pertama
pada Ketersendat-sendatan. Ini
sebenarnya bukan pos utama dalam perjalanan penulisan artikel, namun dirasa
perlu dimasuki supaya dapat inspirasi guna mengurai kemacetan beberapa teman
dalam menyelesaikan permainan Pos II.
Pos taktis
P3K ini diisi 2 kiat mengimajinasikan suatu artikel. Yang pertama adalah
mengenal Konten & Konteks artikel, yang diuraikan terkait dengan 6 hal
berikut, yaitu: sasaran pembaca, nada artikel, kompetensi penulis, waktu
penulisan, dan media publikasi. Untuk menjelasakan tentang “nada artikel,” saya
sempat mengangkat contoh mengenai Mendiang Mas Didi Kempot. Jika penasaran apa
isi selengkapnya Pos P3K ini, silahkan meluncur saja ke sini ya
Poin kedua
dalam Pos P3K adalah perlunya merancang
bagaimana mencari isi tulisan berdasarkan Data Primer dan Data Sekunder. Guna
memerjelas uraian, saya berikan juga contoh penelusuran data untuk salah satu
tema yang diusung mentee.
Seperti
halnya pos sebelumnya, diluncurkan juga semacam permainan yang saya sebut
dengan “vitamin” berupa quis tentang mengimajinasikan merangkai aneka
pengalaman pendampingan. Hasil quis tentu saja diobrolkan di grup WA kami.
Malam
harinya saya umumkan bahwa berapapun yang besok menyelesaikan permainan Pos II,
rombongan akan melanjutkan ke Pos berikutnya.
20 Mei
2020, pukul 14:47 saya umumkan pembagian 3 kelompok untuk 14 mentee yang
menyelesaikan permainan dari Pos II. Saya tugasi mereka memilih salah
satu dari anggota grup untuk jadi ketuanya, membuat grup WA khusus beranggotakan anggota grup ditambah
saya. Nama grup mentee ditentukan sendiri. Bagaimana dengan 3 mentee lain? Ya
tidak saya grupkan karena tidak sampai selesai di Pos II.
Setelah
itu, saya pamit dari Grup Mentoring tersebut, alias “left.” Saya berpikir, ya
kalo dalam program experiential learning
di lapangan sudah waktunya bergerak ke tempat lain, ya kita jangan terus
terpaku atau memandang ke belakang tempat sebelumnya kita asyik berproses,
apapun hasilnya. Saya mencoba mengedukasi bahwa jika sudah saatnya “pergi” ya
tekadkan hati, pergi. Dalam pos berikutnya saya juga terapkan hal yang sama,
ketika misi Pos sudah usai, saya “left” juga dari grup Pos III untuk menuju
proses berikutnya.
POS III
Sore sampai
malam saya diundang masuk oleh 3 grup, yang bernama Awal, Mandalika, dan Kelompencapir untuk melanjutkan mentoring di
Pos III. Apa yang dilakukan di sana? ini saya cuplikan permainannya
Selamat
datang di Pos III. Permainan kita mulai ya; sederhana kok😀
Di Pos
ini saya tidak memberi briefing khusus, termasuk tentang "menulis yang
baik dan benar." Bagi teman2 yang menginginkan langsung menulis dalam
Bahasa Indonesia yang baik dan benar, silakan bisa cari sumber-sumber sendiri
ya. Sebelum mengarungi permainan di Pos III ini, Saya hanya punya ekspektasi,
artikel-artikel di Pos I, II, dan Pos P3K sudah sempat rekan2 baca; itu saja. Jadi
langsung saja tancap gas nih ke permainannya.
Silakan Teman-teman menulis artikel sesuai
tema-judul-tujuan-tesis-kerangka yang sudah direncanakan.
Periodesasi
menulis artikel:
Menulis
artikel sampai selesai; ditunggu di Pos ini paling lambat hari Sabtu, 23 Mei 2020 pukul 08.08 WIB. Dalam kurun
waktu tersebut, silakan jika ada yang mau didiskusikan via grup ini.
Masa
Inkubasi; saat dimana kita tinggalkan beberapajenak tulisan kita tanpa
dipikirin, dilirik, dibuka, apalagi diotak-atik, 24-26 Mei 2020; sekalian kita
Lebaranan.
Revisi/
editing (jika diperlukan), 27-29 Mei 2020.
Selanjutnya....
masih rahasiya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ayo kita mulai menulis.
Mari mengisi kerangka artikel kita dengan daging. (Ilustrasi dari Buku Menulis dan Berpikir Kreatif, Ayu Utami) |
Pos III
ternyata pos menulis artikel, seminggu setelah mentoring mulai. Pekerjaan
mentor jelas tambah berat nih; memberi komentar setiap artikel mentee, serta
memberi tips praktis tentang kepenulisan. Yang bikin tambah lama itu karena
harus masuk ke 3 pos, sehingga kadang tips yang sama/ mirip harus dikirim ke 3
pos, yang kadang waktunya tidak bisa seragam karena mengikuti dinamika di tiap
posnya.
Kenapa
harus nunggu seminggu sih untuk menugasi mentee menulis artikel? Kenapa tidak
langsung pada hari pertama saja? Hmm….. karena bagi saya, proses menulis itu
adalah pekerjaan seni yang merupakan cerminan cara perpikir seseorang. Saya
pikir, daripada langsung minta mentee menulis, dan misalnya begitu banyak hal
yang harus diperbaiki dari tulisan tersebut? Wah… bisa “mabok” mentor nggarap
itu seorang diri untuk 17 orang. Maka pilihan saya adalah membekali mereka
dengan tips merencanakan artikel yang sejatinya juga proses menstrukturkan ide
dan gagasan sesuai tema tulisan. Harapannya sih,
dengan adanya proses seminggu tiap mentee mengolah dan merefleksikan tema
tulisan, ketika tiba saatnya menulis, kelancaranlah yang ditemui.
Saya juga
tidak, lebih tepatnya belum berbagi tentang tatacara menulis yang baik dan
benar dari sisi kebahasaan, sampai Pos III ini. Ada 4 alasan kenapa urusan
tata-menulis belum disampaikan, padahal itu penting.
Karena konsep
mentoring ini bukan pelajaran “Bahasa Indonesia” maka urusan tata bahasa bukan
yang dipertamakan.
Seperti
halnya program experiential learning,
maka lazimnya ada proses mentee melakukan/ do/
act lebih dahulu sebelum nanti direfleksikan. Nah, ini juga sama, saya
ingin mentee menulis dahulu artikelnya, baru nanti dibahas tentang tata
bahasanya. Dalam hati saya berkata, “biarlah
mereka merasakan dahulu bagaimana serunya menulis, setelah itu baru kita
ngobrol.”
Saya tidak
mau membebani mentee dengan materi yang terlalu berat; seminggu menulis rencana
artikel saja sudah lumayan berat, apalagi ditambah dengan menyerap dan
mengerjakan “tugas” tentang bagaimana kata, kalimat, paragraf beserta tanda
bacanya harus ditulis dengan semestinya. Bisa-bisa banyak mentee yang
“muntaber” nanti, artinya tuh mundur tanpa berita.
Alasan
terakhir, saya pasti akan sangat repot jika urusan kebahasaan ikut dibahas,
sehingga fokus mengomentari alur berpikir mentee menjadi kabur. He he he…
alasan saja nih.
Mengapa Komentar?
Dinamika 3
Pos III berlangsung lebih seru, walau melewati hari raya Idul Fitri. Tiap
artikel yang masuk saya komentari, walau seringnya perlu waktu setengah sampai
satu hari setelahnya dari waktu saya membaca pertama. Saya menerapkan prinsip,
ketika sudah membaca satu artikel dan hendak mengomentarinya, diperlukan waktu
inkubasi, alih-alih langsung menuliskan komentar (spontan). Dalam masa inkubasi
tersebut, di sela-sela aktivitas keseharian, sering saya nemu hal-hal yang
relevan atau lebih tepat untuk dikomentarkan dalam tiap artikel. Hasil
temuan-temuan itu tadi yang kemudian saya rangkum sepadat mungkin untuk
dikomentarkan.
Mungkin ada
pembaca yang bertanya, mengapa saya menggunakan istilah “komentar,” bukan
revisi atau perbaikan, atau bahkan penyempurnaan, untuk merujuk pada umpan
balik permainan yang dilakukan mentee. Ya, saya lebih nyaman saja dengan
pilihan diksi “komentar” yang kesannya lebih egaliter, dan lebih pas dengan
konteks. Kan memang yang saya lakukan
itu mengomentari, atau dalam hal ini saya jadi komentator terhadap hasil
proses/ permainan mentee. Saya mencoba menghayati prinsip proses experiential learning yang salah satunya
membelajarkan ala orang dewasa yang tentu sudah punya konsep sebelumnya,
termasuk terhadap tulisan yang sudah dibuatnya.
Diksi
“revisi” atau “perbaikan” mempunyai nilai rasa bahwa apa yang sudah mentee buat
(pasti) salah, dan harus direvisi atau diperbaiki. Hal itu tentu menimbulkan beban
karena ada tuntutan untuk “Melakukan
perbaikan terhadap sesuatu yang saya buat secara salah. Seandainya saya tidak melakukan perbaikan, maka saya
meninggalkan suatu jejak kesalahan, dan saya lari dari hal tersebut.” Wah
ekstrim ya pengungkapan perasaannya. Tapi ya itulah, yang saya pikirkan.
Menggunakan pilihan diksi “komentar” membuat saya lebih nyaman karena sebagai
komentator, maka apapun komentarnya, bisa dinilai dan ditanggapi dengan lebih
bebas oleh penulis, “Ah, Mas mentor ini
komentarnya pedas nian, terlalu teoritis. Saya khan bukan mau nulis yang ilmiah
gitu. Beberapa saran saya abaikan saja ah…” atau “Ooo… masuk akal juga ya komentarnya. Saya coba perbaiki ah tulisanku
sesuai arahan komentator.” Komentar nyatanya menjadi fakta bahwa seseorang
yang melontarkan umpan balik semacam itu, lepas dari yang dikomentari menolak,
setuju, atau sangat setuju. Okey, cukup ya urusan komentar.
Penyemangat bahwa menulis itu pekerjaan resah. (Ilustrasi dari Buku Menulis dan Berpikir Kreatif, Ayu Utami) |
Hasil
permainan tidak akan saya bagikan di sini, karena itu sudah ada porsinya dalam
bentuk ebook yang bisa diakses melalui sini Saya mau bagikan salah satu komentar
(terpanjang) terhadap suatu artikel. Yuk kita nikmati salah satu pernyataan
komentar saya, semoga tidak bosan.
Menulis artikel itu pada hakekatnya menyampaikan sesuatu pada para pembaca. Layaknya menulis berita, maka dalam suatu artikel, sebaiknya ada 6 hal mendasar yang wajib disajikan di dalamnya mengacu rumus 5W 1 H, yaitu:
Who,
SIAPA yang terlibat sesuatu tersebut?
What, APA
sih sesuatu itu?
Where,
DIMANA sesuatu itu terjadi?
When,
KAPAN sesuatu itu terjadi?
Why,
MENGAPA sampai ada sesuatu tadi?
How,
BAGAIMANA sesuatu tersebut terjadi/ dijadikan?
Karena
menulis artikel adalah suatu seni, maka bagaimana penulis memaparkan 6 hal
pokok tadi menjadi banyak variannya,
baik dalam urutan informasi, teknik, juga gaya bahasanya.
Dalam
komentar, saya mengutamakan mengulas tentang garis besar kesesuaian isi artikel
dengan kerangka yang sudah dibuat tiap mentee.
Ulasan tentang kebahasaan akan disampaikan secara umum setelah saya
membaca beberapa artikel mentee lain.
Tesis
: dengan program outbound dan kegiatan
dolan desa dapat memajukan desa dan meningkatkan penghasilan warga.
Kita
mulai ya:
- Secara umum dan isi artikel itu sudah sesuai
dengan kerangkanya. Unsur 5W1H sudah muncul dalam artikel, namun ada
beberapa hal tentang konten yang perlu diformat penulisannya supaya lebih enak
dibaca.
- Memang tesis artikel adalah “dengan program outbound dan kegiatan dolan desa dapat memajukan desa dan meningkatkan penghasilan warga” (ini secara tata bahasa bisa diperbaiki jadi “Program Outbound dan Dolan Desa dapat memajukan dan meningkatkan penghasilan warga Desa”) namun yang saya sarankan, di balik layar (laptop), artikel ini bisa menjadi alat promosi juga tentang program tersebut supaya makin banyak orang datang ke desa yang dimaksud. Guna mencakup tujuan tersebut, tentunya artikel pelu dibuat dengan nada “mengajak”
- Menulis artikel tentu berbeda dengan proses membuat kliping dari potongan-potongan koran/ majalah; walau esensinya mirip, yaitu menyajikan cerita tertentu. Saya masih melihat bahwa Artikel mas AB ini terlalu semangat dan vulgar mencantumkan tulisan guna memenuhi kerangkanya. Kita kupas ya…
- Pengertian outbound/ experiential learning. Nurut saya masukkan tulisan/ kutipan yang sesuai saja dalam konteks penulis mau cerita manfaat outbound bagi desanya (bukan mau cerita manfaat outbound bagi mentee). Peristiwa larinya Kurt Hahn ke Inggris pada tahun 1933 karena berbeda pandangan politik dengan Adolf Hitler dan seterusnya tidak perlu lah dimasukkan dalam artikel karena terlalu jauh relevansinya. Kata Outbound sudah populer di kalangan pembaca kok.
- Mengaduk-aduk manfaat outbound (apalagi dari sumber lain yang si penulis sendiri belum tentu sependapat) bisa menjadi blunder jika ada pembaca kritis yang menggugat/ bertanya, “emangnya dengan dolan desa yang hanya berdurasi 2-4 jam dan acaranya gitu, bisa membuat orang berkomunikasi efektif , punya team building , jago pemecahan masalah, PeDe, dst? (seperti yang ditulis dalam bab manfaat outbound)
- Berkisah tentang program Dolan Desa sudah coba dilakukan dengan lengkap. Tinjau lagi jika ada hal-hal tidak signifikan yang bisa dihilangkan ya, misal kalimat. Dapat disimpulkan tempat kami tidak ada bangun- bangunan yang sangat megah. Selain hal tersebut bisa dipertanyakan apakah betul itu kesimpulan dari penjelasan (kalimat-kalimat) sebelumnya, namun dalam konteks artikel juga tidak ada efeknya.
- Foto-foto Dolan Desa sebaiknya disesuaikan untuk format artikel, bukan format presentasi/ laporan.
- Ada foto permainan itu sangat bagus, namun justru yang tidak tertemukan adalah foto interaksi mentee outbound dengan penduduk (yang hasil panennya dibeli). Padahal roh tulisan ini ada di simbiosis mutualisme tersebut (antara mentee-provider-penduduk-perangkat desa). Kalo bisa tolong dilengkapi foto-foto semacam itu ya Mas AB, supaya pembaca juga lebih tersentuh hatinya.
- Penceritaan tentang cara mempromosikan program juga bisa dipoles lagi shingga lebih enak dibaca.
- Foto-foto layar laptop yang
berisi data mentee dengan maksud bercerita manfaat program bagi desa saya pikir
kok belum nyambung banget ya dengan konteks. “Kalo tanggal sekian ada 50 orang mentee
outbound di Bawangan, apa sih artinya bagi kesejahteraan penduduk?” Lebih
kurang itu justru yang jadi pertanyaan ketika pembaca melihat foto yang ada
sekarang. Padahal bab yang mau disampaikan adalah (pembuktian) bahwa benar,
program Outbound dan Dolan Desa itu menyejahterakan penduduk. Silakan Mas AB bisa renungkan lagi, bagaimana
cara membahasakan dan menuliskannya dalam artikel; pun diberi tambahan foto
sebaiknya itu memperkuat kisah, bukan malah mengaburkan esensi, apalagi membuka
front pertanyaan-pertanyaan liar bagi pembaca.
- Efektivitas dalam menulis kalimat dan merangkainya dalam paragraf harus ditingkatkan lagi ya, dengan patokan praktis: 1) Kalimat yang baik itu singkat, padat, dan jelas untuk menyampaikan suatu informasi secara utuh. 2) Paragaraf yang baik berisi beberapa kalimat yang menjelaskan 1 topik saja; salah satu kalimatnya merupakan kalimat kunci/ kalimat yang mengandung topik. 3) Hubungan atarparagraf terjalin runut, logis, dan tentu saja berpadu menunjang tema artikel.
- Selamat meninjau dan menyempurnakan kembali artikelnya ya Mas AB, karena ini bisa menjadi etalase, supaya program lebih tersosialisasikan dengan cara yang elegan. Sip; sukses selalu.
Silakan
pembaca imajinasikan sendiri bagaimana rupa artikel mentee tersebut jika
komentarnya seperti itu. Tapi ingat, ini kan cerita tentang artikel yang masih
dalam proses awal penulisannya.
Komentar
lainnya rata-rata sejenis dalam penekanan 5W1H, namun hal-hal lainnya
tergantung temuan signifikan dalam artikel. Karena menulis artikel adalah suatu
seni, maka bagaimana penulis memaparkan 6 hal pokok tadi menjadi banyak
variannya, baik dalam urutan informasi, teknik, juga gaya bahasanya. Komentar
saya mengutamakan mengulas tentang garis besar kesesuaian isi artikel dengan
kerangka yang sudah dibuat tiap mentee. Ulasan tentang kebahasaan hanya akan
disampaikan sekilas dua kilas saja terutama pada “kesalahan-kesalahan” fatal
atau yang mengganggu alur.
Oleh-oleh dari Pos III; WAKTU (kredit foto FB Anang YB) |
Pos III
yang ditargetkan selesai pada 29 Mei 2020 molor 3 hari karena belum semua mentee
menyelesaikan permainannya. Toh, perjalanan mesti berlanjut, apalagi Bulan Juni
menjelang, bulan yang pada awal proses menjadi akhir dari mentoring. Pada
ketiga pos III ini saya mengucapkan terimakasih pada para mentee, baik yang
sudah bermain, maupun belum. Saya kirimi poster dari salah satu mentor menulis
saya tentang “waktu” sebagai kenangan akhir Pos III.
Setelah minta maaf jika
ada hal-hal yang kurang berkenan pada mentee, saya pamit undur diri, keluar
dari grup WA Pos III.
------ bersambung ke bagian kedua -----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar