Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Apa Sih, Maunya Tulisanmu?

Salam jumpa lagi dalam kebersamaan mentoring menulis artikel ini. Bagi pembaca yang baru tahu, artikel ini merupakan bagian ke-5 dari materi-materi yang disampaikan dalam program "Mentoring Menulis Artikel Experiential Learning," sambungan dari situ tuh


Tulisan "Apa Sih, Maunya Tulisanmu?" ini saya buat setelah melihat perkembangan naskah teman-teman fasilitator yang ikut program mentoring menulis artikel. Maunya sih untuk memberi panduan akhir supaya para penulis lebih mantap lagi saat menuntaskan artikelnya.

Cara-cara merencanakan artikel sudah disampaikan, demikian pula contoh-contoh menuliskan suatu topik dalam sebuah kalimat serta merangkainya menjadi satu paragraf. Namun sepengamatan saya, masih ada beberapa penulis yang tampak belum terlalu "masuk" dalam menuliskan pengalamannya. Semoga materi ini bisa memberi pencerahan supaya proses hampir 1 bulan ini memang bisa memberi hasil maksimal bagi para peserta mentoring.

MERANGKAI PENGALAMAN

Masih ingat dengan gambar ini, yang diposting dalam Pos P3K?

Ini aneka pengalaman (pendampingan) saya
Kita ibaratkan berbagai bentuk dan warna di atas adalah aneka pengalaman pendampingan kita dalam bidang experiential learning/ outbound. Silakan bisa diasosiasikan sendiri ya, yang bentuknya ini maksudnya apa, yang warnanya anu berarti apa, terserah.... itu hanya ilustrasi sok. Ya, itulah sejarah hidup kita, tidak ada yang salah.
Saat ini, kita mau menorehkan "sejarah baru" nih dengan menuliskan aneka pengalaman tadi menjadi sebentuk artikel. Kenapa? tentu banyak alasannya dong; kita sudah bahas di sesi awal mentoring.
Nah, permasalahannya muncul setelah proses selama 3 minggu lebih, ternyata kok ada ya teman yang awalnya menggebu ingin bikin artikel, eee.... macet di tengah jalan. Yang muntaber juga ada, alias "mundur tanpa berita." okey saya tidak akan fokus pada mereka yang mungkin punya prioritas lain untuk penyaluran energinya. Saya mau fokus membantu mereka yang sebetulnya niat tetapi mungkin belum terlalu yakin bahwa bisa nulis artikel yang bagus.


Kita boleh punya ide, termasuk yang aneh-aneh, revolusioner, kreatif, bahkan yang hampir tidak masuk akal tentang hal-hal yang bisa diartikelkan. Namun tanpa ada NIAT, dorongan dari dalam diri, motivasi yang teguh, percuma segala ide (brilian) kita tadi. Siapa yang mau bikin artikel tema tadi, jika kita sendiri nggak niat nulis? mengharapkan seseorang dari komplek sebelah tiba-tiba memenuhi harapan kita tadi? hmm....



krik, krik, krik....



bangun, bangun....



Hal pertama yang saya sampaikan kenapa saya mau nulis adalah karena saya mau belajar lagi. Kedua, karena berharap bisa menginspirasi orang lain melalui tulisan saya. Berdasar dua niat tadi, maka saya selalu berusaha membuat tulisan dengan baik, walau sederhana. Bagaimana dengan teman-teman? tentu punya motif masing-masing dong, yang penting diniati, itu saja.



Nah, dalam konteks merangkaikan pengalaman, tentu kita perlu berimajinasi tentang cara menghubung-hubungkan aneka pengalaman itu tadi. Celakalah kita jika belum membuat perencanaan apa tujuan penulisan kita, kenapa? karena menurut Ayu Utami dalam buku "Menulis dan Berpikir Kreatif" sejatinya tidak ada bentuk penulisan yang salah. Salah tidaknya bentuk penulisan bergantung pada tujuan. Lha kalo nggak punya tujuan? gimana mau menilainya?



Ilustrasi di bawah ini menggabarkan proses saat kita membuat struktur atas aneka pengalaman kita tadi. O... yang ini sejenis dengan yang itu, berarti kedudukannya bisa begini. Hmmm pengalaman yang itu tuh, bisa ditunjang dengan data pengalaman yang ini. Pengalaman yang itu seru juga sih, tapi kayaknya beda konteks pembahasan, jadi dilewati saja deh.

Strukturisasi pengalaman


Salah satu teknis menulis yang sederhana ya seperti gambar di atas. Mengelompokkan pengalaman berdasarkan kategori tertentu, lalu dituliskan secara runut dan lengkap, itu saja. Tentu ada teknik menulis yang lain kan? ooo ada, namun dalam proses mentoring ini, kita perdalam hal-hal yang mendasar dan sederhana dahulu ya.
Konteks, hal yang sudah pernah kita bahas dalam pos sebelum ini, mestinya kita gunakan juga dong dalam menulis artikel. Contoh nih, ada yang mau bikin artikel dengan tema "Memajukan desaku dengan program Experiential Learning," Dalam konteks tema tersebut, sebenarnya si penulis itu bisa memosisikan diri sebagai perwakilan dari desa tersebut untuk mempromosikan kegiatan di daerahnya. Ibarat seorang "penjual," maka penulis perlu membuat artikel yang menjelasakan bagaimana experiential leraning bisa memajukan desanya, nada tulisan bisa diatur sedemikian rupa sehingga memengaruhi pembaca untuk setidaknya berempati, atau sukur-sukur tertarik untuk mengunjungi desanya. Nah, jika konten dan konteksnya sudah ketemu, mestinya penulis bisa lebih mudah saat menstrukturkan aneka pengalamannya tadi dalam suatu tulisan. 

Saya temukan juga ada penulis yang ingin menegaskan suatu sebab-akibat, namun masih lemah dalam penjabarannya. Misal nih ada artikel yang bertema "Membangun tim building melalui permainan X." Namun yang muncul dalam artikel hanya penjelasan singkat dan global tentang permainan X yang lalu terburu-buru diklaim atau disimpulkan bisa membangun tim building. Saya memahami, penulis pasti punya seabrek pengalaman memandu permainan X, yang ketika direfleksikan memang bisa menjadi sarana membangun tim building. Tapi konteks kita ini kan tentang dunia tulis menulis yang secara sederhana dibaca, "Penulis menempatkan deretan kata, kalimat, dan paragraf yang dibaca dan berusaha dimaknai oleh pembacanya"
Tanpa penjelasan yang memadahi, pembaca bisa-bisa selip mengartikan bahwa penulis melakukan klaim berlebihan terhadap suatu tema. Atau dianggap pembahasan tidak valid, mengada-ada, bahkan bisa dianggap hoaks, hiii...
Lho, kok jadi ruwet ya urusan menulis itu, padahal saya hanya mau menuangkan gagasan berdasarkan pengalaman saja lho. Hmmm... gini ya, Goenawan Muhamad, salah seorang kolumnis tekenal pernah berujar, "Menulis memang bisa menyenangkan. Tetapi seperti halnya membentuk sebuah cawan yang tidak sekedar praktis untuk dipakai, menulis pada dasarnya sebuah pekerjaan yang resah. Proses pemikiran hanyalah satu tahap. Proses lainnya menyangkut sekian jam duduk di depan mesin tik atau monitor komputer, membesut, mengoreksi, menatah, menguji kata dan kalimat."
Beliau dengan gambang menyampaikan bahwa menulis itu bukan sekedar melontarkan ide, namun perlu upaya dalam menyajikannya.Masih ingat dengan Data Primer dan Data Sekunder? hayo ada di pos mana? he he he... Pengalaman kita memang menjadi data primer kita, tetapi ketika suatu bahasan membutuhkan data-data sekunder yang harus kita cari dan besut, ya carilah.... kerja keras, iya. Tapi saya kan hanya ingin nulis berdasarkan pengalaman saya?okey-okey... kalo hanya segitu niatnya, ya, tulislah tema yang sifatnya deskriptif berdasarkan pengalaman kita saja, dan kita sudah dari awal sadar seberapa "dalam" nanti artikel kita nanti. Yang penting jangan overclaim ya.
Satu lagi contoh tentang pentingnya pengembangan data primer dan sekunder bisa kita dapat dari artikel bertema 
"Memajukan desaku dengan program Experiential Learning," Di sana, saya menjumpai paragraf beginiBagaimana dengan warga yang  rumahnya tidak digunakan dan ingin berjualan sehingga mendapatkan pendapatan dari kegiatan tersebut  tentu saja kami memperbolehkan berjualan  sebut saja yanto pedagang cilok didesa kami atau ibu joko penjual gorengan ditempat kami  mereka berjualasan disaat ada kegiatan dolan desa, kami meminta kepada penjual agar menjaga kebersihan linkungan dengan membuang sampah pada tempatnya , baik dari sampah dagangan mereka atau bukan kami mengajak pedangang untuk membuang sampah pada tempatnya.
Saya fokus pada Yanto pedagang cilok dan ibu joko penjual gorengan; teknis penulisan yang perlu direvisi saya abaikan dahulu.


Penulis, dalam konteks sebagai "duta promosi desa" mestinya bisa menjelasakan, Yanto dan Ibu Joko dengan lebih deskriptif, siapa mereka? Apakah pendapatan sehari-hari hanya dari jualan cilok dan gorengan? bagaimana kondisi keluarganya? apakah anak-anaknya sekolah dengan layak? apakah pendapatannya cukup untuk memenuhi hidup layak? Berapa sih pendapatan mereka jika ada program experiential learning? apakah meningkat signifikan? atau seperti apa hal-hal relevan lainnya yang patut diangkat dalam tulisan. Melalui teknis penulisan dan penalaran yang yang tepat, maka pembaca dibawa dalam pemahaman bahwa, "ooo benar ternyata program EL bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk desa itu."



 Apa yang terjadi jika kita gagal mengorganisir aneka pengalaman serta data-data primer dan sekunder lainnya dalam penulisan artikel? Bisa jadi seperti ilustrasi di bawah ini, ruwet... amit-amit deh, semoga tidak terjadi pada kita



Pengalaman yang tidak diorganisir dengan baik (tanpa tujuan jelas) hanya menciptakan keruwetan saja.

MENGEMBANGKAN PARAGRAF

Paragraf adalah karangan mini yang fokus hanya pada satu topik saja (sudah dibahas dalam pertemuan sebelumnya lho). Satu paragraf dirangkai dengan paragraf-paragraf lain membentuk satu artikel utuh yang idealnya juga membahas tema yang integral.
Paragraf dapat kita golongkan dalam beberapa kategori; salah satu yang sudah dibahas yaitu berdasarkan penalarannya (deduksi, induksi, deduksi-induksi, dan induksi-deduksi)

Berdasar posisi dalam artikel, paragraf dapat dibagi menjadi:

Paragraf Pengantar



Ibarat tamu, penulis perlu "mengetuk pintu rumah" pembaca sebelum bertamu, menjelaskan seperlunya apa perlunya pembaca membaca "menerima" tamu (baca: membaca artikel yg ditulis penulis). Pengantar yang baik akan berhasil membuat pembaca membuka diri dengan empati atau gairah untuk segera membaca artikel. Supaya meningkatkan kadar keberhasilannya, paragraf pengantar ini sebaiknya:

  • Menunjukkan pokok persoalan yang mendasari pembahasan,
  • Mengungkapkan latar belakang kenapa tulisan ini penting,
  • Menyatakan tesis atau ide sentral tulisan,
  • Menyatakan posisi/ maksud penulis sebagai persiapan masuk ke paragraf pengembang

Paragraf Pengembang

Paragraf Pengembang berperan sebagai "daging" dalam artikel yang berfungsi menerangkan atau menguraikan pokok bahasan. Apa saja hal yang diuraikan bisa berupa:
  • Menguraikan, mendeskripsikan, membandingkan, menghubungkan, menjelaskan, atau menerangkan.
  • Mendukung suatu konsep melalui alasan, argumentasi, pembuktian, contoh, fakta, rincian, atau pembuktian tertentu.
  • Menolak suatu konsep melalui alasan, argumentasi, pembuktian, contoh, fakta, rincian, atau pembuktian tertentu.

Paragraf Peralihan

Paragraf Peralihan terletak di antara paragraf utama dengan fungsi menghubungkan pembahasan antarparagraf utama supaya peralihan topik bisa terjadi secara mulus.

Paragraf Penutup.

Paragraf penutup merupakan bagian pengakhiran suatu artikel. Jangan sampai kita sedang membaca suatu pembahasan dengan seru, tiba-tiba tulisan sudah selesai tanpa ada penjelasan. Paragraf penutup yang baik biasanya ditandai dengan:
  • Menginformasikan bahwa pembahasan suatu tema tertentu sudah selesai,
  • Mengingatkan atau menegaskan pentingnya tema yang dibahas,
  • Menyajikan suatu simpulan pembahasan,
  • Menyampaikan pesan/ harapan penulis pada para pembaca.


Urusan Experiential Learning


Satu hal penting lain yang perlu saya sampaikan pada para peserta mentoring adalah urusan (penjelasan) experiential learning. Hal ini saya angkat karena sebagian penulis mencantumkan frasa tersebut dalam tema atau tujuan penulisan artikel, namun saya perhatikan penjelasan tentangnya ada yang belum memadahi.
Mencantumkan frasa "experiential learning" memang bisa bikin artikel terlihat lebih keren, namun apakah sungguh hal tersebut memang harus dicantumkan? maksudnya begini. Di antara sekian banyak pengalaman pendampingan kita, mana sih yang memang masuk kategori "experiential learning"? penulis mestinya lebih tahu hal tersebut. Silakan telusuri berbagai literatur atau penjelasan tentang experiential learning supaya penulis juga sadar ketika menggunakan frasa itu, apa saja konsekuensinya. Jadi, jangan asal ada kegiatan semacam permainan A, langsung disebut dengan experiential learning, ada games B juga disebut dengan experiential learning, demikian juga aktivitas C, D, E, dan seterusnya. Baiklah, saya tidak mau masuk dalam konten apa itu disebut dengan experiential learning, namun lebih menyoroti konteks kenapa para Fasilitator perlu menyadari hal ini ketika menuliskannya dalam suatu artikel.


Beberapa konteks yang relevan:


  1. Penulis adalah para Fasilitator Experiential Learning/ Fasel yang diasumsikan oleh pembaca itu paham tentang apa itu (bentuk) experiential learning. Mari kita secara kolektif menghindari terbentuknya opini dari para pembaca artikel kita akan anggapan keliru tentang  experiential learning, semisal "Ah ternyata hanya gini gini gini itu disebut dengan experiential learning tho? kalo hanya gitu, saya juga bisa melakukannya" mengapa kecelakaan anggapan tersebut bisa terjadi? karena mungkin kita para penulis juga secara gegabah mencontohkan experiential learning tanpa penjalasan yang cukup, jadi seolah-olah banyak hal remeh temeh itu boleh disebut dengan experiential learning.
  2. Lebih penting dari urusan salah asumsi, misi kita para fasilitator penulis adalah menjelasakan pada masyarakat luas apa itu experiential learning. Maka mari kita berikan penjelasan yang memadahi jika tema kita menyangkut urusan experiential learning. Mari kita bangun persepsi dalam masyarakat bahwa ada teori/ rumusan/ pendekatan tertentu supaya experiential learning bisa dilaksanakan dengan baik, Fasilitatornya pun perlu kompetensi khusus dalam menjalankan perannya. Ingat-ingat, betapa serunya dapat sertifikasi Fasel kan, he he he...


Mengulik urusan experiential learning ini mengingatkan saya pada salah satu kredo tukang listrik yang pernah saya temui. Jika tahu tentang seluk beluk kelistrikan, jangan takut (untuk melakukan pekerjaan instalasi listrik). Namun sebaliknya, jika tidak tahu urusan kelistrikan , jangan sok berani (untuk melakukan pekerjaan instalasi listrik). Kredo yang bagi saya masuk akal banget, kalo tahu jangan takut; tapi kalo tidak tahu, jangan sok berani, bisa kesetrum nanti malah.

Nah, dalam urusan menuliskan perihal experiential learning bagi para fasilitatornya juga sama. Kalau kita belum tahu, ya cari tahu dahulu, baru menuliskannya. Tapi jika sudah tahu, ya ayo edukasi pembaca dengan menuliskan apa itu experiential learning.


Yeah, unek-unek terakhir sudah saya sampaikan, sebagai mentor sekaligus pemerhati experiential learning.



Kini saatnya mengakhiri proses materi mentoring dengan beberapa tips bagi teman-teman penulis yang masih gamang menuntaskan artikelnya dengan daging yang gurih. Lis cek berikut ini, makin banyak jawaban YA nya berarti mendekatkan penulis pada kesuksesan penulisan artikel ELnya.


  1. Apakah artikel saya sudah mempunyai tema, tujuan dan tesis yang jelas?
  2. Apakah saya sudah mempunyai kerangka tulisan?
  3. Apakah saya sudah menggali aneka pengalaman sebagai data primer pengisi tulisan?
  4. Apakah saya sudah mencari data sekunder (foto, grafik, gambar, ilustrasi, kuisioner, dsb) sebagai pengisi tulisan? 
  5. Apakah saya sudah menghubung-hubungkan segala data primer dan sekunder sesuai dengan tema?
  6. Apakah saya sudah menghapus pengalaman/ data/ yang tidak relevan dengan tema?
  7. Apakah saya sudah membuat kalimat yang baik guna menyampaikan sesuatu secara singkat padat dan jelas?
  8. Apakah saya sudah membuat tiap paragraf hanya fokus pada 1 topik saja?
  9. Apakah saya sudah membuat paragraf pengantar?
  10. Apakah saya sudah merangkaikan tiap paragraf sehingga nyambung dalam mengupas tema?
  11. Apakah saya sudah membuat paragraf penutup?
  12. Apakah saya sudah mendapatkan judul yang menarik?
  13. Apakah saya sudah mendapat umpan balik/ koreksi artikel dari orang lain?
  14. Apakah saya sudah melakukan inkubasi (mendiamkan artikel 1-3 hari tanpa memikirkannya) dalam proses menulis artikel?
  15. Apakah saya sudah siap mempublikasikan artikel?

Salah satu kreasi menghubung-hubungkan pengalaman.
Selamat menuntaskan artikel, sehingga "Apa Sih, Maunya Tulisanmu?" bisa terjawab dengan tuntas


Brebes, Jumat, 5 Juni 2020

dibuat dalam kondisi kurang ideal karena hanya ditulis dalam waktu 4 jam  sekaligus (belum sarapan pula) supaya deadline tidak meleset.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar