Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Mengata-ngatai Artikel

Paman kami belum menikah

Paman, kami belum menikah.
Paman kami, belum menikah.
Paman, kami, belum menikah.

Perhatikan 3 kalimat di atas yang kata-katanya sama. Ternyata bisa punya 3 arti yang berbeda, "hanya" ketika penempatan tanda baca "koma" mengalami pergeseran. Tidak perlu heran ya, karena bukan suatu keajaiban jika tanda baca ternyata bisa mengubah makna.

Tulisan " Mengata-ngatai Artikel" ini merupakan bagian dari proses "mentoring menulis artikel" bagi belasan teman-teman fasilitator experiential learning yang hendak menuangkan pengalaman pendampingannya dalam suatu artikel. Materi yang dituliskan sudah pernah dibahas dalam proses, ini saya masukkan blog supaya tidak tercecer saja.

Beberapa  tulisan pada pos sebelumnya, bisa ditengok mulai dari sini saja ya

Pada pos ini, kita akan melanjutkan pendalaman mengenai bagaimana suatu artikel dikata-katai, atau maksudnya bagaimaka merangkaikan kata guna membentuk suatu artikel.
Beberapa rujukan dalam Pos ini diambil dari buku "Bahasa Indonesia" karangan Widjono Hs., dan buku "Menulis dan berpikir Kreatif" karya Ayu Utami.

Mari kita mulai.


Menulis artikel pada dasarnya adalah menyajikan sesuatu pada pembaca. Media tulisan menjadi kesepakatan bersama guna menjadi alat yang memfasilitasi proses penyampaian pesan tadi. Supaya ada ketaraturan, dan terlebih kesamaan maksud antara penulis dan pembaca, maka diperlukan suatu kepatuhan terhadap kaidah tata-tulis, khususnya dalam bahasa Indonesia.

Mengapa kita perlu menulis dengan bahasa “yang baik dan benar”? apa itu bahasa “yang baik dan benar”? Untuk menjawabnya, kita bisa mulai dengan pertanyaan mendasar: kenapa kita tidak merasa cukup dengan menggunakan bahasa lisan saja? kenapa kita menulis? 
Kita menulis sebab kita ingin membuat pikiran dan kata-kata kita lebih jelas, lebih berbentuk, “terpegang” (tangible), abadi (daripada bunyi yang segera hilang begitu saja), dan lebih mengikat. Kita mau membikin kontrak.
Zaman dulu, saat teknologi bgt sederhana, maklumat ditatah pada batu dengan tujuan yang persis sama seperti kita mau menulis saat ini.
Dengan demikian, untuk bisa difahami dan dipercaya bersama, tulisan perlu memenuhi kaidah-kaidah yang disepakati bersama pula.

Hal penting untuk kita perhatikan adalah, adanya beberapa konsekuensi yang perlu disikapi terkait perbedaan bahasa lisan/ bunyi dan tulisan. Sadarlah, sebagian besar dari kita sudah sangat akrab dengan bahasa lisan, sehingga sering tidak menyadari bahwa berbahasa secara lisan/ langsung itu tidak sama persis dengan tulisan. Ketidaksadaran ini kerap membuat seorang penulis (merasa) sudah menyampaikan pemikirannya dengan bahasa tulisan sehebat dia pikir, namun ternyata apa yang ditangkap si pembaca tidaklah seperti ekspektasi penulis. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh perspektif penulis yang masih terbaurkan oleh bahasa lisan dalam teknik menulisnya.

Dalam bahasa lisan, ada tekanan, nada, dan unsur-unsur bunyi yang memperjelas pesan. Hal-hal tersebut tidak ada dalam bahasa tulisan. Untuk mengatasinya, diperlukan strategi yang jitu. Pertama, penulisan ejaan dan tanda baca harus benar. Kedua, kalimat harus utuh dan jelas. Ketiga, unsur-unsur dalam bahasa lisan yang hilang direkonstruktsi dengan perangkat tambahan.

KALIMAT

Kalimat efektif adalah kalimat yang singkat, padat, jelas, lengkap, dan dapat menyampaikan informasi secara tepat. Kalimat disebut singkat karena hanya menggunakan unsur yang diperlukan saja. Tiap unsur kalimat benar-benar punya peran membentuk makna, tanpa ada kata yang tidak punya fungsi, apalagi justru malah mengaburkan konten. Sifat padat, diartikan sebagai sarat dengan informasi yang diperlukan. Sifat jelas berarti kalimat jelas struktur dan maknanya. Sifat lengkap dalam suatu kalimat berarti mengandung makna kelengkapan struktur secara gramatikal guna menyampaikan gagasannya.


Kalimat efektif akan mengomunikasikan pikiran atau perasaan penulis pada pembaca secara tepat, tanpa keraguan, salah info, atau salah makna. Sebaliknya kalimat yang tidak efektif berpotensi menyampaikan pemikiran yang secara keliru, bahkan salah, antara yang dimaui penulis dengan yang ditangkap pembaca.

Ciri-ciri kalimat efektif:
Keutuhan, kesatuan, kelogisan, atau kesepananan makna dan struktur.
kefokusan pemikiran sehingga mudah dipahami
Kehematan unsur kalimat
Kecermatan dan kesantunan
Kevariasian kata dan struktur sehingga menghasilkan kesegaran bahasa.

Contoh kesalahan struktur dalam penulisan kalimat.

1.       Kata aktif tanpa subyek.
-          Menurut panitia mengatakan peserta harus segera masuk ke ruang makan. (salah)
-          Panitia mengatakan peserta harus segera masuk ke ruang makan (betul)
2.       Menempatkan kata depan di depan subyek.
-          Di bumi perkemahan memiliki lapangan yang cukup untuk bermain sepak bola. (salah)
-          Bumi perkemahan memiliki lapangan yang cukup untuk bermain sepak bola. (betul)
-          Di bumi perkemahan terdapat lapangan yang cukup untuk bermain sepak bola (betul)
3.       Tanpa predikat
-          Fasilitator yang mengamati peserta di Pos III. (salah)
-          Fasilitator mengamati peserta di Pos III. (betul)
4.       Menempatkan kata depan di depan obyek.
-          Peserta mendiskusikan tentang pengalaman mendaki bukit. (salah)
-          Peserta mendiskusikan pengalaman mendaki bukit. (betul)
5.       Menempatkan kata penghubung intrakalimat tunggal pada awal kalimat.
-          Kelompoknya cekatan. Sehingga dapat menyelesaikan permainan lebih cepat. (salah)
-          Kelompoknya cekatan sehingga dapat menyelesaikan permainan lebih cepat. (betul)
6.       Kalimat hanya berupa “anak kalimat” atau klausa, atau penggabungan anak kalimat.
-         Meskipun sudah sering menjelajah hutan, tetapi ia tetap mendengarkan pendapat anggota kelompoknya. (salah)
-          Meskipun sudah sering menjelajah hutan, ia tetap mendengarkan pendapat anggota kelompoknya. (betul)
7.       Salah urutan
-          Tenda itu sudah saya lipat. (salah)
-          Saya sudah melipat tenda itu. (betul)
                                 
Contoh kesalahan diksi dalam penulisan kalimat.

1.   Menggunakan kata yang bersinonim atau punya arti sama, misal agar supaya, adalah merupakan, bagi untuk, demi untuk, naik ke atas, turun ke bawah, dan lain-lain.
-    Ia selalu bekerja keras agar supaya mampu menjadi fasilitator yang berkualitas. (salah)
-    Ia bekerja keras supaya mampu menjadi fasilitator yang berkualitas (betul)
2.   Menggunakan kata tanya yang tidak menanyakan sesuatu, misal: di mana, yang mana, bagaimana, mengapa, dll.
-    Pos di mana kami bermain air dijaga oleh fasilitator yang cantik (salah)
-    Pos tempat kami bermain air dijaga oleh fasilitator yang cantik (benar)
-    Peristiwa yang mana membuat kelompok kami terpisah, terjadi sekitar 4 jam lalu. (salah)
-    Peristiwa yang membuat kelompok kami terpisah, terjadi sekitar 4 jam lalu. (benar)

3.   Menggunakan kata berpasangan yang tidak sepadan, misal: tidak hanya – tetapi (salah), seharusnya tidak-tetapi (benar) ; atau tidak hanya- tetapi juga (benar), bukan hanya- tetapi juga (salah), seharusnya bukan hanya – melainkan juga (benar).
-     Fasilitator di Pos 5 tidak hanya banyak, tetapi sangat teliti (salah)
-     Fasilitator di Pos 5 banyak, juga sangat teliti (benar)
-     Fasilitator di Pos 5 bukan hanya banyak, melainkan juga sangat teliti (benar)
4.   Menggunakan kata berpasangan secara idiomatik yang tidak bersesuaian. Misal sesuai bagi (salah), seharusnya sesuai dengan (betul), membicarakan tentang (salah), seharusnya berbicara tentang (betul) atau membicarakan sesuatu (betul)
-     Tugas itu sesuai bagi minat orang tersebut (salah)
-     Tugas itu sesuai dengan minat orang tersebut (betul)

Contoh-contoh lebih banyak tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, bisa langsung dipelajari saja melalui tautan ini ya.


PARAGRAF

Paragraf merupakan bagian dari suatu karangan/ artikel berupa kumpulan beberapa kalimat yang menjelaskan topik tertentu. Paragraf yang baik harus memenuhi syarat kesatuan, kepaduan, keruntutan, ketuntasan dan konsistensi penggunaan suatu pandang. Satu paragaraf harus terdiri dari satu topik saja yang kontennya diwakili dengan suatu kalimat utama saja, lalu disertai dengan beberapa kalimat penjelas. Posisi kalimat utama bisa berada di awal paragraf (kalimat pertama), di tengah, atau di akhir paragraf (kalimat terakhir).
Namun, ada pula paragraf tanpa kalimat topik, yaitu jenis paragraf yang hanya menjelaskan/ mendiskripsikan sesuatu. Misal, kronologi peserta outbound berangkat, mulai dari kumpul di kantor, berangkat menggunakan bus, sampai urutan aktivitas di lokasi outbound. Dalam kasus semacam ini, kedudukan tiap kalimat adalah sama, tanpa ada topik utama.

4 pola paragraf berdasarkan posisi kalimat topik:
  1. Kalimat topik di awal (penalaran deduktif),
  2. Kalimat topik di akhir (penalaran induktif),
  3. Kalimat topik di awal dan akhir (penalaran deduktif-induktif), dan
  4. Kalimat topik di tengah (penalaran induktif-deduktif)

Kini kita akan membaca beberapa contoh paragraf yang punya kalimat topik serta kalimat pendukung yang sama, yaitu:
Kalimat topik: Fasel perlu kreatif dalam membuat program EL saat “normal baru”
Kalimat pendukung:
-          Kegiatan EL diperlukan dalam masa normal baru
-          Normal baru membawa perubahan dalam pola kegiatan EL
-          Fasilitator perlu membuat program EL dengan menyesuaikan protokol kesehatan

Contoh paragraf dengan penalaran deduktif (kalimat topik di awal)
Kreativitas memodifikasi program experiential learning mutlak dilakukan oleh para fasilitator jika programnya mau “dibeli” kembali oleh klien pada masa normal baru ini. Pada masa pascapandemi virus corona 19 ini, masyarakat justru memerlukan program-program edukasi yang tepat supaya bisa melakukan pembiasaan diri. Experiential learning atau dikenal dengan istilah outbound sebetulnya bisa menjadi pilihan yang efektif guna menunjang misi tersebut. Namun, pola-pola outbound yang lama tentu harus ditinjau lagi karena mungkin sebagian besar aktivitasnya dibuat dalam kondisi normal dan tanpa syarat-syarat khusus. Para Fasel kini perlu melakukan kajian ulang terhadap semua pengalaman pendampingannya untuk membuat aktivitas baru supaya bisa dilaksanakan kembali sesuai protokol kesehatan yang berlaku.
Contoh paragraf dengan penalaran induktif (kalimat topik di akhir)
Masa normal baru sudah datang pascapandemi virus covid 19, ditandai dengan berbagai protokol baru dalam bidang kesehatan. Kegiatan experiential learning sebetulnya bisa diangkat sebagai salah satu pilihan program penyesuaian bagi masyarakat dalam upaya pembiasaan aneka protokol atau norma baru tersebut. Jika dalam masa normal sebelum pandemi para fasilitator bisa melakukan berbagai ragam bentuk experiential learning, hal yang sama kini tidak bisa dilakukan lagi karena pemerintah menentukan berbagai syarat guna melaksanakan sebuah aktivitas komunal. Program experiential learning sebagai bentuk media pembelajaran tentu wajib dilaksanakan sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Para fasilitator kini dituntut untuk kreatif membuat atau memodifikasi program experiential learning yang dibaharui, supaya layak dilaksanakan di masa normal baru ini.

Contoh paragraf dengan penalaran deduktif-induktif (kalimat topik di awal dan akhir)
Fasel yang tidak mau memodifikasi program-program experiential learning konvensional untuk digunakan dalam masa normal baru, harus siap-siap gigit jari karena terancam jadi pengangguran. Pascapandemi virus corona 19, masyarakat akan segera masuk dalam masa normal baru, yang sampai sekarang panduaannya masih terus disempurnakan oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan lain. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan experiential learning bisa menjadi salah satu alternatif dalam menyiapkan suatu komunitas dalam melakukan penyesuaian sekaligus konsolidasi menghadapi pola-pola hidup baru tersebut. Para fasilitator experiential learning juga dituntut untuk bisa melaksanakan program pembelajaran dengan menyesuaikan protokol kesehatan yang diberlakukan pemerintah. Mungkin seorang fasilitator sudah punya banyak pengalaman menangani program experiential learning atau outbound, namun semua perlu dimodifikasi secara kreatif supaya bisa dilaksanakan kembali dalam konteks pemenuhan protokol pencegahan penularan virus corona.
Contoh paragraf dengan penalaran induktif (kalimat topik di akhir)
Masa normal baru sudah datang pascapandemi virus covid 19, ditandai dengan berbagai protokol baru dalam bidang kesehatan. Kegiatan experiential learning sebetulnya bisa diangkat sebagai salah satu pilihan program penyesuaian bagi masyarakat dalam upaya pembiasaan aneka protokol atau norma baru tersebut. Jika dalam masa normal sebelum pandemi para fasilitator bisa melakukan berbagai ragam bentuk experiential learning, hal yang sama kini tidak bisa dilakukan lagi karena pemerintah menentukan berbagai syarat guna melaksanakan sebuah aktivitas komunal. Program experiential learning sebagai bentuk media pembelajaran tentu wajib dilaksanakan sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Para fasilitator kini dituntut untuk kreatif membuat atau memodifikasi program experiential learning yang dibaharui, supaya layak dilaksanakan di masa normal baru ini.

Contoh paragraf “galau,” yang mungkin mencerminkan aneka kegelisahan si penulis dan ingin dituangkan hanya dalam 1 paragraf saja.
Fasel yang tidak mau memodifikasi program-program experiential learning konvensional untuk digunakan dalam masa normal baru, harus siap-siap gigit jari karena terancam jadi pengangguran. Bagaimana mungkin memandu permainan dalam outbound jika semua peserta menggunakan masker dan ada batasan jarak 1 meter antarpeserta? Biaya tes kesehatan sebelum program pasti juga akan membebani peserta dalam pembiayaan program experiential learning. Dalam protokol kesehatan di masa normal baru, pemerintah menetapkan aturan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembelajaran experiential learning. Hal tersebut membuat program outbound tidak bisa dilakukan dengan cara yang lama, kecuali oleh para fasilitator yang kreatif. Kenyataan pahit ini harus diterima oleh para fasilitator. Berubah atau punah, walau biaya outbound tambah mahal.


Hmmm... ternyata banyak ya variasi cara menuangkan gagasan dalam paragraf. Silakan kita bisa memilih menggunakan pendekatan yang mana, yang penting fungsi paragraf sebagai sebuah "karangan mini" memang padu, runtut, dan tuntas dalam menjelasakan satu topik saja. Ingat, satu paragraf satu topik saja ya. Seandainya kita punya banyak hal yang hendak disampaikan, toh kita masih punya keleluasaan dalam membuat paragraf berikutnya.

.........bersambung.......


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar