Manusia adalah “Homo Ludens” atau mahkluk
bermain. Tak akan pernah lekang semangat bermain dalam diri manusia, pun secara
umur, dia sudah menginjak dewasa, bahkan lanjut usia. Bermain selalu menawarkan
kegembiraan dan gairah yang membuncah, ditingkah sedikit misteri, siapa
pememang dari permainan tersebut.
mahkluk bermain |
Ya, sebagai homo ludens, peluang metode
“bermain” jauh lebih besar digunakan untuk mendidik/ mengembangkan karakter
seseorang daripada sekedar “belajar” secara formal. Apakah kita bisa menggunakan
metode bermain untuk mengembangkan karakter seseorang? Bisa, asal permainan tersebut
dilakukan dengan serius, dalam arti kita tahu metodenya. Catatan ini akan
memberi penegasan bahwa ada metode, yang sungguh tepat diterapkan untuk
mengembangkan karakter, yaitu experiential
learning.
Perkembangan Metode “Pendidikan berbasis Petualangan”
Ketika istilah permainan lalu diluaskan menjadi
sebuah “experience” atau pengalaman, maka ternyata ada metode yang memang sudah
berkembang sejak awal abad ke-20; yaitu metode experiential learning; atau belajar melalui pengalaman, atau
pendidikan pengalaman Metode ini mulai dikenal sejak tahun 1907, saat Baden
Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai
“permainan” tersebut bertujuan
membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa
patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt
melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan
emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari
gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di
lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan
perang. Materi utama pelatihan yang
dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan,
percaya diri dan saling
bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap
berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School.
Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan
pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey
menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode
pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan
nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan
kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui
pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner,
seorang Amerika yang pernah berkarya di
Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS.
Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke
berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan
pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb
merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective
Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa
seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke
Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah
lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Pada
tahun-tahun pertama, hanya perusahaan-perusahaan kelas “atas” di Indonesia yang
bisa mengikutkan karyawannya dalam pelatihan di tempat ini.
Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai
penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa
petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun
beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang
merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer
menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna
tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari
dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini
belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan
(melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof.
Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan
Sumber Daya Manusia.”
Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode
pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/
Asosiasi Experiential Learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak
ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,”
kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya
kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah
dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan
meningkatkan kualitasnya demi
pengembangan karakter manusia Indonesia. Sampai akhir tahun 2016 ini, AELI sudah
tersebar di 14 provinsi, dan akan terus mengembangkan dirinya.
Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah
Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan
sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator
experiential learning. Walau
sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi
utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential
learning.
Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan
berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia
kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola
pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah
saja.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar