Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Pendidikan Berbasis Petualangan (1/2)


Manusia adalah “Homo Ludens” atau mahkluk bermain. Tak akan pernah lekang semangat bermain dalam diri manusia, pun secara umur, dia sudah menginjak dewasa, bahkan lanjut usia. Bermain selalu menawarkan kegembiraan dan gairah yang membuncah, ditingkah sedikit misteri, siapa pememang dari permainan tersebut.
mahkluk bermain

Ya, sebagai homo ludens, peluang metode “bermain” jauh lebih besar digunakan untuk mendidik/ mengembangkan karakter seseorang daripada sekedar “belajar” secara formal. Apakah kita bisa menggunakan metode bermain untuk mengembangkan karakter seseorang? Bisa, asal permainan tersebut dilakukan dengan serius, dalam arti kita tahu metodenya. Catatan ini akan memberi penegasan bahwa ada metode, yang sungguh tepat diterapkan untuk mengembangkan karakter, yaitu experiential learning.

Perkembangan Metode “Pendidikan berbasis Petualangan”

Ketika istilah permainan lalu diluaskan menjadi sebuah “experience” atau pengalaman, maka ternyata ada metode yang memang sudah berkembang sejak awal abad ke-20; yaitu metode experiential learning; atau belajar melalui pengalaman, atau pendidikan pengalaman Metode ini mulai dikenal sejak tahun 1907, saat Baden Powell, mengadakan Perkemahan Kepanduan pertama di Brownsea Island, Inggris. Kegiatan yang sebagian besar diisi dengan berbagai “permainan” tersebut bertujuan membentuk karakter pemuda supaya kuat, ulet, berwaswasan, ksatria, mampu bertahan di alam, dan berjiwa patriot.
Pada era Perang Dunia II, Kurt Hahn dan Sir Lawrence Holt melakukan pelatihan selama 28 hari untuk menggembleng fisik, intelektual, dan emosi pelaut muda Inggris menghadapi pelayaran niaga yang tak luput dari gempuran kapal selam Jerman. Saat itu banyak pelaut muda Inggris yang mati di lautan akibat kurang mempunyai jiwa survival saat terjebak dalam kekacauan perang.  Materi utama pelatihan yang dikenal dengan nama Outward Bound tersebut adalah: kerjasama, keterbukaan, percaya diri dan saling bantu, serta prinsip navigasi dan perkapalan. Ternyata metode tersebut dianggap berhasil, sehingga Kurt Hahn mendirikan sekolah kedua yaitu Gordonstoun School. Nama “Outward Bound” pun dalam perkembangannya menjadi sebuah merek dagang pelatihan pengembangan karakter.
Pada tahun 1938, John Dewey menerbitkan buku “Experience and Education” yang terinspirasi oleh metode pendidikan Kurt Hahn. Dewey berpendapat bahwa siswa perlu mendapat keseimbangan nilai, antara “kegiatan yang menantang sebagai pembentuk karakter” dengan kegiatan akademis. Ia meyakini bahwa pendidikan sejati terbentuk melalui pengalaman.
Pada tahun 1962, Josh Miner, seorang Amerika yang pernah berkarya di  Gordontoun School mendirikan Outward Bound School di Colorado, AS. Setelah momen ini, Outward Bound School akhirnya lebih cepat menyebar ke berbagai belahan dunia. Metode yang diusung tetap sama, yaitu model Kurt Hahn yang menekankan pengalaman petualangan/ tantangan.
Pada 1967, David Kolb, menggagas Experiential Based Learning System. Kolb merilis 4 tahapan experiential learning yang paling banyak dirujuk, yaitu: Concrete Experience, Reflective Observation, Abstrac Conceptualization, dan Active Experimentation. Gagasan dasarnya adalah bahwa seseorang bisa belajar melalui pengalaman.
Sejarah pendidikan melalui petualangan masuk ke Indonesia pada tahun 1990, ketika Outward Bound Indonesia berdiri di tepian Waduk Jatiluhur Purwakarta, Jawa Barat. Ini adalah lembaga yang rintisannya dibuat oleh Kurt hahn pada tahun 1914. Pada tahun-tahun pertama, hanya perusahaan-perusahaan kelas “atas” di Indonesia yang bisa mengikutkan karyawannya dalam pelatihan di tempat ini.
Selepas pertengahan tahun 90an, mulai bermunculan berbagai penyelenggara pelatihan/ provider yang mengusung model pelatihan yang bernuansa petuangan/ permainan/ simulasi, terutama di luar ruangan. Penamaannya pun beragam, termasuk yang sangat populer adalah Outbound. yang merupakan perkembangan penyebutan dari “outward bound.” Outbound secara populer menggambarkan sebuah proses pelatihan di luar ruangan yang disisipi makna-makna tertentu dalam refleksinya. Istilah outbound sendiri sebenarnya serapan dari dunia pariwisata yang berarti bepergian ke luar negeri. Pun istilah experiential learning sampai saat ini belum menemukan padanan yang tepat dalam Bahasa Indonesia, selain “Pendidikan (melalui) Pengalaman.”
Pada tahun 2002, Prof. Djamaluddin Ancok menulis buku “Outbound Management Training; Aplikasi Ilmu Perilaku dalam Pengembanan Sumber Daya Manusia. Penerbitan buku ini seakan-akan menjadi “pengesahan” bahwa ada metode pendidikan/ pelatihan yang bernama outbound.
Pada tahun 2007, Berdiri AELI/ Asosiasi Experiential Learning Indonesia atas keprihatinan bahwa mulai banyak ditemukan persaingan kurang sehat antar penyelenggara kegiatan “outbound,” kecelakaan dalam proses pelatihan juga meningkat, serta mulai ditinggalkannya kaidah pendidikan dalam pelatihan-pelatihan luar ruangan. AELI menjadi wadah dan mitra bagi pengguna metode experiential learning untuk memasyarakatkan dan meningkatkan kualitasnya demi  pengembangan karakter manusia Indonesia. Sampai akhir tahun 2016 ini, AELI sudah tersebar di 14 provinsi, dan akan terus mengembangkan dirinya.
Akhirnya, pada tahun 2015 Pemerintah Indonesia melalui BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi) sudah melakukan sertifikasi/ uji kompetensi bagi para pemandu outbound/ fasilitator experiential learning. Walau sekedar “bermain-main,” ternyata fasilitatornya harus menguasai 9 kompetensi utama, termasuk memfasilitasi kegiatan pembelajaran dengan metode experiential learning.

Menilik catatan sejarah, ternyata pendidikan berbasis pengalaman sudah dikembangkan dengan serius, walaupun di Indonesia kurang terasa gaungnya. Mungkin karena kita terlalu mengagungkan pola pendidikan tradisional yang kental dengan penyampaian materi secara satu arah saja. 

(bersambung)
Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog