Bagaimana experiential learning mewujud dalam suatu program pelatihan? Ya,
itulah tujuan utama catatan ini, berusaha memahamkan bahwa ternyata (ilmu dan
pengetahuan) experiential learning
itu sangat banyak dan beragam sehingga bisa digunakan untuk mengefektifkan
suatu kegiatan pelatihan.
Kegiatan pelatihan yang akan saya
ceritakan ini sekedar contoh, dari ratusan program pelatihan yang pernah libati.
Saya ambil studi kasus untuk 1 perusahaan BUMN yang dalam 2 tahun terakhir
pernah saya libati lebih ari 6 kali program. Saya akan menceritakan sesederhana
mungkin, dengan item-item yang pada kesempatan lain bisa diperdalam lebih
lanjut melalui pembacaan buku/ catatan atau bahkan pertemuan pelatihan experiential learning . Yuk segera saja kita nikmati
Perusahaan ingin mengembangkan 8 kompetensi
para karyawannya, melalui suatu program pelatihan 3 hari 2 malam dengan metode
bermukim menggunakan tenda/ kemping. Kedelapan kompetensi tersebut adalah: Costumer
Service Orientation, Achievement
Orientation, Continuous Learning, Analytcal Thinking, Developing Others, Teamwork, Leadership, dan Concern For Order. Saya nggak tahu kenapa perusahaan
yang berada di Indonesia dan karyawannya orang Indonesia, pernyataan kompetensinya
menggunakan Bahasa Inggris, walau keyakinan saya, yang membuat juga orang
Indonesia, hadewww… sudahlah nggak usah dibahas yang itu ya.
Tiap kompetensi memunyai kata kunci, dan
diskripsi prilaku. Sebagai contoh nih,
kompetensi “Teamwork” punya kata kunci “Bekerjasama
dalam unit kerja,” yang berdiskripsi prilaku, “Terlibat aktif membangun kerjasama dengan
meminta pendapat dan mendistribusikan informasi yang relevan serta bermanfaat
bagi semua anggota gugus/unit kerja, menghargai perbedaan pendapat, dan
memberdayakan anggota dalam mencapai sasaran.” Gimana, mulai pusing ya, membacanya, he he he… Itu baru 1 kompetensi, masih
ada 7 lagi, kok.
Item-item tersebut masih diturunkan
lagi disertai parameter dan alat ukur penilaiannya yang agak rumit. Saya tidak
jelaskan di sini segala kerumitan tersebut karena pasti akan membosankan. Yang
jelas, perusahaan punya suatu ketentuan baku untuk pengembangan kompetensi
karyawannya, mulai dari apa yang hendak dikembangkan, prinsip cara mengukurnya,
berapa lama waktunya, siapa saja yang boleh melaksanakan pengukuran, ketentuan
tempatnya bagaimana, termasuk bagaimana format laporannya juga diatur, komplet.
Celakanya, ketentuan tersebut terbatas pada acuan prinsip saja, sedangkan penerjemahannya
bisa bervariasi melalui berbagai aktivitas penugasan/ permainan selama 3 hari.
Nah, serunya
lagi, perusahaan tersebut tidak boleh melaksanakan sendiri program tersebut,
dia harus menunjuk pihak lain yang kompeten untuk melaksanakannya. Siapa pihak
lain yang kompeten? Sebut saja itu vendor/ tim trainer/ fasilitator. Jika diumpamakan dalam urusan jamuan makan,
maka menu prinsipnya sudah ditentukan (perusahaan), misal mengandung nasi, ikan
mas, telur, sayur kangkung, sayur bayam,
dan buah mangga. Nah, urusan bagaimana natura tersebut diolah dan dihidangkan, itu
diserahkan pada tim koki (tim fasilitator). Jika diumpamakan dalam dunia
arsitektur, maka sang pemilik rumah (perusahaan) sudah menentukan perlu ruangan
apa saja di rumah yang akan dibangunnya. Si Arsitek (pembuat program) lalu
membuat disainnya, dan kontraktorlah (pelaksana program) yang membangunnya.
Bagi tim fasilitator, inilah tahap
yang disebut dalam SKKNI Kepemanduan Outbound sebagai kompetensi Merencanakan
Program Kegiatan Pembelajaran. 8 kompetensi
yang dituntutkan perusahaan untuk dikembangkan pada peserta pelatihan, diterjemahkan
dalam rangkaian aktivitas/ dinamika/ permainan yang dilengkapi aspek pengukuran
kompetensinya. Tentu perlu keilmuan dan pengalaman tertentu guna membuat rancangan
program yang tepat, setuju kan?
Setelah progam dirancang dan
disetujui oleh perusahaan, maka langkah selanjutnya adalah menyiapkan
eksekusinya. Dalam SKKNI Kepemanduan Outbound, peristiwa tersebut dinamai Mengatur Sumber Daya untuk Program. Serangkaian dengan pengaturan sumber daya, kami
tentu saja mengadakan survei ke lokasi kegiatan. Saat survei, kami melakukan
penyesuaian antara konsep aktivitas dengan kondisi lapangan. Tak lupa, kami
juga Menganalisis Resiko Dalam Kegiatan, yang kompetensinya diatur juga dalam SKKNI Kepemanduan Outbound.
Ya, segala sesuatu sumber daya
manusia dan peralatan serta penunjang lainnya kami atur sedemikian rupa
berkelindan dengan analisis resiko, sehingga menyamankan kami untuk memulai
program.
Saat semua sudah siap, tibalah Hari-Ha
ketika program dimulai. Setelah serah terima dari pihak perusahaan ke kami,
maka dimulailah kegiatan yang dalam SKKNI Kepemanduan outbound disebut dengan “Melaksanakan
Program Kegiatan Pembelajaran.” Tak
perlu-lah saya detilkan di catatan ini, betapa kompetensi membelajarkan peserta
pelatihan itu memerlukan ilmu dan seni tersendiri; ilmu paling dibutuhkan ya
tentang “mengajar.”
Mendirikan tenda untuk bermukim selama pelatihan |
Karena mayoritas atau materi
pembelajaran dirumuskan dalam bentuk games / permainan, maka sepintas pelaksanaannya
sederhana karena seolah-olah fasilitator hanya memandu peserta dari permainan
satu ke permainan lainnya. Namun jangan salah lho, untuk bisa menjadi fasilitator permainan, perlu juga kompetensi
atau keahlian ilmu Mengelola Permainan. Kok belajar menggunakan
permainan, sih? Gimana itu? Oh ya, sejatinya
sasaran utama dari segala permainan tadi adalah bagaimana peserta dapat memetik
manfaat darinya. Singkatnya, bagaimana pengalaman “bermain” bisa dimaknai
sehingga menjadi pembelajaran, keren
khan…
Teorinya, ada 7 metode Memaknakan
Pengalaman, yaitu: Letting the
experience speak for itself, Speaking for the experience, Debriefing or
funnelling the experience, Directly frontloading the experience, Framing the
experience, Indirectly frontloading the experience, dan Flagging The Experience.
Itu tadi baru judul-judul metodenya, lho.
Kalau mau diperdalam, perlu seharian ikut pelatihan AELI tuh, hehehe…
Metode pemaknaan yang sering kami
gunakan dalam program pelatihan dimaksud adalah “debriefing” atau dikenal
dengan nama refleksi. Tiap malam (walau hanya dua malam, sih, hehehe…) diadakan pemaknaan pengalaman guna peserta
merefleksikan peristiwa hari tersebut. Ada ilmu Teknik Memfasilitasi Debriefing
yang tentunya perlu kami kuasai sehingga
proses refleksi bisa berdaya guna. Metode ini memang paling banyak saya gunakan
selama ini, namun setelah ikut kelas pelatihan AELI, ternyata asyik juga
mencobakan metode yang lain.
Permainan demi permainan dilalui
dengan semangat, diselingi dengan satu permainan penghubung, yaitu Monopoli raksasa.
Peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk masing-masing menjadi kompetitor
dalam permainan monopoli. Prinsip permainannya sama dengan permainan dalam
bentuk yang kecil. Monopoli ini dimainkan dalam 4 atau 5 segmen selama 3 hari
pelatihan tersebut. Uang-uangan dalam permainan monopoli, sebagian besar
diperoleh melalui berbagai permainan yang sejatinya adalah materi pelatihan.
Seru khan.
Suasana permainan monopoli |
Salah tiga petak monopoli yang sudah punya “rumah”
|
Mengapa kami menggunakan banyak
permainan? Karena ternyata dengannya, experiential learning bisa dengan pas diolah.
Dalam materi 3 Pilar Experiential Learning, disebutkan bahwa suatu
kegiatan bisa disebut sebagai experiential learning jika melibatkan 3 unsur
yaitu: Fisik, Intelektual, dan Emosi. Nah, dalam suatu permainan, 3 hal itu
bisa dengan fleksibel diolah. Bayangkan jika suatu materi; katakanlah materi
kompetensi Teamwork, dibawakan dengan metode ceramah. Unsur intelektual/
pemikiran pasti masuk, karena peserta perlu mencerna isi ceramah. Unsur
emosional, bisa lah, masuk menyesuaikan konten apa yang diceramahkan. Tetapi
unsur fisik tidaklah terolah oleh peserta jika metodenya ceramah, walau yang
diceramahkan tentang “teamwork.” Lho,
ceramah kan bukan experiential learning, jadi jangan
diperbandingkan, dong! Oh iya, ya, hehehe….
Permainan monopoli raksasa
interaktif memenuhi 3 pilar experiential learning, maka kami gunakan sebagai permainan
penyatu antarsesi pelatihan yang lain. Dari belasan permainan lain yang sering
kami gunakan, saya sebutkan satu saja ya, biar nggak terlalu panjang
catatannya, yaitu “Segitiga Frezbee,” Ini salah satu permainan favorit saya di
tahun 2017 ini-tampaknya
saya punya permainan andalan tiap tahun- yang sederhana, namun bisa bikin
senewen para pemainnya. Dengan alat 5 frezbe yang diberi angka 1 sampai 5 dan
bisa dimainkan di tempat yang fleksibel, peserta pelatihan bisa “diaduk-aduk”
unsur intelektual, emosi, dan fisiknya. Gimana cara mainnya, ah, saya khan hanya nulis mau menyebutkan saja, bukan menjelaskannya, he he he….
Permainan frezbe yang dimainkan di kebun karet |
Peserta pelatihan ini ternyata
banyak yang sudah kepala 5 umurnya, maka faktor pilihan permainan dalam
pendekatan experiential learning juga membuat perencanaan bisa lebih fleksibel.
Artinya, tingkat kesulitan/ kerumitan suatu permainan bisa disesuaikan dengan
kondisi pesertanya. Bagaimana dengan kondisi kesehatan peserta selama 3 hari 2
malam berkemah? Salah satu elemen dalam tim fasilitator yang kami libatkan
adalah medis, atau tenaga kesehatan terlatih guna menangani pertolongan
pertama. Hal ini juga sejalan dengan kompetensi yang mestinya dimiliki Fasel
sesuai SKKNI kepemanduan outbound, yaitu Menolong Korban.
Apakah dalam waktu 3 hari 2 malam
itu peserta hanya belajar dan belajar terus? Ooo tidak, sambil merancang program pembelajarannya, kami juga, Merencanakan
Program Kegiatan Rekreasi, yang merupakan salah satu
kompetensi yang perlu dimiliki Fasel sesuai SKKNI Kepemanduan Outbound. Kok ada
istilah kegiatan rekreasi dan pembelajaran, sih,
maksudnya gimana? Tenang…. Ternyata
ada 4 Karakteristik Experiential Learning, yaitu berjenis rekreasi,
pelatihan, pengembangan, dan terapi. Apa yang membedakan mereka? Hmmm, silakan ikuti saja kelas-kelas
pembelajaran dari AELI ya, soalnya tak akan cukup jika dipaparkan dalam catatan
singkat ini.
Malam terakhir, kami juga mengajak
peserta untuk melakukan pentas kreasi yang sejatinya adalah kegiatan yang
bersifat rekreatif, yang sasarannya “hanya” mengubah perasaan peserta saja
menjadi senang, gembira, dan akrab. Kompetensi yang perlu dimiliki Fasel sesuai
SKKNI Kepemanduan outbound untuk menggelar acara tersebut adalah Melaksanakan
Pemanduan Kegiatan Rekreasi. Jadi bisa
dibayangkan, sekedar untuk membuat peserta senang saja, ada ilmu dan seninya,
luar biasa sekali ya experiential
learning itu. Dalam pentas kreasi, kami mengajak peserta untuk mengeluarkan
kreasinya untuk saling berbagi kegembiraan sesama peserta dan fasilitator.
Suasana sungguh ceria dengan seringnya tawa yang pecah akibat kreasi peserta
yang unik dan menggemaskan.
Suasana pentas kreativitas |
Pada sesi terakhir, kami mengadakan final project yang merupakan tahapan “Performing”
dalam 4 Tahap Pembentukan Kelompok,
Ini adalah segmen keempat setelah tahap forming, storming, dan norming. Jika dalam 3 tahapan sebelumnya
terjadi persaingan antarkelompok peserta, maka dalam tahap terakhir, semua
peserta justru harus bersinergi untuk dapat menyelesaikan satu misi besar
dengan efektif. Jika sebelumnya dalam permainan monopoli antarkelompok bersaing
sengit mengumpulkan dan memertahankan rupiah demi rupiah untuk bertahan dalam
proses pelatihan, maka dalam tahap final
project urusan itu sudah selesai. Semua peserta harus bekerjasama
mengerahkan kemampuan terbaiknya, sehingga “tantangan” dari kami sang
fasilitator bisa dituntaskan secara memuaskan.
Pemaknaan akhir usai final project |
Proses pelatihan ditutup dengan
debriefing atau pemaknaan seluruh proses dari awal sampai akhir, khususnya yang
tercermin dalam hasil final project. Peserta dengan terbuka mengungkapkan
betapa selama 3 hari mereka memeroleh beberapa pelajaran dalam dirinya, yang
dijanjikan akan digunakan untuk digunakan sepulang pelatihan. Sebagian juga
mengungkapkan fakta bahwa ternyata bayangan mereka sebelum pelaksanaan tentang
kata pelatihan atau outbound sungguh keliru. Jika sebelumnya mereka
membayangkan kegiatan yang membosankan atau justru sangat berat, ternyata
setelah dijalani malah penuh kegembiraan, namun tetap membawa manfaat.
Demikianlah beberapa kelumit cerita
tentang sebuah pelatihan peningkatan kompetensi yang menggunakan pendekatan experiential learning. Refleksi saya,
pelatihan model demikian jauh lebih mengena daripada sekedar pemberian materi
dalam ruangan dengan metode ceramah, pun diskusi. Pernyataan-pernyataan kompetensi
yang sekilas rumit dipahami-sebagai target pelatihan,-ketika diolah sedemikian rupa dengan
pendekatan experiential learning,
ternyata bisa disampaikan dengan baik, tanpa peserta merasa digurui, bahkan sebaiknya,
mereka asyik menjalaninya.
Jika mau mencermati kembali, ada
banyak hal yang sudah tertulis tebal dalam catatan di atas, dan itu sebenarnya
materi-materi yang termaktub dalam ilmu experiential learning. Mari kita daftar
apa saja itu ya, mulai dari awal cerita sampai penghabisan.
- Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran
- Mengatur Sumber Daya untuk Program
- Menganalisis Resiko Dalam Kegiatan
- Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran
- Mengelola Permainan
- 7 Metode Pemaknaan Pengalaman
- Teknik Memfasilitasi Debriefing
- 3 Pilar Experiential Learning
- Menolong Korban
- Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi
- 4 karakteristik program experiential learning
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi
- 4 Tahap Pembentukan Kelompok
Wow, ada 13
item ilmu dan seni experiential learning yang tentu perlu dipahamkan lagi
dengan mengikuti pelatihan lebih lanjut. Masih ada lagikah materi-materi
yang lain? Oooo tentu saja masih ada; itu tadi khan sekedar contoh pelatihan
yang berwaktu 3 hari 2 malam saja, dan metodenya banyak menggunakan permainan.
Jika misalnya kita melakukan kegiatan pengembangan karakter dengan metode
petualangan, tentu ada kompetensi lain yang perlu kita kuasai dong. Sekedar
menyebut kompetensi lain yang sudah termaktub dalam SKKNI Kepemanduan Outbound,
adalah Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Rendah, dan Melakukan
Pemanduan Kegiatan Tali Tinggi
Misalnya nih, kita tidak mau (repot-repot) memerdalam hal-hal tersebut,
apakah pelatihan masih bisa dilaksanakan? Ooo
tentu saja bisa dong, boleh kok, kita hanya menyelenggarakan
pelatihan tanpa dasar keilmuan dan kompetensi khusus. Tapi, ketika ada
“tetangga sebelah” bisa melaksanakan pelatihan serupa menggunakan berbagai
jurus experiential learning yang
diperdalam, hayoooo si perusahaan logikanya milih siapa untuk dipercaya
membawakan pelatihan?
Sekilas, membawakan experiential learning itu sederhana dan
gampang, namun dalam persiapan dan pelaksanaannya, fasilitator perlu bekal yang
memadahi untuk merancang program yang akhirnya bisa dilaksanakan secara
“sederhana.” Jadi, masih adakah pertanyaan, buat apa itu (ilmu) experiential learning?
Salam EL.
Agustinus Susanta,
Fasilitator Experiential Learning Tingkat Utama;
Sertifikat Kompetensi BNSP no.
5110.5120.0000649.2015.
Assalamualikum..
BalasHapusKalau mau mengikuti pelatihan buat menjadi istruktur gmna ..
Trima kasih