Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


4 Hal “Nggak Normal” Fasel dalam masa “Meh Normal”

Laptop kok diajak CilukBa..!

---- oh ya, artikel ini sejatinya diajukan ke mojok.co sehingga gaya bahasanya saya sesuwaikan nuansa di sana, namun karena (masih nasib) belum diterima, ya sudah saya masukkan ke blog sendiri saja. Mohon maaf jika rasa bahasanya jadi beda dengan tulisan-tulisan lain di blog ini ----


Bayangkan bapakmu yang bermuka serius lahir pada tahun 60an, gaptek, dan sudah bekerja pada salah satu Badan Usaha Membebani Milik Negara selama lebih dari 25 tahun. Sedianya, beliau dijadwalkan mengikuti salah satu pelatihan wajib yang diselenggaraan perusahaan pada bulan Maret 2020 lalu. Namun karena pandemi virus corona, maka kegiatan diundur sebulan, dan (celakanya) dibuat versi online. Mau tak mau, suka tak suka, Bapakmu ikut pelatihan online tersebut setelah segala sesuatu perangkatnya kamu settingkan. Beliau duduk manis di kursi, menghadap laptop dengan sikap kikuk bercampur bingung dan sedikit bergairah melihat muka teman-teman sejawatnya nongol, senyam-senyum lalu ngobrol lewat aplikasi zoom. Setengah jam berlalu, kekikukannya luntur karena beliau mulai bisa beradaptasi dengan program tatapmaya yang dipandu oleh tim fasilitator.
Dalam pelatihan, ada salah satu sesi yang bernama ice breaking, yang seumumnya dilakukan bersama-sama oleh seluruh peserta pelatihan dalam suatu lapangan atau ruangan. Ice breaking dapat diartikan sebagai sesi “pemecah kebekuan” yang bertujuan membuat suasana peserta pelatihan menjadi lebih rileks dan terpersiapkan untuk  mengikuti sesi-sesi pelatihan. Senormalnya, ice breaking diisi dengan berbagai games yang bikin rame suasana karena sering menimbulkan gelak tawa. Hal tersebut sangat mudah dilakukan jika formatnya adalah perjumpaan langsung di lapangan, apalagi jika sang fasilitatornya gokil. Namun ketika sesi ice breaking terpaksa harus dilakukan secara daring, diperlukan jurus khusus suasana supaya suasana tidak garing, baik di tampilan aplikasi maupun di tempat tiap peserta bersemayam duduk manis.
Dalam kondisi seperti inilah bapakmu dituntut untuk totalitas mengikuti pelatihan wajib ini, termasuk tentu saja sesi ice breakingnya. Mau menolak kok ya ini pelatihan yang wajib diikuti semua karyawan level tertentu, apalagi ini dipantau juga oleh atasan. Mau ikut games-games (yang sebenarnya jika dilakukan langsung itu tidak) konyol kok ya malu sama istri, anak, dan cucu. Mau pura-pura cuek dengar instruksi fasilitator sementara beberapa rekan lain terlihat antusias, kok ya malah wagu. Serba canggung deh.
Namun ternyata beberapa teman saya berhasil membawakan ke-gak-normal-an pertama, yaitu memandu sesi ice breaking secara daring. Akibatnya, kamu nanti akan kaget ketika melihat bapakmu yang semula jaim dan nanar memandang layar laptop, pelan-pelan mau ikut senyum, bertepuk tangan, yel-yel, menyanyi, dan tiba-tiba mengajak Ciluk Ba laptop dengan gegap gempita.
Gimana, bisa membayangkankah? Kalo susah ya nggak usah dipaksa, apalagi jika sebenarnya muka bapakmu itu imut dan beliau orang yang gaul serta melek teknologi.
Kegokilan seorang Fasel dalam Ice Breaking virtual;
sumber foto dari akun FB Dzulfikar Mahmud Albandawie

Berikut ini adalah 4 hal “Gak Normal” yang (ternyata bisa) dilakukan oleh Fasilitator Experiential Learning (disingkat Fasel), atau mungkin teman-teman lebih mengenalnya dengan nama instruktur outbound, dalam masa “Meh Normal” ini. Terus terang, Fasel adalah salah satu profesi yang terdampak hebat akibat pandemi virus corona. Gimana nggak, Fasel itu kerjanya ya ngurusin outbound, event, gathering, pelatihan (dalam dan luar ruangan) dan sebagainya. Lha ini semua kegiatan sejenis dibatalkan/ ditunda sampai waktu yang belum jelas, je. Maka, 4 hal yang akan saya kisahkan ini merupakan kisah nyata yang sebetulnya bisa menjadi katarsis dan unjuk kreasi para Fasel yang biasanya piawai di lapangan. Hal-hal “normal” semacam webinar dengan tema se-dipaksakan apapun tentu tidak masuk kategori ini. Yuk segera kita kuak.

2. Wisata Mendaki Gunung secara Virtual

Lho kok, langsung nomor 2, yang nomor 1 apa. Lha kan sudah dibocorkan di awal, lagipula ini kan temanya “Gak Normal,” ya nggak apa-apa lah. Mendaki gunung itu senormalnya dilakukan selama berhari-hari termasuk persiapan saat kita mulai keluar dari rumah (kecuali rumah kita memang di puncak gunung ya). Namun dalam Virtual Tur, kita hanya perlu waktu 2 jam saja untuk menikmati sensasi pendakian gunung, termasuk menikmati keindahan alam daerah sekitar jalur pendakian. Setting background host program tentu bergambar gunung, dan diberi tambahan tenda dome. Fasilitator yang mengenakan pakaian pendaki juga menyarankan para peserta virtual tur ini mengenakan kostum naik gunung. Setidaknya ada 4 gunung yang sudah terprogramkan didaki dalam waktu sebulan, yaitu Rinjani, Prau, Semeru, dan Papandayan. Acara ini bisa diikuti secara umum atau private group 25 pax, dan yang bikin lebih gemes, progra ini sukses walau untuk mengikutinya peserta harus berkontribusi 50 ribu/pax/ destinasi. Jadi mari mulai dibiasakan ya, jika ada saudaramu pake jaket dan kaos tangan tebal, bersepatu gunung, dan membawa ransel besar sambil duduk terengah-engah menghadap laptop; mungkin dia lagi naik gunung.


Santai di puncak gunung,
sumber foto, FB Rahman Muhklis

2. Virtual Run

Dalam rangka ulang tahun ke-13 AELI (Asosiasi Experiential Learning Indonesia), DPD Jawa Barat merencanakan program Virtual Run 13 Kilometer. Yah, mungkin dalam komunitas lain hal ini sudah pernah dilakukan, tapi setidaknya bagi saya, ini kegiatan unik pertama asosiasi. Acara berlari bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja dengan jarak dan dalam periode waktu yang ditentukan panitia. Dengan membayar biaya registrasi 150 ribu untuk anggota asosiasi, atau 175 ribu untuk umum, peserta virtual run yang tampaknya dipersiapkan secara mutakhir ini akan dapat kit berupa Jersey, E BIB dan E Certificate. Hmm… sebelum membaca detil teknisnya, jangan bayangkan virtual run itu berlari sekencang-kencangnya sambil membawa laptop atau HP ya, nanti dikira maling.
Woro-woro AELI Virtual Run 

3. Virtual Writing Camp

Senormalnya, program writing camp (seperti pernah saya ikuti 2 kali) diikuti beberapa peserta dan berlangsung dalam waktu 2-3 hari di suatu tempat yang terisolir. Selama camp, kegiatan peserta ya menulis dan menulis; sesekali diskusi dengan mentor, kalo lagi mentok, paling ditinggal molor dengan dalih mencari ide. Nah, dalam masa “Meh Normal” ini, ternyata AELI sudah mengadakan program Wriring Camp yang dibalut dalam format experiential learning. Acara yang berlangsung sebulan ini diikuti belasan peserta, dan dibuat dengan konsep outbound. Ada fasilitator/ mentornya, ada sesi-sesi materi, permainan/ games baik untuk individu maupun kelompok, dan terakhir ada final challenge yang dilakukan secara bersama. Yang bikin seru adalah, semua proses tadi dilakukan kombinasi secara online maupun offline, di sela-sela kesibukan para Fasel yang pada nganggur. Dengan aneka dinamika, akhirnya para peserta writing camp bisa menghasilkan produk berupa artikel, sesuatu yang bagi sebagian besar peserta adalah hal yang (serius ini) baru.

 
Salah satu kreativitas peserta "Writing Camp"
Itulah 4 Program “Gak Normal” yang dilakukan Fasel dalam masa “Meh Normal” ini. Semoga bisa dipandang sebagai bentuk kreativitas kami yang bulan-bulan terakhir ini “sepi job” padahal dalam kenormalannya sering berdinamika bersama peserta pelatihan di lapanganan. Apakah besok akan muncul program lain yang yang awalnya dianggap baru-lucu-wagu-unyu, namun sebenarnya bermutu? 
Semoga.


Brebes, 23 Juni 2020
Agustinus Susanta,

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar