Artikel ini merupakan salah satu modul dalam kegiatan
mentoring “Ayo bikin pengalaman
pendampinganmu jadi ARTIkEL menarik,” yang diselenggarakan oleh AELI, dan
dipesertai 17 orang Fasel (fasilitator experiential learning) dari bermacam
propinsi. Kegiatan mentoring dilaksanakan pada bulan Mei 2020. Pada proses
sebelumnya, kita sudah/ sedang melaksanakan perencanaan penulisan suatu artikel.
Proses sederhana perencanaan suatu tulisan, ternyata didahului dengan merumuskan
5 hal saja, yaitu:
- Menetapkan tema artikel,
- Menentukan judul artikel,
- Menentukan tujuan penulisan artikel,
- Merumuskan kalimat tesis, dan
- Menyusun kerangka artikel.
Bagaikan main bakiak, unsur-unsur pembentuk artikel mesti kompak sealur.
|
Pos P3K (Pertolongan Pertama pada Ketersendat-sendatan)
ini sebenarnya bukan pos utama dalam perjalanan penulisan artikel. Layaknya
saat kita menyelenggarakan program experiential learning, maka jamak pula
diadakan Pos kesehatan atau Pos P3K (Pertolongan Pertama pada Kecelakaan). Pos
ini menjadi semacam pos taktis dalam proses mentoring karena terpantau beberapa
peserta masih megalami kebuntuan dalam menuangkan rumusan perencanaan artikel.
Pos taktis P3K ini akan diisi beberapa kiat
mengimajinasikan suatu artikel. Silakan bisa dibaca-baca, direnung, dan
dipraktikkan. Bagaimana dengan peserta yang berpikir dirinya tidak perlu masuk/
mengikuti pos P3K ini? Ya nggak masalah sih, artinya sudah bagus lah, lancar
menuangkan ide-idenya. Harapannya sih, usai menikmati sajian “pertolongan” di
pos ini, teman-teman fasilitator yang buntu bisa dalam waktu 2x10 menit
menyelesaikan games di Pos II. Bagi yang sudah menyelesaikan games pos I dan II
bisa lebih mantap lagi dalam memasuki Pos III nanti.
Segera yuk, kita ikuti, bagaimana suatu artikel bisa
ditulis secara taktis.
Konten dan Konteks
Seorang orangtua murid yang tiba-tiba nekat menjenguk
anaknya yang tengah ikut Persami (Perkemahan Sabtu-Minggu) protes kepada kakak
pembina sebab dia sempat melihat (lebih tepatnya mengintip) sang buah hati
kesayangannya kerepotan waktu dapat tugas memasak. “Pak, saya nggak setuju
sekali anak-anak disuruh masak sendiri. Mereka kan di rumah tidak pernah
memasak, masa di sini malah disuruh memasak. Kalau terjadi apa-apa, misalnya
tangannya kena pisau, atau kecipratan minyak panas saat menggoreng, kan sangat
berbahaya. Kami orang tua membayar lho supaya anak-anak bisa ikut kemah ini;
apa pihak sekolahan mau ngirit sehingga tidak bisa menyediakan catering untuk
makannya? Daripada berjam-jam memasak mendingan dibelikan saja tuh makanan,
waktu yang boros terbuang untuk memasak bisa digunakan untuk materi lain yang
lebih berguna.”
Sang kakak pembina yang diberondong protes orang tua
murid itu menghela napas panjang sebelum menjawab, …… jawabnya terusin sendiri
ya, he he he….
Kita akan lebih memahami tentang konten dan konteks
melalui contoh kejadian anak-anak yang berkemah memasak. Ya, konten peristiwanya
adalah anak-anak memasak; konteksnya mereka sedang berkemah. Konsep anak-anak
memasak ketika sedang berkemah adalah hal yang sangat umum dan dipandang
sebagai salah satu cara efektif dalam pengembangan karakter. Nah, celakanya, si
orang tua lepas konteks dalam memandang hal tersebut. Dia memposisikan anaknya
justru direpotkan dengan proses memasak; bahkan baginya itu suatu hal yang
memboroskan waktu saja. hmmmm… konten yang lepas kontes memang berpotensi
merusak konsep.
Secara garis besar, konten itu bisa diartikan sebagai
isi, cara, atau teknis; sedangkan konteks adalah wadah, medium, atau esensinya.
Satu contoh lagi tentang konten dan konteks. Saat anda
membaca artikel Pos III ini, kontennya ya seperti deretan kalimat yang sedang
anda baca ini. Bisa jadi ada yang nyambung, namun tentu ada pula yang bingung.
Agus ini nulis maksudnya gimana sih? Kasih petunjuk tentang penulisan artikel
kok hanya mbahas beberapa hal saja yang kurang penting. Ya, wajar jika pembaca
tidak lihat konteksnya. Apa sih konteksnya? Ya, ini artikel ditulis dalam
konteks materi mentoring di mana sebelum dan sesudah pembacaan artikel ini ada
materi lain yang sinambung. Ooo….. gitu tho, iya, gitu.
Cukup ya, memahami konten dan konteks. Kini kita masuk
pada obrolan bahwa tulisan/ artikel yang baik, mestinya punya konten yang
sesuai dengan konteksnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan penulis supaya terdapat
kesesuaian konten dan konteks adalah:
Sasaran Pembaca,
Misalnya seorang fasilitator experiential learning mau
menulis tentang “rope access,” dengan tujuan menguak sisi pembelajarannya. Jika
sasaran pembaca adalah sesama fasilitator, maka bisa jadi dia tidak perlu
menjelaskan sangat detil deskripsi dan fungsi tiap peralatan rope acces yang
disebut dalam artikelnya. Namun jika sasaran pembacanya adalah para guru yang
bahkan “flying fox” saja tidak tahu, maka sebaiknya penulis membatasi
penggunaan kata-kata/ istilah teknis yang malah nanti membingungkan pembaca
(atau malah jika dijelaskan satu persatu malah artikel jadi bertele-tele nan
menjemukan). Mending dia fokus pada pembahasan tentang sisi pembelajarannya.
Jadi, silakan nanti teman-teman tetapkan, siapa sih sasaran
utama pembaca artikelnya? Itu akan memengaruhi teknis kita dalam menuliskan isi
kerangka tulisan.
Nada Artikel,
5 Mei 2020, Kita kehilangan penyanyi lagu campursari
yang inspiratif, yaitu mas Didi Kempot. Sebagian besar lagu-lagu yang dia
nyanyikan bertema kesedihan, penantian tak berujung, patah hati, kepasrahan,
janji yang diingkari, juga penerimaan akan kondisi yang ambyar. Salah satu
pernyataan fenomenalnya adalah, “walau patah hati, tetap dijogeti,” yang
mewujud dalam menyanyikan lagu bertema kesedihan (dan kawan-kawannya tadi)
dalam irama campursari yang merangsang orang untuk berjoget, minimal berdendang
lah. Hmmm… lazimnya, seorang penyanyi melagukan kisah sedih/ patah hati dalam
suasana dan irama yang sedih mendayu, namun ternyata, bisa kok, tema yang sama
dilagukan dengan irama yang asyik untuk bergoyang. Mas Didi Kempot memberi
inspirasi bahwa ternyata banyak cara asyik yang bisa digunakan untuk
menyampaikan sesuatu yang (biasanya dikonotasikan) muram.
Didi Kempot; melagukan kepatahhatian dengan (nada) jogetan. |
Nah, mirip dengan lagu; tulisan/ artikel juga
bertujuan menyampaikan pesan tertentu pada pembacanya. Jika dalam lagu ada
aneka genre, semisal pop, rock, keroncong, jazz, metal, melayu, reagge,
dangdut, dan tentu saja campur sari; maka dalam suatu artikel ada juga yang
diistilahkan dengan “nada tulisan.” Beberapa contoh nuansa atau nada tulisan
misalnya bersifat: menginformasikan, menerangkan, membujuk, mengingatkan,
menyemangati/ memotivasi, membantah/ menyangkal, memerintah, menakut-nakuti,
mendikte, atau memprovokasi. Tidak perlu diperdebatkan tentunya bahwa tiap
genre lagu punya fans masing-masing. Artikel pun sama, nada apa yang akan kita
gunakan, tak lepas dari siapa sih sasaran utama pembacanya?
Mari kita tengok 3T masing-masing, lalu saya yakin
teman-teman bisa mengira-ira sendiri mau bernada apa artikelnya. Makin
penulisnya menguasai suatu tema, maka makin banyak ragam artikel mau diarahkan.
Misal nih, seorang fasilitator kaya pengalaman dalam membawakan suatu games,
maka ketika dia akan meng-artikel-kan suatu games, dia bisa memilih apakah mau
bercerita tentang teknis memandunya, tujuan games, manajemen resiko games
tersebut, atau kejadian-kejadian unik saat games dimainkan.
Oh ya, nada artikel juga turut dipengaruhi oleh
sasaran pembaca kita ya.
Kompetensi penulis,
Pada suatu masa, saya suka membaca novel karya-karya
Marga T dan Mira W. Konten alias isinya, kebanyakan tentang kisah cinta. Hampir
semua novel mereka yang saya baca, punya latar belakang cerita seputar
(profesi) dokter dan (dinamika di) rumah sakit. Saya malah menikmati dapat
sedikit-sedikit pengetahuan tentang kedokteran/ kerumahsakitan/ kepenyakitan
karena membaca novel 2 pengarang tadi. Mereka sangat lihai memasukkan unsur
medis dalam novel cinta-cintaan tak lain karena mereka seorang dokter, iya,
novelis yang dokter. Panteslah mereka bisa dengan pas menyelipkan di sana-sini
suasana dunia kedokteran dalam novelnya.
Satu lagi novel yang senang saya baca adalah karya
Jhon Grisham; dia seorang mantan politikus dan mantan pengacara dari Amerika
Serikat. Bisa ditebak, settingan dalam novelnya banyak mengambil tentang dunia
pengadilan, kehidupan pengacara, jaksa, hakim, dan juga intrik-intrik politik.
Tema umum dalam novelnya banyak berkisah tentang kesetiaan, ketabahan,
kesetaraan, dan perjuangan menegakkan keadilan. Karena memang punya kompetensi
di bidang hukum, maka menikmati novel yang kental dengan dunia hukum/
pengadilan tidak membuat bosan; justru asyik dapat wawasan baru tentang sistem
peradilan (di AS)
Nah, sekarang dalam konteks mentoring ini, kita semua
fasilitator nih, maka sudah pas jika menuliskan artikel yang berbasis
pengalaman sebagai fasilitator, khususnya dalam pendampingan program. Bahwa
kita memerdalam suatu bidang lebih spesifik dalam experiential learning, itu
bagus adanya. Mestinya konten yang akan kita tulis nyambung dengan konteksnya
dong, karena kita menuliskan sesuatu yang (mestinya) kita kuasai.
Waktu penulisan,
Saat ini pandemi corona sedang booming di Indonesia
(dan banyak negara lain tentunya). Akibat serius bagi para fasilitator-dan juga bagi banyak lini pekerjaan- adalah tidak adanya program experiential learning/
outbound yang bisa didampingi lagi. Gimana mau berkegiatan, lha wong mau
berkumpul saja dibatasi kok. Konteksnya saat ini kita lagi dilanda pandemi ya,
kontennya tidak perlu diuraikan lagi; eh, kita ketemu lagi dengan si konten dan
si konteks, he he he…
Ngeri? Hmmm… bisa iya juga dong, bagaimana para
fasilitator nanti bisa hidup jika ada pembatasan, bahkan pelarangan untuk
berkegiatan semacam outbound, guna mematuhi protokol social distancing?
Beberapa orang Fasel, mulai berbagi gagasan tentang bagaimana
kegiatan experiential learning dilakukan secara online. Ada pula yang berbagi
tips bagaimana bikin program experiential learning pascapandemi. Lha ini ada 17
orang yang malah sibuk berkutat bikin artikel, he he he…
Ya, waktu penulisan menjadi salah satu faktor yang
bisa mempengaruhi konten dan konteks artikel. Mengambil contoh tadi, mungkin 4
bulan lalu, artikel tentang experiential learning secara online, masih masuk
akal secara konten, namun kurang dilirik pembaca karena konteksnya saat itu kegiatan
experiential learning/ outbound di lapangan masih marak. Buat apa habisin waktu
membaca artikel yang tidak relevan? Namun saat ini, artikel bertema tersebut
pasti jadi salah satu bahan bacaan yang dicari para fasilitator. “Ketakutan”
kehilangan pekerjaan membuat para fasilitator mencari sumber-sumber inspirasi
(salah satunya melalui artikel) tentang bagaimana mereka bisa beradaptasi
dengan kondisi masa depan.
Kembali pada urusan konten dan konteks; isi/ konten
sama, tapi dulu (mungkin) kurang/ tidak diminati, sekarang dicari; mengapa?
Karena beda konteks waktunya.
Salah satu aktivitas yang terancam punah pascapandemi corona |
Media Publikasi,
Salah satu peserta program mentoring menuliskan
perencanaan artikel dengan rinci, lalu spontan salah satu peserta lain
berkomentar bahwa menilik bahasa yang dituliskan, artikel tersebut akan menjadi
“Karya Ilmiah.” Mengapa ada yang langsung berkomentar bahwa itu karya ilmiah?
Karena berdasarkan kelaziman, komentator tadi mengamati bahwa jika suatu
tulisan dipublikasikan dalam suatu media/ jurnal ilmiah, maka konten dan gaya
bahasanya begini begitu; jika diterbitkan di majalah remaja populer, maka isi
dan bahasanya akan begitu begini, jika dimasukkan dalam majalah Bobo (majalah
anak-anak) tentunya beda lagi bahasanya. Nah, berdasarkan pengalaman tersebut,
komentator lalu berasosiasi bahwa artikel temannya adalah karya ilmiah.
Ya, di mana artikel kita (direncanakan) akan
dipublikasikan turut memengaruhi kesesuaian konten dan konteks. Di mana
teman-teman akan mempublikasikan artikel yang sedang ditulis? Atau malah belum
kepikiran? Hmmm… nggak apa-apa, santai dahulu.
Guna menutup urusan konten dan konteks, saya
mencontohkan artikel Pos P3K ini ya, supaya
relevan.
Konten:
1) Memaparkan
tentang Konten dan Konteks,
2) Menjelaskan
tentang Data Primer dan Sekunder
Konteks :
1) Sasaran
pembaca adalah peserta program mentoring, yang merupakan para Fasel. Mereka
sudah mengikuti proses sebelumnya sehingga harapannya nyambung dalam memaknai
artikel Pos P3K ini. Gaya bahasa yang saya gunakan juga yang informal,
diselingi gimmick-gimmick, maksudnya supaya segar; nggak tahu kalo malah
dipandang wagu, he he he…
2) Nada
artikel, memberi informasi supaya memotivasi, karena ada beberapa peserta yang
mengalami ketersendat-sendatan penulisan.
3) Kompetensi
saya seorang praktisi experiential learning yang kebetulan pernah membuat
beberapa buku dan menulis puluhan artikel tentang experiential learning. Saya
dipercaya oleh AELI untuk mengampu proses mentoring ini.
4) Waktu
penulisan dalam proses mentoring, menyesuaikan perkembangan peserta. Ini
sebetulnya hal yang kurang ideal, karena biasanya saya menuntaskan artikel
dalam 2-4 hari guna mengakomodir proses inkubasi.
5) Media
publikasi direncanakan disampaikan langsung pada peserta mentoring melalui grup
WA. Bahwa dimasukkan dalam blog supaya menjadi arsip dan memudahkan pembacaan
lewat handphone.
Cukup ya tentang
konten dan konteks,
Data Primer dan Sekunder
Prinsip menulis artikel adalah “tinggal” mengisi
kerangka yang ada dengan “daging” alias data, penjelasan, atau informasi yang
relevan. Selanjutnya kita akan menyebutnya dengan data saja ya. Bilamana kita
sudah mantap saat membuat kerangka, maka sebetulnya kita bagaikan sudah
menyelesaikan separuh proses penulisan artikel. Dalam konteks menuliskan
pengalaman pendampingan EL, maka data takterbatas pada deretan kata yang
membentuk kalimat saja, tetapi juga bisa berupa foto, ilustrasi, skema, hasil
polling, hasil pengamatan, hasil penelitian, hasil wawancara, dan sejenisnya.
Dari mana data diperoleh? Menilik dari jenisnya,
terdapat 2 data, yaitu Data Primer dan Data Sekunder.
Data Primer mengacu segala sesuatu yang berasal dari
pihak penulis sendiri, biasanya didapatkan secara langsung.
Data Sekunder mengacu pada hal-hal yang diperoleh
penulis dari sumber tidaklangsung semisal studi pustaka/ membaca buku,
mendengarkan seminar, foto-foto/ gambar yang dibuat orang lain, pendapat tokoh
lain, dan aneka hasil penelusuran di internet.
Kita akan belajar dari 3T yang dicontohkan dalam Pos
II, yaitu:
Tema : Rope Acces dalam Experiential Learning Program
Tujuan : Menjabarkan nilai nilai pembelajaran dalam Rope Access yang
bermanfaat untuk pembentukan karakter baik personal maupun team
Tesis : Dengan penyusunan program, pemilihan jenis kegiatan dan pola
penanganan oleh team yg tepat, Rope Access bisa digunakan sebagai single tool
dalam Experiential Learning Program
Dari 7 subtema, 2 yang pertama dalam kerangka artikelnya
adalah “Penjelasan tentang rope access” dan “Penjelasan tentang Experiential
Learning Program” kita akan ulik untuk menggali bagaimana daging tulisan bisa
diisikan di dalamnya
Subtema “Rope Access”
Data apa
yang diperlukan untuk mengisi rangka ini? Tentunya bisa yang bersifat primer
ataupun sekunder. Makin kompeten/ berpengalaman/ berpengetahuan sang penulis
terhadap suatu tema, maka semestinya
banyak data primer yang bisa diisikan sebagai “daging” artikel. Contoh
data primer:
- Pengalaman penulis dalam memfasilitasi kegiatan rope access, termasuk foto-foto yang dibuat/ melibatkan yang bersangkutan.
- Pengetahuan penulis akan peralatan yang pernah dia gunakan,
- Pendapat/ tulisan/ konsep yang pernah penulis sampaikan tentang tema terkait,
- Refleksi/ analisis penulis tentang dinamika rope access,
- Hasil ngobrol penulis dengan peserta yang pernah difasilitasinya.
Contoh data
sekunder:
- Penulis ingin menjelaskan sesuatu yang menurutnya relevan, tetapi yang bersangkutan belum pernah terlibat di dalamnya, maka dia melakukan studi pustaka tentangnya.
- Cerita dari sesama fasilitator yang memfasilitasi rope access,
- Penulis mengutip data-data teknis tentang suatu peralatan dari buku manualnya,
- Foto-foto dari internet yang sesuai dengan tema, tetapi penulis belum pernah mendokumentasikannya secara langsung.
Kombinasi
penyajian data primer dan sekunder dilakukan sedemikian rupa sehingga bisa
menerangkan, minimal apa itu rope access dan bagaimana dilaksanakan? Bagaimana
jika penulis tidak/ kurang menguasai tentang tema rope access? Ya kita bisa
tanya balik, lha kenapa nulis tentang itu? He he he…
Namun
intinya begini, seandainya ada tema yang kurang familiar/ belum kita kuasai,
namun sangat ingin kita tulis, ya konsekuensinya si penulis mesti banyak
menggali data-data sekunder, atau kalau memang serius, dia perlu waktu untuk
bisa memunculkan data primer dengan mencoba/ mengalami langsung hal-hal sesuai
tema yang dia idamkan tersebut.
Ilustrasi Rope Access |
Subtema Experiential Learning.
Nah ini
juga yang menjadi pokok perhatian saya selaku mentor; yaitu bagaimana paham
tentang experiential learning bisa disampaikan oleh para penulis secara pas.
Sebagian penulis dalam permainan I, mencantumkan variabel program experiential
learning menjadi bagian 3Tnya. Memerhatikan bahwa definisi experiential learning
(khususnya di Indonesia) belum populer digunakan khususnya dalam kegiatan
semacam outbound, maka selain mengacu pada sumber sekunder, penjabaran tentang
experiential learning ini bisa menghasilkan varian pemahaman antarpenulis.
Okelah,
jika hanya mengacu pada data-data sekunder, tentu penjelasan tentang
experiential learning terasa lebih kaku daripada penceritaan penulis akan
experiential learning yang pernah dia fasilitasi/ geluti. Memang penyajian akan
terlihat lebih meyakinkan (perihal teorinya), namun apakah itu yang sungguh
diharapkan sang penulis? Mestinya sih tidak dong.
Guna
mengisi rangka perihal experiential learning, maka saya berpesan pada
teman-teman penulis:
- Jika memang sudah yakin, terutama melalui pengalaman langsung/ primer, bahwa sesuatu tadi adalah experiential learning, ya silakan sajikan secara baik, namun jika belum yakin perkuatlah dahulu melalui data sekunder, dan jangan lupa sebutkan sumber primernya.
- Jika ragu bahwa Tema-Tujuan-Tesis memang betul-betul perlu menyinggung experiential learning, maka coba tinjau ulang pernyataan 3Tnya. Misal, semula mau menulis tema “Rope Acces dalam Experiential Learning Program,” namun ternyata gamang menerangkan tentang experiential learning, maka coba seandainya direvisi dengan misalnya, “Rope Acces dalam pembentukan karakter, baik personal maupun team,” apalagi pernyataan tersebut tertera dalam tujuan.
Bagi saya,
experiential learning itu dipahami sebagai suatu metode, yang bisa digunakan
untuk mencapai target tertentu. Maka konteks kita menerangkan metode
experiential learning itu apakah sebagai variabel utama, atau sebagai variabel
pendukung untuk menunjang hal yang lebih penting; dalam contoh tadi adalah
urusan “pembentukan karakter”
Cukup ya
contoh tentang perbedaan Data Primer dan Sekunder, kini saya beri tips bagaimana
mencari ide untuk mendapatkan aneka data tadi, berdasarkan pengalaman saya
tentunya.
No
|
Aktivitas
|
Jenis
data
|
1.
|
Membaca buku/ artikel
|
Sekunder
|
2.
|
Menonton film
|
Sekunder
|
3.
|
Mengamati langsung
|
Primer
|
4.
|
Wawancara
|
Primer
|
5.
|
Melihat-lihat berkas
proposal lama
|
Primer &/ sekunder
|
6.
|
Melihat-lihat berkas laporan
program
|
Primer &/ sekunder
|
7.
|
Melihat-lihat dokumentasi
(foto/ video) program
|
Primer &/ sekunder
|
8.
|
Sengaja menyiapkan “tools”
tertentu untuk mendapatkan data saat program
|
Primer
|
9.
|
Mengikuti kuliah/
obrolan online
|
Sekunder
|
10.
|
Mencermati obrolan
tematis via media sosial
|
Sekunder
|
11.
|
Tulisan/ catatan
pengalaman pendampingan
|
Primer
|
Silakan teman-teman bisa mencobanya, semoga ada yang cocok
untuk bisa menderaskan ide.
Vitamin Pos P3K
Kalau di Pos Permainan kita diajak bermain games, di
Pos ini saya mau ngasih vitamin yang harapannya bisa diresapi guna memersiapkan
diri menghadapi Pos yang lebih asyik tentang menulis dan berpikir kreatif.
Gini vitaminnya,
Perhatikan gambar di bawah ini, lalu silakan jawab 3
pertanyaan berikut.
Vitamin Pos P3K
|
- Apa yang Anda lihat?
- Apakah gambar tersebut punya arti bagi Anda? jika punya, apa artinya?
- Apa yang bisa anda lakukan pada gambar tersebut, supaya bisa lebih punya arti/ makna tertentu bagi Anda? lalu jelaskan. Silakan jika mau lakukan percobaan, kirimkan hasilnya ya
Yes, itulah vitamin untuk pengakhir Pos P3K ini,
semoga bisa membantu melancarkan aliran ide dalam menyusun kerangka artikel.
Brebes, 19 Mei 2020