Beginikah nasib "Fasil?" |
Sebuah meme kocak
nan memilukan, menghebohkan dunia grup WA ELPreneur Indonesia. Seorang ayah yang
fasil, meminta anaknya untuk tidak
minta dibelikan baju lebaran karena tidak ada EO (Event organizer) yang ngasih
THR (Tunjangan Hari Raya) padanya. Sang anak agak menggugat karena berdalih
bahwa profesi sang ayah sudah diakui oleh negara. Namun akhirnya si anakpun
pasrah sehingga akan mengenakan baju sang ayah saja yang bertuiskan “CREW.”
Hmmm… Pancingan meme yang dilontarkan salah
seorang anggota grup tersebut sontak memancing diskusi klasik tentang dunia
kefasilitatoran. Ya, soal nasib seorang fasil yang kadang memprihatinkan;
sampai-sampai dalam meme tadi digambarkan tidak bisa membelikan baju baru bagi
anaknya untuk berhari raya. Bagi pembaca yang belum akrab dengan istilah fasil,
baiklah saya paparkan beberapajenak tentang konteks meme tersebut.
Ada Apa dengan Fasil ?
Fasil, kependekan dari fasilitator, adalah
sebutan umum bagi orang-orang yang terlibat dalam kegiatan
ke-experiential-learning-an, atau lebih populer dengan sebutan outbound. Ragam
kegiatan bisa bersifat pelatihan secara serius beberapa hari, termasuk dengan
metode adventure; namun ada juga yang
bersifat rekreatif haha hihi penuh
ketawa selama hanya 2,5 jam saja. Program EL (experiential learning) yang sering disebut
dengan istilah event itu tentu memerlukan sumber daya manusia guna
penggulirannya.
Ada banyak peran yang diistilahkan dengan course director, fasilitator, instructor, MC (master ceremony), game master, master game (saya nggak
tahu juga apakah ini sama dengan game master? Namun istilah ini kerap
berseliweran dalam dunia outbound), tenaga operasional, ice breaker, motivator, trainer, mentor, pelatih, dan lain
sebagainya penyebutan teman-teman yang bekerja di ranah ini. Setelah pada tahun
2015 pemerintah mengakui profesi semacam
ini dengan program sertifikasi profesi, maka mulai jamak kita-kita menyebut
para pelaku industri ini dengan istilah Fasel, sebagai kependekan fasilitator
experiential learning. Bagi yang penasaran tentang urusan sertifikasi ini,
silakan bisa baca-baca tulisan saya tahun 2015 lalu di: sini saja ya
Nah, guna meringkas imajinasi, maka seumumnya
dalam kegiatan ke-EL-an, saya bagi dua pihak saja yang terlibat, yakni tim
manajemen inti yang identik dengan pihak penyelenggara event, dan pihak lainnya
adalah teman-teman “fasilitator” tidak tetap yang “disewa” guna mendukung acara
tersebut. 2 pemisahan itu tidak otomatis membuat batas yang rigid bahwa pihak
penyelenggara lebih kompeten dalam urusan EL, daripada pihak fasilitator
“sewaan” tadi. Eh, kok agak nggak enak ya disebut sebagai
fasilitator sewaan (malah ada yang lebih parah lagi dengan menyebutknya
“tentara bayaran,”), Istilah lazimnya ya freelancer
gitu saja ya. Dalam sebagian even, pihak penyelenggara yang kadang tidak
terlalu paham urusan EL, justru memerlukan fasilitator freelance yang paham tentang EL dalam proses kegiatannya. Dalam
sebagian kasus lagi, karena skala kepesertaan yang banyak, maka walau si
penyelenggara paham EL, tetaplah perlu fasilitator rekan untuk menangani
banyaknya peserta event.
Namun, disinyalir, jauh lebih banyak
fasilitator lepas yang bernasib semiris digambarkan dalam meme. Bayangkan,
seorang fasilitator yang masih baru atau tidak berpengalaman, kemampuan
kefasilitatorannya pas-pasan, tidak punya keahlian atau mata pencaharian lain,
jarang diajak oleh provider, sudah berkeluarga dan punya anak yang perlu dibiayai
sekolah. Hiks… saya tidak mampu mendeskripsikan dalam tulisan lagi betapa
nestapa hidup semacam itu…. Eksistensi teman-teman fasilitator seperti itulah
yang sebetulnya diprihatini oleh banyak teman-teman pengusaha EL, minimal yang
tergabung dalam ELPreneurs Indonesia. Saya memaklumi mengapa teman-teman
ELPreneurs terketuk hati (bahkan rekening) nya terhadap nasih teman-teman
fasilitator lepas; sebab sebagian besar (kesuksesan) event mereka tergantung
pada para freelancer tersebut. Wajar jika nurani mereka ikut terusik manakala
teman-teman yang sering diajak berprogram nasib perekonomiannya masih tergolong
sulit. THR hanyalah pintu masuk yang “makjleb” dalam pembahasan keprihatinan
tadi.
Tulisan saya ini termotivasi karena hendak urun
gagasan tentang bagaimana seorang fasilitator, -khususnya yang mengaku atau diaku,
atau minimal disebut sebagai fasilitator experiential learning- bisa memerbaiki kondisi
(perekonomiannya.) Kebetulan saya sudah pernah berbagi cerita tentang bagaimana
hobi menjadi fasilitator bisa mendatangkan rejeki pada lapak sebelah ini
Simpulan refleksi saya tersebut, supaya seorang
fasilitator bisa berkembang maka perlu 3 SI, yaitu KONSISTENSI, KOMPETENSI, DAN
RELASI. Dalam penutup tulisan, ternyata saya masih berhutang refleksi tentang
bagaimana rejeki dalam berprofesi bisa makin deras mengisi pundi, yang ternyata
mengandung 5 SI juga, yaitu: Koleksi, Variasi, Kolaborasi, Investasi, dan
Promosi. Nah, momen ini sangat pas nan relevan dengan bahasan bagaimana seorang
fasilitator (experiential learning) mestinya tidak perlu gundah (pake gulana)
manakala tidak ada EO atau provider yang memberi THR pada mereka. Hanya saja, 5
SI tadi saya transformasikan dalam 4 hal saja, yakni Koleksi, Variasi, Asosiasi, dan Transformasi.
Periode Latah Fasel
Kembali ke urusan meme dalam grup WA ELPreneur
Indonesia; sebagian besar anggota yang menanggapinya malah menyebut istilah
“Fasel,” padahal jelas di gambar yang jadi topik tertulis “fasil” Saya terusik
dengan kondisi yang saya yakin itu akibat kelatahan saja. Satu hal yang lalu saya
lontarkan dalam obrolan grup tersebut justru memertanyakan tentang ke-Fasel-an
itu sendiri; alih-alih ujug-ujug ikut beride tentang bagaimana teknik ikut
“mengangkat” nasib para Fasel yang “mengharapkan (ada yang ngasih) THR tadi.”
Maksud memertanyakannya tuh gini. “Apakah Fasel yang menjadi obyek obrolan
tersebut mengacu pada seorang fasilitator yang berprofesi sebagai Fasilitator
Experiential Learning, atau sekedar menceritakan tentang orang-orang yang
pernah terlibat dalam aneka kegiatan mereka?”
Saya berpikir hal ini penting
diangkat guna mendasari kesamaan perspektif tentang istilah Fasel itu sendiri.
Perbandingan kontrasnya begini, apakah seorang yang dalam satu event rekreatif
membawakan 2 games ice breaking/ energizer (lalu disebut dengan istilah Fasel)
itu setara (keprofesiannya) dengan seorang fasilitator yang mendampingi
pembelajaran sekelompok peserta selama beberapa hari dalam kegiatan
experiential learning berbasis petualangan alam bebas? Hemat saya mengatakan
kadar “Kefaselan” kedua peran tadi jauh berbeda, bahkan cenderung tidak sama.
Lalu apa patokan seseorang layak disebut dengan istilah Fasel, bukan sekedar
fasil?
Kita gunakan standar SKKNI (Standar Kompetensi
Kerja Nasional Indonesia) saja ya, toh
gara-gara ada sertifikasilah maka sebutan Fasel mulai populer (latah)
digunakan. Pendek cerita, seorang fasilitator experiential learning adalah
mereka yang kompeten dalam 9 hal ini:
- Merencanakan Kegiatan Program Rekreasi
- Merencanakan Kegiatan Program Pembelajaran
- Mengatur Sumber Daya Program
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Pembelajaran
- Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Rendah
- Melakukan Pemanduan Kegiatan Tali Tinggi
- Menganalisa Resiko dalam Kegiatan
- Menolong Korban
Dalam praktik penggolongannya, ada Fasel
tingkat Muda, Madya, dan Utama.
Kita kembali ke contoh kasus, apakah seorang
yang (hanya) mahir membawakan games ice
breaking/ energizer sudah patut disebut (berprofesi sebagai) Fasel?
Barangkali dia hanya kompeten pada kompetensi ke-4 versi SKKNI, yaitu “Melaksanakan
Pemanduan Kegiatan Rekreasi.” Atau contoh yang lebih umum tentang fasilitator
yang keahliannya hanya membawakan permainan/ simulasi dalam suatu program EL;
apakah dia sudah layak disebut sebagai seorang Fasel? Ya, saya sepakat hal ini
bisa diperpanjang urusannya dengan berbagai macam argumentasi, baik yang
cenderung pro atau kontra. Sayangnya yang mau saya sampaikan ini titik utamanya
bukan tentang penilaian kadar ke-EL-an seorang fasilitator; biarlah kita
percayakan itu pada proses uji kompetensi profesi yang diselenggarakan oleh
BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi).
Harapan saya, ketika kita melakukan penyebutan
terhadap teman-teman yang pernah membantu penyuksesan acara kita, mestinya
jangan serta merta diberi sebutan Fasel, karena negara menyatakan untuk
menyandang profesi tersebut ada prosedur tertentu yang harus dilakukan, yaitu
Sertifikasi Profesi, dan itu menyangkut urusan keilmuan, pengalaman, dan sikap.
Lepas dari itu, kalau mau ngaku, toh tidak
semua acara yang kita selenggarakan (dan melibatkan para tenaga freelancer) itu
adalah bermetode EL. Okey, kita
sudahi topik tentang kelatahan penyebutan Fasel ini ya; semoga kita makin bijak
dalam mempredikati siapa saja yang terlibat dalam aneka kegiatan kita, termasuk
penyebutan terhadap diri kita sendiri. Mari kita lanjut beride tentang
bagaimana seorang fasilitator bisa makin “berdaya” sehingga secara langsung
maupun tak langsung bisa meningkatkan taraf perekonomiannya. Untuk selanjutnya
saya pake istilah Fasel guna menyebut para fasilitator yang punya niat
benar-benar menjadi fasilitator bagi kegiatan experiential learning.
Mengaitkan dengan refleksi saya 3 tahun lalu
bahwa 3 SI dasar yang diperlukan supaya hobi/ profesi Fasel bisa mendatangkan
rejeki adalah konsistensi, kompetensi,
dan relasi. Nah, 4 SI berikutnya yaitu Koleksi,
Variasi, Asosiasi, dan Transformasi,
adalah hal-hal yang bisa dikembangkan sehingga rejeki mengalir makin lancar.
Saya akan banyak berbagi kisah saya sendiri karena formatnya ini adalah
refleksi. Yuk kita segerai.
KOLEKSI
Ada satu kata yang sebenarnya saya
timbang-timbang berkelindan dengan “koleksi” ini, yaitu “dokumentasi.” 2 hal ini punya kesamaan; yang pertama,
keduanya diakhiri oleh sukukata “si,” kedua, baik koleksi maupun dokumentasi
itu penting dilakukan oleh seorang Fasel. Ketiga, dua hal ini sama-sama punya
unsur pencatatan/ perekaman. Namun toh
setelah melalui perenungan yang singkat (buat apa lama-lama?) saya memutuskan
“koleksi” lebih layak mewakili urusan pengembangan Fasel karena “dokumentasi”
mau ngalah sebagai salah satu hal yang dikoleksi, he he he….
Saat SMA dulu, saya mengoleksi lagu-lagu Iwan
Fals, yang ditandai dengan pengumpulan belasan kasetnya. Saat ini, saya masih
senang dengan lagu-lagu Bung Iwan Fals, masih lumayan hapal juga sebagian
liriknya, tapi sudah tidak mengoleksinya lagi. Maksudnya apa? Ya, koleksi itu
identik dengan urusan mengumpulkan sesuatu; bukan sekedar sudah pernah
melakukan atau punya sesuatu saja. Koleksi merujuk pada kesatuan tempat
pengumpulan, sehingga koleksi tersebut bisa dengan mudah dipindai atau
ditelusuri. Rak berisi belasan kaset lagu Iwan Fals adalah bukti bahwa saya seorang
kolektor alias pengumpul, itu cerita duluuu…
Kini, bahkan dalam bentuk digitalpun
saya tidak punya folder/ file khusus berisi lagu-lagu Iwan Fals; maka dengan
sportif (ciee….) saya menyatakan
bahwa saat ini saya bukan seorang kolektor lagu Iwan Fals. Nah, semangat pengoleksian seperti itulah yang bisa kita lakukan
sebagai seorang Fasel.
Hal-hal apa yang bisa dikoleksi seorang Fasel? lalu
mengapa itu perlu dilakukan? Pertanyaan kedua saya jawab dahulu karena urgensi
mengoleksi sesuatu bagi seorang Fasel kadang terasa absurd, apalagi bagi yang
masih/ sedang dalam posisi freelance.
Jawaban saya berpijak pada kenyataan bahwa hal memfasilitasi sudah menjadi
semacam hobi atau “jalan hidup,” maka kadang manfaat mengoleksi sesuatu
berhenti pada jawaban “karena merasa senang.” Ditanya lagi senangnya dimana? kepentingannya
apa? Ya bisa gelagapanlah si kolektor menjawabnya. Namun, tak perlu lah hal
tersebut dijadikan suatu kerisauan, karena biasanya yang ngotot mencari jawaban akan urgensi koleksi biasanya adalah teman
kita yang tidak punya imajinasi untuk mengoleksi sesuatu; tak harus sama tema
dengan koleksi kita. Sabar, saya nanti akan cerita, betapa koleksi seorang
Fasel bisa punya kepentingan (ekonomis).
Kita kini jawab pertanyaan pertama, sambil
mengakomodir urusan “dokumentasi” ya. Apa yang bisa didokumentasikan dan dikoleksi
oleh seorang Fasel? Ooo banyak itu; saya contohkan yang pernah/ sedang saya
lakukan nih.
- Saya mendokumentasikan rencana program yang akan dilakukan; saya suka menyebutnya dengan skenario. Tingkat kerumitan atau kelengkapan pencatatan skenario tentu disesuaikan dengan konteks kegiatan yang akan dilaksanakan. Eh, gara-gara punya koleksi skenario, saya tidak sangat sulit ketika bikin buku. Saya juga dimudahkan ketika sekian tahun kemudian ketemu program yang konteksnya mirip; saya tinggal buka lagi koleksi dan bisa dapat inspirasi darinya.
- Saya suka motret, termasuk motret kegiatan yang saya libati. Koleksi foto program (experiential learning) sejak 2004 sampai saat ini masih saya simpan dalam folder-folder yang rapi. Penamaan favorit saya untuk menandai tiap folder kegiatan adalah tahun_bulan_tanggal_nama program_lokasi; kadang-kadang saya tambahi keterangan penyelenggaranya. Selain foto, biasanya ada juga film cuplikan program yang pengelompokannya dipisah dari foto. Tentu banyak guna koleksi puluhan ribu foto/ film dinamika dalam program/ event tersebut, salah satunya yang praktis adalah sebagai materi pembuatan proposal, he he he…
- Saya juga mendokumentasikan riwayat program, berupa catatan kapan saya terlibat dalam suatu event; meliputi nama kegiatan (biasanya sudah mengindikasikan siapa pesertanya), waktu, dan jumlah peserta. Kadang saya beri catatan juga aktivitas/ permainan apa yang digelar saat itu. Melalui pengoleksian tersebut, saya bisa dengan mantap mengatakan, eh, menuliskan bahwa per tanggal 26 Maret 2017, saya sudah terlibat dalam 427 program dengan jumlah peserta 28.411 orang, sebagaimana termaktub dalam riwayat ini Bagi saya, koleksi catatan riwayat pendampingan tersebut sesuatu banget, minimal sebagai penanda rekam jejak pribadi.
- Walau tidak selalu, saya juga kerap membuat catatan refleksi terhadap suatu/ beberapa program yang setema. Contohnya ya bisa dilihat dalam blog yang sedang teman-teman baca ini. Motivasi utama saya ya untuk berbagi cerita tentang dahsyatnya experiential learning atau outbound sebagai metode pembelajaran. Dalam beberapa perjumpaan, ternyata banyak para Fasel yang bisa menimba inspirasi setelah membaca blog saya ini; syukurlah.
- Buku-buku terkait EL, juga bisa kita koleksi; asal ada niat. Saya sendiri mengoleksi puluhan buku-buku tentang permainan / outbound. Saya sangat terbantu dengan adanya koleksi buku tersebut ketika mencari ide guna menyusun skenario program experiential learning.
Itulah beberapa hal yang pernah/
masih saya koleksi terkait dengan dunia kefasilitatoran experiential learning.
Saya yakin bahwa kondisi kebanyakan teman-teman Fasel tidak sama persis seperti
saya, yang bisa dengan leluasa mengoleksi skenario program dan foto-foto acara.
Saya memahami bahwa bagi sebagian besar fasilitator, terutama yang freelancer, mungkin tidak bisa
mendapatkan dokumen program, juga melakukan foto-foto seenaknya. Ya, namanya
fasilitator yang “disewa” tentu harus mengikuti aturan main penyelenggara,
termasuk urusan mengakses dokumen program dan pengambilan/ pemanfaatan
foto-foto. Saya bisa mengoleksi dua hal tersebut karena kebetulan saya yang
paling sering jadi programmer dan menjadi penyelenggara program. Setelah
berjibaku melakukan persiapan, maka saat pelaksanaan, saya lebih banyak
“jalan-jalan” fota-foto sana sini kayak orang nggak ada kerjaan. Lha
fungsi yang lain sudah didelegasikan pada staf/ fasilitator lain sih, he he he… Namun, saya yakin, hal
membuat catatan program (yang sudah dilakukan) tentu bisa dilakukan oleh tiap
Fasel, tergantung motivasi yang bersangkutan. Foto kegiatan sebagai sekedar
dokumentasi pribadi, mestinya bisa dimintakan dengan elegan pada sang
penyelenggara.
Sepotong koleksi foto ke-EL-an saya |
Catatan refleksi program, mestinya
bisa juga dibuat oleh tiap Fasel, boleh juga digabung dengan catatan skenario
program yang tadi barusan disinggung. Mengoleksi catatan & skenario program
sungguh bisa memerkaya khazanah para fasilitator, terutama yang bersifat lepas.
“Keunikan” dari tiap provider yang dibantu, serta bertemu dengan banyak tipe
fasilitator utama atau trainer, atau motivator, atau siapapun yang mengelola
program tentu bisa jadi bahan pembelajaran yang sangat berguna. Ya, kembali
pada niatan si Fasel sih, mau belajar apa sekedar berpindah “kerja” dari satu
provider ke provider lain. Untuk riwayat pendampingan, saya yakin tidak ada
yang melarang untuk membuatnya. Apalagi urusan mengoleksi buku guna peningkatan
kompetensi diri, tentu itu sangat mungkin dilakukan oleh fasilitator yang ingin
berkembang (rejekinya)
Singkat kalimat, tidak ada yang
mengharuskan kita sebagai Fasel mengoleksi sesuatu terkait program yang kita
libati. Tidak usah mendebat apa gunanya, tetapi ketika kita dengan tekun melakoninya,
maka pada saat yang tepat, itu akan menjadi harta berharga yang bisa
menderaskan aliran rejeki via karya kita sebagai Fasel; percayalah.
VARIASI
Saya tertantang untuk membuat variasi dalam
urusan merancang skenario program, pun peserta yang “digarap,” bertipe serupa.
Sebagian variasi dibuat setelah belajar atau melihat inspirasi dari program
lain, sebagian dari imajinasi yang dinekatkan untuk dieksekusi. Hasilnya, saya
punya lumayan banyak (pengalaman mengeksekusi berbagai) metode outbound/ experiential learning; baik di tataran
konsep, maupun operasional. Itu cerita saya yang banyak berperan sebagai
programmer/ perancang program; lalu bagaimana dengan fasilitator yang tinggal
mengeksekusi program?
Melalui semangat yang sama, yaitu melakukan
variasi, maka bisa saja kan, kita sebagai fasilitator melakukan variasi model/
teknik fasilitasi; misalnya dari perbedaan games. Masak sih kita cukup nyaman dari tahun ke tahun dengan hanya
trampil memainkan sekian games/ permainan yang sama? Lha, kalo semangatnya hanya gitu,
siap-siaplah digusur oleh fasilitator yang lebih punya banyak koleksi metode
fasilitasi.
Variasi juga sangat dimungkinkan dilakukan
dengan mengombinasikan beberapa format kegiatan. Berikut ini beberapa contoh,
walau sebenarnya lebih condong ke arah fasilitator yang membuat program. Dan
kalo kita mau jadi fasilitator yang mumpuni, mestinya punya misi juga menjadi
programmer ulung, okey?
- Mengombinasikan pelatihan dalam ruang dengan luarruang yang tentu pendekatannya beda, tapi yakinlah bisa disinergikan.
- Memasukkan/ menggunakan unsur budaya atau kearifan lokal dalam program.
- Melaksanakan fasilitasi di tempat seadanya, misalnya sekolah atau halaman kantor. Berbekal keyakinan bahwa experiential learning itu adalah suatu metode, maka seharusnya ketersediaan lokasi tidaklah terlalu mengganggu jika kita “terpaksa” melakukan program di tempat yang (kita anggap) tidak ideal.
- Melakukan program experiential learning di sela-sela rapat tahunan perusahaan pernah juga saya lakoni.
- Outbound di dalam mall/ pusat perbelanjaan bisa juga dicoba sebagai variasi program yang unik.
- Kegiatan “amazing race” tentu sangat memerlukan variasi aktivitas sehingga keseruan yang bermakna bisa kita raih. Tanpa variasi, acara ini bisa terjebak dalam perjalanan nan suram membosankan.
Masih banyak lagi lah, hal-hal yang bisa kita variasikan dalam dunia kefasilitatoran.
Jauhkan mental menggunakan pendekatan yang itu-itu saja dalam karya kita hanya
karena kita tidak mau mencoba, pun peluang terbuka. Namun yang perlu diingat
bahwa variasi yang kita lakukan jika dalam konteks kita “bekerja” untuk lembaga
tertentu, haruslah melalui jalur yang benar. Jangan sampai semangat melakukan
perbedaan yang kebablasen malah merubah konsep penyelenggaraan sehingga
berpotensi mengacaukan ketercapaian tujuan program, padahal kewenangan kita
tidak sampai ke sana, wah, bisa
berabe tuh. Yang jelas sih pada saatnya nanti, kekayaan variasi
pendampingan kita pasti akan berguna, yakinlah.
ASOSIASI
Saya laju merubah SI “kolaborasi” menjadi
“asosiasi” karena setelah direnung-renung, urusan kolaborasi lebih pas
ditimpakan pada para penyelenggara program, bukan pada fasilitator
pelaksananya. Berasosiasi di sini, lebih spesifik dari SI “relasi” dalam
pendasaran pengembangan Fasel. Ya, sebagai sebuah profesi, maka sebaiknya tiap
Fasel mengasosiasikan dirinya pada kelompok keprofesiannya. Kalo ngakunya
fasilitator experiential learning, ya gabunglah dengan Asosiasi Experiential
Learning Indonesia/ AELI, gitu konkritnya. Tak hanya sebatas administratif atau
formalitas saja ya kita gabung dengan asosiasi, namun berasosiasi dengan sesama
anggota melalui berbagai programnya itulah hal yang bisa mengembangkan (nasib)
kita.
Selamat berhari jadi, AELI.... |
Manfaat apa yang bisa diperoleh seorang fasilitator
ketika bergabung dalam asosiasi profesi (yang profesional)? Ya, mestinya banyak
dong, salah duanya saja nih:
-
Bisa
diperjumpakan dengan rekan-rekan seprofesi sehingga berpotensi menambah
jaringan, serta memerkaya khazanah ilmu kefasilitatoran experiential learning.
Secara psikologis, kita juga dikuatkan karena ternyata punya banyak kawan
senasib seperjuangan.
-
Melalui
asosiasi, lebih banyak hal bisa diperjuangkan bersama-sama dalam rangka
pengembangan profesi. Contoh kongkrit nih, para anggota AELI bisa mendapatkan
subsidi dari pemerintah dalam program sertifikasi profesi. Coba, tidak ikut
asosiasi, pasti mbayar sendiri sekian juta rupiah tuh jika mau ikut
sertifikasi; itupun kalau bisa, soalnya hanya yang sudah jadi anggota
asosiasilah yang bisa ikut sertifikasi profesi.
Saya tak
akan memerpanjang tentang kemanfaatan yang bisa diperoleh para Fasel yang ikut
AELI, soalnya saya sudah panjang lebar menuliskannya dalam catatan ini
Silakan
direnungkan ya teman-teman, bahwa apapun profesinya, sebagai seorang
profesional yang mau berkembang,
sebaiknya ya kita bergabung dengan asosiasi profesi yang kredibel. Apakah akan
ikut meningkatkan rekening penghasilan kita? Hmmm…. Mestinya sih bisa, he he he… tentu saja dengan syarat dan
ketentuan lain yang perlu kita lakoni juga.
TRANSFORMASI
SI terakhir guna pengembangan diri Fasel adalah
“transformasi” untuk mereduksi alias merangkum unsur “variasi, ”“investasi” dan
“promosi.” Keempat kata tadi pasti teman-teman tahu apa kesamaannya, ya,
sama-sama diakhiri dengan “SI”. Transformasi berarti perubahan rupa, misalnya
dalam hal bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Nah, transformasi seorang Fasel
diartikan sebagai proses perubahan cara merespon aneka kegiatan experiential
learning. Jangan diartikan seorang Fasel lalu berubah “pekerjaan” jadi koki,
misalnya; bukan semacam itu, karena meninggalkan akar ke-experiential
learning-an itu namanya, he he he….
Transformasi seorang Fasel bisa berupa revolusi
yang cepat, mendadak dan radikal, atau selow semacam evolusi yang diproses
sedikit demi sedikit dalam waktu yang lama. Namun yang jelas, transformasi ini
dalam rangka membawa upaya perubahan nasib dan biasanya bersifat pengembangan.
Banyak hal yang bisa ditransformasikan dalam diri seorang Fasel, sekedar contoh
nih:
Hai para Fasel, ciptakan variasi dengan transformasi yuk... |
- Fasel
tetaplah Fasel, namun ada kesadaran untuk selalu mengembangkan diri sehingga
kian hari kualitasnya kian meningkat. Jika dulu baru jadi Fasel Muda, meningkat
jadi Madya, lalu Utama; setelah itu memerdalam ilmu-ilmu lain guna membuat
variasi/ pengembangan proses pendampingan. Penguasaan bahasa asing digeluti
sehingga lalu bisa mendampingi program ke luar negeri jauh sana. Ya, semacam
itulah contoh transformasi Fasel yang masih ingin berada pada jalur yang
linier.
-
Sangat
jamak bahwa seorang Fasel lalu mencoba mendirikan provider/ lembaga sendiri;
baik asalnya dia seorang freelancer
maupun awalnya dia menginduk pada sebuah lembaga. Perubahan posisi dari seorang
dengan kuadran “profesional” menjadi “pemilik usaha” tentulah punya konsekuensi
bisnis tertentu. Jika sebelumnya fasilitator hanya bisa berkarya jika ada pihak
lain yang membutuhkan, maka kini dengan predikat baru, justru dialah yang
menciptakan peluang bagi para fasilitator lain. Sepenemuan saya selama ini, ada
transformasi model ini yang hasilnya manis, alias lembaganya berkembang, namun
tak sedikit pula yang nasibnya malah kembang kempis sebagai provider. Ah, tidak kita bahas disini ya
ikhwalnya, sorriii, he he he…
-
Boleh
juga seorang fasilitator mencoba diversifikasi, yang arti umumnya adalah penganekaan
usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa,
atau investasi. Contoh nih, awalnya
seorang Fasel hanya bisa memfasilitasi program dalam artian menjadi pendamping
peserta. Lalu pada kesempatan berikutnya dia mencoba menyediakan berbagai
perlengkapan program experiential
learning. Eee, hasilnya bagus,
tahun depan, sambil tetap menjadi Fasel, dia juga bisa mencarikan jalur-jalur
akomodasi dan konsumsi bagi provider yang membutuhkan. Tidak persis sama dengan
berpindah kuadran, namun prinsip diversifikasi dalam konteks ini adalah mencari
celah usaha/ jasa lain yang masih ada hubungannya dengan kegiatan experiential
learning yang difasilitasinya. Bahwa kemudian “pekerjaan” menjadi “makelar”
penunjang program experiential learning dirasa lebih menguntungkan secara
finansial sehingga membuat yang bersangkutan lantas mendirikan usaha sendiri,
itu baik juga adanya, walau sayarat dan ketentuan tentang perbisnisan pasti
berlaku.
Nah itu tadi 4 SI yang bisa Fasel kembangkan
guna meningkatkan kapasitasnya yang pada akhirnya nanti bisa berimbas pada
kenaikan taraf ekonominya. Mohon tetap diingat yang teman-teman pembaca yang
budiman, bahwa konteks tulisan yang mengandung
4 SI ini: koleksi, variasi, asosiasi, dan transformasi, adalah
upaya-upaya yang bisa dilakukan seorang Fasel guna menderaskan aliran finansial
bagi dirinya; setelah ada 3 SI yang mendasarinya, yaitu konsistensi,
kompetensi, dan relasi. Maksudnya, kita kuatkan dahulu yang dasar, sambil
melakukan pengembangannya.
Barangkali ke-dagdigdugan seperti inilah yang ingin dihindari para Fasel (Sumber: Kompas 10 Juni 2018) |
Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi
para Fasel, sehingga tidak perlu berdebar-debar berharap lagi ada EO yang mau
ngasih THR padanya. Bahwa ada provider yang lalu berbagi sukacita dengan
berbagi rejeki, ya disyukurilah, namun mindset
bahwa Fasel adalah profesi yang independen hendaknya menjadi pemacu bahwa nasib
kita-kita para fasilitator ini ditentukan oleh diri sendiri. Selamat
menyongsong Lebaran dengan senyuman.
Brebes, 9 Juni 2018, persis pada hari Jadi
ke-11 AELI
Salam,
Agustinus Susanta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar