Pengantar
Tulisan ini merupakan bagian
kedua; sambungan dari catatan bertema kalibrasi di AELI yang bisa dibaca pada halaman ini . Niat hati sih sesegera mungkin membuatnya, itu dulu..... namun
ternyata butuh 3 tahun untuk mewujudkannya. Agar lebih memaknai konteks catatan
ini, maka seyogyanya kita sudah lebih dahulu membaca bagian pertamanya. Sedangkan,
bagi yang nggak sabar mau langsung loncat ke sini, saya spill
saja pokok-pokok gagasannya.
Begini, pada Tahun 2022 menjelang
MUNAS VI yang juga berdekatan dengan Ulang Tahun ke-15, DPP AELI mengadakan
beberapa acara, salahduanya adalah “MEMBER
SPEAK UP” via zoom dan Live Talkshow “AELI
JOURNEY; Dalam Keniscayaan.” Entah disengaja atau sangat
disengaja, Bang Jaung selaku Ketua Umum menyelonongkan pertanyaan
supermenggelitik, “Apakah (dalam Munas VI nanti) Misi dan Visi AELI perlu
dikalibrasi?” Dalam konteks itulah saya memulai tulisan reflektif yang
akhirnya menyimpulkan bahwa memang ada yang perlu dikalibrasi dalam tubuh
Asosiasi tersebut; yaitu anggotanya.
Salah satu bahasan seru dalam
catatan tersebut adalah diskursus kecurigaan saya pada sebagian anggota yang menjadikan
asosiasi sebagai sarana “jalan pintas” mereka dalam mempertahankan atau meningkatkan
kelangsungan bisnis atau profesinya.
Kalibrasi secara umum dipahami
sebagai proses verifikasi dan
penyesuaian alat ukur agar hasilnya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dalam
konteks tulisan itu, kalibrasi yang saya maksud adalah; dari latar belakang
apapun-selama menggunakan
media experiential learning dalam aktivitasnya- silakan para calon anggota bisa
ndaftar AELI dengan kesadaran bahwa asosiasi tersebut sudah punya misi yang
diperjuangkan. Artinya seseorang yang berminat masuk asosiasi seharusnya
menyesuaikan “standar” AELI yang sudah mempunyai tujuan. Konsekuensi yang
diprioritaskan saat masuk menjadi anggota seharusnya jika dibatinkan suaranya
begini, “Yes, saya sudah tahu misi asosiasi ini dan dengan menjadi
anggotanya berarti menyetujui dan akan ikut andil mewujudkan misi tersebut.”
Tanpa kesadaran semacam itu, (oknum)
anggota bisa berpotensi menjadi biang kerok kegaduhan karena selalu menuntut
AELI untuk memenuhi kebutuhan pribadinya semata. Begitu kepentingan pribadinya
belum atau tidak tercapai, malah mengklaim asosiasi tidak memberi manfaat
baginya; lebih parah lagi lalu ditinggalkan lalu menjelek-jelekkan. Rugikah
asosiasi jika ditinggalkan anggota yang seperti itu?
Cukup sampai di sini ya spill-annya;
saya mau mulai tulis bagian kedua tentang kegenitan AELI. Tulisan yang akan
menjadi kado ulang tahun ke-18 AELI yang ternyata berdekatan juga dengan
rencana MUNAS VII.
Experience berGenit Ria
Kata “genit” mempunyai arti “suka
menggoda, bergaya-gaya, atau banyak tingkah.” Orang yang genit sering
kali berperilaku dengan cara yang menggoda, meskipun mungkin tidak ada niat
serius di baliknya. Saya akan awali catatan ini dengan “experience” sederhana
dalam praktik menjadi genit untuk menyampaikan sebuah informasi bergambar
tentang salah satu permainan outbound bernama “pipa bocor.” Karena genit, maka
saya akan dibantu AI (Artificial Intelligence) yang sedang naik daun supaya
lebih keren dan bergaya. Oh ya, Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan
buatan adalah bidang ilmu komputer yang berfokus pada
pengembangan sistem dan teknologi yang dapat melakukan tugas-tugas yang
biasanya memerlukan kecerdasan manusia, seperti belajar, penalaran, dan
pemecahan masalah. AI dapat meniru kemampuan intelektual manusia, seperti
mengenali pola, membuat keputusan, dan menyelesaikan tugas-tugas kompleks
dengan cepat dan efisien. Pengertian itu saya dapat dari AI juga lho;
bagaimana, saya sudah mulai genit belum? He he he...
12 Maret 2025 saya meminta
bantuan salah satu AI berjudul ChatGPT untuk menampilkan penampakan gambar
permainan “pipa bocor” dalam gambar berikut ini, yang tersaji dalam hitungan sekitar
1-2 menit saja.
![]() |
Ayo Bro, main Pipa Bocor |
Wow keren ya hasilnya, tampak hidup.... walau jujurly hasilnya sangat membagongkan saya. Karena genit, saya minta tolong lagi pada ChatGPT melakukan revisi gambar agar para pemain “pipa bocor” tadi mengenakan caping. Tak lama dia kirim gambar begini
![]() |
Asyik nggak kepanasan karena sudah pake caping |
Hmmm... untuk gambar ini
no komen lah. Dasar mau jadi orang genit, yang suka bergaya dan banyak
tingkah; saya penasaran dan mulai ngelunjak minta hal-hal di luar nurul,
eh, nalar; yaitu merevisi gambar lagi agar mereka bermain di tengah laut,
dikelilingi perahu nelayan. Abrakadabra; dalam beberapakejab mereka yang sedang
outbound pindah ke laut seperti ini.
![]() |
Lho lho lho... itu siapa ngeliatin kita? |
Bagaimana, perubahannya keren,
khan? mana bikinnya nggak sulit lagi; tinggal ketik sana-sini dan tekan enter. Baik
hati sekali ya ChatGPT; menggoda kita untuk terus mengeksplorasinya walau
kadang untuk hal-hal yang absurd.
Hmmm... namun apakah memang
seperti ini informasi yang semestinya saya terima tentang permainan “pipa
bocor?” Jika saya berhenti sampai sini, maka saya akan mendapat informasi yang
ya seperti gambar pertama tentang bentuk permainan pipa bocor, gambar
berikutnya adalah bentuk kegenitan yang makin “melayani” rasa penasaran saya,
walaupun hal itu (dalam hati) malah makin mengaburkan substansi dan tidak
membawa saya ke mana-mana selain keterpenuhan akan rasa penasaran.
Sampai di sini saya memahami
bahwa salah satu sifat genit itu (merasa) terlihat keren nan berbobot atau
penting untuk mengesankan orang lain dengan harapan mendapat perhatian.
Nhah menjelang bikin
tulisan ini, tepatnya Hari Kamis Pon tanggal 5 Juni 2025, saya kembali minta
bantuan ChatGPT untuk membuatkan 3 rangkaian gambar dengan tahapan perintah
yang persis seperti yang dulu12 Maret 2025. Saya deg-degan menunggu apakah akan
dapat gambar yang lebih diharapkan, sama dengan percobaan pertama, atau malah
dapat gambaran yang tambah “ngawur.” Tak lama berselang, hasilnya muncul begini.
Hmmm... kenapa
penggambaran permainan “pipa bocor” seri pertama kegenitan saya tentang dengan
seri kedua bisa berbeda? Ya saya nggak tahu persis algoritmanya; namun bisa
jadi dalam kurun waktu 3 bulan, AI juga belajar sehingga tahu kalau permainan
pipa bocor yang saya maksud itu cenderung seperti gambar seri kedua. Okey,... saya
tidak akan berlarut membahas konten gambarnya karena itu hanya bentuk kegenitan
agar banyak gaya dan tingkah saja.
Ternyata kemajuan teknologi bisa
mendorong kita untuk “bergenit ria” memanfaatkannya hanya untuk memuaskan rasa
penasaran kita. AI memang membantu, namun tanpa kita juga mengerti bagaimana
permainan pipa bocor itu dilaksanakan, maka gambar yang pertama muncul bisa
jadi akan terlahap mentah-mentah; oh, begitu ternyata permainan pipa bocor. AI yang
bisa menciptakan gambar dengan varian hampir tak terbatas kini menghampiri dan
menggoda kita untuk memanfaatkannya dalam menimba inspirasi. Tantangannya
adalah apakah kita punya sikap kritis dalam memanfaatkannya dilandasi dengan
literasi yang cukup? Membuat sesuatu yang meriah, bagus, bombastis, kadang
imajinatif kini bukan hal yang sulit dilakukan.
Menutup subtema ini, saya
mengutip Yuval Noah Harari, seorang Filsuf yang mengatakan: “Di era AI, jika
kita tidak mengajarkan berpikir kritis, manusia akan menjadi pelengkap
algoritma.”
Tanpa kemampuan berpikir
kritis, manusia mudah terseret arus informasi yang diproduksi dan dikendalikan
oleh algoritma. Kita menjadi sekadar penerima, bukan pengendali; sekadar
pengguna, bukan penafsir. AI bisa menyajikan data dengan cepat dan rapi, tetapi
hanya manusia yang bisa memahami konteks, menggali makna, dan mempertanyakan
arah.
Ketika kita berhenti
mengajarkan orang untuk berpikir sendiri, kita sedang menyerahkan keputusan
penting pada sistem yang tidak punya nilai, empati, atau kesadaran moral. Di
sinilah letak bahayanya: bukan karena AI terlalu pintar, tetapi karena manusia
terlalu malas berpikir. Kita mulai percaya bahwa yang paling sering muncul di
layar adalah yang paling benar.
Berpikir kritis adalah
keterampilan bertahan hidup di tengah banjir informasi. Tanpanya, manusia tidak
lagi menjadi pemilik keputusan, melainkan produk dari pilihan-pilihan yang
diatur oleh logika mesin. Di masa depan, mempertahankan kemanusiaan bukan soal
menolak teknologi, tetapi soal tidak melupakan cara berpikir yang membedakan
kita dari mesin.
Cukup ya experience kegenitannya yang
saya contohkan di sini difasilitasi oleh AI. Yakinlah untuk bergenit ria, kita siap
dibantu dengan banyak item lain selain teknologi; misal: tren, berita viral,
FOMO (Fear Of Missing Out), ketakutan dianggap bodoh, dan sebagainya.
Menuju AELI 18+
Sekarang kita ngepoin AELI; lembaga pembelajaran yang berdiri hampir 18 tahun lalu (9 Juni 2007); serta mulai saya akrabi 13 tahun lalu dengan jadi moderator grup Facebook AELI... sampai sekarang. Apakah tidak kurang ajar, saya ngatain AELI itu genit? Ups, jangan dibalik “Kegenitan AELI” itu beda dengan “AELI yang genit” ya. Apa bedanya? Silakan pembaca yang budiman bisa merenungkannya sendiri. Begini, saya menerapkan experiential learning (benar-benar belajar dari pengalaman) juga selama 13 tahun berdinamika dalam lembaga tersebut. Misalnya melalui beberapa pengalaman konkrit ini:
- Pernah mendeklarasikan pembentukan serta menjadi ketua DPD di Sumatera Selatan;
- Beberapa kali ikut pertemuan entah itu rapat, gathering, training, maupun selebrasi asosiasi, baik di tingkat nasional maupun (beberapa) provinsi.,
- Jadi tim Pemateri Jateng dan narasumber atas nama AELI,
- Masuk Kelompok Kerja “Sekolah Fasel,”
- Dipercaya negara jadi asesor kompetensi dalam proses seertifikasi profesi fasel/ pemandu outbound, dan
- Terakhir saya dapat SK jadi tim SC (Steering Committee) MUSDA DPD Jateng bulan April 2025 lalu.
Oh ya, memang selama beberapa
tahun terakhir sejak pindah dari Palembang ke Brebes, saya hanya menjadi
anggota saja di DPD Jateng tanpa keterlibatan di kepengurusan. Maka, hal-hal yang
saya tulis ini hanya dirangkum dari “kacamata” anggota saja, bukan pengurus DPD
atau DPP yang mestinya rutin melakukan pembahasan dan bisa lebih valid dalam
menyajikan data. Selama 13 tahun tadi, mengalami beberapa kali pergantian kepengurusan
DPP, terlibat serta menjadi pengamat gerak asosiasi, terlebih kecintaan pada
asosiasi membuat saya sudah sering ngomongin lembaga ini; sekedar contoh ini; single
fighter bikin Forum AELI yang hanya bertahan 3 edisi (ha ha ha.... konyol
juga itu). Yang penasaran, bisa klik contohnya
di sini saja
Bahkan beberapa kali AELI jadi bahan tugas kuliah, seperti termaktub di sini
Begini; AELI itu terus
berkembang, termasuk komposisi kepengurusan di tingkat pusat silih berganti;
semuanya orang yang punya pengalaman bersinggungan dengan dunia experiential
learning atau outbound. Semua program atau rencana tentu sudah coba disusun
dengan baik, walaupun ternyata dalam pelaksanaannya ada saja
variasi-variasinya. Barangkali suatu program memang baik adanya dan ideal untuk
diadakan, namun saya melihat beberapa kegiatan sudah dijalankan dengan baik, hanya sayangnya tidak
dipersiapkan tindak lanjutnya.
Berikut ini deeretan contoh yang saya
khususkan berkelindan dengan misi nomor dua kita, hayo apa itu? ingat nggak?
Yup betul. Meningkatkan kualitas
pengguna metode pembelajaran berbasis pengalaman yang bertanggung jawab
terhadap pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Kita simak dengan
sabar ya:
Peristiwa Pertama
Pada 1 Oktober 2014, Kang Ageng
Aditya selaku Kabid Litbang DPP AELI mengirim pesan ke grup FB AELI dengan
pengantar begini: Selamat sore temans DPD , pengurus dan penasehat DPP AELI
semuanya...., Berikut ini kami lampirkan penajaman analisis kebutuhan secara
komprehensif yang telah disusun oleh kang Tonny Dumalang, selaku salah satu
penasehat DPP AELI (thanks ya kang untuk
kajianya).
Kajian ini dibuat pasca
workshop susulan tahap II dan sarasehan DPD DIY yang dihadiri oleh sekitar 40
praktisi dan pemerhati EL , dibahas di Bogor dan mendengarkan harapan dan
masukan dari beberapa teman pengurus di DPD, DPP dan Dewan Penasehat.
Terima kasih banyak untuk
peran dan kontribusinya kepada : 1.Kang Tonny Dumalang, 2.Mas Mulyanto, 3.Bang
Ilham Prasetyo, 4.Kang Ali, 5.Mas Yuniga F., 6.Mas Dian W., dan seluruh temans
yang telah memberikan banyak saran, kritik positif dan tenagany.
Semoga , dasar pemetaan ini
akan meningkatkan standar kualitas pengembangan bagi kemajuan Asosiasi
Experiential Learning Indonesia. Salam EL ya....!!!!
Selanjutnya Kang Ageng kirim
dokumen PDF 7 halaman yang isinya tentang Global Positioning Strategies –
Education & Development. Saya hanya tampilkan secuplik berkasnya dalam
bentuk tangkapan layar ya.
![]() |
GPS - E&D AELI |
Suwer, isinya keren.. 10 tipe customer AELI saja dibedah satu persatu. Saya yakin, tanpa campur tangan anggota AELI yang kompeten di bidangnya, mustahil dokumen telaah tadi terjelma. Namun ya sayangnya saya belum pernah dengar tindak lanjutnya seperti apa.
Bagi yang penasaran isi lengkapnya, monggo mampir ke sini
Peristiwa Kedua
Pada tanggal 28-30 Mei 2018; ini
saat puasa ramadhan; Saya, Mas Soel, Mas Ega, Bang Rangga, dan Kang Widhie
terlibat dalam merumuskan “pekerjaan dari DPP” sebagai Kelompok Kerja/ Pokja
Sekolah Fasel. Ngumpul di rumah saya di Brebes kami seru membahas
macem-macem ikhwal silabus materi yang diimajinasikan akan digunakan sebagai
tempat para fasel “bersekolah” alias mengembangkan diri. Hasilnya “hanya”
berupa silabus atau RANCANG BANGUN PEMBELAJARAN SEKOLAH FASEL yang
berisi 6 materi utama. Saya tidak beberkan di sini ya isinya; cukup keseruan
suasana diskusinya di sekretariat MANCAKRIDA OUTBOUND; kali ini tanpa ditemani
minuman kopi karena pada puasa.
![]() |
Pokja Sekolah Fasel AELI sedang diskusi seru |
Seingat saya, ada 2 Pokja lain yang “dipekerjakan” DPP; semoga tidak keliru Pokja yang membahas Sertifikasi Venue, dan Pokja yang membahas Sertivikasi Lembaga. Para pekerja 2 Pokja ini sama dengan kami kerja kerasnya; secara swadaya (tanpa diongkosin DPP apalagi dihonorin) mbahas ini itu. Adakah hasilnya? Mestinya ada, namun saya tidak tahu seperti apa bentuknya dan sedekat apa hal tersebut seperti yang diidamkan DPP. Terhadap konten bahasannya, secara pribadi saya masih bertanya-tanya, misal tentang “Venue,” apa sih urgensinya AELI secara resmi membahas tentang venue, apalagi sampai menggagas penerbitan sertifikasi. Iya, kalau dihubung-hubungkan ya ada saja keterkaitannya sih, misal fasel yang memfasilitasi experiential learning di venue tertentu. Lalu so what gitu lho? Apa kita (sangat visioner) mau ikut bikin regulasi legalnya? Yang penting gasss.....
Kini saya tersenyum simpul
sendiri membayangkan kejadian 7 tahun lalu ini. 2 Pendiri AELI jauh-jauh dari
Yogya dan Bogor datang ke Brebes dengan biaya sendiri, ada lagi “orang penting”
dari Bandung yang dini hari saya jemput di Stasiun Tegal; satunya kalo benar orang
yang tak kalah penting juga dari Bogor saya lupa naik apa ke rumah saya. 3 hari
bergumul dalam suasana puasa, semangat membahas konten yang sudah digariskan
DPP. Coba apa yang Anda rasakan jika dalam posisi kami; hasil sudah disampaikan
pada “pemberi kerja” namun sekian purnama berlalu tanpa ada kejelasan kapan “sekolah”
tersebut diresmikan. Kalau saya sih dari sisi pelaksana merasa (maaf)
konyol saja; sedangkan untuk pemberi kebijakan, saya sebut (sekali lagi maaf)
genit. Apakah saya menyesal? Ah, nggak ada yang perlu disesalkan kok;
itu kan hanya tentang bagaimana disposisi batin kita dalam merespon sesuatu. Setidaknya
hal itu bisa menjadi materi tulisan ini, he he he...
![]() |
Masa nyesel sih kalo sudah bisa bikin kaya gini |
Peristiwa Ketiga
Pada tahun 2018 itu juga digagas pembuatan
buku tentang experiential learning, yang diimajinasikan bisa mencerminkan
“posisi” “belajar melalui pengalaman” versi AELI. Harapan berikutnya tentu bisa
menjadi semacam “materi rujukan” bagi para anggota AELI. Saya termasuk salah
satu kontributor/ penulisnya, kebetulan menulis tentang experiential learning
jenis rerkreasional. Tidak perlu lah saya sebutkan kontributor lainnya, yang sebagian
besar itu para pendiri asosiasi ini lho.
Krik krik krik... 7 tahun berlalu.
Setelah melalui berbagai diskusi virtual, termasuk jumpa darat, penerbitan resmi buku tersebut juga bagaikan menunggu godot. Pernah sih dibuat contoh/ mock up dan dibagikan pada para Ketua DPD dengan maksud untuk diberi komentar; namun yach responnya sangat minim, hampir tidak ada yang memberikan umpan balik terhadap tulisan-tulisan kami. Barangkali ini juga yang saat itu perlu dikalibrasi ya. Kini menjelang ulang tahun ke-18, materi buku yang sebenarnya sudah selesai dan tinggal melengkapi profil penulisnya itu belum terwujud juga penampakannya.
![]() |
Krik krik krik ..... |
Grup WA Buku EL AELInya sih masih eksis, isinya saja yang dulu gayeng karena jadi wadah pertukaran gagasan, kini sepi pakai sekali. Apakah ini sebuah kekonyolan bagi kami para penulis, namun kegenitan (lain) dari pemberi tugas? Hmmm... monggo simpulkan sendiri
Peristiwa Keempat
2 Desember 2019 Mas Ardian Rangga
selaku Kabid Diklat AELI 2019 – 2022 melalui Design
Modul Training For AELI -Ruang Tumbuh AELI- menerbitkan tulisan berjudul Design Modul
Training For AELI -Ruang Tumbuh AELI
Saya kutip sedikit alineanya:
Ya, AELI sudah 12 tahun
berdiri, semakin banyak anggota dan semakin banyak tantangan, belum lagi mulai
terlihat shifting program EL di “market” sejak awal AELI berdiri yang dominan
Adventure Base dengan kondisi saat ini. Customer semakin butuh FASEL yang
memiliki performa berkualitas bukan hanya FASEL Outdoor tetapi juga FASEL yang
cakap memandu di Indoor. Sementara media belajar dan pengembangan diri ini yang
belum di tata dengan baik secara nasional.
Hampir semua DPD AELI telah
melakukan tugas peningkatan kapasitas anggotanya, akan tetapi secara nasional
belum ada satu kesepahaman dalam hal peningkatan kapasitas anggota AELI. Baik
bagi anggota Lembaga maupun Anggota praktisi. Kesepahaman dalam hal acuan
materi, teknik delivery dan outcome pelatihan yang terstruktur baik bagi
seluruh DPD..
Saya pada masa itu tidak aktif
dalam kepengurusan sehingga tidak tahu persis bagaimana kelanjutan gagasan
tersebut. Namun dengar-dengar DPP mengadakan beberapa pertemuan dan sempat
mengujicobakan modul yang dimaksud. Bagus lah; sampai ada beberapa rekan
yang istilahnya menjadi “Pemateri Nasional” (Angkatan I). Saya mengapresiasi
hal tersebut walau tidak bisa menjelaskan detilnya, namun yakin kegiatan tersebut
dilaksanakan dengan serius dan sungguh-sungguh; dan tentu saja dengan niat
baik.
Peristiwa Kelima
Nah, ini yang paling
gress, terbaru pada tahun 2025 ini, ada lagi gebrakan dari DPP yang mau bikin
Pemateri Nasional Jilid II senyampang SKKNI Fasilitator experiential learning
yang baru sudah disahkan oleh pemerintah (rangkuman draft KUKnya sudah saya
beberkan di tulisan pertama ya)
Pada 1 Mei 2025 Mas Gigih selaku
Sekretaris Jenderal DPP, menerbitkan berita di website AELI tentang peristiwa
kelima ini; begini “bunyi” pembukanya:
Banyak yang sudah
tersertifikasi, tapi belum tentu teruji dan ingin berkontribusi. Itulah kenapa
AELI menyelenggarakan Training of Trainers (TOT) Pemateri Nasional pada 28–30
April 2025 di Gunung Geulis Campsite, Gadog – Bogor. Kegiatan ini bukan sekadar
pelatihan lanjutan, tapi menjadi ruang pembuktian kontribusi—bagi para anggota
AELI yang ingin mengambil peran lebih besar sebagai pemateri resmi program
peningkatan kapasitas anggota AELI.
Sebelumnya, 90 anggota AELI
telah mengikuti ToT Instruktur KKNI Level 4 yang diselenggarakan oleh
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Mereka telah dinyatakan kompeten
dalam menyusun program pelatihan, merancang materi, melaksanakan sesi tatap
muka, hingga mengelola bahan dan media pembelajaran. Sertifikasi dari BNSP
menjadi pengakuan atas kapasitas mereka sebagai trainer profesional.
Naskah selengkapnya silakan bisa dibaca di sini ya
Beberapa rekan Fasilitator, dengan
biaya sendiri terlibat dalam proses tersebut sampai menghasilkan produk yang menurut
saya bermutu. Salut!
Lebih menarik lagi, DPP pun 2
kali mengadakan Uji Petik secara daring terhadap produk tersebut untuk menerima
umpan balik. Hal ini menandakan kita sudah menerapkan prosedur yang keren untuk
menciptakan sebuah “perangkat pembelajaran.”
Dalam konteks ngomongin “kegenitan,”
saya tertarik dengan pernyataan penutup dalam berita di website tadi yang “bunyinya”
begini “TOT Pemateri Nasional AELI bukanlah akhir dari proses, melainkan
titik berangkat dari sebuah gerakan baru. Gerakan untuk menguatkan
kapasitas anggota, menyusun standar bersama, dan memastikan experiential
learning hadir bukan hanya sebagai metode, tetapi sebagai budaya pembelajaran
yang hidup. Dari ruang kecil di Gunung Geulis ini, AELI membangun langkah besar—karena
perubahan besar memang selalu dimulai dari komunitas yang percaya, belajar, dan
bergerak bersama.”
Saya berharap TOT yang disebut sebagai “titik berangkat dari sebuah
gerakan baru” ini kelak bisa bermanfaat dengan cara difungsikan; bukan sekedar menjadi
“peristiwa” kejar tayang demi memenuhi “Amanat Munas VI” karena sebentar lagi akan terjadi suksesi DPP. Amit-amit
ya, jangan sampai pencapaian penting ini mangkrak sehingga menambah “kegenitan” kita dalam mencoba
mewujudkan misi kedua kita saat nanti usia AELI jadi 18+.
Kecurigaan
Cukup ya contoh kejadiannya; 5
sudah banyak lah. Tentu tiap kepengurusan DPP merancang berbagai contoh
kegiatan atau peristiwa tadi dengan niat baik, namun (bagi saya) entah mengapa
hasilnya ada yang belum maksimal dalam arti sinambung terrangkai. Saya menduga
karena ada sifat genit yang meronta-ronta dalam asosiasi kita dalam
mengimajinasikan dan mengeksekusi berbagai peristiwa tadi.
Saya jadi ingat kalau pada 23
April 2013 (betul 2013, bukan 2023 ya) di grup Facebook AELI ada akun bernama
“Partisan Outbound” yang ngirim pesan begini:
Mereka sibuk diskusi dan
mencari format bentuk EL, good. Semoga tidak terjebak pada " estafet
diskusi " yang tidak berkesudahan. Hasilnya harus seperti " Pensil
", digunakan untuk menulis di kertas dan berkomunikasi. Hasilnya harus
seperti gelas, alat anda untuk minum. Itu SOLUSI...dan solusi itu teknologi,
hal yang sangat teknis...anda harus menghasilkan hal yang teknis !
Karena dikirim dalam Grup FB AELI,
saya artikan yang disebut dengan “mereka” dan “Anda” dalam postingan tersebut adalah
AELI. Apakah si pengirim saat itu sudah mencium aroma “kegenitan” dalam diri
AELI, sehingga gemes dan berkirim pesan seperti ini? Hmmm... bisa jadi,
memang dia cenayang? Dan saya pastikan itu bukan akun saya lho, he he he...
Satu lagi yang saya amati sebagai
bentuk kegenitan (minor) adalah, beberapa tahun belakangan berbagai program
atau acara AELI sering dibubuhi jargon, atau keterangan dalam bahasa inggris.
Sebagai penulis beberapa buku, saya selalu berusaha membahasa-Indonesiakan
aneka istilah asing yang coba saya tulis. Lha ini asosiasi sepertinya
dengan enteng menabur berbagai istilah (keren) dalam bahasa Inggris. Contohnya
adalah 3 bagian dalam kepengurusan yang diberi nama dengan cluster kerja
yaitu Groundworks, Level Up, dan Exposure. Jujurly,
jika tidak diulik alias diberi penjelasan, saya sebagai anggota saja nggak
sepenuhnya paham apa maksudnya itu. Saya sih berharap rekan-rekan yang
ada di Kepengurusan DPD tahu betul arti dan implikasi 3 nama tersebut; seandainya tidak, wah
jadi korban kegenitan deh, he he he...
Genit boleh, asal punya
pendasaran yang kuat dan pesan bisa ditangkap dengan jernih oleh yang lain.
Yang dihindari khan inginnya keren, bombastis, kekinian, namun lemah
dalam urgensi makna, dan yang lebih penting lagi implementasinya.
Saya coba telaah, mengapa dalam
urusan mengembangkan anggota AELI, jika
direntang dalam kurun 11 tahun terakhir (2014 – 2025) kita kok kesannya bertele-tele.
Jika mengambil analogi akun “Partisan Outbound,” mungkin ini yang disebut terjebak dalam “estafet diskusi.” Asyik
khusyuk bagaimana membuat “pensil,” namun setelah jadi, belum juga digunakan
untuk menulis, ganti diskusi dalam proyek lain untuk bikin “gelas” sebagai alat
sejenis. Eee... belumlah gelas digunakan untuk minum sudah timbul ide
bikin perangkat lain lagi. Apakah ini yang disebut dengan jebakan betmen? Au
ah, gelap.
Akhirnya, telaah saya
menghasilkan 3 kecurigaan seperti ini.
- Dokumentasi berkas-berkas hasil pemikiran maupun keputusan pengurus atau panitia (ad hoc) bentukannya belum dilakukan dengan baik sehingga pihak-pihak terkait juga tidak mendapat data tentang apa yang sudah terjadi sebelumnya. Orang Indonesia masih kental budaya dengan budaya oral atau berbicara, sehingga pun seandainya ada kesepakatan penting yang dilakukan secara omong-omong saja namun tidak terdokumentasikan secara tertulis bisa membuat keputusan tersebut kurang dipahami oleh pihak yang tidak paham konteksnya.
- Godaan ingin selalu membuat yang baru dalam tiap pergantian kepengurusan, kadang menyiutkan niat untuk menelaah dokumentasi berkas periode sebelumnya (jika ada). Akibatnya mungkin ada hal yang sebenarnya sudah dibahas bahkan diputuskan pada kepengurusan sebelumnya, eee malah didiskusikan kembali dengan nama/ bungkus yang berbeda. “Kegairahan” mengubah atau membuat hal baru mengalahkan niat untuk mengaplikasikan (pencapaian) yang sudah ada.
- Perlunya kepemimpinan yang kuat serta berkesinambungan antar periode kepengurusan yang bisa melihat keterkaitan produk-produk yang sudah maupun yang akan diciptakan.
Stop tentang jenis kegenitan AELI
ini. Hal-hal di atas yang layak dianggap sebagai nyinyiran sebenarnya ingin
saya tulis 3 tahun lalu, namun apa daya sayanya yang sontoloyo, janji kok 3
tahun baru ditepati; mana diselingi kesibukan Kuliah RPL S2 kerjasama AELI-UNY
segala. Semoga tidak ada yang tersinggung jika “kerja keras” AELI seperti yang
beberkan tadi hanya disebut dengan “peristiwa,” lalu masih disebut sebagai
kegenitan pula; dasar.
Lalu?
Saya mungkin akan dicap sebagai
anggota yang kurang kalibrasi jika hanya bisa bikin catatan miring tentang
asosiasi yang diikutinya. Genit, nyinyir, NATO (No Action Talk Only), ember,
dan sebagainya. Mungkiiiinnn.... maka apa yang lalu bisa saya lakukan?
Eh, sepertinya semesta mendukung.
Tanggal 3 Maret 2025 DPD AELI JAWA TENGAH Telah Membentuk panitia Steering
Committee (SC) dan Organizing Committee (OC) untuk kegiatan Musyawarah Daerah
(MUSDA) Tahun 2025 yang dituangkan dalam Surat Keputusan No.009/DPD-AELI-JATENG/II/2025.
Coba tebak apa hubungannya dengan saya? Ternyata saya ditunjuk menjadi SC/
Steering Committee bersama Mas Tobang dan Mbak Januar.
![]() |
Penampakan Musyawarah Daerah AELI DPD Jateng Th. 2025 |
Namun, sepertinya saya sudah terlalu panjang menulis di catatan kedua ini, sehingga berpikir akan melanjutkannya di catatan berikutnya. Di sana nanti saya akan cerita perjuangan agar tidak menjadi genit dalam suatu peristiwa asosiasi. Ada juga kisah tentang imajinasi bagaimana AI bisa membantu AELI bertumbuh menuju 18+
(semoga) bersambung
AELI, Bersatu Berjaya!
Brebes, 7 Juni 2025
Agustinus Susanta, M.Pd. - nomor
anggota 33020098
Tidak ada komentar:
Posting Komentar