Hei.... tulisan ini merupakan makalah yang diajukan sebagai Ujian Akhir Semester 2022/2023 mata kuliah TEORI PENGEMBANGAN MANUSIA DAN MASYARAKAT yang diampu oleh Prof. Dr. Dra. Serafin Wisni Septiarti, M. Si. Yuk segera kita simak.
Pengantar
Pada tanggal
24 Januari 2007, 7 tokoh dari lembaga
penyelenggara outdoor training,
sepakat untuk membentuk asosiasi dengan nama “Asosiasi Experiential Learning Indonesia” (AELI).
Penggunaan nama experiential learning
disepakati, setelah melalui diskusi panjang yang cukup alot, sebab ada pula
gagasan agar menggunakan nama “outbound.” Namun akhirnya nama Experiential
learning dipilih, karena semua lembaga penyelenggara outdoor training
sebenarnya menerapkan metodologi pembelajaran ini. Dengan memilih nama experiential learning, anggota asosiasi menjadi tidak hanya terbatas
pada lembaga penyelenggara outdoor
training, melainkan juga para lembaga pendidikan formal (sekolah, perguruan
tinggi), para pengajar (guru, dosen), maupun lembaga-lembaga pendidikan nonformal
di luar outdoor training. Asosiasi ini bahkan juga terbuka bagi siapa saja yang
berminat terhadap metode pembelajaran berbasis pengalaman atau dikenal dengan experiential learning. Salah satu gambaran aktivitas experiential
learning bisa dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pelatihan berbasis Experiential Learning menggunakan media permainan “Spider Web”
Dalam contoh pelatihan berbasis experiential learning menggunakan media permainan “Spider Web,” proses bagaimana kelompok peserta menjalani aktivitas tersebut lalu direfleksikan untuk bisa diambil maknanya bagi tiap peserta. Lebih kurang, aktivitas semacam itulah yang banyak dilakukan oleh para pegiat experiential learning yang terbagung dalam AELI.
AELI didirikan dengan visi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misi AELI adalah:
- Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
- Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
- Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia [1].
Saat ini
AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
dan Sulawesi Selatan. Secara rutin AELI digandeng oleh pihak LSP
(Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk menyelenggarakan kegiatan Uji Kompetensi
Fasel. Istilah “Fasel” menjadi sebutan baku yang mengacu pada seseorang yang
berperan memfasilitasi kegiatan experiential
learning. Hal ini tertuang dalam
SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan
outbound/ fasilitator experiential
learning yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI pada
tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja yang relevan
dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang harus
dimiliki seorang fasel sesuai SKKNI adalah:
- Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi,
- Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Mengatur Sumber Daya Untuk Program,
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
- Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),
- Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope),
- Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan
- Menolong Korban [2].
Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential
Learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan
berbasis experiential learning,
ditandai dengan kegiatan uji kompetensi profesi Fasel. Terdapat 3 tingkatan
sertifikasi fasel, yaitu: Muda, Madya, dan Utama. Fasel tingkat muda diarahkan
“hanya” untuk memandu program rekreasi saja. Fasel tingkat madya sudah bisa
memandu program rekreasi dan edukasi, sedangkan fasel tingkat utama selain bisa
memandu semua program, tetapi juga boleh merencanakan programnya sekaligus.
Pada Tahun 2023, pemerintah melakukan pembaharuan SKKNI karena sadar bahwa kompetensi para fasilitator experiential learning perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman. Masa pandemi Covid-19 di Indonesia juga membawa paradigma baru tentang pelaksanaan experiential learning yang ternyata bisa dilakukan juga melalui sarana kemajuan jaringan internet. Draft rancangan perubahan SKKNI tersebut mencakup 47 unit kompetensi kerja sebagai berikut:
- Melakukan Analisis Kebutuhan Klien
- Menetapkan Kategori Program berdasarkan Kebutuhan Klien
- Menyusun Rencana Pelaksanaan Kegiatan
- Menyusun Rencana Pengalokasian Sumber Daya Kegiatan
- Menyusun Materi Kegiatan
- Menyampaikan Rencana Pelaksanaan Kegiatan
- Membangun Kerja Sama dengan Mitra Kerja dan Klien
- Membina Kerja Sama dalam Lingkungan Sosial yang Berbeda
- Melaksanakan Pengarahan Kegiatan
- Mempersiapkan Sumber Daya Kegiatan
- Menerapkan Standar Etika dan Etiket di Tempat Kerja
- Menetapkan Antisipasi Risiko
- Memberi Pertolongan Pertama
- Mempraktikan Komunikasi dalam Bahasa Asing
- Menerapkan Perlindungan Anak dalam Kegiatan
- Melaksanakan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas
- Menangani Keluhan Peserta
- Mengelola Peralatan dan Perlengkapan
- Memimpin Kelompok
- Menangani Situasi Konflik
- Melaksanakan Pengkondisian Kegiatan
- Memberikan Instruksi Aktivitas Permainan
- Memandu Aktivitas Permainan
- Memfasilitasi Dinamika Kelompok
- Mengelola Perilaku Peserta
- Memfasilitasi Kegiatan ExperientialLe arning bagi Peserta Dengan Kebutuhan Khusus
- Memfasilitasi Aktivitas Kegiatan Experiential Learning Berbasis Tantangan
- Memfasilitasi Aktivitas Kegiatan Experiential Learning Berbasis Petualangan (Adventure)
- Memfasilitasi Aktivitas Kegiatan Experiential Learning Berbasis Tourism
- Memfasilitasi Aktivitas Kegiatan Experiential Learning Berbasis Digital
- Memfasilitasi Kegiatan Challenge Course
- Memfasilitasi Kegiatan Water Challenge
- Memutakhirkan Pengetahuan Pariwisata dan Budaya Lokal
- Mengoperasikan Perangkat dan Aplikasi
- Memfasilitasi Ulas Pengalaman (Debriefing) Peserta
- Melakukan Penilaian Perkembangan Peserta
- Menyusun Instrumen Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
- Melakukan Monitoring dan Evaluasi Kegiatan
- Mengevaluasi Kinerja Mitra Kerja
- Melakukan Pelaporan Kegiatan
- Melaksanakan Tindakan Korektif
- Melakukan Intervensi Pelaksanaan Kegiatan
- Mempublikasikan Experiential Learning
- Membuat Rencana Perbaikan Sumber Daya
- Mengembangkan Kegiatan Experiential Learning
- Meningkatkan Kompetensi Sumber Daya Manusia
- Meningkatkan Jejaring Kerja [3].
SKKNI baru juga memroyeksikan 5 tingkatan sertifikasi Fasel yang boleh dipilih para fasilitator outbound yang mencerminkan suatu jabatan kerja, yaitu:
- Pemandu Outbound, (Jenjang Kualifikasi III).
- Fasilitator Experiential Learning, (Jenjang Kualifikasi IV).
- Lead Facilitator, (Jenjang Kualifikasi V).
- Programer Experiential Learning, (Jenjang Kualifikasi VI).
- Experiential Learning Expert, (Jenjang Kualifikasi VII).
Penjelasan singkat 5 tingkatan tadi adalah sebagai berikut:
Pemandu Outbound adalah seorang yang menjalankan pekerjaan di bidang experiential learning dimana dirinya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tugas memandu serangkaian aktivitas permainan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan kegiatan yang ditentukan. Alternatif jabatan seorang pemandu outbound antara lain menjadi ice breaker, games master, atau pemandu game.
Fasilitator
experiential learning adalah seorang yang menjalankan pekerjaan di bidang
experiential learning dimana dirinya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan
untuk melaksanakan tugas memfasilitasi kelompok dalam kegiatan experiential
learning yang dirancang sesuai dengan kebutuhan dan tujuan kegiatan yang
ditentukan. Fasilitator experiential learning memunyai 4 pilihan kegiatan
experiential learning yang hendak digelutinya, yaitu berbasis: tantangan,
petualangan, tourism/ pariwisata, dan digital. Alternatif jabatan seorang
Fasilitator experiential learning antara lain menjadi fasilitator kelompok,
tutor, instruktur, pelatih, atau trainer.
Lead Facilitator adalah seorang yang menjalankan pekerjaan di bidang experiential learning dimana dirinya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tugas memimpin tim fasilitator dalam pelaksanaan kegiatan experiential learning agar sesuai dengan rancangan kegiatan yang ditentukan. Lead Facilitator memunyai 4 pilihan kegiatan experiential learning yang hendak digelutinya, yaitu berbasis: tantangan, petualangan, tourism/ pariwisata, dan digital. Alternatif jabatan seorang lead facilitator antara lain menjadi head facilitator, course manager, chief instructor, captain, coach, pengajar, pendidik, tenaga pendidik, program manager, koordinator program, widyaiswara/widyaprada, atau master of trainer.
Programer experiential learning adalah seorang yang menjalankan pekerjaan di bidang experiential learning dimana dirinya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tugas merancang kegiatan experiential learning sesuai dengan kebutuhan dan tujuan pembelalajaran yang diharapkan oleh klien dengan terlebih dahulu melakukan analisa kebutuhan klien, menetapkan kategori program yang sesuai, merancang rangkaian kegiatan hingga menyusun instrumen monitoring evaluasi dan materi kegiatan. Programer experiential learning memunyai 4 pilihan kegiatan experiential learning yang hendak digelutinya, yaitu berbasis: tantangan, petualangan, tourism/ pariwisata, dan digital. Alternatif jabatan seorang programer experiential learning antara lain menjadi course director atau school director.
Experiential learning expert adalah seorang yang menjalankan pekerjaan di bidang experiential learning dimana dirinya mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tugas menciptakan pengelola kegiatan experiential learning yang efektif, efisien, beretika aman dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan klien dengan meampu mengembangkan kegiatan dan sumber daya experiential learning serta meningkatkan jejaring kerja.
AELI dalam Konteks Pengembangan Masyarakat
Visi AELI,
yaitu “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga
atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan
bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia” sejalan dengan upaya pengembangan
masyarakat yang dicita-citakan oleh negara. Pengembangan masyarakat (community development) merupakan suatu proses swadaya masyarakat yang
diintegrasikan dengan usaha-usaha
pemerintah setempat guna meningkatkan kondisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial, politik, dan kultural,
serta untuk mensinerjikan gerakan
untuk kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Sebagai suatu metode atau pendekatan, pengembangan masyarakat menekankan adanya proses pemberdayaan, partisipasi, dan peranan langsung warga komunitas
dalam proses pembangunan di
tingkat komunitas dan antarkomunitas [4].
Proses
pengembangan masyarakat sudah dituangkan oleh para pengurus DPP setidaknya
sejak sejak kepengurusan masa bakti 2019-2022 melalui keputusan program
kerjanya. Dalam jargon lembaga periode tersebut, yaitu “AELI untuk Negeri,” DPP
membagi ranah kerjanya dalam 3 cluster
kerja yaitu Groundworks, Level Up dan
Exposure. Cluster Groundworks bertujuan untuk menata ulang bangunan dasar
keorganisasian, aturan, data dan sistem keanggotaan, serta materi-materi dasar
AELI yang membentuk bangunan organisasi AELI. Pondasi ini akan menjadi modal
dalam melakukan ranah kerja AELI dalam Cluster
Level Up yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan anggota,
meningkatkan kapasitas anggota dan menjamin kualitas anggota AELI. Tujuan dari
ranah kerja Cluster Exposure adalah untuk
mendapatkan pengakuan dari pemangku kepentingan EL Indonesia sehingga, Program
EL yang ditawarkan oleh anggota AELI menjadi pilihan utama dan terpercaya dalam
pengembangan karakter sumber daya manusia Indonesia [5].
Proses pengembangan masyarakat, dalam hal ini para anggota asosiasi difokuskan dalam kinerja Subcluster Level Up yaitu “Peningkatan Kapasitas Anggota.” Peran ini dilaksanakan oleh Bidang Pendidikan & Pelatihan dan Bidang Penelitian & Pengembangan dalam struktur DPP. Target subcluster ini adalah:
- Pembuatan panduan produk dan pelaksanaan sosialisasi program workshop AELI.
- Pembuatan silabus workshop materi dasar bagi anggota lembaga & perorangan.
- Pelaksanaan workshop materi dasar bagi anggota lembaga & perorangan.
- Pelaksanaan program TOT Pemateri AELI.
- Pembuatan silabus & workshop materi lanjutan experiential learning bagi anggota lembaga & perorangan.
Disayangkan wabah Covid-19 yang melanda dunia termasuk
Indonesia membuat aktivitas para anggota AELI nyaris terhenti total, termasuk
para pengurusnya. Program kerja DPP periode 2019-2022 yang sudah tersusun rapi
praktis hampir tidak dapat dilaksanakan semua sehingga tidak bisa mengukur
tingkat keberhasilannya. Walaupun praktis kegiatan kefasilitatoran para anggota
dan pengurus AELI terhenti di masa pandemi Covid-19, DPP masih bisa
melaksanakan program tanggap darurat di luar skema yang sudah dibuat, yaitu
pelatihan menulis artikel bagi para fasilitator experiential learning. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama 2
angkatan pada bulan Maret – Mei 2020.
Suksesi
kepengurusan DPP ditandai dengan Munas/ Musyawarah Nasional AELI ke-6 pada tanggal 7-9
Juni 2022 di Magelang. Munas tersebut menghasilkan amanah suci, yakni menjadi
mitra terbaik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam
pengembangan destinasi berbasis experiential
tourism dengan inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders untuk bergerak bersama
yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI (Asosiasi Pelaku
Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai kegiatan pariwisata
yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu amanah Munas juga
menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi mitra terbaik program
Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang dikuasai semua anggotanya [6]. Sisi pengembangan masyarakat makin mengerucut dalam 2
bidang, yaitu para pelaku pariwisata dan stakeholder
pendidikan.
Potensi AELI
Sebagai wadah para pegiat experiential learning dalam lingkup nasional, AELI memiliki beberapa kelebihan dan potensi, diantaranya:
- Asosiasi didirikan dengan tujuan yang jelas, serta ikhwal keorganisasian diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. Hal ini merupakan sebuah kepastian, termasuk di mata hukum, yang akan menjadi pedoman pergerakan seluruh anggotanya. Visi dan misi mulia AELI terjamin untuk bisa diupayakan ketercapaiannya.
- Lembaga AELI beranggotakan para pegiat experiential learning yang tersebar di Indonesia dengan ragam latar belakang. Anggota terdiri dari para praktisi perintis yang di Indonesia pertama-tama memerkenalkan metode tersebut dalam khazanah pelatihan, para pelatih, pemilik atau pengurus yayasan pendidikan, dosen, guru, karyawan, instruktur outbound, pemiik dan juga karyawan provider outbound, event organizer/EO, pegiat wisata, pegawai negeri sipil, pengusaha, pemilik venue/lokasi outbound, dan para pegiat experiential learning lain secara umum. Keragaman tersebut bisa menjadi potensi ketersebaran manfaat asosisi di banyak ragam pekerjaan atau profesi.
- Pengurus asosiasi baik ditingkat DPP maupun DPD sudah mempunyai program kerja yang sistematis sehingga bisa menjadi pedoman yang praktis untuk dijalankan. Program tersebut juga didukung dengan susunan pengurus yang mengakomodir tiap aktivitas kerja secara jelas. Pengurus di tingkat pusat juga senantiasa melakukan koordinasi dengan pengurus di tingkat provinsi dalam mengoordinir berbagai progam kerja.
- AELI sudah
mulai dikenal dan dipercaya oleh berbagai pihak sehingga dijadikan mitra,
terutama oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam tataran di provinsi maupun kabupaten atau kota, sudah mulai
sering AELI diminta menjadi narasumber dalam aneka program peningkatan
kapasitas, terutama yang bernuansa experiential
learning dan kepariwisataan. Outbound merupakan salah satu daya tarik
terbesar AELI karena bisa masuk dalam semua lapisan masyarakat serta
berkelindan dalam ranah pendidikan sekaligus rekreasi atau wisata.
- Mulai tahun 2022 AELI bekerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta mengadakan program perkuliahan S2 dengan sistem RPL. Berdasarkan Permendikbudristek No.41 tahun 2021, RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan formal dan untuk melakukan penyetaraan dengan kualifikasi tertentu. Program RPL bertujuan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk belajar sepanjang hayat melalui pendidikan formal pada jenjang Pendidikan Tinggi, dan mendorong masyarakat yang berbagai hal terputus kuliahnya atau tidak dapat melanjutkan pendidikan di Perguruan tinggi tetapi memiliki pengalaman kerja kompetensi yang relevan untuk melanjutkan studi ke jenjang Pendidikan Tinggi. 11 orang anggota AELI sedang mengikuti program RPL S2 pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah.
Potensi yang dimiliki oleh AELI akan penulis kerucutkan pada ikhwal akademik
atau keilmuan dengan mengambil contoh sederhana tentang pengertian experiential learning sendiri. Ada
banyak versi yang bisa digunakan misalnya disikluskan oleh Simon Priest dan Mike Gass
pada tahun 1992, untuk menjelaskan hubungan antara pembelajaran dan pendampingan
peserta didik, seperti terlihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Siklus Experiential Learning menurut Simon Priest dan Mike
Gass
Bagan di atas kita baca mulai dari bagian kiri atas dengan narasi sebagai berikut: Setelah seseorang berpartisipasi atau merasakan suatu kegiatan (ACTION/ TINDAKAN), mereka merenungkan pengalaman mereka untuk memberi penekanan pada pelajaran yang dipetik (REFLECTION/ REFLEKSI). Pembelajaran baru ini diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari, baik di keluarga/ rumah, tempat kerja, atau sekolah (INTEGRATION/ INTEGRASI). Mereka lalu memertahankan perubahan supaya tidak terkikis (CONTINUATION/ KEBERLANJUTAN) [7].
Oleh Priest & Gass, program experiential lalu dibagi dalam 4 jenis didasarkan pada perbedaan intensinya yaitu: Rekreasi, Edukasi, Pengembangan, dan Pengalihan. Dari 9 kategori perbedaan yang dideteksi, 4 di antaranya dijelaskan dalam Tabel 1 berikut ini:
No |
Program &
aspek yang membedakan |
RECREATION |
EDUCATION |
DEVELOPMENT |
REDIRECTION |
|
(Rekreasi) |
(Edukasi) |
(Pengembangan) |
(Pengalihan) |
|||
1 |
Tujuan/ aspek
yang dirubah |
Feeling/
Perasaan |
Thinking/ cara
pikir |
Behaving/
kebiasaan/ sikap |
Resisting/
resistensi/ penolakan |
|
2 |
Siklus
Experiential Learning |
ACTION |
REFLECTION |
INTEGRATION |
CONTINUATION |
|
3 |
Disain &
fokus penyampaian program |
Enjoyment, fun
& play (Kesenangan, hiburan & permainan) |
Concepts &
Awareness (Konsep & kesadaran) |
Functional
habits (Kebiasaan fungsional) |
Disfunctional
conduct (Perilaku resisten/ disfungsional) |
|
4 |
Perbandingan
antara aksi dengan diskusi |
·
100%
aksi |
·
75%
aksi : |
·
50%
aksi : |
·
25%
aksi : |
|
·
25%
diskusi |
·
50%
diskusi |
· 75% diskusi |
Tabel 1. Karakteristik Program Experiential Learning [2]
Melalui pembagian karakter experiential
learning, maka makin jelas bahma metode tersebut bisa digunakan dalam
banyak situasi dan kepentingan.
Identifikasi Masalah Keakademisan dalam AELI
Selain
memiliki beberapa potensi, penulis juga mengidentifikasi beberapa permasalahan
dalam tubuh AELI, dikaitkan dengan sisi keilmuan. Ketika 11 anggota AELI yang
semuannya praktisi dalam bidang experiential
learning/outbound mengikuti program RPL S2 di Universitas Negeri Yogyakarta,
makin terkuak bahwa sisi keilmuan dalam praktik pengembangan masyarakat melalui
metode experiential learning masih minim digunakan. Dalam proses perkuliahan
yang diampu para doktor, dan 4 diantaranya adalah profesor, mahasiswa dituntut
untuk bisa melakukan telaah kritis dan ilmiah terhadap banyak hal yang sudah
dijalani sebagai bagian materi kuliah, baik dalam diskusi, penugasan, maupun
ujian. Penulis akan sampaikan 2 contoh bagaimana program experiential learning yang digadang-gadang bisa mengembangkan
manusia sesuai misi AELI, ternyata belum dilengkapi pendasaran ilmiah yang
kuat.
Contoh
pertama, adalah saat seorang mahasiswa menyatakan bahwa salah satu program experiential learning yang pernah
dipandunya bisa meningkatkan kemampuan kerjasama sebuah kelompok yang kebetulan
menjadi peserta program. Sang dosen menggali lebih dalam, apakah peningkatan
kemampuan kerjasama tersebut hanyalah klaim dari sang fasilitator, pernyataan
dari peserta, atau memang ada penelitian yang membuktikan hal tersebut? Kami
sebagai mahasiswa lalu menyadari bahwa di “lapangan” sudah sangat jamak jargon
yang menyatakan outbound bisa meningkatkan kapasitas pesertanya, atau metode experiential learning efektif
membelajarkan peserta didik. Namun ketika diminta menunjukkan bukti pernyataan
atau klaim tersebut, kebingunganlah yang lalu dialami, padahal dalam mata
kuliah berbagai mata kuliah, para mahasiswa diajak untuk berpikir ilmiah dan
tidak asal menyimpulkan.
Contoh
kedua penulis sampaikan ketika pada mata kuliah Pendidikan Transformatif, salah
seorang mahasiswa mempresentasikan tentang aktivitas di salah satu desa wisata
yang menggunakan media kearifan lokal sebagai daya tarik wisatanya. Mahasiswa
tersebut bercerita bahwa peserta wisata yang kebetulan anak-anak sangat senang
saat diajak menanam padi di sawah. Di beberapa lokasi di desa itu juga tersedia
gerai makanan dan cendera mata yang membuat wisatawan senang. Namun sang dosen
justru bertanya, “Itu padi yang ditanam di sawah jenisnya apa? Jangan-jangan
itu bibitnya impor dan justru menyedot banyak air. Mengapa tidak menggunakan
bibit lokal saja?” tentang perekonomian yang tumbuh di desa wisata tersebut juga
dikritisi, “Jika masyarakat desa bisa membuat rumah makan atau kios oleh-oleh,
apakah itu memang milik mereka sendiri atau justru tanah atau sawah bahkan
rumah mereka sudah dibeli orang kota dan pemilik sebelumnya hanya menjadi
pekerja?” Pertanyaan tersebut lalu memancing diskusi dalam perkuliahan bahwa di
balik kesuksesan atau keberhasilan sebuah program, apakah hal tersebut
dilandasi dengan dasar yang filosofis berpihak pada masyarakat umum, atau
sebaliknya hanya komodifikasi saja yang kelihatannya bagus, namun sejatinya
menguntungkan segelintir pihak luar saja.
Masih banyak hal yang dalam proses perkuliahan kami diskusikan terkait relevansi penyelenggaraan program experiential learning ditinjau dari sisi konsep, filsafat, metodologi, dan yang juga paling penting sejauh mana bisa mengembangkan manusia pesertanya. Melalui 2 contoh tadi penulis lalu menyadari bahwa dalam komunitas AELI, unsur keilmuan masih minim digeluti, walaupun para anggotanya bergerak di bidang yang sangat bersinggungan dengan dunia pendidikan dan pengembangan manusia yang sejatinya mempunyai akar keilmuan yang sangat dalam. Sebagai komoditas bisnis, “experiential learning” lebih banyak menjadi gimmick yang diklaim bisa menjadikan peserta pelatihan menjadi lebih berkembang. Sayangnya hal tersebut kurang ditunjang dengan pendokumentasian proses secara ilmiah sehingga tiap faktor keberhasilan atau sebaliknya kegagalan program teridentifikasi. Melalui perkuliahan, pendalaman akan hakekat experiential learning pada akhirnya dilakukan oleh para mahasiswa. Suasana saat sebagian anggota AELI peserta kuliah S2 RPL bertatap muka dengan jajaran dosen dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pertemuan Mahasiswa S2 RPL dengan para dosen |
Ditinjau dari target DPP dalam program kerjanya, khususnya dalam pembuatan aneka panduan produk dan silabus sosialisasi anggota maupun program workshop peningkatan kapasitas, maka pembuatan berbagai hal tadi bisa menjadi titik lemah jika tidak disertai literatur yang memadahi. Masih mengambil contoh pengertian tentang “experiential learning” maka selain versi Priest & Gass, masih banyak lagi pemikir yang menyampaikan gagasan serupa, misalnya John Dewey, David Kolb, Lord Baden Powell, Kurt Hahn, Association for Experiantal Education/AEE version, Lewin, Pfeiffer & Jones, Joplin, Walls & Gollins, dan Ki Hajar Dewantara. Deretan nama pemikir tadi penulis temukan dalam berbagai dokumen workshop yang pernah diadakan oleh AELI, namun pokok-pokok pemikirannya belum pernah dibahas secara mendalam.
Miris
melihat AELI sebagai lembaga tingkat nasional yang sudah bermitra dengan 2
kementrian, namun belum mempunyai dokumen ilmiah yang sistematis tentang inti
dari keberadaan asosiasi, yaitu perihal experiential
learning itu sendiri. Kegiatan diskusi ilmiah tentang perkembangan maupun
praktik keilmuan experiential learning
juga praktis tidak pernah dilakukan lagi secara rutin. Hal ini ditengarai salah
satunya karena AELI sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan sertifikasi
fasilitator yang pada dasarnya kegiatan milik Lembaga Sertifikasi Profesi dan
Kementerian Pariwisata. Memang beberapa ranah praktis sudah terlaksana dengan
baik, namun justru ranah teoritis yang masih perlu dibenahi oleh DPP AELI.
Usulan Penguatan Akademis dalam AELI
Berdasarkan potensi dan permasalahan yang teridentifikasi, maka penulis mengusulkan beberapa hal berikut untuk memerkuat sisi akademis dalam lembaga AELI yang salah satunya bermisi, “meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia.”
- AELI menggiatkan himbauan pada para anggotanya terutama yang kerap melaksanakan pendampingan berbasis experiential learning, agar mulai membuat catatan evaluasi kegiatan, minimal untuk kepentingan fasilitator yang bersangkutan. Evaluasi yang didasarkan kaidah ilmiah tentu akan bermanfaat untuk pelaksanaan kegiatan sejenis di masa mendatang. Klaim keberhasilan akan metode yang dilaksanakan juga bisa dibuktikan secara meyakinkan. Berbagi catatan ini tentu jika dikompilasi bisa menjadi bahan penelitian yang menarik tentang efektivitas metode experiential learning dalam pengembangan manusia. Terbuka juga kemungkinan hasil pendampingan dibuatkan artikel ilmiah untuk diterbitkan dalam jurnal-jurnal yang relevan.
- AELI perlu melakukan kegiatan peningkatan kapasitas pengurus dan anggotanya dengan penekanan pada penguatan keilmuan experiential learning, misalnya melalui seminar, lokakarya, penelitian, atau pelatihan. Tentu dimungkinkan bekerjasama dengan pihak lain yang kompeten untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan ilmiah tadi, karena berdasarkan pengalaman penulis, aneka kegiatan pelatihan atau pembekalan materi yang diselenggarakan internal oleh asosiasi hanya mengandalkan improvisasi pengalaman para pengurus/pemateri saja. Jika pun ada makalah, biasanya dokumen tersebut sudah turun-temurun diwariskan dari para pendiri AELI sampai kini usianya 15 tahun. Materi-materi tersebut tentu baik adanya, namun masih perlu dikuatkan penelusuran sumber-sumber aslinya, dan ditambah hasil kajian penelitian yang relevan.
- AELI perlu melanjutkan kerjasama RPL S2 dengan pihak Universitas Negeri Yogyakarta,
sehingga makin banyak anggotanya yang sadar akan pentingnya kajian ilmiah
terhadap aneka program experiential
learning yang sudah kerap dilakukan. Pihak UNY melalui format kerjasama
bisa menjadi mitra yang profesional dalam meninjau dan mengembangkan keilmuan experiential learning secara ilmiah.
Melalui bimbingan para akademisi, anggota AELI yang anggotanya merupakan
pengguna metode experiential learning
diharapkan bisa melakukan pendampingan dengan metodologi yang baik. Hasil
evaluasi kegiatannya pun bisa dilakukan secara ilmiah sehingga bisa menjadi
dasar untuk membuat pengembangan pada masa yang akan datang.
- Akhirnya, AELI perlu mengeluarkan produk yang dihasilkan melalui pemikiran atau penelitian para anggotanya tentang experiential learning itu sendiri. Produk ilmiah yang dimaksud bisa berupa buku, atau jurnal berkala tentang experiential learning citarasa Indonesia.
Demikian ulasan tentang kiprah AELI yang masih bisa dimaksimalkan dalm pengembangan manusia dan masyarakat melalui penguatan pada bidang akademis atau keilmuan.
Daftar Referensi
[2] Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.
[6] G. Boby, (2022, 10 Juni ),"AELI Siap Jadi Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/
[7] S. Priest & M. Gass, (1992), "The Experiential Learning Cycle," [Online] Tersedia: http://simonpriest.altervista.org/OE.html#AEP
Brebes, 11 Januari 2023
Agustinus Susanta
Mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Luar Sekolah Fak. Ilmu Pendidikan & Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2022; Anggota AELI DPD Jateng; Fasel Tingkat Utama, Mantan Ketua DPD AELI Sumsel, Penulis beberapa buku tentang outbound, dan pernah menjadi Asesor Kompetensi BNSP. Bisa di-WA melalui 0812 2680 2639.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar