Yuk membelajarkan diri melalui pengalaman asyik Outbound/ penjelajahan asyik.


Pendekatan Sistem Sosial Budaya dan Pemanfaatan ICT pada Program Pembelajaran di AELI

Pengantar:

Tulisan ini merupakan bahan Ujian Akhir Semester Genap 22/23 Mata kuliah "Sistem Sosial Budaya dan Information and Communication Technologies" yang diikuti penuis sebagai mahasiswa S2 Program Studi Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi, Universitas Negeri Yogyakarta 

Pendahuluan

Latar Belakang

AELI (Asosiasi Experiential learning Indonesia) merupakan wadah para pegiat experiential learning, atau lebih dikenal dengan istilah pemandu outbound. Lembaga ini beranggotakan para pegiat outbound  yang tersebar di Indonesia dengan ragam latar belakang. Anggotanya terdiri dari para praktisi, para pelatih, pemilik atau pengurus yayasan pendidikan, dosen, guru, karyawan, instruktur outbound, pemiik dan juga karyawan provider outbound, event organizer/ EO, pegiat wisata, pegawai negeri sipil, pengusaha, pemilik venue/ lokasi outbound, dan para pemerhati experiential learning lain secara umum. Keragaman tersebut bisa menjadi potensi ketersebaran manfaat asosiasi di banyak ragam pekerjaan atau profesi sesuai dengan tatanan sosial yang ada di masyarakat.

Sebagai suatu lembaga yang bertumbuh kembang di Indonesia, dan mempunyai DPD (Dewan Pimpinan Daerah) di belasan provinsi, maka sistem sosial budaya masyarakatnya turut mewarnai perjalanan AELI. Perkembangan tren Information and Communication Technology (ICT) juga ikut berpengaruh terhadap kinerja para pengurus maupun anggota dalam upaya membelajarkan masyarakat. Program pembelajaran yang dilakukan menggunakan metode experiential learning memang banyak menekankan bergulirnya suatu aktivitas fisik secara langsung, namun tidak menutup kemungkinan perkembangan teknologi bisa menjadikan muatan akan urgensi experiential learning bisa disosialisasikan secara lebih baik. Sistem Sosial Budaya dan ICT pada program pembelajaran yang terjadi pada AELI akan ditelaah melalui makalah ini, sehingga bisa ditemukan upaya lebih lanjut dalam mengembangkan lembaga.

Urgensi Program

Program pembelajaran dalam tubuh AELI sangat penting untuk dirancang secara sistematis karena beberapa urgensi, diantaranya:

  1. Metode experiential learning masih belum terlalu dikenal oleh masyarakat pembelajar Indonesia, khususnya yang bergerak dalam ranah pendidikan formal. Sangat disayangkan jika metode yang sebenarnya efektif dalam mengembangkan karakter generasi muda ini tidak bisa tersosialisasikan secara masif karena kurang memanfaatkan ICT.
  2. Para penggiat experiential learning tersebar di seluruh Indonesia, dengan bermacam latar belakang suku dan kebudayaan para fasilitatornya. Ragam variasi experiential learning tentu akan lebih kontekstual jika para fasilitator bisa meramu program pembelajaran yang memertimbangkan kondisi sosial dan budaya peserta pelatihan. Pemahaman akan sistem sosial dan budaya Indonesia penting untuk dipahami para fasilitator.
  3. AELI merupakan lembaga nirlaba yang digerakkan berdasarkan semangat para pendiri dan pengurusnya guna memasyarakatkan metode experiential learning. Semangat tersebut, baik di tingkat pusat (DPP) maupun daerah (DPD) terkadang pasang surut dalam menjalankan program kerja karena tidak ada tuntutan. Perekayasaan berbagai materi tentang experiential learning yang dikemas secara sistematis memanfaatkan kemajuan jaringan internet tentu menjadi hal yang sangat didambakan oleh pengurus secara khusus, dan anggota AELI secara umum, karena hal tersebut akan memudahkan proses pengembangan kapasitas bagi para penggiatnya.

Tinjauan Pustaka

Pengertian Sistem Sosial Budaya

Sistem sosial adalah himpunan berbagai elemen kehidupan sosial yang terdapat dalam masyarakat guna mencapai tujuan tertentu. 2 pelaku atau lebih dalam kehidupan sosial ini mempunyai fungsi tertentu dalam suatu satuan masyarakat. Tiap anggota/ aktor mempunyai kesalingtergantungan satu sama lain supaya tercipta keharmonisan sosial. Manusia dan pengelompokannya tadi memiliki batas dan ikatan kewilayahan guna mengembangkan unsur-unsur kebudayaan yang dimilikinya, termasuk lembaga atau organisasi sosial beserta peraturan-peraturan yang tertulis maupun tak tertulis.

Sistem budaya dimaknai sebagai sistem simbol yang terpola, teratur yang menjadi sasaran orientasi pelaku, aspek-aspek sistem kepribadian yang sudah terinternalisasikan, dan pola-pola yang sudah terlembagakan di dalam sistem sosial. Sistem budaya mengandung 3 komponen yaitu: 

  1. Komponen kognitif; adalah komponen yang membantu manusia mengembangkan pengetahuan dan  kepercayaan tertentu yang dianut masyarakat di sekitar kehidupannya.
  2. Komponen normatif; berkaitan dengan nilai dan norma yang membuat bagaimana manusia harus bertindak, di dalamnya mengandung nilai dan norma.
  3. Komponen simbolik; adalah bahasa, gesture dan suara, yang bisa mengasosiasikan tiap anggota berasal dari rumpun kesosialan yang sama [1].

Sistem sosial budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan tiap unsur bekerja secara mandiri, serta bersama-sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup manusia dalam bermasyarakat. Dalam konteks Indonesia, sistem sosial budaya juga dapat diartikan sebagai totalitas tata nilai, tata sosial dan tata laku manusia Indonesia yang merupakan manisfestasi dari karya, rasa, dan cipta di dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 [2].

sumber : https://id.pinterest.com/pin/68398488079201743/

Peran ICT dalam Pembelajaran

Information and Communication Technologies (ICT) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan seperangkat sistem peralatan teknis untuk memproses dan menyampaikan informasi. ICT mencakup dua aspek yaitu teknologi informasi dan teknologi komunikasiTeknologi informasi meliputi segala hal yang berkaitan dengan proses, penggunaan sebagai alat bantu, manipulasi, dan pengelolaan informasi. Sedangkan teknologi komunikasi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan alat bantu untuk memproses dan mentransfer data dari perangkat yang satu ke lainnya [3]. ICT sangat berperan dalam pengembangan suatu sistem sosial yang berkembang di masyarakat, termasuk dalam ranah pendidikan yang selalu berkembang.

Terdapat dua aspek pembaruan yang signifikan dalam dunia pendidikan, yaitu:

  1. Pembaruan pendekatan pembelajaran menyangkut esensi, materi dan metode pembelajaran. Perkembangan ini didasari oleh berbagai konsep/ temuan/ teori baru yang selalu berkembang mengenai otak dan kecerdasan. Pembaruan ini juga dipicu oleh perubahan lingkungan hidup dan kehidupan multidimensional masyarakat yang menuntut peningkatan komitmen dan kemampuan manusia.
  2. Pemanfaatan teknologi informasi/ komunikasi yang canggih dalam menunjang keberhasilan pembaruan strategi dan metode pembelajaran. Aspek pembaruan tersebut bersinergi dalam semangat dan misi melakukan reformasi pembelajaran (school reform), bahkan termasuk juga reformasi pendidikan (education reform) [4]

Para pakar meneliti dan mengembangkan berbagai model pengintegrasian teknologi ke dalam proses pembelajaran, dalam upaya pembaruan model-model pembelajaran. Woodbridge (2004) memberi beberapa catatan penting dari model tersebut yaitu ICT berperan pada tiga fungsi: pertama, menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan dan mengasyikan (efek emosi); kedua, membekali kecakapansiswa untuk menggunakan teknologi tinggi. Ketiga, teknologi berfungsi sebagai learning tools dengan program-program aplikasi dan utilitas, yang selain mempermudah dan mempercepat pekerjaan, juga memperbanyak variasi dan teknik-teknik analisis dan interpretasi [5].

Hubungan antara Sistem Sosial Budaya dan ICT dalam Konteks Program Pembelajaran

Sistem sosial budaya di Indonesia sudah terumuskan secara luhur melalui bingkai Pancasila. Turunan dari Pancasila mewarnai banyak nilai dan norma luhur yang berkembang di masyarakat, termasuk dalam tataran pendidikan, baik secara formal maupun nonformal. Meskipun sudah terumuskan dengan baik, internalisasi atau praktik perikehidupan yang pancasilais masih perlu terus digaungkan sehingga makin mengakar pada kehidupan masyarakat sehari-hari.

Experiential learning sebagai bentuk pembelajaran nonformal bisa menjadi salah satu alternatif upaya internalisasi sistem sosial budaya yang luhur tersebut. Organisasi atau komunitas penggiat experiential learning perlu melembaga supaya secara sosial memunyai modal yang kuat untuk membut gerakan bersama. Gerakan ini bisa memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini sehingga menyentuh lebih banyak masyarakat, khususnya dalam mengedukasi arti penting belajar melalui pengalaman. ICT bisa menjadi salah satu solusi bagi fasilitator kegiatan luar ruangan guna terus meningkatkan kompetensinya.

Implementasi Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Deskripsi Lembaga Pembelajaran

Pada tanggal 24 Januari 2007, 7 tokoh dari lembaga penyelenggara outdoor training, sepakat untuk membentuk asosiasi dengan nama “Asosiasi Experiential learning Indonesia” (AELI). Penggunaan nama experiential learning disepakati, setelah melalui diskusi panjang yang cukup alot, sebab ada pula gagasan agar menggunakan nama “outbound.” Namun akhirnya nama Experiential learning dipilih, karena semua lembaga penyelenggara outdoor training sebenarnya menerapkan metodologi pembelajaran ini. Dengan memilih nama experiential learning, anggota asosiasi menjadi tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggara outdoor training, melainkan juga para lembaga pendidikan formal (sekolah, perguruan tinggi), para pengajar (guru, dosen), maupun lembaga-lembaga pendidikan nonformal di luar outdoor training. Asosiasi ini bahkan juga terbuka bagi siapa saja yang berminat terhadap metode pembelajaran berbasis pengalaman atau dikenal dengan experiential learning.

AELI didirikan dengan visi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” 3 misi AELI adalah: 

  1. Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
  2. Meningkatkan kualitas  pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
  3. Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia  [6].

Saat ini AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi.

Desain Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan outbound/ fasilitator experiential learning ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI pada tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang harus dimiliki seorang fasel sesuai SKKNI adalah:

  1. Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi,
  2. Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
  3. Mengatur Sumber Daya Untuk Program,
  4. Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
  5. Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
  6. Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),
  7. Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope),
  8. Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan
  9. Menolong Korban [7].

 Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan berbasis experiential learning, ditandai dengan kegiatan uji kompetensi profesi Fasel. Terdapat 3 tingkatan sertifikasi fasel, yaitu: Muda, Madya, dan Utama. Fasel tingkat muda diarahkan “hanya” untuk memandu program rekreasi saja. Fasel tingkat madya sudah bisa memandu program rekreasi dan edukasi, sedangkan fasel tingkat utama selain bisa memandu semua program, tetapi juga boleh merencanakan programnya sekaligus. 

Salah satu pembelajaran dalam memfasilitasi kegiatan experiential learning adalah pendekatan “outbound di desa wisata dan atau berbasis kearifan lokal” yang disampaikan pada anggota lembaga. Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku [8]. Kombinasi beberapa hal tersebut lalu erat disebut dengan istilah kearifan lokal yang Kearifan Lokal yang berasal dari dua kata, yaitu “arif” dan “lokal,” boleh dipahami sebagai gagasan, nilai-nilai, atau pandangan-pandangan setempat yang sifatnya bijaksana, penuh kearifan, serta nilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat.

Kearifan lokal juga bisa dimaknai sebagai kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tercermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material dan non material) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif [9].

Berdasar penampakannya, kearifan lokal bisa dibagi dalam 2 kategori, yaitu yang berwujud fisik (tangible) dan takberwujud (intangible). Contoh kearifan yang berwujud misalnya kitab-kitab kuno/ tradisional, bangunan adat, pusaka, senjata, kain-kain adat, alat musik, alat-alat bertani, beternak juga berrumah tangga tempo dulu. Sedangkan kearifan lokal yang tidak bisa dilihat semisal konsep, petuah, tatakrama, semangat, etika, tradisi, pepatah, kidung, ajaran, dan sebagainya[10].

Kegiatan outbound  di desa wisata dilakukan dengan menggali keunikan suatu desa, yang dijadikan aktivitas/ kegiatan/ permainan. Program yang menarik akan memberi sensasi pengalaman yang unik sehingga membuat pengunjung wisata terkesan pada suatu desa wisata. Kesan yang baik biasanya akan diceritakan pada orang-orang di sekitarnya, yang pada akhirnya membuat penasaran. Kepenasaranan banyak orang inilah yang lalu diharapkan setia mengalirkan pengunjung ke desa wisata tersebut. Disain pembelajaran program experiential learning yang disesuaikan dengan sistem sosial budaya masyarakat Indonesia diharapkan bisa memerkaya metode pengembangan karakter yang kontekstual dan fleksibel digunakan di banyak tempat.  

sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/68398488079201743/

Implementasi Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Proses pengembangan masyarakat, khususnya dalam bidang kepemanduan experiential learning  sudah dituangkan oleh para pengurus DPP setidaknya sejak sejak kepengurusan masa bakti 2019-2022 melalui keputusan program kerjanya. Dalam jargon lembaga periode tersebut, yaitu “AELI untuk Negeri,” DPP membagi ranah kerjanya dalam 3 cluster kerja yaitu Groundworks, Level Up dan Exposure. Cluster Groundworks bertujuan untuk menata ulang bangunan dasar keorganisasian, aturan, data dan sistem keanggotaan, serta materi-materi dasar AELI yang membentuk bangunan organisasi AELI. Pondasi ini akan menjadi modal dalam melakukan ranah kerja AELI dalam Cluster Level Up yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan anggota, meningkatkan kapasitas anggota dan menjamin kualitas anggota AELI. Tujuan dari ranah kerja Cluster Exposure adalah untuk mendapatkan pengakuan dari pemangku kepentingan EL Indonesia sehingga program EL yang ditawarkan oleh anggota AELI menjadi pilihan utama dan terpercaya dalam pengembangan karakter sumber daya manusia Indonesia [11].

Proses edukasi pada masyarakat, dalam hal ini para anggota asosiasi difokuskan dalam kinerja Subcluster Level Up yaituPeningkatan Kapasitas Anggota.” Peran ini dilaksanakan oleh Bidang Pendidikan & Pelatihan dan Bidang Penelitian & Pengembangan dalam struktur DPP. Target subcluster ini adalah:

  1. Pembuatan panduan produk dan pelaksanaan sosialisasi program workshop AELI.
  2. Pembuatan silabus workshop materi dasar bagi anggota lembaga & perorangan.
  3. Pelaksanaan workshop materi dasar bagi anggota lembaga & perorangan.
  4. Pelaksanaan program TOT Pemateri AELI.
  5. Pembuatan silabus & workshop materi lanjutan experiential learning bagi anggota lembaga & perorangan.

Secara prinsip, materi utama pembelajaran yang dilakukan dalam AELI mencakup 9 hal seperti sudah disebutkan dalam SKKNI, namun dalam praktik di lapangan, terjadi pengembangan beberapa submateri dengan penyesuaian karakter tempat dan sosial budaya anggota asosiasi. Pengurus  AELI sudah melakukan pembelajaran yang memertimbangkan faktor sosial budaya, termasuk dengan memanfaatkan kemajuan ICT, antara lain melalui kegiatan:

  1. Pembuatan website AELI yang di dalamnya memuat konten-konten materi pembelajaran,
  2. Pembuatan grup Facebook AELI yang didalamnya juga termuat materi pembelajaran,
  3. Pembuatan Grup Whatsapp “EL Teacher” yang digunakan untuk berbagi konten-konten aplikasi experiential learning oleh para guru,
  4. Penyelenggaraan Writing Camp I tentang pembelajaran menjadi fasilitator, yang dilakukan secara daring pada bulan Mei 2020,
  5. Penyelenggaraan Writing Camp II tentang pembelajaran menjadi fasilitator, yang dilakukan secara daring pada bulan Juli 2020,
  6. Experiential learning Indonesia Virtual Expo (ELIVE) pada tanggal 5-7 juni 2021 s/d 7 juni 2021 dengan 6 seminar berkelas nasional.
  7. Program RPL S2 Pendidikan Luar Sekolah, kerjasama AELI dengan Universitas Negeri Yogyakarta.

Visi AELI sejalan dengan upaya pengembangan masyarakat yang dicita-citakan oleh negara. Disayangkan wabah Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia membuat aktivitas para anggota AELI nyaris terhenti total, termasuk para pengurusnya. Program kerja DPP periode 2019-2022 yang sudah tersusun rapi praktis hampir tidak dapat dilaksanakan semua sehingga tidak bisa mengukur tingkat keberhasilannya. Meskipun secara operasional berhenti, namun justru melalui ICT beberapa program malah terinisiasi oleh AELI, baik secara lembaga maupun perorangan anggotanya. Sebagai contoh, penulis sampaikan program kerja DPD AELI Jateng yang memanfaatkan ICT sebagai berikut:

  1. Penyusunan profil organisasi
  2. Pembentukan tim dan pengumpulan data contact person kedinasan
  3. Memasukkan profil anggota lembaga dan data anggota perorangan dalam website resmi AELI
  4. Mensosialisasikan penggunaan hashtag #AELIJATENG pada anggota
  5. Pembuatan konten profil anggota lembaga
  6. Pembuatan konten tematik "EL Talk" melalui media Live IG
  7. Pembuatan konten tematik "Ngabuburit bersama AELI" melalui media Live IG
  8. Pembuatan konten tentang materi EL
  9. Penggunaan hashtag #AELIJATENG sedikitnya sebanyak 1000 public post
  10. Profil seluruh anggota lembaga telah terposting
  11. Re-post aktivitas anggota yangmenandai
  12. Sosialisasi dan komunikasi kepada organisasi mitra

Proses pembelajaran dalam tubuh AELI terus dilaksanakan agar lebih banyak lagi anggota dan masyarakat yang bisa merasakan manfaat keberadaan asosiasi ini.

Evaluasi Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Salah satu program terbaru yang diadakan AELI adalah kerjasama dengan Universitas Negeri Yogyakarta untuk mengadakan program perkuliahan S2 yang dilakukan secara daring. Berdasarkan Permendikbudristek No.41 tahun 2021, RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau) adalah pengakuan atas capaian pembelajaran seseorang yang diperoleh dari pendidikan formal, nonformal, informal, dan/atau pengalaman kerja sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan formal dan untuk melakukan penyetaraan dengan kualifikasi tertentu. Program RPL bertujuan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk belajar sepanjang hayat melalui pendidikan formal pada jenjang Pendidikan Tinggi, dan mendorong masyarakat yang berbagai hal terputus kuliahnya atau tidak dapat melanjutkan pendidikan di Perguruan tinggi tetapi memiliki pengalaman kerja kompetensi yang relevan untuk melanjutkan studi ke jenjang Pendidikan Tinggi. 11 orang anggota AELI sedang mengikuti program RPL S2 pada Fakultas Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Luar Sekolah.

Saat melakukan perkuliahan yang memanfaatkan ICT, terkuak bahwa sisi keilmuan dalam praktik pembelajaran melalui metode experiential learning masih minim digunakan. Dalam proses perkuliahan, mahasiswa dituntut untuk bisa melakukan telaah kritis dan ilmiah terhadap banyak hal yang sudah dijalani sebagai bagian materi kuliah, baik dalam diskusi, penugasan, maupun ujian. Pendekatan sistem sosial budaya yang saat praktik di lapangan jarang ditelaah justru dibedah secara mendalam melalui berbagai mata kuliah. Penulis akan sampaikan salah satu contoh bagaimana program experiential learning yang digadang-gadang bisa mengembangkan manusia sesuai misi AELI, ternyata belum dilengkapi analisis sosial budaya yang kuat.

Pada suatu mata kuliah, salah seorang mahasiswa mempresentasikan tentang aktivitas di salah satu desa wisata yang menggunakan media kearifan lokal sebagai daya tarik wisatanya. Kearifan lokal merupakan salah satu sistem sosial budaya masyarakat Indonesia yang mengangkat harkat masyarakat. Mahasiswa tersebut bercerita bahwa peserta wisata yang kebetulan anak-anak sangat senang saat diajak menanam padi di sawah. Di beberapa lokasi di desa itu juga tersedia gerai makanan dan cendera mata yang membuat wisatawan senang. Namun sang dosen justru bertanya, “Itu padi yang ditanam di sawah jenisnya apa? Jangan-jangan itu bibitnya impor dan justru menyedot banyak air. Mengapa tidak menggunakan bibit lokal saja?” tentang perekonomian yang tumbuh di desa wisata tersebut juga dikritisi, “Jika masyarakat desa bisa membuat rumah makan atau kios oleh-oleh, apakah itu memang milik mereka sendiri atau justru tanah atau sawah bahkan rumah mereka sudah dibeli orang kota dan pemilik sebelumnya hanya menjadi pekerja?” Pertanyaan tersebut lalu memancing diskusi dalam perkuliahan bahwa di balik kesuksesan atau keberhasilan sebuah program, apakah hal tersebut dilandasi dengan dasar yang filosofis berpihak pada masyarakat umum, atau sebaliknya hanya komodifikasi saja yang kelihatannya bagus, namun sejatinya menguntungkan segelintir pihak luar saja. Dalam hal ini sistem sosial dan tata nilai masyarakat menjadi materi yang lalu diperdalam sehingga para mahasiswa mempunyai wawasan lebih komprehensif saat menyusun program pembelajaran berbasis experiential learning.

Masih banyak hal yang dalam proses perkuliahan kami diskusikan terkait relevansi penyelenggaraan program experiential learning ditinjau dari sisi konsep, filsafat, metodologi, dan yang juga paling penting sejauh mana bisa mengembangkan manusia pesertanya. Melalui contoh tadi penulis lalu menyadari bahwa dalam komunitas AELI, unsur keilmuan masih minim digeluti, walaupun para anggotanya bergerak di bidang yang sangat bersinggungan dengan dunia pendidikan dan pengembangan manusia yang sejatinya mempunyai akar keilmuan yang sangat dalam.  Sebagai komoditas bisnis, “experiential learning” lebih banyak menjadi gimmick yang diklaim bisa menjadikan peserta pelatihan menjadi lebih berkembang. Sayangnya hal tersebut kurang ditunjang dengan pendokumentasian proses secara ilmiah sehingga tiap faktor keberhasilan atau sebaliknya kegagalan program teridentifikasi. Melalui perkuliahan, pendalaman akan hakekat experiential learning pada akhirnya dilakukan oleh para mahasiswa dengan memanfaatkan ICT

Selain program kerjasama perkuliahan, evaluasi pemanfaatan website dan media sosial yang digagas lembaga AELI masih kurang terasa gaungnya dalam hal membelajarkan anggota. Semua sarana ICT tadi lebih banyak untuk kepentingan praktis berkoordinasi dan bertukar kabar saja, namun masih minim diisi dengan konten pembelajaran.

Keterbelengguan akibat teknologi
sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/351912464462676/

Dampak dan Manfaat Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Dampak terhadap Pembelajaran dan Pencapaian Akademi

Dampak dan manfaat program pembelajaran berbasis sistem sosial budaya dan ICT di AELI baru dirasakan oleh sebagian kecil anggotanya, khususnya yang menjadi pengurus saja. Para penerima manfaat materi pembelajaran yang sudah disusun AELI juga terbatas pada mereka yang memang giat memanfaatkan ICT untuk mengembangkan kompetensinya. Hal ini disebabkan oleh mindset sebagian besar pegiat experiential learning yang masih beranggapan bahwa outbound itu hal  yang sederhana sehingga tanpa memerdalam aspek-aspek teoritisnya tidak akan bermasalah bagi mereka. Beberapa pernyataan yang pernah penulis dengar yang menggambarkan apatisme sebagian fasilitator itu misalnya, “Saya sudah rutin menerima atau mendapat klien, jadi untuk apa belajar lagi?”

Akibat masih minimnya kesadaran literasi dan akademik para pegiat outbound, maka AELI sebagai lembaga yang mestinya memerdalam tentang pembelajaran, justru masih kekurangan literatur ilmiah tentang keilmuan experiential learning. Konten materi experiential learning terkait sistem sosial budaya relatif sedang dikembangkan terus, tetapi membuat ulasan ilmiahnya yang masih kurang. Sebagai contoh lagi, seorang mahasiswa menyatakan bahwa salah satu program experiential learning yang pernah dipandunya bisa meningkatkan kemampuan kerjasama sebuah kelompok yang kebetulan menjadi peserta program. Sang dosen menggali lebih dalam, apakah peningkatan kemampuan kerjasama tersebut hanyalah klaim dari sang fasilitator, pernyataan dari peserta, atau memang ada penelitian yang membuktikan hal tersebut? Para mahasiswa lalu menyadari bahwa di “lapangan” sudah sangat jamak jargon yang menyatakan outbound bisa meningkatkan kapasitas pesertanya, atau metode experiential learning efektif membelajarkan peserta didik. Namun ketika diminta menunjukkan bukti pernyataan atau klaim tersebut, kebingunganlah yang lalu dialami, padahal dalam mata kuliah Metodologi Penelitian Pendidikan para mahasiswa diajak untuk berpikir ilmiah dan tidak asal menyimpulkan.

Dampak terhadap Sistem Sosial Budaya

Sistem sosial budaya dalam organisasi AELI masih bersifat mencontoh dari kepengurusan terdahulu, dan cenderung berjalan autopilot. Namun dalam kepengurusan baru, mulai dibangun sistem keorganisasian yang lebih egaliter dengan pendekatan profesional layaknya perusahaan.  Mulai dicanangkan target pencapaian, pertemuan rutin (yang lebih banyak dilakukan secara daring), koordinasi antara pusat dan daerah juga makin intens dilaksanakan.

Suksesi kepengurusan DPP ditandai dengan Munas/ Musyawarah Nasional AELI ke-6 pada tanggal 7-9 Juni 2022 di Magelang. Munas tersebut menghasilkan amanah suci, yakni menjadi mitra terbaik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam pengembangan destinasi berbasis experiential tourism dengan inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders untuk bergerak bersama yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI (Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai kegiatan pariwisata yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu amanah Munas juga menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi mitra terbaik program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang dikuasai semua anggotanya [12]. Sisi pengembangan masyarakat makin mengerucut dalam 2 bidang, yaitu para pelaku pariwisata dan stakeholder pendidikan. Pencapaian ini antara lain disebabkan oleh diperbaruinya sistem sosial lembaga di asosiasi, sehingga bisa dipercaya oleh komunitas lain untuk berkolaborasi.

Manfaat Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Melalui program pembelajaran berbasis sistem sosial budaya dan ICT, AELI memperoleh beberapa manfaat, diantaranya:

  1. Kemudahan anggota asosiasi untuk mendapatkan informasi terkait materi pembelajaran sebagai fasilitator experiential learning.
  2. ICT membuat koordinasi jadi makin praktis sehingga gerak langkah pengurus bisa lebih fleksibel dalam melaksanakan program kerja.
  3. Kerjasama AELI dengan berbagai pihak menjadikan peluang para anggotanya dalam diversifikasi usahanya.
  4. Masyarakat umum makin memahami arti penting pembelajaran berbasis experiential learning khususnya dalam mengembangkan karakter generasi muda Indonesia.
  5. Perhatian pada experiential tourism memberi gagasan pada banyak desa wisata untuk berbenah mengembangkan diri.
  6. AELI digandeng oleh Kemenparekraf untuk memperbaharui SKKNI kepemanduan outbound pada tahun 203 ini. SKKNI yang baru dirancang sedemikian rupa dengan memertimbangkan perkembangan ICT, khususnya pascapandemi. Rancangan juga mewadahi perkembangan sistem sosial yang menjadi tren di masyarakat.

AELI sudah mulai dikenal dan dipercaya oleh berbagai pihak sehingga dijadikan mitra, terutama oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam tataran di provinsi maupun kabupaten atau kota, sudah mulai sering AELI diminta menjadi narasumber dalam aneka program peningkatan kapasitas, terutama yang bernuansa experiential learning dan kepariwisataan. Outbound merupakan salah satu daya tarik terbesar AELI karena bisa masuk dalam semua lapisan masyarakat serta berkelindan dalam ranah pendidikan sekaligus rekreasi atau wisata. Meskipun belum semua anggota bisa merasakan manfaat langsung, namun berbagai upaya pembelajaran yang dilakukan AELI membuka inspirasi bahwa kegiatan experiential learning tidak hanya sebatas outbound, namun masih banyak lagi yang bisa dilakukan.

Tantangan dan Solusi Implementasi Program Pembelajaran Berbasis Sistem Sosial Budaya dan ICT

Tantangan dalam Mengintegrasikan Sistem Sosial Budaya dan ICT     

Tantangan dalam mengintegrasikan sistem sosial budaya dan ICT dalam lembaga AELI salah satunya datang dari faktor keragaman peserta dengan latar belakang keorganisasiannya. Di satu sisi, ada anggota yang begitu masif memanfaatkan hal tersebut, namun di sisi lain ada anggota yang bahkan seolah tidak mau tahu bahwa yang bersangkutan bisa berkembang melalui sarana tersebut. Tingkat kesibukan pengurus yang tinggi juga memengaruhi fokus dan konsentrasi dalam menjalankan lembaga yang bersifat nirlaba ini. Cara pandang para pengurus dan anggota di tiap provinsi (DPD) juga tidak sama sehingga sebuah kebijakan dari DPP kadang disikapi berbeda-beda. Hal ini membuat rencana yang seharusnya bisa disinergikan oleh semua daerah menjadi tersendat.

Masih adanya resistensi soal AELI berada di ranah wisata juga menjadi tantangan, apalagi pengenalan AELI di stakeholder pariwisata baru sebatas Kepemanduan Outbound saja. Belum ada pula program yang cukup kuat untuk mengenalkan AELI pada stakeholder di bidang pendidikan dan pengembangan sumber daya masyarakat. Pada ranah pengambil kebijakan, terdapat tantangan berupa nomenklatur pemerintah yang tidak (belum) mengenal istilah experiential learning, karena yang ada adalah  Capacity Building.

Tantangan yang tak kalah penting dalam upaya mengintegrasikan sistem sosial budaya dan ICT dalam lembaga AELI adalah budaya akademik yang masih rendah diantara para pengurus maupun anggotanya. Sebagian besar anggota masih senang berkutat dengan hal-hal praktis yang sudah terbiasa dilakukan di lapangan, namun kurang menggali sisi teori dan perkembangannya. Paradigma “untuk apa sudah payah belajar dan mengulik teori experiential learning, jika tanpanya saya sudah bisa jalan” menjadi kendala besar dalam sistem sosial budaya di AELI yang harus perlahan-lahan dikikis. Masih beruntung ada beberapa penggiat AELI yang kemudian mengikuti perkuliahan S2 di UNY demi bisa mewarnai lembaga dalam hal akademis praktik yang sudah biasa dilakukan para penggiat outbound Indonesia. Proses proses perkuliahan ini sendiri menjadi tantangan tersendiri bagi para mahasiswa untuk bisa menyelesaikannya.

Solusi untuk Mengatasi Tantangan Implementasi                          

Solusi untuk mengatasi tantangan implementasi pengintegrasian sistem sosial budaya dan ICT dalam lembaga AELI bisa diidekan sebagai berikut: 

  1. Pengurus di tingkat pusat harus rutin melakukan koordinasi dengan pengurus di tingkat provinsi dalam mengoordinir berbagai progam kerja. Para pengurus perlu lebih tegas dalam menjalankan misi AELI dengan membuat perangkat yang bisa mewujudkan kemanfaatan lembaga.
  2. Peran ICT yang sudah ada dimaksimalkan dengan cara mengajak orang yang ahli di bidangnya untuk mengelola teknis rutinnya. Sedangkan untuk konten pembelajaran, lembaga menyiapkan intensif bagi para anggota atau pengurus yang bersedia menyiapkannya.
  3. AELI menggiatkan himbauan pada para anggotanya terutama yang kerap melaksanakan pendampingan berbasis experiential learning, agar mulai membuat catatan evaluasi kegiatan, minimal untuk kepentingan fasilitator yang bersangkutan. Evaluasi yang didasarkan kaidah ilmiah tentu akan bermanfaat untuk pelaksanaan kegiatan sejenis di masa mendatang. Terbuka juga kemungkinan hasil pendampingan fasilitator dibuatkan artikel ilmiah untuk diterbitkan dalam jurnal-jurnal yang relevan.
  4. AELI perlu melanjutkan kerjasama RPL S2 dengan pihak Universitas Negeri Yogyakarta, sehingga makin banyak anggotanya yang sadar akan pentingnya kajian ilmiah terhadap aneka program experiential learning yang sudah kerap dilakukan. Pihak UNY melalui format kerjasama bisa menjadi mitra yang profesional dalam meninjau dan mengembangkan keilmuan experiential learning secara ilmiah.

Kesimpulan

Ringkasan

Keberadan AELI berperan dalam memerkaya khazanah metode pelatihan pengembangan karakter bagai generasi muda Indonesia, khususnya dengan penggunaan media permainan atau petualangan. Lembaga tersebut lahir dari semangat beberapa penggiat outbound yang ingin melihat sistem sosial dalam masyarakat menjadi lebih baik lagi, khususnya dalam bidang pembelajaran. Perjalanan asosiasi mengalami pasang surut pembelajaran bagi para pengurus maupun anggotanya. Berbagai pendekatan sistem sosial budaya coba diimplementasikan masuk dalam 9 kompetensi inti seorang fasilitator. Salah satu aplikasinya adalah memasyarakatkan outbound di dewa wisata yang sangat sesuai dengan tata nilai masyarakat setempat.

Penggunaan ICT juga sudah digunakan dalam rangka menyosialisasikan keberadaan maupun berbagi manfaat lembaga, walau masih terjadi beberapa kendala. Pergerakan asosiasi menarik beberapa lembaga pemerintah untuk bekerjasama dalam implementasi experiential learning dalam bidang pendidikan dan pariwisata. Kesadaran berorganisasi yang tidak merata pada stakeholder lembaga membuat peluang ini belum termaksimalkan. Unsur edukasi dlam konteks pembelajaran experiential learning juga belum banyak digeluti oleh para anggota lembaga, padahal ini bisa menjadi salah satu kekuatan sebagai entitas pembelajaran. Implementasi pengintegrasian sistem sosial budaya dan ICT dalam lembaga AELI masih perlu diupayakan dengan lebih serius oleh lembaga ini supaya keberadaannya benar-benar bisa menjadi salah satu agen perubahan pembangunan karakter generasi muda Indonesia.

Implikasi dan Rekomendasi

Implikasi dan rekomendasi yang bisa disampaikan pada  AELI agar bisa lebih maksimal memanfaatkan ICT dalam pendekatan sistem sosial budaya adalah penguatan kelembagaan dalam hal kesungguhan pengurus dalam menjalankan program kerja. Lembaga perlu meningkatkan kualitas kerjasama dengan berbagai stakeholder dengan perwujudan program-program yang lebih nyata berdampak pada masyarakat. Melalui bimbingan para akademisi, anggota AELI yang merupakan pengguna metode experiential learning diharapkan bisa melakukan pendampingan dengan metodologi yang baik. Hasil evaluasi kegiatannya pun bisa dilakukan secara ilmiah sehingga bisa menjadi dasar untuk membuat pengembangan pada masa yang akan datang.

Kontribusi terhadap Pengetahuan dan Praktik

Akhirnya, sebagai bentuk kontribusi pada bangsa, AELI perlu mengeluarkan produk yang dihasilkan melalui pemikiran atau penelitian para anggotanya tentang experiential learning itu sendiri. Produk ilmiah yang dimaksud bisa berupa buku, atau jurnal berkala tentang experiential learning citarasa Indonesia. Hal ini akan mekin menegaskan bahwa experiential learning itu tidak semata praktik outbound, namun dipenuhi juga dengan konsep pembelajaran. 

Daftar Pustaka

 [1]        Parsons, Talcott. 1951. The Social System. London: Routledge & Kegan Paul.

[2]        Hisyam, C. J. (2021). Sistem Sosial Budaya Indonesia. Bumi Aksara.

[3]      https://id.wikipedia.org/wiki/Teknologi_informasi_komunikasi

[4]      Suryadi, A. (2007). Pemanfaatan ICT dalam Pembelajaran, Jurnal Pendidikan Terbuka Jarak Jauh, Volume 8, Nomor 1, Maret 2007, 83-98

[5]      Woodbridge, J. (2004). Technology Integration as a Transformation Teaching Strategy. An article publised on www.techlearning.com.

[6]        AELI, "Visi dan Misi" [Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/   

[7]      Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.

 [8]     https://id.wikipedia.org/wiki/Desa_wisata

[9]      Kamus Besar. (2022;29 September). Kearifan Lokal. Diperoleh dari https://www.kamusbesar.com/kearifan-lokal

[10]    Agustinus Susanta (2018; 25 September) Outbound Berbasis Kearifan Lokal. Diperoleh dari https://mancakrida.blogspot.com/2018/09/outbound-berbasis-kearifan-lokal.html

[11]    DPP (2019) Program Kerja Dewan Pengurus Pusat AELI 2019-2022.

[12]    G. Boby, (2022, 10 Juni ),"AELI Siap Jadi Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/ [diakses 29 Oktober 2022]


Brebes, 7 Juni 2023

Agustinus Susanta

Mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Luar Sekolah Fak. Ilmu Pendidikan & Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2022; Anggota AELI DPD Jateng; Fasel Tingkat Utama, Mantan Ketua DPD AELI Sumsel, Penulis beberapa buku tentang outbound, dan pernah menjadi Asesor Kompetensi BNSP. Bisa di-WA melalui 0812 2680 2639.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar