Pertama-tama saya sampaikan secara terus terang
bahwa episode saya menulis kali ini akibat kenekatan mengusung tema baru
(setidaknya bagi saya) tentang dunia keoutboundan/
perexperiential-learningan. Lebih
nekat lagi karena 3 hari lagi kami (Mancakrida dan Pokdarwis Malahayu-Brebes) akan
bikin semacam workshop tentang tema
tersebut. Nah, yang bikin deg-degan itu karena selama ini saya belum secara
khusus membingkai aneka program yang pernah saya libati khusus dengan tema
tersebut; bahwa ada nyerempet-nyerempet sih
sering. Jadi, mohon bisa dimaklumi ya pembacawan pembacawati yang budiman dan
budiwati, kalau dalam sekian menit ke depan membaca tulisan ini lebih banyak
gagasan yang dilontarkan ditimpa sedikit contoh yang dipas-paskan. Lha wong ini juga judulnya sedang
membuat kemasan, yang isinya akan diaduk-aduk dan diolah dalam workshop kelak, kok. Maka, silakan jika setelah membaca artikel ini ada yang mau
menambahkan pengalaman tentang outbound tema tadi… Eh, omong-omong temanya apa sih? Yaaa… kan di judul sudah
ada; tentang “Kearifan Lokal”
Awalnya dirancang bikin rakit dengan jerigen dalam suatu outbound, tetapi ternyata gaba-gaba (pelepah pohon sagu) jadi solusi berkearifan lokal. |
Langsung kita mulai ya; Kearifan Lokal yang
berasal dari dua kata, yaitu “arif” dan “lokal,” boleh dipahami sebagai gagasan, nilai-nilai, atau pandangan-pandangan setempat yang sifatnya bijaksana,
penuh kearifan, serta nilai baik yang tertanam dan
diikuti oleh anggota masyarakat. Berdasar penampakannya, kearifan lokal bisa dibagi dalam
2 kategori, yaitu yang berwujud fisik (tangible) dan takberwujud (intangible).
Contoh kearifan yang berwujud misalnya kitab-kitab kuno/ tradisional, bangunan
adat, pusaka, senjata, kain-kain adat, alat musik, alat-alat bertani, beternak
juga berrumah tangga tempo dulu. Sedangkan kearifan lokal yang tidak bisa
dilihat semisal konsep, petuah, tatakrama, semangat, etika, tradisi, pepatah, kidung, ajaran, dan
sebagainya.
Kearifan lokal disetiap daerah tentu
berbeda-beda tergantung lingkungan dan kebutuhan hidup masyarakatnya. Dalam
perkembangannya, kearifan lokal tidak hanya dipahami sebatas pada peninggalan
masa lalu saja, tetapi juga merupakan suatu respon bijak masyarakat (lokal) terhadap
perkembangan teknologi (masa kini) dan budaya (baru) dengan tetap menyelaraskan
diri terhadap “kearifan lokal” yang sudah ada secara turun temurun.
Lalu, apa pula itu outbound yang berbasis kearifan lokal?
Untuk mengurainya, mari kita melalui jembatan ketika kearifan lokal dikaitkan
dengan dengan dunia pendidikan. Ya, dalam banyak aspek, outbound itu bisa
disejajarkan dengan upaya mendidik. Paulo Freire menyatakan bahwa kearifan lokal merupakan pengajaran yang
membuat peserta didik bisa membuat respon
tepat yang konkret/ nyata sesuai dengan waktu dan lingkungan setempat yang mereka hadapi.
Seumumnya, outbound merupakan
kegiatan (yang biasanya diadakan) di luar ruangan dengan melibatkan fisik,
intelektual, dan emosi, sebagai media pembelajaran bagi pesertanya. Nah, berdasar
pemahaman tersebut, maka saya berani merumuskan bahwa outbound yang berkearifan
lokal merupakan proses outbound yang menggunakan media “kearifan lokal”
sehingga peserta bisa melakukan pembelajaran terhadap hal-hal baru.
Berdasarkan pengalaman dan
penerawangan saya sendiri, he he he…, lingkup kearifan lokal dalam outbound
lalu bisa dikerucutkan menjadi penggunaan/ pemanfaatan unsur kelokalan yang dikategorikan
dalam:
- Outbound bermedia kesenian/ tradisi/ properti tradisional
- Outbound berskenario cerita rakyat
- Outbound bersemangat konsep/semangat kearifan (lokal)
- Outbound berbasis potensi/ bentang alam setempat
Kita kupas satu persatu ya…
Maskot ASEAN PARAGAMES 2011 di Indonesia, mengangkat kearifan lokal banget ya |
Outbound Bermedia
Kesenian/ Tradisi/ Properti Tradisional
Outbound jenis ini adalah
perwujudan paling fisikal dalam mendekatkan kearifan lokal dalam suatu program.
Penjelasan paling sederhana dalam outbound jenis ini adalah penggunaan kesenian/
tradisi/ benda-benda seni/ properti tradisional dalam suatu kegiatan outbound. Sedang
mulai marak saat ini lho, outbound
yang menjadikan kesenian sebagai media dinamika kelompok pesertanya. Ya,
kekayaan tradisi atau budaya lokal sungguh menarik untuk dieksplorasi dalam
dinamika outbound; contoh-contohnya banyak kita temukan, semisal:
- Aneka permainan tradisional tentu sangat bisa dijadikan games/ dinamika kelompok yang asyik. Panahan tradisional, atau dalam tradisi lebih kuno di Jawa disebut dengan jemparingan, bisa digunakan sebagai media seseorang dalam mengembangkan konsentrasinya.
- Tari Saman yang berasal dari Aceh, menyaratkan kekompakan gerak para penarinya; ini biasa juga digunakan sebagai media outbound yang bertujuan melatih kekompakan.
- Pakaian tradisional, atau bagiannya, bisa juga dikenakan oleh peserta atau fasilitator outbound.
- Alat musik tradisional yang dimainkan sebagai aktivitas dinamika. Guna melatih kekompakan dan kebersamaan, angklung yang merupakan kearifan lokal suku Sunda, umum dilatihkan lalu digunakan dalam suatu misi outbound.
- Kendaraan tradisional juga bisa digunakan sebagi media transportasi/ pergerakan peserta outbound.
- Lagu-lagu daerah tentu bisa digunakan sebagai musik pengiring dalam kegiatan outbound, tidak harus dangdutan atau remix disco khan? He he he…
Membaca beberapa contoh tadi,
ternyata ada banyak variasi pemanfaatan tradisi dan properti kearifan lokal
yang bisa digunakan dalam outbound. Ya, walaupun masih sebatas atau terkesan
“tempelan,” namun sangat memungkinkan ditingkatkan dalam ranah internalisasi .
Maksudnya?
Dikategorikan tempelan atau
sekedar “eksyen” atau nuansa, jika unsur tradisional tersebut bukan digali
sesuai dengan ketradisiannya. Permisalan yang paling gampang, para peserta
outbound diharuskan mengenakan blangkon/ penutup kepala tradisional Jawa, namun
selama proses tidak dijelaskan apa itu blangkon, dan apa filosofi
penggunaannya. Kasarnya, blangkon jadi
semacam pengganti topi saja, yang setara hirarkinya dengan slayer kain, hih, sadis ya…
Hmmm…yang patut diingat adalah
bahwa apapun properti tradisional tersebut yang sejatinya adalah kearifan
lokal, selayaknya digunakan sebagaimana mestinya, bukan sekedar aksesoris yang
cenderung pemanfaatannya kontrafungsi dengan tradisi. Apa itu contoh
kontrafungsinya? Misal, masih bercontoh blangkon; bukannya dipakai sebagai
penutup kepala, tetapi blangkon malah dipakai sebagai pengganti ember/ gayung
dalam permainan yang membutuhkan sarana mengambil air dari kolam. Ya, bisa juga
sih, kreatif, tetapi nurut saya si pembuat programnya saja yang sontoloyo
mendegradasi kearifan lokal sebagai barang substitusi (yang kurang pas pula)
Contoh lain nih, dalam suatu outbound yang menggunakan
sarana paintball (modern nih) Eee… salah satu pelindung/ benteng pemain
adalah dokar yang merupakan alat transportasi tradisional berkearifan lokal.
Betul bahwa dokar bisa digunakan sebagai pelindung/ tameng/ tempat sembunyi
dalam permainan paintball, tetapi itu
kan menurut saya kurang pas peruntukannya.
Jadi gimana nih?
Mau lebih bernas lagi? Mari
kita jadikan properti tradisional tadi dirasuki nilai-nilainya. Misalnya (masih
mengambil contoh yang sama) selain blangkon yang dikenakan peserta diterangkan
filosofinya, namun bisa juga peserta diajak membuat blangkon sendiri sebagai
bagian dari dinamika outbound. Bisa divariasikan dengan pengikatan kain untuk
penutup kepala yang sejenis, udeng misalnya. Urusan dokar sebagai benteng paintball, masih mending kendaraan
tradisional itu digunakan untuk mengangkut kedua tim ke arena laga sebelum
bermain paitball.
Yupp… kita tutup dahulu
obrolan outbound dengan pemanfaatan tradisi/ properti tradisional ini ya,
contoh lain silakan dicari, daaaannn…. Yuk diaplikasikan.
Outbound
Berskenario Legenda/ Cerita Rakyat
Ada outbound yang tidak punya
alur tertentu sehingga aktivitas hanya berdasar dari games satu ke games saja
tanpa cerita khusus. Tujuan terpraktis ya mencari nilai/ poin sebanyak mungkin
dari tiap pos permainan. Biasanya (kelompok) peserta dengan nilai tertinggi
dinyatakan jadi pemenang; hayooo
begitu khan yang sering kita lakukan? Ngaku
saja, saya juga sering kok buat
outbound yang begituan, he he he…
Namun, bisa juga khan rangkaian aktivitas/ games tersebut
dirangkaikan dalam suatu cerita/ kisah? jawabnya tentu bisa, soalnya saya juga
pernah beberapa kali bikin outbound yang begitu. Sebagai contoh nih, pernah
suatu outbound untuk anak-anak saya beri judul Harry Potter The Entrepreneur, dengan 6 pos tantangannya bernama:- Entrepreneur and the Philosopher Stone / Batu Bertuah
- Entrepreneur and the Chamber of Secret / Kamar Rahasia
- Entrepreneur and the Prisoner of Azkaban / Tawanan Azkaban
- Entrepreneur and the Goblet of Fire / Piala Api
- Entrepreneur and the Order of the Phoenix / Orde Phoenix
- Entrepreneur and the Half-Food Prince (plesetan dari Half-Blood prince/ pangeran berdarah campuran)
Seri novel Harry Potter |
Permainan di Pos The Goblet of Fire |
Tidak perlu saya jelaskan lebar
panjang bahwa nama-nama tadi bersumber dari 6 Novel epik Harry Potter. Jenis permainanpun
saya sesuaikan dengan cerita di novel tersebut, semisal di Pos Entrepreneur and the Goblet of Fire, permainan yang dilakukan peserta adalah membawa
lilin menyala di atas piring bertali. Intinya, dari suatu cerita kita bisa
membuat outbound dengan skenario yang mirip.
Memang bagi kita yang tinggal di Nusantara
Indonesia, cerita Harry Potter bukanlah kearifan lokal. Tetapi bahwa dia bisa
jadi skenario suatu outbound, mestinya menginspirasi kita bahwa dengan begitu
banyaknya legenda/ cerita rakyat di Indonesia, maka sangat terbuka kemungkinan
kita bisa membuat outbound secara tematis. Saya belum bisa menyebutkan contoh yang
sudah pernah dilakukan, karena memang ini juga baru terpikir sekarang. Lalu, bagaimana
caranya sih kita bisa bikin outbound dengan pendasaran legenda/ cerita rakyat? Hmm…. Makanya, ikut “Kembar Siam” alias Kemah bareng Sinau
Maning bertema Outbound berbasis Kearifan Lokal yang akan diadakan di Desa
Wisata Malahayu Brebes pada tanggal 29-30 September 2018 (sekalian promosi ya,
he he he…)
Outbound Bersemangat
Konsep Kearifan (lokal)
Apa pula outbound maksud
bersemangat konsep kearifan lokal ini? Gini, maksudnya sederhana dan mudah
dicerna kok. Salah satu peninggalan kearifan lokal yang sudah kita singgung di
awal tulisan ini adalah berupa konsep, petuah, tatakrama, semangat, etika, tradisi,
pepatah,
kidung, ajaran, dan sebagainya. Baiklah itu dirangkum dengan label “konsep
kearifan” lokal. Nah, penelusuran singkat saya menghasilkan simpulan bahwa
ternyata nilai-nilai konsep kearifan lokal di banyak daerah/ suku di Indonesia
itu mirip, bahkan banyak yang sama, dua saja contohnya adalah :
- Semangat tolong menolong/ gotong royong/ kerjasama antarmasyarakat itu ditemukan di banyak daerah.
- Semangat menghargai alam atau mencintai lingkungan hidup juga ditemukan dalam banyak tempat,
Saya lalu memberanikan diri
bahwa konsep-konsep tadi tidak hanya menjadi kearifan lokal, tetapi sudah jadi kearifan global. Nah, berdasarkan kearifan global tadi, kita bisa merancang outbound
yang mengandung nilai tersebut. Contoh konkritnya adalah sesi “final project” dalam outbound berkonsep
tiap (kelompok) peserta bersinergi, gotong royong alias bekerjasama dalam
mewujudkan suatu misi. Salah satu tolak ukur keberhasilan skenario program tersebut
adalah ketika misi hanya bisa diselesaikan akibat kontribusi sinergi seluruh peserta;
itulah semangat gotong royong yang merupakan kearifan lokal yang mengglobal. Bagaimana
jika ternyata “final project” bisa dikerjakan beberapa orang atau salah satu kelompok
saja? ooo… itu artinya perancang program yang bersangkutan masih perlu ikut
pelatihan merancang program experiential
learning, he he he…
Kearifan lokal yang mengglobal dalam urusan Kepemimpinan |
Saya beri pancingan satu
kearifan lokal lagi yang sudah agak modern ya, tentang ajaran kepemimpinan ala Ki Hadjar Dewantara, yakni Ing ngarso sung tulodo, Ing madya mangun
karso, Tut wuri handayani. Tak perlu diragukan lagi, tokoh pendidikan yang hari
lahirnya tanggal 2 Mei 1889 diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional ini
pantas mencetuskan suatu konsep yang berkearifan lokal nusantara. Ing Ngarso Sung Tulodo memiliki arti memberikan
tauladan di depan, Ing Madya
Mangun Karso memiliki arti ditengah
membangun semangat dan Tut
Wuri Handayani itu sendiri
berarti memberikan dorongan dari belakang.
Mari kita imajinasikan seandainya
mengadakan outbound selama minimal 3 hari, dan ini biasanya bersifat
edukasional atau bahkan developmental. Mungkinkah kita kondisikan peserta dalam
saat-saat tertentu meneladan semangat Ki Hadjar Dewantara? Sangat mungkin
jawabnya, walau saya sendiri belum pernah membuatnya (lha idenya saja muncul spontan saat nulis artikel ini, kok) Melalui dinamika yang tepat, apa yang
direfleksikan ketika peserta diposisikan ”di depan, tengah, dan belakang?” adalah
materi outbound yang nurut saya keren
banget.
Yuk, mari kita selami
konsep-konsep kearifan lokal di sekitar kita, lalu jadikan itu sebagai roh outbound
yang bernas.
Outbound Berbasis
Potensi/ Bentang Alam Setempat
Merancang outbound dengan memanfaatkan
kondisi alam setempat sering saya buat karena dasarnya saya senang otak-atik skenario
program disandingkan dengan lokasinya. Nilai kearifan lokalnya adalah bagaimana
kita kreatif memanfaatkan kondisi/ potensi alam yang ada dalam merancang skenario/
dinamika outbound. Kearifan tersebut sering membuat outbound lebih terasa
alami, segar, dan kadang praktis dari sisi operasional logistik. Pun kegiatan dilakukan
di tempat yang bernuansa modern, namun unsur kearifan lokalnya adalah bagaimana
modernitas itu bisa digunakan menunjang keberhasilan program. Ya, sekali lagi,
lokal di bab ini adalah urusan pemanfaatan potensi tempat outbound secara kreatif.
Saya ungkap beberapa contoh
ya:
- Ketika survey lokasi outbound dan menjumpai pohon jati tumbang, lalu terpikir untuk menjadikannya sebagai media games halang rintang.
- Saat main outbound di waterboom/
sejenisnya, ternyata seluncuran yang ada di sana bisa juga jadi tempat permainan.
Memanfaatkan seluncuran di waterboom untuk salah satu games outbound
- Ketika di dekat tempat outbound ada pemijahan ikan bandeng, sekalian
saja bikin games menghitung anak ikan.
Games menghitung bayi ikan bandeng - Untuk membuat rakit dan dayung, bisa juga menggunakan jerigen bekas dan bambu yang mestinya mudah ditemui.
- (satu lagi saja ya) Eee… saat
survey ditemukan (maaf) banyak botol bir, jadikan saja itu perlengkapan games, bisa kok.
Puluhan botol bir untuk permainan seru
Nah, ternyata asyik bin
nyentrik kan ketika kita bisa kreatif memaksimalkan potensi bentang alam saat
berdinamika outbound. Saya sih pede
menyebutnya sebagai salah satu pengejawantahan outbound berbasis kearifan
lokal, ya, benar-benar kelokalan secara fisik yang dieksplorasi.Yuk mulai tengok kanan kiri,
apa yang bisa kita maksimalkan untuk menyukseskan outbound kita. Ah, tak terasa sudah 4
halaman lebih saya nulis (itu belum dikasih foto lho), padahal niatnya hanya bikin pancingan promo yang agak
edukatif, he he he, untuk acara KEMBAR SIAM yang akan menghadirkan naraobrol:
- Mas Yulianto (Pokdarwis Malahayu – Pelopor LM3 Ponpes Al Hikmah Brebes – Praktisi Ekowisata)
- Arif “Pakdhe” Musa (D’Kandhang Adventure Team – Outbound Kandangpinter )
- Agustinus Susanta (Mancakrida Outbound – Fasilitator Experiential Learning Tk. Utama)
Kapan? Tadi sudah disebut;
Sabtu 29 September 2018 mulai pukul 2 siang sampai selesai Minggu 30 September
2018 pukul 12.00. Berlokasi di Desa Wisata Malahayu Banjarharjo Brebes.
Dengan judul yang sudah
tersua, harapannya sih obrolan akan menginspirasi bagaimana kita bisa membuat outbound
kreatif nan asyik yang berkearifan lokal.
Sementara cukup ya, daaa…..
terimakasih
Mancakrida
Brebes, 26 September 2018