Perjalanan sekitar 8 jam dari Kota Medan akhirnya membawa kami sampai di tanah Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara. Sebelumnya, kami sempatkan singgah di Restoran Garuda Sibolangit untuk makan siang dengan hidangan melayu yang lezat. Perhentian kedua untuk makan malam kami lakukan di Kota Kotacane yang juga merupakan Ibu Kota Kabupaten Aceh Tenggara. Separuh perjalanan kami tempuh dalam hujan dan gerimis, yang menjadi ciri khas rimba di Taman Nasional Gunung Leuser. Dibalut kelelahan, kami segera menyambut kamar di “Ketambe” Gusthouse untuk mandi dan segera beranjak ke peraduan. Keindahan alam Ketambe hanya kami lihat samar-samar karena masih berkerudung gelap malam dan tirai gerimis. Ditingkahi suara-suara hewan dari hutan, kamipun terlelap sampai pagi menjelang.
Hawa
pegunungan yang sejuk-dingin membangunkanku dari tidur nyenyak. Begitu jendela
kamar kusingkap, langsung terlihat hijau hutan rimba yang menjulang di Perbukitan
Barisan. Sungguh pemandangan yang indah permai menyapa sejak dari peraduan.
Beranjak ke restoran di guesthouse, terjumpai rekan saya, Mas Eko, juga sedang
tercenung menikmati suasana. Kami lalu berjalan-jalan keluar kompleks untuk menyesap
keelokan alam Ketambe, khususnya yang berpemandangan kabut di sela-sela
perbukitan.
Sekembali
ke penginapan, bergabung juga Bang Meeng di teras guest house. Dia merupakan
fixer kami dalam misi survey penulisan buku Pola Perjalanan Wisata, khususnya
di Taman Nasional. Meeng memesankan minuman kopi guna melengkapi obrolan ringan
sembari menikmati alam sekitar yang sungguh asri.
Tak
disangka, seorang Noni Belanda keluar dari dapur restoran mengantarkan pesanan
kopi kami. Saya heran saja, melihat seorang bule cantik mengenakan jilbab, pagi-pagi
sudah nongol melayani kami. ia saja. Usut punya usut, bule yang minta dipanggil
dengan nama Dewi ternyata dipersunting oleh pemilik “Ketambe” Guest House.
Diapun dengan bangga menyebut dirinya sebagai wanita Gayo; Ya, benar, bukan
Aceh. Hmm… sungguh kejutan bisa menyaksikan seorang wanita “bule” yang dengan
kesadarannya mau menjadi bagian dari keluarga Gayo.
Noni Dewi dan Bang Iwan foto oleh M. Rubini Kertapati |
Selain sebagai titik utama penelitian orangutan, faktor lain kemeriahan
Ketambe adalah keberadaan Sungai Alas yang merupakan sungai terpanjang di Aceh.
Sungai ini menjadi favorit bagi atlet maupun penikmat olahraga arung jeram
karena karakter sungai dan keindahan alam di tepiannya. Boleh dibilang, ini
adalah sungai terbaik di Indonesia yang menyajikan suasana arung jeram
terasyik, baik dari sisi panjang lintasan, karakter jeram, keindahan alam yang
sebagian besar melalui TN Gunung Leuser, maupun keramahan masyarakat Gayo dan
Alas di tepiannya. Berbagai kejuaraan, bahkan sampai tingkat internasional
pernah diadakan di sungai ini, dengan Ketambe sebagai pusatnya. Hal ini juga
yang membuat Ketambe pada musim kejuaraan arung jeram dihiasi juga dengan
bule-bule atlet arung jeram. Dengan berbagai latar belakang tadi, maka kami tak
lagi heran bahwa lalu ada bule yang jatuh hati dengan penduduk Ketambe, untuk
lalu berkeluarga dan dengan senang hati menetap di sana. Noni Dewi yang
menghidangkan kopi ini salah satunya.
Amboy, bangun tidur langsung menjumpai pemandangan seperti ini dari jendela "Ketambe" guest house |
Pohon yang gondrong jurainya menyambut tamu sebelum masuk guest house |
Nikmat lontong sayur yang tak kuasa ditolak |
Usai mandi dan santap sarapan lontong sayur yang nikmat, kami berlima
sebagai tim penyusun buku wisata sudah siap menjelajah ketambe. Bergabung pula 3
orang pemandu yang akan menemani perjalanan kami hari itu. Tak sabar rasanya
mengeksplorasi keseruan Ketambe yang kisahnya sudah sekilas kami cecap.
Rencananya, kami akan mengunjungi Stasiun Riset rangutan yang hanya bisa dicapai dengan naik perahu; namun karena pagi itu arus sungai masih deras dan terlalu bahaya untuk diseberangi, maka kami lanjut dahulu menuju Hutan Lawe Gurah. Setelah berkendara sekitar 15 menit melalui jalan mendaki yang menembus Hutan Taman Nasional Gunung Leuser sampailah kami di bibir pintu masuk treking hutan. Ada banyak pilihan eksplorasi yang ditawarkan di lokasi yang merupakan bagian dari resor Lawe Gurah, Seksi Pengelolaan TN Gunung Leuser wilayah IV Badar, Bidang Pengelolaan TN Wilayah II Kutacane ini, misalnya:
- Treking masuk ke rimba untuk mengamati ekosistem dan siapa tahu melihat orangutan di habitat aslinya,
- Menikmati air terjun di sungai Gurah,
- Menikmati sumber air panas,
- Treking di seputar bungalow,
- Camping,
- Main arung jeram di sungai Alas, namun tentunya perlu persiapan sehari sebelumnya, atau
- Sekedar santai menikmati keindahan alam tepian Sungai Alas.
Pilihan pertama kami adalah menikmati hutan hujan tropis seperti tagline
TNGL. Melalui jalan setapak, rombongan masuk ke hutan yang dipenuhi pohon-pohon
besar nan tinggi. Masa pandemi selama lebih dari 6 bulan membuat jalur treking
yang dulu minimal seminggu 2 kali dilalui pengunjung atau wisatawan,kebanyakan
bule, kini menjadi lebih rimbun alami. Di beberapa tempat, jalur sudah
ditumbuhi aneka perdu kembali, sehingga pemandu kami perlu menebaskan parang
tajamnya untuk membersihkan jalur.
Ketemu batang tumbang? sudah jamak |
Saya
betul-betul menyesapi suasana sepi ketika masuk hutan ini dengan sesekali
pandangan mata mengarah ke atas; sambil menyipitkan mata mencoba melihat
barangkali terlihat orangutan yang sedang bergelantungan di pucuk-pucuk pohon.
Sayang sekali sudah 1 jam kami berjalan, tak tersua batang hidung orangutan.
Justru yang kami jumpai adalah sebatang pohon
rambung raksasa (Ficus). Tidak sekedar besar dan tinggi, sehingga saya sebut
itu pohon raksasa, namun yang unik pohon tersebut membentuk celah setinggi
kurang lebih 5 meter dan ada rongga-rongga di bagian bawahnya. Saya melongok ke
dalam beberapa rongga itu dan terlihatlah seakan-akan ada api yang memancar
dari dalam pohon, padahal itu adalah refleksi sinar matahari yang menembus
lebat hutan dan kebetulan sekali masuk ke celah-celah batang pohon tersebut. Wow,
kereeennn… Kami berhenti untuk beristirahat di situ sambil tak lupa jepret sana
jepret sini mengabadikan eksotika pohon tersebut. Puas mengeksplorasi pohon
yang luar biasa tersebut kami melanjutkan perjalanan.
Pohon bolong |
Menjulang |
Kondisi jalan
setapak makin tertutup oleh rumpun-rumpun dan rimbunnya perdu, namun tak
menyurutkan langkah kami untuk menjelajah hutan di wilayah Lawe Gurah ini. Para
pemandu kadang-kadang berhenti untuk melongok ke atas sambil mengeluarkan suara
yang katanya mirip dengan suara yang bisa memanggil atau mendekatkan orangutan.
Namun toh usaha yang akhirnya saya tiru juga belum membuahkan hasil. Kami hanya
menjumpai beberapa sarang orang hutan yang dibangun di atas ketinggian pohon
Selain
menjumpai beberapa jenis jamur di jalan setapak, ternyata dalam perjalanan kami
ada pengikut setia yang menempel pada kulit kaki dan badan kami, yaitu binatang
pacet. Saya heran, bagaimana binatang yang mungil seperti anak cacing itu
bisa-bisanya menempel pada kulit kaki kami bahkan bisa menerobos celana atau
baju kami. Sebenarnya digigit atau lebih tepatnya dihisap oleh pacet tidak
terasa sakit, hanya geli saja ketika tahu bahwa ada binatang yang menempel erat
di tubuh kami. Untunglah pacet ini binatang yang tahu diri sehingga ketika dia
sudah kenyang menghisap darah, dia akan lepas dengan sendirinya. Namun, kadang
ada pacet yang sial karena sebelum dia puas, ketahuan oleh pemilik badan dan
kemudian dicabut paksa dari kulit serta dibuang, lebih sial lagi jika ada yang
gemas sampai memijitnya. Para pemandu
kami justru santai saja bahkan tertawa melihat kami yang kadang merasa repot memindai
dan memencet pacet di sekujur tubuh. Mereka bilang itu adalah oleh-oleh yang lumrah
ketika ada manusia yang treking masuk ke hutan, apalagi jalur yang kami lalui
sudah berbulan-bulan tidak pernah dirambah akibat pandemi corona.
Jamur yang keren. foto oleh M. Rubini Kertapati |
Akhirnya
setelah hampir 2 jam menjelajah hutan hujan tropis di Lawe Gurah-tanpa melihat
orangutan- kami kembali ke pos pintu masuk Lawe Gurah. Usai beristirahat
sejenak, kami naik kendaraan sekitar 5 menit ke arah bawah untuk masuk pada
wilayah Ekowisata Lawe Gurah. Kami kembali berjalan kaki saat mengeksplorasi
tempat tersebut. Suasana hutan masih terasa walaupun sudah ada sentuhan
penataan di dalamnya. Orangutan belum bisa kami lihat, namun justru tupai dan
burung rangkong yang tersua.
Kami
beristirahat sejenak di depan paviliun penginapan yang menghadap Sungai Alas.
Sepelempar batu darinya, terdapat sebuah Aula serbaguna yang saat itu sedang
digunakan untuk pertemuan oleh sekitar 40 orang. Dari sana, kami melanjutkan
perjalanan menyusuri jalan setapak, lebih mendekat ke arah sungai tempat beberapa
fasilitas bangunan yang penunjang kegiatan wisata berada. Setlah menembus hutan
dan semak, trsualah tempat makan, pondok-pondok souvenir, camping ground, dan
tentu saja tempat bersantai menikmati sungai alas. Jejak sungai Alas sebagai
tempat keren berarung jeram tampak pada sebuah gapura dengan baliho bertuliskan
”Alas International Rafting Championship 2019.” Bang Meeng selaku ketua panitia
beberapa kejuaraan arung jeram di sana, bercerita dengan antusias betapa lokasi
tersebut menjadi ramai dan semarak. Treking kami akhiri dengan makan siang di
pendopo Kantor TNGL Resot Lawe Gurah.
Pavilyun penginapan di Ekowisata Ketambe |
Menyesap kedamaian Sungai Alas |
Tak lama
usai makan, bercangkir-cangkir kopi gayo muncul untuk kami sesap kenikmatannya.
Sungguh pengalaman yang seru saat keterkenalan kopi dari gayo tak hanya sebatas
didengar saja, namun bisa dinikmati justru di daerah asalnya. Lelah yang
ditumpas dengan makan siang serta secangkir kopi, angin semilir, serta
pemandangan yang indah menyebabkan godaan kantuk melanda, namun toh kami harus
bergerak lagi menuju Stasiun Penelitan Ketambe. Maka kamipun beringsut kembali
masuk ke mobil untuk menuju tempat penyeberangan yang pagi tadi sempat kami
singgahi.
Arus air Sungai
Alas yang biasanya jernih namun kini
keruh karena hujan semalam masih tetap deras, walau sedikit lebih menyusut
daripada kondisi pagi. Kami menyeberang menggunakan perahu kayu dengan teknik unik.
Perahu bisa bergerak bukan karena didayung, melainkan memanfaatkan arus sungai.
Ada sling/ tali baja melintang sungai selebar sekitar 80 meter tersebut. Single
pulley dan karabiner menempel di bentangan sling tersebut, mengikat 2 utas tali
tambang; yang sepanjang 15 meteran terikat kuat pada moncong perahu, sementara
yang lebih panjang lagi dipegang pengemudi yang duduk di belakang mengendalikan
laju perahu. Sedikit demi sedikit badan
perahu yang sejajar arah aliran air digeser sampai “melawan” arus sehingga
perahu bisa beringsut ke tengah sungai. Perahu tidak hanyut karena diikat oleh
tambang yang terhubung dengan puley pada sling baja, namun dengan pengendalian
yang tepat justru bisa bergerak ke tengah lalu seberang sungai. Namun
sebaliknya, pengendalian arah perahu yang tidak tepat menyebabkan badan perahu
bisa terlalu melintang dan melawan arus sehingga berpotensi membalikkan perahu
kayu.
Cara Leonardo DiCaprio nyebrang ke Stasiun Penelitian Ketambe |
Nggaya sejenak |
Hmmm…
ngeri-ngeri sedap ya, cara menyeberangkan penumpang dengan teknik semacam itu.
Mungkin pada 2016 lalu Leonardo DiCaprio juga mengalami perasaan yang sama saat
menyeberangi sungai alas ini. Karena kami juga sudah dibekali jaket pelampung,
walau agak gimana gitu, akhirnya kami lebih percaya diri saat diseberangkan
dalam beberapa trip.
Kami
menjumpai beberapa bangunan di Stasiun Penelitian Ketambe ini, ada ruang tamu, kantor
tempat informasi, ruang penelitian dan juga kamar-kamar atau pondok tempat tinggal
para peneliti. Kebetulan kami bersua dan menyempatkan diri ngobrol dengan
beberapa peneliti. Melalui obrolan, saya mendapatkan perspektif baru bahwa ada
keseriusan dari lembaga juga para peneliti yang melakukan riset terhadap orang
hutan. Tak hanya dalam hitungan minggu, bahkan ada peneliti yang selama
berbulan-bulan melakukan penelitian dan tinggal di tempat itu; sungguh sebuah
dedikasi yang luar biasa demi melakukan upaya-upaya konservasi khususnya dalam
bidang ke orangutanan.
Selepas
pulang dari Stasiun Penelitian Ketambe, sisa sore itu kami habiskan untuk
meninjau salah satu satu objek wisata baru yaitu Air Terjun Dewisila, singkatan
dari Desa Wisata Pancasila, yang baru saja dibuka untuk umum. Letak obyek
wisata baru tersebut di desa ketambe serta hanya membutuhkan waktu jalan kaki
sekitar 10 menit saja jari jalan. Air terjun yang terdiri dari beberapa aliran
yang turun dari tebing curam sekitar 40 M di atas dasar sungai itu, dari jauh
suara gemerciknya mengundang orang untuk mendekat. Sungai tempat air terjun
mengalir di buat beberapa tanggul yang dijadikan kolam yang direncanakan untuk
tempat mandi atau bermain air. Di sana-sini juga disiapkan tempat untuk duduk,
berswafoto, serta menikmati air terjun. Puas menikmati air terjun tersebut kami
lalu kembali ke guesthouse karena acara eksplorasi hari tersebut sudah selesai.
Tak sabar menantikan hari esok untuk arung jeram di Sungai Alas.
Sore ke
petang, lalu malam… usai membersihkan diri dan beristirahat, kami disuguhi Mi
Aceh oleh Noni Dewi, Bule Ketambe pemilik guesthouse. Guyuran gerimis membuat
badan yang seharian bergerak ini sangat mengapresiasi hangat dan lezat Mi Aceh tersebut.
Duduk di balkon kamar yang dilingkupi rimbun taman asri, kami bercengkerama
menikmati hidangan mi yang di legendaris, langsung di tempat asalnya, Aceh.
Beberapa teman pemandu yang sesiang menemani kami lalu bergabung ngobrol,
saling berbagi kisah tentang kepariwisataan yang asyik namun kadang ribet jika
berurusan dengan kelembagaan.
Salah satu
topik obrolan kami misalnya tentang
siapa yang paling diharapkan mengembangkan fasilitas pariwisata di suatu
tempat, katakanlah Ketambe. Sungai alas jelas punya kelas internasional untuk
urusan arung jeram; selain pemandangannya yang memesona untuk sekedar dinikmati
dalam lamunan. Orangutan di habitat
aslinya, ditambah Stasiun Riset membuat reputasi Ketambe makin mendunia. Pendek
kata, Ketambe sangat potensial untuk melanjutkan kejayaannya seperti 20an tahun
lalu. Namun persoalannya, bagaimana mengurai hal-hal yang saling berkelindan
dalam bidang pariwisata ini?
Komplek
ekowisata yang siang tadi kami datangi itu status lahannya milik Taman Nasional
Gunung Leuser, namun dipercayakan pada pemerintah daerah untuk pengembangan
fasilitasnya. Secara alami, di tmpat tersebut kelompok pegiat wisata, olahraga
arung jeram, juga masyarakat sekitar mempunyai gerakan untuk menghidupkan
ekonomi melalui aktivitas sesuai karakter kelompoknya. Aneka aktivitas itulah yang idealnya diwadahi
dalam suatu ruang, baik dalam wujud dalamruang/ indoor atau luarruang/ outdoor.
Para pegiat wisata ini juga bermacam wujudnya; ada yang mengatasnamakan kumpulan
pemuda, organisasi pramuwisata/ pemandu wisata, federasi olahraga arung jeram,
kelompok sadar wisata, kumpulan pemilik penginapan, atau sekedar pribadi yang
punya intensi tertentu terkait pariwisata. Kami mendiskusikan betapa kacau
dunia kepariwisataan di suatu tempat/ obyek wisata jika tidak ada koordinasi
yang mulus antar berbagai pihak atau lembaga tadi. Obyeknya satu dan sama,
sementara kepentingan yang diharapkan oleh tiap pihak yang terkait bisa
berbeda-beda tanpa upaya menyinergikan.
Salah satu
hal yang dikeluhkan salah seorang penggiat wisata adalah keberadaan sebuah
“gundukan” plesteran yang ditata sedemikian rupa membentuk sebuah ampitheater.
Denahnya melingkar, dengan area yang mungkin dimaksudkan semacam panggung
terbuka dan diseberangnya ada terasering tempat duduk penonton. Namun
sayangnya, tempat duduk ampitheater yang dibangun itu justru membelakangi
Sungai Alas. Padahal jika orientasi gundukan itu diputar 180 derajat, maka
fungsi sebagai tempat pertunjukan masih kena, namun tempat duduk itu juga bisa
digunakan untuk aktivitas menikmati sungai, terlebih jika ada kejuaraan arung
jeram di sana.
"Ampitheater" di tepi Sungai Alas |
Cerita
punya cerita, konon hal tersebut terjadi karena pembangunan dilaksanakan secara
proyek oleh pemerintah, namun justru tidak melibatkan pihak pegiat wisata yang
sebenarnya sudah mengajukan usul penataan disain, dalam bentuk gambar. Hmmm…
sebagai seorang Arsitek, saya bisa memahami jika pembangunan dilakukan tanpa
perencanaan dan kajian yang matang, minimal tentang aktivitas yang akan
diwadahinya, maka bangunan tetap bisa berdiri, namun pemanfaatannya kurang
maksimal. Dalam kasus ini, disain yang bagus sudah diajukan langsung oleh
penggiat wisata, namun justru dalam pembangunan, disain tersebut diabaikan. Kalau
hasilnya lebih asyik sih nggak masalah. Lha kalau yang terjadi justru
kontraproduktif, kan sayang….
Ya, kadang
di balik serunya kita berwisata, ada banyak hal yang perlu dikolaborasikan oleh
pihak atau lembaga terkait, sehingga proses berwisa menjadi menarik dan asyik.
Hal-hal tadi tentunya mencakup sisi kebijakan dan pelaksanaan di lapangan.
Malam makin
larut, 3 jam tak terasa kami ngobrol ngalor ngidul ditemani hujan. Jika pada
awal obrolan kami merencanakan teknis pengarungan (arung jeram) besok, maka di
akhir obrolan kami dan tim pemandu arung jeram memutuskan pengarungan di tunda,
sebab kondisi hujan menerus berpotensi membuat arus Sungai Alas terlalu deras
sehingga beresiko lebih tinggi untuk bermain di sana. Kami agak kecewa dengan
kenyataan tersebut, namun toh faktor alam yang jelas ada di luar kendali kita
perlu diperhatikan ketika akan melakukan aktivitas wisata di luar ruangan. Akhirnya
kami merubah jadwal dengan merencanakan perjalanan ke Kedah di Kabupaten Gayo
Luwes, sambil mengeksplorasi keseruan wisata di sepanjang perjalanan.
Sampai jumpa lagi pacet, si kawan dari Leuser |
Gerimis
tipis menyambut pagi kedua kami di Ketambe. Hal tersebut tidak menyurutkan kami
untuk bergegas memersiapkan perjalanan menuju Kedah, tempat pos awal pendakian
ke gunung Leuser. Musabab kami akan menginap lagi di Ketambe, maka berpamitanlah
kami pada pemilik guesthouse, Bang Andi dan Istrinya, Non Dewi, si Bule Belanda
dari Ketambe. Walau tak menemui orangutan di ketambe, namun kami enjoy saja
melanjutkan eksplorasi wisata di TNGL. Apakah kami akan bersua orangutan di
perhentian berikutnya? Ikuti saja catatan kami berikutnya.
Brebes, 2 Desember 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar