Taman Nasional
Saya dan beberapa
rekan sedang menjalani misi yang diberikan oleh Kementerian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif Reprublik
Indonesia, untuk menyusun buku Pola Perjalanan Wisata (PPW) dengan tema Indonesia National Park Discovery. Pola perjalanan wisata adalah karakteristik perjalanan yang dilakukan
dari dan ke destinasi pariwisata, termasuk pengalaman berwisata yang didapat
selama perjalanan. Pola perjalanan merupakan kombinasi tujuan yang wisatawan
pilih untuk dikunjungi, urutan yang mereka pilih untuk dikunjungi, dan mengapa
mereka membuat keputusan ini.
(Flogntfeldt
Jr, 2005; Nickerson, dkk, 2009; Hughes dkk, 2015, Alison Course, 2020)
Kali Topo |
Keluaran
PPW ini adalah referensi bagi para wisatawan, travel agent/tour
operator/online travel agent Indonesia maupun di luar negeri maupun
pemangku kepentingan lainnya dalam mengemas produk wisata yang berorientasi
kepada peningkatan length of stay wisatawan dan kualitas pengalaman
berwisatanya.
Mengapa Taman Nasional menjadi salah satu pilihan tema? karena
sebetulnya keindahan dan esotika taman nasional itu dapat dijadikan atraksi
wisata yang sangat memikat para wisatawan. Emang seberapa memikatkah pesona TN? Sabar ya dalam catatan berikutnya pesona tersebut akan
terkuar.
Taman Nasional adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Itu yang bilang “Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun
1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” lho. Sedangkan,
pengertian “kawasan
pelestarian alam”
adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Hmmm…
itu juga ada aturannya juga lho.
Kawasan pelestarian alam terdiri dari 3 jenis, yaitu Taman Nasional, Taman Hutan Raya (Tahura), dan Taman Wisata Alam (TWA). Taman Nasional menempati hirarki tertinggi
sebagai kawasan yang harus dilestarikan, sehingga aturan mengenai seluk
beluknyapun paling ketat. Kawasan Taman
Nasional terdiri dari beberapa zona, yaitu: Zona Inti; Zona Rimba; Zona Pemanfaatan; dan Zona Lain. Adapun kegiatan wisata di Taman
Nasional hanya dapat dilakukan
di zona pemanfaatan, yang ketentuannya sudah dibuatkan regulasi khusus oleh
pemerintah. Saat ini terdapat 54 Taman Nasional di Indonesia, yang tersebar mulai dari pulau
Sumatera sampai Papua, dengan macam-macam karakternya, mulai dari ekosistem laut,
dataran rendah, dan dataran tinggi/ gunung.
Rusa di Baluran |
- Perlindungan sistem penyangga kehidupan;
- Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan
- Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kami melakukan eksplorasi Taman Nasional Baluran dan beberapa obyek wisata sekitarnya selama seminggu. Taman Nasional ini ditetapkan oleh negara berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 279/ Kpts.-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997. Kisah per harinya tidak perlu lah disampaikan di sini karena pasti akan membosankan sebab akan ada spot atraksi yang kami observasi beberapa kali dalam hari yang berbeda. Kita nikmati saja titik-titik daya tarik wisata yang sudah kami eksplorasi ya…
Eksotika Baluran
Pos Batangan adalah tempat kantor Taman Nasional Baluran berada, sekaligus pintu masuk terdekat dari arah Banyuwangi. Terdapat bunker serdadu jepang di halaman kantor yang disebut dengan “Goa Jepang,” sayang keberadaannya kurang ditonjolkan. Di Pos inilah pengunjung membeli tiket masuk serta bisa mdp penjelasan tentang Baluran. Menara pandang terletak di samping tempat parkir. Dari atas menara pandang, pengunjung bisa menikmati keindahan gunung Baluran sekaligus mengamati hutan di sekitarnya sambil mencoba menemukan aneka binatang yang berkeliaran. Puas mejeng di menara pandang, kita bisa melanjutkan meluncur masuk ke dalam Taman Nasional melalui jalan aspal hotmix mulus yang masih baru. Biasanya, saat melintas di sana kita bisa melihat atau bersua dengan binatang monyet kera (Macaca fascicularis), rusa (Cervus Rusa timorensis), merak hijau (Pavo muticus), dan kerbau liar (Bubalus bubalis). Ikon Taman Nasional Baluran, yaitu banteng Jawa (Bos javanicus javanicus), saat ini sudah sulit dijumpai, apalagi ketemu dengan macan tutul (Panthera pardus melas). Kalo anjing hutan atau ajag (Cuon alpinus javanicus), kadang masih bisa dijumpai, walau sudah jarang memerlihatkan diri.
Menara Pandang di Pos Batangan |
Kerbau Liar (foto oleh M. Rubini Kertapati) |
Pada
kilometer ke-11 sampai 13 kita akan menjumpai Sabana Bekol yang sangat luas di
sisi kanan. Sabana adalah padang
rumput yang dipenuhi oleh semak atau perdu dan diselingi oleh beberapa jenis pohon yang tumbuh menyebar. Di bekol ini juga terdapat Pos/
kantor Taman Nasional, penginapan yang bisa digunakan untuk umum, menara
pandang, dan tempat makan. Binatang yang paling banyak bisa dilihat di sabana
adalah rusa, macaca, dan burung merak. Pemandangan ke arah gunung baluran bisa
tampak dengan jelas dari sabana ini, apalagi jika kita naik ke menara
pandangnya. Di menara pandang Bekol ini, kita bisa memandang luasnya Taman
Nasional Baluran, dari gunung hutan, sabana, sampai ke arah pantai, bahkan
Pulau Bali di seberang selat.
Savana Bekol (foto oleh M. Rubini Kertapati) |
Di Bekol,
terdapat kubangan lumpur dan sumber air minum yang biasa digunakan oleh
berbagai jenis binatang untuk berendam atau minum. Dasar pinter-pinternya
pengelola, di dekatnya dibuat instalasi kamuflase yang bisa digunakan para
pengamat, khususnya fotografer yang ingin mengabadikan tindaktanduk binatang yang
sedang minum atau berendam di sana.
Pantai
berpasir putih biasanya menjadi tujuan akhir para wisatawan usai wildlife
sepanjang 15 kilometer jalur jalan Batangan – Pantai Bama. Berbagai fasilitas
melengkapi Bama, baik sebagai tempat rekreasi maupun kantor konservasi. Sangat
mudah menemui macaca di sana, karena mereka juga biasa berseliweran layaknya
manusia. Namun kita perlu hati-hati dengan kondisi yang sepertinya adem ayem
ini, sebab mereka sangat sensitif terhadap makanan, dan punya nafsu besar untuk
merebutnya dari tangan pengunjung. Jika ada pengunjung yang (terlihat seperti)
membawa makanan, maka berarti sebenar lagi akan terjadi perampasan aset.
Macaca di Pantai Bama |
Bibir
pantai Bama membentang sekitar 1 kilometer sampai arah muara Kalitopo yang
membentuk laguna saat surut. Kita bisa berjalan-jalan, kadang di pasir pantai,
namun sesekali perlu menerobos kerumunan tanaman. Mau mandi di pantai, boleh
juga, yang penting hati-hati terhadap batu karang yang mendasari pantai itu,
juga terhadap ombak Selat Bali.
Bersebelahan dengan Pantai Bama, kita bisa masuk ke hutan mangrove yang ditembus dengan jalur jalan panggung sampai ke pantai. Rumpunnya gedhe-gedhe lho, menarik untuk difoto, tetapi harus hati-hati jika mau petakilan di antaranya.
Gerbang masuk Dermaga Mangrove; abaikan saja modelnya, he he he... |
Cuplikan keelokan Taman Nasional tadi merupakan jalur eksisting yang sudah populer bagi wisatawan saat menikmati kunjungan ke Baluran. Namun ternyata, Baluran masih menyimpan potensi jalur pesisir yang asyik. Kami sudah membuktikannya saat eksplorasi hari ketiga, yang lantas disebut dengan Geotrek Kakapa.
Geotrek Kakapa
Pagi itu, rombongan dibagi 2 moda; darat dan laut. Saya dan Kang Bibin kebetulan dapat moda laut sehingga berangkat menggunakan perahu nelayan dari pelabuhan Ketapang Sijile; Karang Tekok. Sebagian besar lainnya menggunakan sepeda motor untuk menelusuri pantai Baluran. Pertemuan pertama kedua tim dilakukan di Pantai Sijile, dan yang kedua di Pantai Balanan.
Ternyata asyik lho, menikmati Gunung Baluran dari arah laut yang pagi itu dihembusi angin sedang. Hutan pantai serta hutan dataran tinggi tampak menghijau, serasi dengan birunya air laut; menjadikan Kang Bibin kalap untuk sebentar-sebentar menjepretkan tustelnya. Hari yang cerah mendukung kami untuk menikmati perjalanan laut selama sekitar 30 menit itu untuk bertemu tim darat di Pantai Sijile.
Menikmati Gunung Baluran dari laut |
Pantai yang berada di pesisir utara Taman Nasional dan berbatasan dengan Selat Madura. Ini berpemandangan indah memerlihatkan laguna dengan latar belakang Gunung Baluran, atau laut lepas. Karena pantainya berpasir landai, maka kita bisa berenang di sana dengan nyaman. Kegiatan snorkling dan berkayak juga asyik dilakukan di pantai yang pencapaiannya bisa menggunakan sepeda motor melalui Pos Watu Numpuk, seperti yang tim “darat” lakukan dengan sepeda motor. Dalam setengah jam koordinasi, serta ngopi, tim darat menceritakan betapa menarik gugusan batu-batu di daerah Watu Numpuk yang mereka lewati.
Eksplorasi
kami lanjutkan kembali, Mas Eko dari tim darat berpindah naik perahu kini.
Pertemuan selanjutnya terjadi di Kampung Merak yang dikenal dengan keberadaan ribuan
sapi. Perkampungan yang sudah ada sejak sebelum penetapan kawasan menjadi Taman
Nasional ini sampai saat ini menyimpan dilema. Mestinya kawasan di dalam Taman
Nasional itu steril dari pemukiman, namun toh keberadaan penduduk di sana masih
ada saja. Ceritanya panjang mengapa hal hal problematik tersebut masih terjadi
sampai saat ini, kita tidak akan cerita di sini. Siang itu rumah-rumah di
Kampung Merak sepi, barangkali penghuninya sedang pergi ke ladang atau sawah.
Nah ini juga bagian dari problematika juga karena kok bisa-bisanya di dalam
taman nasional ada Sawah/ ladang.
Pawai Sapi di Kampung Merak |
Eksplorasi via peraian berakhir di sini, karena kami semua lalu menggunakan jalur darat menuju Pos Balanan. Jalur yang kami lalui kadang menembus hutan pantai, kerumunan mangrove, ladang, pemukiman, bebatuan yang terserak di padang, lereng gunung, bibir pantai, juga sabana mini. Sebagian besar jalur cenderung landai, namun di beberapa lereng menjadi curam sehingga perlu ekstra hati-hati dalam mengendarai sepeda motor. Pemandangan menarik kerap tertemui, termasuk perjumpaan dengan beberapa sapi di pinggir jalan.
Hai sapiiii... |
Balanan
merupakan nama pemukiman tempat salah satu resor/ pos kantor Taman Nasional.
Keseruan balanan adalah habitat hutan mangrove yang lebat. Untuk menuju ke
sana, kita bisa menggunakan sepeda motor, atau perahu dengan jarak sekitar 21
kilometer dari Desa Karang Tekok.
Mangrove di Balanan |
Bersisian
dengan Balanan, kita bisa menikmati Pantai dan Pulau Kakapa yang berpasir putih
dan relatif bersih serta sepi. Kegiatan snorkling dan kayaking juga bisa
dilakukan di sini. Tebing di kakapa menghasilkan bukit yang curam dari sisi
pantai. Wisatawan bisa mencapainya dari Balanan dengan treking sepanjang 3
kilometer, baik dengan berjalan kaki atau menggunakan sepeda motor. Bukit
kakapa berasal dari patahan laut yang lalu terangkat karena proses geologi, hal
tersebut membuat kita bisa menemukan fosil atau kulit kerang di permukaan atau
bawah tanah permukaan. Pandangan dari atas bukit Kakapa sungguh indah, terutama
jika melihat laut lepas.
Pulau Kakapa dilihat dari Bukit Kakapa |
Sabana "batu" |
Saat
perjalanan pulang, dari Kampung Merak kami mengambil jalan lain melalui jalur
pemeliharaan yang biaanya dilalui oleh para polisi hutan. Jalanan dipenuhi
bebatuan membuat laju sepeda motor kami kadang tersendat melambat sambil
melompat-lompat kecil. Tunas-tunas akasia dan perdu yang berada persis di
pinggir jalan setapak tak terhitung lagi membelai betis, bahkan kadang tubuh
kami, rasanya… hmmm… pedas; maklum namanya juga tersabet pohon, apalagi jika
berduri. Sabana yang luas justru dipenuhi batu, sehingga saya menyebutnya
sebagai hamparan batu yang diselingi rumput dan pohon. Perjalanan sekitar
setengah jam melalui jalan berbatu menembus debu akhirnya membawa kami sampai
di jalan besar Situbondo-Banyuwangi, di dekat Pos Karang Tekok.
Satu lagi obyek menarik yang bisa kita nikmati adalah Waduk Bajul Mati. Instalasi waduk memang terletak di kawasan Taman Nasional Baluran, namun pengelolaannya dilakukan oleh Dinas Pekerjaan Umum. Akses yang sangat mudah, hanya sekitar 1 kilometer langsung dari Jalan Raya Situbondo-Banyuwangi, menjadikan area ini juga cocok menjadi tempat istirahat bagi pengendara mobil jarak jauh. Pemandangan pucuk-pucuk bukit, termasuk puncak Gunung Baluran yang dilatardepani air waduk menjadi andalan rekreasi di sana.
Waduk Bajul Mati, Baluran |
Tantangan si Banteng
Pada suatu
petang, saat kami melintas di jalan hotmik baru yang membelah Taman Nasional baluran,
tersua seekor kera, Macaca fascicularis yang tergeletak di tepi jalan. Di sudah
tewas dengan kepala berdarah, kemungkinan besar ditabrak oleh kendaraan yang
melintas di jalan itu. Sungguh ironis, seekor binatang mati tertabrak kendaraan,
justru di tempat dia seharusnya terlindung, pun negara sudah memberikan payung
hukumnya melalui undang-undang.
Malam harinya,
peristiwa “ironis” tersebut kami obrolkan. Terkuak fakta bahwa jalan hotmix
mulus yang membelah Taman Nasional tersebut itu baru saja dibuat, menutupi
bebatuan yang sebelumnya menjadi pelapis jalan. Dulu, kendaraan, baik mobil
maupun sepeda motor tidak bisa melaju dengan kencang, namun kini kecepatannya
bisa menjadi 2-4 kali lipat lebih cepat. Dulu, jalanan batu menyisakan genangan
usai ujan, tempat kupu-kupu beterbangan di sekitarnya; indah sekali.
Jalan Hotmix nan mulus menuju "Cafe Baluran" (foto oleh M. Rubini Kertapati) |
Analisis
yang kami simpulkan, si kera malang
tadi, mewakili para kera lainnya, belum bisa beradaptasi bahwa kendaraan yang
dulu dipastikan berjalan lambat di jalan itu, sekarang sudah bisa ngebut. Jika
dulu dia berada di tengah jalan, dan bisa menghindari kendaraan dalam waktu
tertentu, kini dengan waktu yang sama dia rupanya ketemu naas; kendaraan lebih
cepat menabrak dirinya.
Kenapa kera
itu sampai tertabrak? Dugaan kami karena kebiasaan dia untuk berdiri di pinggir
jalan atau menghadang pengunjung untuk berharap mendapat makanan. Secara
aturan, pengunjung Taman Nasional tidak boleh memberi makan pada hewan yang ada
di dalamnya, karena itu tidak sesuai dengan kebiasaan aslinya untuk mencari
makan di hutan. Namun toh pengunjung kadang dalam ketidaktahuannya, dengan
alasan kasihan justru berniat memberi makan hewan-hewan di dalam Taman
Nasional. Sungguh sesuatu yang pada akhirnya bisa merugikan semua pihak.
Melanjutkan
dugaan kami, pengaspalan jalan dalam Taman Nasional mungkin karena ada pihak
yang ingin “memanjakan” pengunjung, dalam hal ini wisatawan. Asumsinya, makin
mulus jalan di dalam Taman Nasional Baluran, maka akan makin makin banyak
mengundang wisatawan. Memang di satu sisi pasti akan ada peningkatan nilai
tiket masuk, tapi di sisi konservasi, sudah tepatkah kebijakan yang menyebabkan
orang lebih mudah masuk dan berekreasi di Taman Nasional?
Memang saat
ini Taman Nasional Baluran sedang melakukan pembangunan, seperti tersua dalam
berita di https://travel.detik.com/domestic-destination/d-5108054/tn-baluran-situbondo-akan-bangun-rest-area-berkelas-internasional
Saat kami
survey, ada restoran yang sedang dibangun persis di tepi sabana Bekol; kalau
tidak salah, salah satu menunya adalah hamburger, iya hamburger.
Saat kami mengunjungi
Batu Hitam, sudah tersua pula patok-patok proyek tempat bangunan akan didirikan
di tempat yang sebelumnya terpencil dan menjadi lintasan hewan-hewan endemik.
Truk proyek dan patok resort di puncak Kalitopo nan indah |
Pantai Sijile |
Berbagai pembangunan di dalam Taman Nasional tentu sudah melalui perijinan oleh negara. Apakah kajiannya memang betul-betul menunjang ketercapaian tujuan Taman Nasional sesuai undang-undang? Saya juga nggak tahu. Apakah memertimbangkan visi dan misi Taman Nasional baluran? ya tambah nggak tahu saya. Oh ya, saya cantumkan saja sekalian visi dan misi Taman Nasional Baluran
Visi: Mengembalikan kondisi satwa dan habitatnya seperti pada kondisi
awal tahun 1960-an
Misi:
- Melakukan pengelolaan satwa dan habitatnya secara efektif, efisien dan lestari guna mengembalikan kondisi satwa dan habitatnya seperti pada kondisi awal Tahun 1960-an.
- Melakukan pengelolaan wisata alam pengembangan ekowisata dan wisata minat khusus untuk meningkatkan jumlah kunjungan dan pendapatan negara.
Pantai Kalitopo |
Semoga berbagai kebijakan yang diobyekkan pada Taman Nasional Baluran memang bisa Mengembalikan kondisi satwa dan habitatnya seperti pada kondisi awal tahun 1960-an; bukan malah secara langsung atau tidak langsung merusak bahkan meniadakan habitat satwa endemiknya. Jangan sampai Baluran menjadi sasaran konsumsi pariwisata massal, namun justru para Banteng entah hilang ke mana.
Jangan sampai aku punah ya... |