Pengantar
Gambar 1. Suasana Pembukaan Pertemuan ke-8 FK Pokdarwis Jateng |
Dalam
pertemuan tersebut saya berjumpa dengan puluhan pelaku pariwisata dari belasan
perwakilan kabupaten dan kota di Jawa Tengah, untuk mengobrolkan berbagai
dinamika perkembangan dunia pariwisata. Melalui obrolan ringan sampai setengah
berat, saya berusaha menyelipkan edukasi dan korelasi serta kemanfaatan antara aktivitas
para pegiat wisata (pemandu wisata, pemilik obyek wisata, dan operator tur) dan
penerapan ilmu experiential learning.
Apa hubungan antara experiential learning
dan pariwisata? Jawaban pertanyaan tersebutlah yang akan kita ulik melalui
tulisan ini. Sebagai bocoran; dunia pariwisata sampai saat ini lebih mengenal
istilah outbound daripada experiential
learning. Ada 2 pemaknaan Outbound dalam konteks pariwisata yaitu
“perjalanan ke luar negeri” dan “permainan
di luar ruangan.” Outbound sebagai aktivitas kebersamaan suatu
kelompoklah yang menjadi jembatan antara pariwisata dan experiential learning. Hal ini akan dibahas dalam tulisan ini
Tulisan ini
saya buat untuk menjelaskan beberapa hal, yaitu:
- Apa itu Experiential Learning?
- Apa bedanya dengan Outbound?
- Kiprah AELI dalam kepariwisataan Indonesia
- Kompetensi Fasel berdaarkan SKKNI, dan
- Urgensi Experiential Learning dalam Kepariwisataan
Secara
bersamaan saya membuat catatan ini sebagai bahan Ujian Tengah Semester, mata
kuliah “Teori Pengembangan Manusia dan Masyarakat” dalam program S2 Pendidikan
Luar Sekolah, di Universitas Negeri Yogyakarta. Sungguh kebetulan tema tulisan
yang disyaratkan dalam UTS saya adalah “Upaya Pengembangan Masyarakat dari Perspektif
Profesi Masing-masing.” Sebagai seorang fasilitator experiential learning dan
juga pemerhati dunai pariwisata, saya berusaha mengorelasikan keduanya sehingga
bisa memberdayakan masyarakat, khususnya para pegiat pariwisata. Supaya tulisan
ini lebih berdayaguna dengan dibaca banyak pihak, maka saya akan mengunggahnya
dalam blog.
Apa
itu Experiential Learning?
Secara
sederhana, experiential learning bisa
diartikan sebagai “proses mendapatkan
pelajaran melalui pengalaman yang
direfleksikan dan dimaknai.” Pelajaran apa yang didapat? Ya, macam-macam,
menyesuaikan dengan konteks yang dilakukan sang pelaku. Bisa jadi seseorang
memang ingin memelajari sesuatu yang baru sehingga diniatkan untuk mengikuti
proses pembelajaran. Bisa juga seseorang yang tidak punya tendensi tertentu,
tetapi ternyata malah bisa mengambil nilai belajar dari kegiatan yang
diikutinya. Sebaliknya, mungkin juga terjadi seseorang yang niat ingin belajar
dengan melakukan sesuatu, tetapi justru belum bisa mendapatkan makna
pembelajaran karena metode atau penggondisian yang belum ideal.
“Pengalaman”
sebagai media atau sarana seseorang untuk belajar bisa dalam bentuk yang sangat
beragam, walau secara umum yang banyak dikenal adalah dengan metode games atau permainan. Betul bahwa suatu
permainan yang didesain sedemikian rupa serta dibawakan dan dimaknakan oleh
fasilitator yang kompeten bisa menjadi sarana efektif untuk belajar. Namun
ketiadaan pengetahuan dalam membawakan suatu permainan/ aktivitas justru bisa
menjadi sesuatu yang kontraproduktif, alih-alih belajar, bisa jadi peserta
justru merasa menjadi obyek permainan saja. Pendek kata, walau “sekedar”
permainan, namun melalui metode yang tepat bisa menjadi sarana belajar yang
menyenangkan. Permainan dalam hal ini mewakili aktivitas lain yang bisa
dibelajarkan, misalnya petualangan, atraksi, wisata, olahraga, kesenian, dan
sebagainya.
Ada
berbagai macam teori tentang experiential
learning, salah satunya disikluskan oleh Simon Priest dan Mike Gass pada
tahun 1992, untuk menjelaskan hubungan
antara pembelajaran dan pendampingan peserta didik dengan jelas. Siklusnya
dapat kita lihat pada Gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Siklus Experiential Learning menurut Simon Priest dan Mike Gass |
Oleh Priest
& Gass, program experiential lalu
dibagi dalam 4 jenis didasarkan pada perbedaan intensinya yaitu: Rekreasi,
Edukasi, Pengembangan, dan Pengalihan. Dari 9 kategori perbedaan yang dideteksi,
4 di antaranya dijelaskan dalam Tabel 1 berikut ini:
No |
Program &
aspek yang membedakan |
RECREATION |
EDUCATION |
DEVELOPMENT |
REDIRECTION |
|
(Rekreasi) |
(Edukasi) |
(Pengembangan) |
(Pengalihan) |
|||
1 |
Tujuan/ aspek
yang dirubah |
Feeling/
Perasaan |
Thinking/ cara
pikir |
Behaving/ kebiasaan/
sikap |
Resisting/
resistensi/ penolakan |
|
2 |
Siklus
Experiential Learning |
ACTION |
REFLECTION |
INTEGRATION |
CONTINUATION |
|
3 |
Disain &
fokus penyampaian program |
Enjoyment, fun
& play (Kesenangan, hiburan & permainan) |
Concepts &
Awareness (Konsep & kesadaran) |
Functional
habits (Kebiasaan fungsional) |
Disfunctional
conduct (Perilaku resisten/ disfungsional) |
|
4 |
Perbandingan
antara aksi dengan diskusi |
·
100%
aksi |
·
75%
aksi : |
·
50%
aksi : |
·
25%
aksi : |
|
·
25%
diskusi |
·
50%
diskusi |
· 75% diskusi |
Tabel 1. Karakteristik Program Experiential Learning [2].
Kini kita memahami bahwa secara keseluruhan, experiential learning merupakan sebuah siklus perubahan yang dialami oleh pesertanya. Berdasarkan hal yang hendak diubah, experiential learning dibagi dalam 4 jenis sehingga menentukan batasan siklus, disain program, dan komposisi aktivitas dan diskusi/ pemaknaannya. Hal ini merupakan fondasi yang perlu dipahami lebih dahulu sebelum seseorang hendak memerdalam lebih lanjut tentang seluk beluk experiential learning. Pembelajaran lebih lanjut tentang bagaimana experiential learning dijalankan secara efektif bisa dilakukan melalui studi literatur, otodidak, atau saya sarankan dengan mengikuti aneka pelatihan yang diadakan oleh AELI.
Apa
itu Outbound?
Seperti
sudah disinggung pada awal tulisan, dunia pelatihan dan pariwisata lebih
mengenal istilah “outbound” daripada “experiential learning.”Apakah experiential learning sama dengan
outbound? Setelah melalui refleksi karsa selama lebih dari 15 tahun, bagi saya experiential learning itu suatu tindakan
yang jelas metodologinya, sedangkan outbound masih merupakan istilah populer
(walau tidak baku) untuk menyebut suatu kegiatan kebersamaan, khususnya yang
dilakukan di luar ruangan. Sebelum saya menjawab pertanyaan “sulit” tadi, ada
baiknya jika kita merunut sejarah kemunculan kata “outbound.” Setidaknya ada 3
latar belakang yang mendasari kepopuleran kata “outbound,” di Indonesia, yaitu:
1) Bermula dari kata “Outward Bound”,
yang secara kamus bahasa berarti; sebuah
kapal layar yang bersiap mengangkat jangkar & meninggalkan pelabuhan untuk
menuju ke tempat tertentu. Filosofi tersebut dijabarkan dalam sebuah
program pelatihan dengan narasi “Saat kapal layar akan meninggalkan pelabuhan,
tentu awak buah kapal mempersiapkan segala sesuatunya. Mereka akan memersiapan
perbekalan, peralatan, logistik, serta mental, sebagai bekal dalam pengarungan
di laut yang sarat tantangan, mulai dari cuaca, gelombang besar, serta dinamika
dalam kelompok/ tim ABK (Anak Buah Kapal) itu sendiri.” Hal tersebut diambil
sebagai konsep pelatihan untuk pengembangan & perubahan mental supaya
berubah menjadi lebih positif.
Konsep Outward Bound juga
menelaah cara supaya peserta bisa merasakan sendiri pengalaman serta mampu
mengambil hikmah atau manfaatnya, sehingga lebih berguna diterapkan pada
pekerjaan atau tujuan selanjutnya setelah mengikuti program kegiatan ini [3]. Istilah Outward Bound , berkembang
menjadi “merek industri,” internasional yang sudah dipatenkan, dan pada awal
tahun 90an masuk ke Indonesia dengan Nama Outward Bound Indonesia (OBI). OBI
yang bermarkas di tepian Waduk Jatiluhur Jawa Barat, kerap melakukan berbagai
pelatihan melalui media petualangan di darat, perairan, juga tali rendah/ low rope, dan tali tinggi/ high rope. Mayoritas masyarakat sekitar
yang agak susah menyebut kata “outward,” lalu menyebut aktivitas (pelatihan)
semacam itu dengan istilah otbon, outbond, atu “outbound.”
2) Pada tahun 2002, terbit buku
berjudul “Outbound Management Training” yang ditulis oleh Profesor Djamaludin
Ancok, Ph.D. Outbound Management Training (OMT) adalah suatu program pelatihan
manajemen di alam terbuka yang mendasarkan pada prinsip “experiential learning”
(belajar melalui pengalaman) yang disajikan dalam bentuk permainan, simulasi,
diskusi dan petualangan sebagai media penyampaian materi [4]. Berkat terbitnya buku inilah maka
pelatihan di alam terbuka lalu kerap disebut dengan “outbound.”
3) Beberapa pegiat outbound
menjelasakan bahwa outbound berasal dari kata out of boundaries atau “keluar dari batasan” karena sifat
aktivitasnya yang kebanyakan dilakukan di luar ruangan dan menggunakan media
permainan atau petualangan yang di luar kebiasaan. Aneka dinamika menantang
tadi biasanya melibatkan unsuf fisik, pengetahuan, dan psikologis/ mental dari
sisi peserta. Outbound lalu didefinisikan sebagai metode pengembangan diri
melalui kombinasi rangkaian kegiatan beraspek psikomotorik, kognitif, dan
afeksi dalam pendekatan pembelajaran melalui pengalaman [5].
Jika experiential learning mempunyai siklus pembelajaran, maka outbound juga mempunyai versi pembelajaran yang serupa, yaitu LACAK, yang bernarasi: L sebagai singkatan dari “Lakukan,” berarti peserta melakukan lebih dahulu sesuatu permainan/ dinamika. A sebagai singkatan “Abrakadabra,” berarti setelah melakukan pasti peserta mendapat hasil tertentu. C sebagai singkatan “Ceritakan,” berarti peserta menceritakan atau menyampaikan hasil dinamika yang dialaminya. A (kedua) sebagai singkatan “Ambil,” berarti proses peserta mengambil nilai-nilai atau manfaat dari proses yang sudah dijalaninya. K sebagai singkatan “Kembalikan,” berarti setelah mengambil manfaat, peserta dimotivasi supaya hal tersebut dapat dikembalikan pada dirinya untuk dimanfaatkan dalam keseharian. [6] Siklus LACAK bisa dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Siklus LACAK dalam Outbound |
Outbound lekat dengan dunia kepariwisataan karena
aktivitasnya kebanyakan dilakukan di sekitar tempat rekreasi/wisata. Seandainya
bukan di lokasi wisata, para peserta outbound juga sering memilih tempat yang
nyaman dan menyenangkan untuk melakukan dinamikanya, sehingga mereka malah bisa
sekalian melakukan rekreasi di sana. Hal ini membuat tempat-tempat wisata yang
menyediakan fasilitas outbound makin ramai dikunjungi. Namun dibalik
kesemarakan tersebut, terdapat sisi lain yang perlu diwaspadai, yaitu faktor
keamanan dan resiko dalam berkegiatan di luar ruangan.
Pada tahun 2000an, kegiatan berbasis permainan, petualangan,
atau aktivitas luar ruang lainnya,
entah dalam konteks rekreasi maupun pelatihan tumbuh subur bak cendawan di
musim hujan. Para perusahaan/ provider penyedia layanan experiential learning yang besar, sedang, maupun sekedar perorangan
instruktur outbound sudah bisa mengklaim diri mampu melaksanakan program
pembelajaran. Aneka paket pelatihan
berbasis petualangan mulai dari yang dibanderol harga jutaan sampai puluhan ribu rupiah
untuk setiap pesertanya tidak mempunyai patokan jelas. Peralatan yang digunakan
pun beragam, mulai dari yang berstandar internasional sampai yang buatan/
modifikasi sendiri juga banyak tergunakan.
Kepopuleran kegiatan berbasis experiential learning atau outbound akhirnya membawa akibat negatif, salah
satunya dengan terjadinya
kecelakaan; mulai dari yang cedera ringan, sampai meninggal dunia. Hal tersebut
ditengarai karena kebanyakan penyedia layanan outbound menganggap aktivitas
tersebut mudah dilakukan dan cepat menghasilkan keuntungan finansial, sehingga
aspek keselamatan peserta maupun instruktur kurang terperhatikan. Minimnya
pengetahuan dalam proses fasilitasi, baik terkait teknis menggunakan peralatan
maupun kemampuan menilai resiko kegiatan juga menyumbang peran akan terjadinya beberapa insiden dalam dunia
outbound.
Selain insiden yang merugikan secara fisiologis, para
fasilitator yang membawakan kegiatan tanpa bekal metodologi atau teknik
memfasilitasi juga membuat kualitas pembelajaran kurang bisa
dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh sederhana kekacauan program misalnya
ketika ada suatu perusahaan menginginkan perubahan cara berpikir (edukasi) bagi
karyawan yang diikutkan outbound, namun oleh fasilitator justru diajak
berdinamika yang tujuannya merubah suasana hati saja (rekreasi). Walau mungkin
sepanjang outbound suasananya penuh dengan kegembiraan dan keceriaan, namun
target pembelajaran untuk mempelajari hal-hal atau konsep baru malah luput.
Sampai pertengahan tahun 2000an, tidak ada wadah komunikasi
formal yang cukup representatif sebagai sarana komunikasi para fasilitator atau
pemandu outbound. Fenomena makin merosotnya kualitas pembelajaran berbasis
experiential learning (yang berbanding terbalik dengan kuantitasnya) terbiarkan
begitu saja, sampai pada akhirnya beberapa orang pegiat experiential
learning berinisiatif membuat wadah bagi para pegiat outbound.
Mengenal AELI
Pada tanggal
24 Januari 2007, 7 tokoh dari lembaga
penyelenggara outdoor training,
sepakat untuk membentuk asosiasi dengan nama “Asosiasi Experiential Learning Indonesia” (AELI).
Penggunaan nama experiential learning
disepakati, setelah melalui diskusi panjang yang cukup alot, sebab ada pula gagasan
agar menggunakan nama “outbound”. Namun akhirnya nama Experiential learning dipilih, karena semua lembaga penyelenggara
outdoor training sebenarnya menerapkan metodologi pembelajaran ini. Dengan
memilih nama experiential learning, anggota asosiasi
menjadi tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggara outdoor training,
melainkan juga para lembaga pendidikan formal (sekolah, perguruan tinggi), para
pengajar (guru, dosen), maupun lembaga-lembaga pendidikan non formal di luar
outdoor training. Asosiasi ini bahkan juga terbuka bagi siapa saja yang
berminat terhadap metode pembelajaran berbasis pengalaman.
Setelah secara administratif didaftarkan ke notaries pada 24
April 2007 (Akte Pendirian No 7 tgl 24 April 2007, Notaris Haryanti Susanti Tanubrata, SH, MKn.
Jakarta Selatan), kemudian pada tanggal 9 Juni 2007 dikuatkanlah deklarasi pembentukan AELI di Tanah Tingal,
Jombang, Ciputat, Tengerang Selatan, Banten. Deklarasi ini dilakukan bersamaan
dengan penyelenggaraan Festival Outbound Nasional I (FON I) [7].
AELI didirikan dengan visi “Menjadi wadah dan mitra yang berkualitas bagi seluruh lembaga atau perorangan pengguna metode pelatihan berbasis pengalaman di Indonesia dan bertanggung jawab terhadap pengembangan kualitas manusia Indonesia.” Adapun 3 misi AELI adalah:
- Memasyarakatkan pelatihan berbasis pengalaman kepada masyarakat Indonesia,
- Meningkatkan kualitas pelatihan dan pendidikan berbasis pengalaman, sehingga menjadi metode pelatihan yang efektif dan diakui di Indonesia, dan
- Meningkatkan kualitas pelaksana pelatihan berbasis pengalaman sehingga menjadi pelaksana pelatihan yang bertanggung jawab terhadap pengembangan manusia Indonesia [8].
Saat ini
AELI sudah memiliki 16 DPD (Dewan Pengurus Daerah) di tingkat Provinsi, dengan
jenis keanggotaan bisa secara perorangan, atau kelembagaan.
Secara rutin AELI digandeng oleh pihak LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) untuk menyelenggarakan kegiatan Uji Kompetensi Fasel. Kerjasama asosiasi dengan jajaran pemerintah, baik provinsi maupun kota/ kabupaten juga sering dilakukan, terutama sebagai mitra narasumber atau tenaga ahli kegiatan pelatihan yang diadakan pemerintah daerah. Salah satu kerjasama terbaru adalah pelaksanaan “Pelatihan Pemandu Outbound/ Fasilitator Experiential learning berbasis SKKNI” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Kota Salatiga, Jawa Tengah pada tanggal 11-13 Oktober 2022 lalu. Dalam pelatihan yang diikuti oleh 40 orang tersebut, beberapa pemateri AELI menjadi narasumber pembelajaran bagi 40 orang peserta yang hadir. Pelatihan diberikan dengan gabungan metode kelas, simulasi, refleksi, dan praktik di lapangan. Saya berkesempatan tersebut, saya diberi kepercayaan oleh DPD Jateng menjadi salah satu narasumber pelatihan, seperti terlihat dalam Gambar 4.
Gambar 4. Suasana Pelatihan Pemandu Outbound di Kota Salatiga |
Munas/ Musyawarah Nasional ke-6 pada tanggal 7-9 Juni 2022
di Magelang, menghasilkan amanah suci, yakni menjadi mitra terbaik Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang membinanya dalam pengembangan destinasi
berbasis experiential tourism dengan
inisiasi mengolaborasikan dengan berbagai stakeholders
untuk bergerak bersama yakni ASIDEWI (Asosiasi Desa Wisata Indonesia), ASPPI
(Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia) dan dukungan penyebarluasan berbagai
kegiatan pariwisata yakni GenPI (Generasi Pariwisata Indonesia). Selain itu
amanah Munas juga menyebutkan bahwa dalam 3 tahun kedepan AELI akan menjadi
mitra terbaik program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, melalui berbagai kegiatan berbasis experiential learning yang memang
dikuasai semua anggotanya [9].
Anggota AELI baik
lembaga maupun perorangan senantiasa mengembangkan diri melalui proses
belajar bersama. Pendalaman berbagai materi dan kompetensi pendukung sebagai
seorang fasilitator terus dilakukan, termasuk pemahaman tentang game atau
permainan yang menjadi bagian penting kegiatan experiential learning. Baru-baru ini pada tanggal 18 Oktober 2022,
AELI juga mengadakan Kegiatan “Bedah Game Outbound dengan Metode Experiential learning” yang diadakan di
Muncul River Tubing, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Kegiatan diikuti 70
peserta, termasuk 7 orang perwakilan dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Hal
ini menunjukkan bahwa metode experiential
learning juga mulai disambut dengan positif di kalangan pendidikan tinggi.
Contoh terakhir kiprah AELI seperti sudah disebut pada awal artikel ini adalah menjadi mitra bagi berbagai stakeholder penyelenggara kepariwisataan; khususnya dalam melakukan edukasi terkait penggunaan metode experiential learning dalam penyusunan program/ paket wisata. Pada kurun waktu Juni – Nopember 2020 saya sebagai perwakilan dari DPP AELI terlibat menjadi “Tim Penyusun Pola Perjalanan Wisata National Park Discovery” yang digagas Kementerian Ekonomi Ekonomi Kreatif. Pola perjalanan wisata adalah karakteristik perjalanan yang dilakukan dari dan ke destinasi pariwisata, termasuk pengalaman berwisata yang didapat selama perjalanan. Pola perjalanan merupakan kombinasi tujuan yang wisatawan pilih untuk dikunjungi, urutan yang mereka pilih untuk dikunjungi, dan mengapa mereka membuat keputusan ini [10]. 3 Taman nasional yang kami telaah untuk dibuat pola perjalanan wisatanya adalah Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Kepulauan Seribu, dan Taman Nasional Gunung Leuser. Salah satu aktivitas dalam penyusunan buku tersebut bisa dilihat pada Gambar 5 yang menunjukkan saya sdang melakukan observasi di Stasiun Penelitian Ketambe, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh.
Gambar 5. Penulis saat Penyusunan Pola Perjalanan Wisata di Taman
Nasional Gunung Leuser |
Kiprah AELI
di dunia pariwisata Indonesia, baik secara kelembagaan maupun perorangan akan
terus dikembangkan. Namun sampai saat ini, pengakuan formal dari negara
terhadap kemampuan seseorang dalam memfasilitasi kegiatan berbasis experiential learning masih dinyatakan
dengan sertifikat kompetensi Fasel/ pemandu outbound. Uji kompetensi yang
dilakukan oleh beberapa LSP Kepariwisataan menunjukkan bahwa kompetensi
memfasilitasi aneka kegiatan wisata melalui pendekatan experiential learning memang mempunyai momentum tepat.
Kompetensi
Fasilitator Experiential Learning
Istilah “Fasel” menjadi sebutan baku yang mengacu pada seseorang yang berperan memfasilitasi kegiatan experiential learning. Hal ini tertuang dalam SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) bidang kepemanduan outbound/ fasilitator experiential learning yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja Transmigrasi RI pada tahun 2011. SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/ atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 9 unit kompetensi yang harus dimiliki seorang Fasel sesuai SKKNI adalah:
- Merencanakan Program Kegiatan Rekreasi,
- Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Mengatur Sumber Daya Untuk Program,
- Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi,
- Melaksanakan Program Kegiatan Pembelajaran,
- Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),
- Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope),
- Menganalisis Resiko dalam Kegiatan, dan
- Menolong Korban [11].
Sejak SKKNI Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential Learning ini diundangkan, dimulailah periode penataan sistematika kegiatan berbasis experiential learning, ditandai dengan kegiatan uji kompetensi profesi Fasel. Kegiatan sertifikasi profesi ini dilangsungkan secara rutin 2 sampai 4 kali per tahun yang dilaksanakan oleh beberapa LSP/ Lembaga Sertifikasi Profesi dalam format kerjasama dengan BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Dalam kegiatan uji kompetensi, pihak penguji atau dikenal dengan nama asesor akan memberi umpan balik terhadap proses pembuktian peserta, lalu memberi keputusan apakah peserta direkomendasikan “Kompeten” atau “Belum Kompeten” terhadap unit kompetensi yang disyaratkan.
Terdapat 3 tingkatan sertifikasi fasel, yaitu: Muda, Madya,
dan Utama. Fasel tingkat muda diarahkan “hanya” untuk memandu program rekreasi
saja. Fasel tingkat madya sudah bisa memandu program rekreasi dan edukasi,
sedangkan fasel tingkat utama selain bisa memandu semua program, tetapi juga
boleh merencanakan programnya sekaligus.
Saya tidak akan menjelaskan 9 unit kompetensi tadi dengan
harapan dikuasai oleh para pegiat wisata, terutama para pramuwisata. Lha wong teman-teman fasilitator yang
sudah bertahun-tahun menyelami dunia outbound saja tidak semuanya bisa otomatis
membuktikan kemampuannya pada 9 unit kompetensi tadi, apalagi bagi mereka yang
baru mengenalnya. Harapan saya melalui tulisan ini adalah para pegiat wisata
mulai mengenal bahwa ada ilmu-ilmu tertentu dalam memfasilitasi kegiatan yang
lekat dengan dunia pariwisata. Bahwa kemudian para pembaca tertarik untuk mulai
mempelajari, memerdalam, lalu mempraktikkannya, itu tentu hal yang saya
harapkan juga.
Masih ingat akan tahap pertama siklus experiential learning, yaitu Action? Saat target suatu aktivitas adalah “rekreasi”
dalam arti hanya untuk merubah suasana hati, bukankah hal tersebut sama dengan
wisatawan yang melakukan wisata/ rekreasi untuk mencari kesenangan hati? Nah, ketika para pegiat wisata juga
mempunyai pengetahuan dalam membuat aktivitas rekreasi yang efektif, bukankan
itu menjadi hal yang patut dikembangkan terus?
Urgensi Experiential Learning dalam Pariwisata
Bab terakhir yang akan saya sampaikan melalui tulisan ini adalah urgensi experiential learning dalam dunia pariwisata. Pertanyaan “Mengapa para pelaku pariwisata perlu mengenal dan memelajari experiential learning?” akan saya spesifikkan melalui pengorelasian dengan kompetensi Fasel versi SKKNI, sehingga mempunyai dasar keilmuan yang jelas. Sebagai ilustrasi, Gambar 6 memerlihatkan dinamika siswa sekolah yang sedang outbound menggunakan media petualangan meniti bambu di atas kolam. Saya merancang kegiatan yang dilaksanakan di suatu lokasi wisata tersebut dalam konteks pelatihan pengembangan diri, namun ternyata bagi para peserta, permainan tersebut juga dirasakan sebagai sebuah rekreasi. Saya merancang tantangan sedemikian rupa tentu saja melalui pendekatan teori experiential learning yang salah satunya mencakup “analisis resiko”
Gambar 6. Dinamika Outbound Meniti Jembatan Bambu Sejajar
Secara etimologi, kata pariwisata berasal dari bahasa
Sansekerta "pari" yang
berarti “berkali-kali” dan "wisata" yang berarti “bepergian”. Secara
harfiah, pariwisata berarti "perjalanan yang dilakukan berkali-kali ke suatu
tempat [12]. Mengutip Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, maka yang
dimaksud dengan wisata adalah: kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh
seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan
rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata
yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah
berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan
yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah [13]. Seseorang berwisata biasanya
karena di suatu tempat mempunyai “Daya Tarik Wisata,” yang dalam undang-undang tersebut dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan
hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Salah satu tujuan wisatawan adalah melakukan “rekreasi” yang
dalam khazanah experiential learning
diartikan sebagai proses mengubah perasaan, misalnya dari tegang menjadi
tenang, atau dari bosan menjadi ceria, bahagia, dan sebagainya. Bagaimana
seseorang bisa memfasilitasi kegiatan “rekreasi” tersebut bisa diperdalam dengan
pengayaan 2 unit kompetensi dalam SKKNI, yaitu “Merencanakan
Program Kegiatan Rekreasi” dan “Melaksanakan Pemanduan Kegiatan Rekreasi.”
“Pengembangan pribadi” dan “mempelajari keunikan daya tarik
wisata” juga menjadi salah dua tujuan orang berwisata berdasarkan UU No 10 Tahun 2009 tentang
Keariwisataan. Tujuan ini masuk dalam tipe kedua dan ketiga jenis experiential learning versi Simon Priest; yaitu “edukasi” dan “pengembangan.” Jika hanya “sekedar” untuk mengetahui adanya keunikan daya tarik
wisata, seseorang tidak harus melakukan perjalanan wisata Dia hanya perlu misalnya dengan mencari
informasi melalui buku,
internet, atau bertanya pada beberapa kerabat. Maka ketika seseorang memutuskan
melakukan perjalanan wisata untuk mendapatkan hal ini, para pemangku
kepentingan dalam dunia pariwisata perlu mengondisikannya. Para pemandu wisata
perlu menciptakan iklim pembelajaran yang kontekstual sehingga memberi kesan pada
wisatawan dengan melakukan peng-alam-an terhadap keunikan tersebut. Keilmuan,
teori, metode maupun tips membawakan suatu aktivitas yang berujung pada tujuan pengembangan
diri atau mempelajari keunikan ini dalam ilmu experiential learning bisa dipelajari dalam 2 unit kompetensi,
yaitu “Merencanakan Program Kegiatan Pembelajaran” dan “Melaksanakan Program
Kegiatan Pembelajaran.” Sebagai catatan, SKKNI demikian
detil mengatur, sampai-sampai untuk urusan yang sama, diperlukan 2 kemampuan
yang berbeda, yaitu kompetensi merencanakan dan kompetensi melaksanakan.
Para praktisi yang bergelut dalam kepariwisataan tentu sudah
terbiasa untuk menyusun program perjalanan wisata bagi para wisatawan. Banyak
hal yang harus disinkronkan, misal: siapa yang akan berwisata, berapa orang
jumlahnya, apa saja latar
belakangnya, ke mana saja tujuan wisatanya, apa saja yang akan dilakukan di sana, berapa lama
durasi waktunya, dan sebagainya. Dalam konteks pembelajaran berbasis experiential learning, hal-hal semacam
ini dipelajari dalam unit kompetensi “Mengatur Sumber Daya Untuk Program.”
Pengaturan yang seksama dengan memertimbangkan semua hal terkait akan membuat
rencana program lebih tertata guna mendukung ketercapaian tujuan yang lebih
besar.
Ada kalanya para pemandu wisata menemani wisatawan, atau bahkan
memfasilitasi sendiri berbagai aktivitas permainan, games, atau petualangan dalam
rangkaian kegiatan wisata. Setiap aktivitas tadi tentu mempunyai resiko, mulai
dari yang kecil sampai besar. Dalam SKKNI, ada 2 unit kompetensi yang bisa memberi arahan tentang
kepemanduan games, yakni “Memandu Kegiatan Tali Rendah (Low Rope),” dan
Memandu Kegiatan Tali Tinggi (High Rope). Kemampuan melakukan penilaian
resiko terhadap aktivitas tertentu merupakan salah satu kemampuan yang
sebaiknya dikuasai para pemandu wisata. Akan lebih baik lagi jika sebelum
program wisata dieksekusi, para fasilitatornya sudah mempunyai manajemen resiko
sebagai upaya menghilangkan atau meminimalisir resiko yang mungkin terjadi.
Hal-hal terkait keselamatan wisatawan tadi dapat kita pelajari dalam unit kompetensi “Menganalisis Resiko dalam Kegiatan” versi
SKKNI Fasel. Seandainya pun terjadi kecelakaan dalam berwisata, maka kemampuan
menolong korban juga sudah disiapkan dalam materi unit kompetensi “Menolong
Korban.”
Selain urgensi para pelaku wisata dalam memahami keilmuan versi SKKNI fasilitator experiential learning, tentu masih ada hal-hal praktis lainnya yang bisa digunakan dalam memfsilitasi kegiatan wisata. Kemampuan membawakan ice breaking adalah contoh nyata yang bisa membedakan para pemandu wisata amatir dan profesional. Ada kalanya dalam perjalanan yang panjang atau saat menunggu atraksi wisata tertentu, para wisatawan terserang rasa jenuh atau bosan. Pemandu wisata yang tanggap bisa mengantisipasi hal tersebut dengan membawakan ice breaking atau energizer, yang secara luas dikenal sebagai aktivitas sederhanya yang digunakan untuk mencairkan kebekuan suasana. Kemampuan membawakan ice breaking merupakan hal yang umum dikuasai oleh para Fasel, dan tentu saja punya metodologi tertentu supaya bisa efektif digunakan, baik pada peserta pelatihan maupun rombongan wisatawan sekalipun. AELI menjadi mitra dunia pariwisata dalam mengembangkan potensi para pelakunya. Salah satu kegiatan pengayaan yang juga banyak diikuti para pemandu wisata adalah “Workshop Asyik” yang diselenggarakan AELI DPD Jateng bertema “The Art of Ice Breaking” seperti terlihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7. Suasana
Workshop “The
Art of Ice Breaking” yang diadakan oleh AELI. |
Memang pertama-tama para pelaksana kepemanduan wisata dituntut untuk
menguasai kompetensi kepemanduan wisata berdasarkan SKKNI Bidang Kepemanduan
Wisata. Pembuktian akan hal tersebut juga dituangkan dalam suatu sertifikat
kompetensi yang dikeluarkan BNSP. Namun berdasarkan uraian saya di atas,
ternyata kompetensi yang disyaratkan bagi pemandu outbound/ Fasel ternyata bisa
mendukung dan memerkaya para pelaku wisata dalam melaksanakan tugas profesinya.
Penutup
Kita sudah mendapat pengantar tentang experiential learning yang secara prinsip adalah pendekatan belajar
melalui pemaknaan suatu pengalaman. Metode experiential
learning berkelindan dengan istilah “outbound” yang punya popularitas
tinggi dalam dunia pelatihan berbasis permainan/ petualangan. Kegiatan “outbound”
di Indonesia juga punya kaitan erat dengan dunia pariwisata karena keduanya
saling memberi pengaruh. Selain menyemarakkan banyak tempat wisata, kegiatan
outbound juga mengandung resiko dalam aspek keselamatan peserta maupun
fasilitatornya. AELI sebagai wadah para penggiat experiential learning dan pemandu outbound hadir sebagai sarana
edukasi akan penggunaan metode experiential
learning secara tepat. 9 unit kompetensi kepemanduan dalam SKKNI bisa menjadi
salah satu acuan bagi para pemandu wisata untuk mengembangkan diri. Banyak manfaat teoritis maupun praktis yang akan
mengembangkan kualitas para pemandu wisata dalam menghadapi perkembangan dunia
pariwisata yang makin dinamis.
Demikian tulisan ini saya sudahi dengan harapan bisa memberi gambaran akan
kontektualitas experiential learning dengan kepariwisataan yang pada akhirnya
mendorong para pelaku wisata mulai memelajari experiential learning.
Brebes, 31 Oktober 2022
Agustinus Susanta,
Mahasiswa S2 Prodi Pendidikan Luar
Sekolah Fak. Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2022; Anggota
AELI DPD Jateng; Fasel Tingkat Utama, Mantan Ketua DPD AELI Sumsel, Penulis beberapa
buku tentang outbound, dan pernah menjadi Asesor Kompetensi BNSP. Bisa di-WA melalui 0812 2680 2639.
Daftar Referensi
[1] S. Priest & M. Gass, (1992), "The Experiential Learning Cycle," [Online] Tersedia: http://simonpriest.altervista.org/OE.html#AEP
[diakses 29 Oktober 2022]
[2] S. Priest & M. Gass, (1992), "The Four Purpose of Adventure
Programs," [Online] Tersedia: http://simonpriest.altervista.org/OE.html#AEP
[diakses 29 Oktober 2022]
[3] Kementerian Transmigrasi dan Tenaga
Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia
Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential
Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.
[4] D. Ancok, (2001), “Outbound Manajemen Training,” 2002, Yogyakarta, UII Press, hal. 41.
[5] A. Susanta, "Outbound Profesional;
Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010,
Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 18.
[6] A. Susanta, "Outbound Profesional;
Pengertian, Prinsip Perancangan, dan Panduan Pelaksanaan" 2010,
Yogyakarta, Penerbit Andi, hal. 20.
[7] AELI, "Sejarah dan Perkembangan"
[Online] Tersedia: https://www.aeli.or.id/sejarah-aeli/ [diakses 29 Oktober 2022]
[8] AELI, "Visi dan Misi" [Online]
Tersedia: https://www.aeli.or.id/visi-misi/ [diakses 29 Oktober 2022]
[9] G. Boby, (2022, 10 Juni ),"AELI Siap Jadi
Mitra Terbaik Kemenparekraf," PATA Daily News [Online] Tersedia: https://patadaily.id/2022/06/10/aeli-siap-jadi-mitra-terbaik-kemenparekraf/
[diakses 29
Oktober 2022]
[10] Direktorat Wisata Alam dan Budaya, Kemenparekraf RI,“Pedoman
Pola Perjalanan Wisata,” 2020.
[11] Kementerian Transmigrasi dan Tenaga
Kerja RI, "Penetapan Rancangan Standar Kompetensi Kerja nasional Indonesia
Sektor Pariwisata Bidang Kepemanduan Outbound/ Fasilitator Experiential
Learning menjadi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia." 2011.
[12] Wikipedia, (2022,
2 Oktober), "Pariwisata”
Wikipedia [Online], Tersedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Pariwisata [diakses 29 Oktober 2022].
[13] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
2009 tentang Kepariwisataan