Menuang aktivator kompos |
Apa itu kompos? Berdasarkan wikipedia, kompos adalah
hasil penguraian parsial/ tidak lengkap dari campuran
bahan-bahan organis yang dapat
dipercepat secara artifisial oleh populasi
berbagai macam mikrob dalam kondisi lingkungan
yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003). Sedangkan pengomposan adalah
proses di mana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya
oleh mikrob-mikrob yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses
alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi
membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, pengaturan
aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Proses pembuatan kompos
dimulai dari perencanaan material, tempat, serta peralatan yang akan digunakan.
Dalam satu kesempatan, Saya menyiapkan 3 material organik sebagai bahan utama
kompos, yaitu:
- 3 karung kotoran hewan kambing,
- 2 karung cacahan daun “ekor
kucing” (Typha latifolia),
dan
- 1 karung sekam padi.
Beberapa perlengkapan yang disiapkan
antara lain cangkul, sekop tukang/ trowel, ember, pengaduk, dan terpal. Adapun aktivator
yang dipilih adalah Pupuk Organik Cair (POC) berbasis mikroorganisme POC merek
GITA, serta molase yang terbuat dari tetes tebu. Kompos akan dibuat di suatu
bekas kolam ikan terbuat dari pasangan bata dengan ukuran lubang 68x88 cm.,
kedalaman 48 cm.
Persiapan bahan, alat, dan tempat pembuatan kompos |
Proses perjuangan mengangkut 3 karung kotoran kambing |
Menuang karung kedua kotoran hewan |
Saya lalu melarutkan
seperempat liter POC dalam 20an liter air, lalu ditambah 3 sendok makan molase
tetes tebu. Setelah saya aduk secara merata, saya siram bahan organik yag sudah
tercampur di dalam kolam. Tak cukup dengan sekali siram, setelahnya saya
aduk-aduk lagi dengan trowel, lalu sekali lagi saya siram secara merata.
Proses mencampur POC dengan air |
Kini sepertiga material
organik kedua saya masukkan kolam lagi, ditambah setengah karung kotoran hewan,
lalu diaduk, disiram campuran air dan POC dan molase, diaduk, lalu disirami lagi.
Dalam proses ini, saya membuat lagi larutan air dan mikroba sebanyak 1 galon. Demikian
sampai sepertiga bahan organik terakhir saya masukkan ditambah 1 karung kotoran
hewan lagi, diaduk, disiram, dan diaduk lagi.
Mengaduk-aduk semua material pembuat kompos supaya tercampur merata |
Proses pencampuran bahan
organik, aktivator, dan molase usai, menyisakan 1 karung cacahan tanaman “ekor
kucing” yang ternyata tidak muat lagi dimasukkan dalam kolam. Saya lalu menutup
kolam dengan terpal yang tepi-tepinya diperberat dengan kayu. Apakah proses
pembuatan kompos sudah selesai? O, belum karena saya harus menunggu minimal 2
minggu lagi supaya terjadi proses fermentasi antara material organik dan aktivator
kompos tadi. Tanda proses pengomposan berjalan baik adalah adanya kenaikan suhu
dalam campuran tadi. Sampai tulisan ini dibuat, proses masih berlangsung dengan
secara berkala saya meraba bagian atas tepal yang memang menjadi hangat, tandi
di dalam kolam sedang terjadi pengomposan. Konon teorinya, setelah suhu menjadi
normal lagi, maka kompos sudah jadi, namun perlu diangin-anginkan lebih dahulu
sebelum bisa digunakan.
Nah, cerita tentang pembuatan
kompos sudah selesai, kini saya akan menanalogikan tentang proses penulisan yang
sebenarnya serupa dengan membuat kompos.
Tempat bersemayam material pembuatan kompos yang sudah ditutup terpal |
Sama seperti saat mau membuat kompos,
untuk membuat sebuah artikel, kita perlu NIAT, iya, niat itu bukan sekedar
semangat memulai, tetapi kehendak kuat untuk menyelesaikannya. Hayooo… kita
sudah niat belum untuk menulis artikel? Tentu ada bahan-bahan utama pembuat
kompos yang perlu disiapkan (kotoran hewan, sampah organik, dan sekam), sama
halnya untuk membuat tulisan tentu kita perlu juga data-data atau informasi
yang akan diolah menjadi tulisan. Bahan tulisan bisa berupa “data primer” atau “data
sekunder” yang mungkin belum semuanya lengkap sehingga perlu diupayakan
penggenapannya. Kita perlu mengupayakan data-data tadi terpenuhi supaya
penyajian tulisan bisa kontekstual. Sama halnya ketika saya harus mengambil
kotoran hewan dari kandang kambing, lalu mengangkutnya menggunakan motor, maka
kita juga perlu memerjuangkan urusan pelengkapan data, paling sederhana ya
dengan riset atau membaca literatur.
Kerja keras mengumpulkan tahi kambing, sama halnya dengan kita bekerja keras menyiapkan data-data untuk artikel. |
Paragraf kedua artikel ini, saya
isi dengan data sekunder tentang pengertian kompos yang saya cuplik dari
wikipedia. Kenapa? Karena saya ingin menghadirkan definisi “Kompos” dan “pengomposan”
yang kredibel, daripada saya sekedar mengira-ira. Kalau sudah ada data yang
valid, kenapa tidak kita gunakan selam mencantumkan sumbernya? Dalam hal
menulis, konteks yang sama juga terjadi. Kita mungkin sudah biasa atau familier
menggunakan atau menggeluti “sesuatu,” namun tidak/ belum pernah melakukan
pendefinisian yang tepat. Maka demi bisa mendapatkan kualitas penulisan yang bernas,
kita bisa mencari data sekunder untuk menutupi kekurangan kita tadi tersebut.
Salah satu contoh praktis lain
adalah perkara tanaman “Ekor Kucing” yang sudah saya sebut dalam proses
pembuatan kompos menjadi sampah organik yang dicacah-cacah. Saya sudah sering melakukan
pencacahan “sesuatu” tersebut, namun baru tahu nama populernya, termasuk nama latinnya
(Typha latifolia) ya satu
jam terakhir setelah saya “googling” di internet. Ada kebutuhan dalam proses
penulisan untuk menyajikan data (nama) yang lebih pasti tentang apa yang saya lakukan,
maka jika saya tidak punya informasi tentangnya, ya konsekuensi logisnya adalah
riset. Maka, yuk kita daftar dahulu, apa sih data-data yang kita perlukan untuk
melengkapi tulisan, jika belum lengkap ya dicari dong.
Tanaman ekor kucing (Typha latifolia) |
Ada “godaan” saat saya ingin menjelaskan tentang
kompos secara lebih lanjut, misalnya menjelaskan tentang manfaat kompos. Kan
keren tuh, bikin tulisan dengan referensi yang lengkap, apalagi kelihatan
ilmiah (walau dikutip dari sumber lain). Namun saya akhirnya saya menampik
godaan tersebut terkait konteks tujuan saya menulis artikel ini, yaitu hendak
menjelaskan kesamaan proses membuat kompos dengan proses menulis. Karenanya saya
membatasi menyajikan data yang relevan saja, yang benar-benar menunjang
pembahasan. Toh, ada lebih banyak artikel lain yang lebih detil menjelaskan tentang
serba-serbi pengomposan yang bisa diakses pembaca yang memang tujuannya ingin
memerdalam perihal kompos; bukan dengan membaca artikel ini.
Saat mengawali proses penulisan, apakah semua
data yang sudah kita miliki harus masuk dalam artikel? Tentunya tidak. Dalam
cerita membuat kompos, saya sudah menyiapkan 2 karung cacahan tanaman “ekor
kucing,” namun ternyata yang digunakan hanya 1 karung saja. Saya menyiapkan
juga 3 karung kotoran hewan, namun saya ternyata perlu menambah setengah karung
lagi. Kenapa hal tersebut terjadi? Karena tenyata sebanyak itulah material yang
saya perlukan supaya pas memenuhi wadah tempat pengomposan. Hal ini mirip dengan
proses menulis artikel yang tentunya baik jika kita sudah mempunyai banyak data
sebelum penulisan dimulai. Ada suatu seni ketika ide demi ide mulai mengalir
dan tertuang dalam tulisan. Selama masih sesuai konteks, sangat jamak terjadi
variasi rencana pengolahan berbagai data tadi, termasuk untuk menambah atau
sebaliknya tidak menggunakannya. Jadi, yuk kita niati untuk mencari data yg memang urgen, namun juga iklas jika ada data yang kurang menunjang konteks lalu tidak kita gunakan.
Proses penghangusan sekam padi yang saya lakukan sebelumnya, namun toh dengan pertimbangan tertentu, hasilnya tidak saya gunakan untuk membuat kompos |
Proses pengomposan yang baik mensyaratkan semua material pembentuknya dicampur secara merata, hal yang pada awalnya sulit saya lakukan sebab ingin semuanya bisa instan dan cepat. Saya pikir, dengan menuang semua material, akan mempermudah proses pencampurannya; ternyata malah susah sampai akhirnya saya harus membongkarnya dan mengaduknya bertahap. Sama dengan proses menulis artikel, kita perlu mengolah aneka data itu secara integral kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Jangan harap kita bisa menumpukkan semua data dan bisa mengolahnya sekaligus secara efektif, terus mengklaim bahwa pesan kita sudah tersampaikan.
Salah satu kontrol penulisan artikel adalah tata
tertib penulisan artikel, misalnya terkait jumlah kata. Pada awal penulisan, saya
membatasi dan menyadari, hanya akan menulis sebanyak 1.000 - 1.500 kata saja. Kontrol
ini membantu saya untuk bisa lebih selektif memilah dan memilih data/ informasi
apa yang perlu dibahas dalam artikel. Kehebatan artikel itu bukanlah karena panjang
dan bertele-telenya bahasan, tetapi bisa menjelaskan sesuatu secara efektif dan
efisien sesuai tujuan penulisannya. Bagaimana jika kita punya banyak (sekali) ide/ gagasan yang mau dituliskan? Hmmm... jangan-jangan yang kita perlukan itu membuat buku, bukan sekedar artikel. Nah, kalau konteksnya membuat buku, tentu ceritanya akan beda lagi; termasuk permisalan dalam pembuatan komposnya.
Berikut ini foto contoh proses lain yang pernah saya alami dalam urusan pembuatan kompos dengan skala lebih besar, yang bisa diibaratkan dalam hal penulisan dengan "wadah" yang lebih besar dan kompleks.
Mengangkut salah satu material organik batang pisang dengan mobil. |
Proses pencacahan material kompos di sawah |
Proses penyebaran bahan pembentuk kompos yang telah dicampur, langsung di sawah |
Semoga 3 foto di atas bisa memberi gambaran lebih lanjut bahwa walau konteks pembuatan kompos atau penulisan beda, namun prinsip dasarnya sama. Tetap perlu bahan/ data, pencampuran, serta proses fermentasi.
Saya berpikir artikel ini akan lebih efektif
diserap kemanfaatannya jika dilengkapi dengan foto pendukung, maka saya sengaja
minta difotokan oleh anggota keluarga dalam beberapa tahap proses pembuatan
kompos. Diniati, iya, saya memang niat membuat artikel ini, walau temanya
sederhana “membandingkan pembuatan kompos dengan penulisan artikel,” namun jika
bisa dibuat dengan maksimal itu membuat saya puas dengan harapan pembaca bisa
menyerap sebanyak mungkin gagasannya.
Kini saatnya saya menutup artikel ini dengan
menyimpulkan bahwa ada kemiripan proses antara saat kita menulis artikel,
dengan proses pembuatan kompos. Dimulai dengan niat untuk memulai dan kehendak
untuk menuntaskannya, maka proses perlu dilakukan dengan cerdas. Konteks penulisan
tetap menjadi pegangan penulisan artikel terutama dalam upaya mimilah dan
memilih data. Tentu diperlukan
perjuangan untuk menghasilkan artikel yang singkat, padat, namun informatif.
Selamat membuat kompos, eh, selamat menulis
artikel.
Agustinus Susanta
Brebes, 5 Agustus 2020
Catatan: jumlah kata dalam artikel ini jadi 1.600 kata (dari target 1.000-1500 kata) di luar keterangan foto, lebih banyak 100 kata dari kuota maksimal, he he he…